Pesan Rahbar

Home » » Melihat Kaum Sufi di Jalur Gaza

Melihat Kaum Sufi di Jalur Gaza

Written By Unknown on Sunday, 17 April 2016 | 21:53:00

Muslim Palestina tadarus al Qur’an di Masjid Al-Omari Gaza pada bulan Ramadhan 23 Juni 2015 (Foto: Reuters)

Jalur Gaza memang identik dengan kekerasan serdadu Israel kepada penduduk setempat sebagai upaya meluaskan wilayah kekuasaan negeri Zionis. Namun, di Jalur Gaza, Palestina, Muslim yang mencerap madu cinta Illahi, tetap melakukan aktivitas keruhaniahannya.

Dikutip dari Republika, setiap Jumat sore orang berduyun-duyun ke sebuah masjid kecil di salah satu gang di lingkungan Sheikh Radwan, Kota Gaza. Mereka datang tidak hanya untuk melakukan shalat lima waktu, tetapi untuk menyanyikan gita puja yang dikenal sebagai al-Hadrat di kalangan para sufi.

Dilansir dari Al Monitor, Senin 21 Desember 2015, aktivitas tersebut membedakan masjid itu dari masjid-masjid lain di Jalur Gaza. Belum lagi, sebuah tanda yang tergantung di mihrab menunjukkan afiliasi masjid pada tarekat Syadziliyya-Alawiyyah.

Sebagian besar masjid di Gaza tunduk pada pembagian antar faksi-faksi politik Islam yang berbeda, yang menggunakan masjid sebagai sarana komunikasi dengan jamaah mereka. Sementara itu, kaum sufi duduk tenang, melakukan olah spiritual yang jauh dari hal-hal duniawi.

Gerakan sufi di Palestina telah menjadi bagian dari religiusitas populer. Sufi-sufi penting di Palestina berasal dari keluarga al Jabari di Hebron, al Saafin dan al Khalidi di Jalur Gaza, serta keluarga al Makdisi di Yerussalem.

Kelompok ini mempertahankan karakternya sebagai sebuah gerakan pendidikan yang berorientasi pada perbaikan diri dan menghindari hal-hal duniawi, termasuk politik. Silsilah tarekat Syadziliyya-Alawiyya dapat ditelusuri kembali hingga Sheikh Ahmad bin Alawi.

Syeikh Alawi lahir di Mostaganem, Aljazair pada 1869. Ia berdakwah dan mengajarkan tarekatnya ke berbagai wilayah, terutama Maghrib, Levant, dan Palestina. Dia juga memberi izin dan baiat kepada muridnya yang dianggap telah memenuhi syarat untuk mendirikan sebuah zawiyah sufi.

Sheikh Samir al Khalidi menuturkan, kakeknya, Syeikh Ibrahim al Khalidi, pertama kali mendirikan zawiyah sufi pada 1942 di desa Karatiyya, 29 km di timur laut pusat kota Gaza. Pada 18 Juli 1948, lanjut dia, desa Karatiyya hancur dan orang-orang mengungsi akibat ekspansi militer Zionis. Keluarganya pindah ke kamp pengungsi Shati, barat kota Gaza, untuk membangun ulang zawiyah

Setelah sang kakek meninggal, pimpinan zawiyah itu diteruskan kepada ayahnya, Sheikh Musa, yang kemudian pindah ke lingkungan Sheikh Radwan di Kota Gaza. “Ayah saya mendedikasikan sebagian rumahnya untuk membangun zawiyah pada 1988. Kini, zawiyah itu menjadi bagian dari warisan keluarga,” kata Sheikh Khalidi.

Ketika ayahnya meninggal pada 2010, Sheikh Khalidi (60) meneruskan melayani zawiyah hingga hari ini. Seusai shalat asar, orang-orang duduk dalam lingkaran yang dipimpin oleh Sheikh Khalidi. Salah satu murid membuka pertemuan dengan menghaturkan puji-pujian kepada Nabi Muhammad dari sebuah buku teks tua yang konon ditulis oleh Syeikh Alawi, pendiri tarekat itu.

“Tasawuf adalah kelompok agama yang menolak kekerasan, menjauhi politik, dan mengasah jiwa. Gita puja dan olah tubuh adalah cara untuk menyempurnakan jiwa dan membangkitkan keadaan cinta Ilahi,” papar Sheikh Khalidi.

Mereka tidak mencari kekuasaan dan tidak menimbulkan ancaman bagi kelompok Islam lain. Mahmoud Bashir, salah satu pengikut tarekat itu menambahkan, ritual sufi dianggapnya semacam riyadhoh dan pelepasan psikologis.

Banyak pengikut zawiyah sengaja mencari perlindungan dan melarikan diri dari politik yang membebani mereka. “Zawiyah didedikasikan untuk doa saja, tanpa campur tangan retorika politik,” kata dia.

Meskipun para pengikut zawiyah tersebar di sepanjang Jalur Gaza, ada perbedaan pendapat di sana mengenai kaum sufi. “Kaum sufi hanyalah kelompok yang percaya takhayul dan delusi yang bertentangan dengan Islam,” kata Ahed Nazmi, mahasiswa jurusan sejarah Universitas Al Azhar di Gaza. Nazmi tinggal di dekat sebuah zawiyah sufi di daerah Qarara di kota Khan Yunis, selatan Jalur Gaza.

Sementara, Mufti Kota Gaza, Sheikh Hassan Laham, mengaku tidak memiliki pengetahuan yang lengkap mengenai kegiatan kelompok sufi di Jalur Gaza. Dia hanya menegaskan bahwa semua kegiatan tidak boleh menyimpang dari Alquran dan sunnah. Dengan persebaran pengikut zawiyah yang sekian banyak di Jalur Gaza, walau ada keragaman pendapat, ia tetaplah bagian dari masyarakat.

(Reuters/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: