Pada edisi kali ini, Markas Internasional Riset Politik dan Geopolitik menurunkan sebuah makalah karya Ridha Harb berikut ini.
Hubungan Arab Saudi dan Israel sedang berkembang pesat ke arah pembentukan sebuah koalisi strategi Zionis - Saudi dengan berlandaskan pada kepentingan strategis di tingkat Timur Tengah dan dalam semua kasus yang berkembang.
Dalam hal ini, ada beberapa pertanyaan yang muncul. Apakah proyek yang sedang mereka canangkan dan apakah tujuan mereka dengan membentuk koalisi strategi? Pertanyaan yang lebih penting lagi, apakah proyek Zionis - Wahabi ini akan berhasil?
Lantaran masih berhubungan, mari kita renungkan sejenak sejarah dan geografi berikut ini:
Theodor Herzl sebagai pendiri rezim Zionis pernah menyatakan, “Perbatasan Israel Raya membentang dari Nil hingga Furat. Akan tetapi, hanya sedikit yang mengetahui poin-poin parsial tentang “Oded Yinon Plan” sebagai sebuah strategi Israel. Plan ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab pada tahun 1982, dan lantas diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Israel Shahak.”
Plan Oded Yinon berlandaskan pada tiga unsur utama: diktatorisme para rezim, kevakuman keadilan sosial, dan kelaliman yang menyusahkan kaum minoritas etnis dan agama.
Plan Oded Yinon mendorong perang antar aliran dan etnis sehingga menyebabkan batas geofrafis di area kekuasaan Israel terpetak-petak. Dari sisi barat, Israel sama sekali tidak terancam. Sisi timur adalah sebuah ancaman sejati bagi Israel. Untuk itu, pembagian Lebanon ke dalam lima wilayah, Suriah ke dalam empat pemerintahan agama, dan Iraq ke dalam tiga lembaga mazhab dan golongan menjadi prioritas utama Israel. Pembagian Israel ke dalam wilayah etnis dan lemah dapat menjamin keamanan dan keunggulan rezim ini.
Oded Yinon memahami dengan baik bahwa perubahan dan perombakan geopolitik bisa terwujud dengan cara menyulut perang internal.
Hanya saja, kemungkinan menarik banyak personel takfiri melalui dana Arab dan fatwa Wahabi belum pernah terbersit di benak Oded Yinon kala itu. Usulan seorang jenderal Saudi, Anwar ‘Isyqi, untuk membagi Iraq ke dalam tiga kekuatan etnis diangkat untuk proyek Balkanisasi Timur Tengah dimulai dari Iraq dan Suriah. Nama Lebanon belum muncul dalam program usulan ini.
Setelah Saddam gagal menumbangkan Iran dan Republik Islam Iran banyak menggapai kemajuan di bidang militer dan ilmu pengetahuan sekalipun dalam kungkungan embargo dan teror para ilmuwan Iran, merusak nama baik Iran menjadi prioritas program Israel. Turki Al-Faishal, yang dijuluki “Zinois Saudi” dalam konferensi lembaga teroris Mujahidin Khalq yang masih berafiliasi dengan Mossad, juga menegaskan Iran menjadi priortas utama Arab Saudi.
Sekalipun Iran telah berusaha untuk menjadi tetangga yang baik bagi negara-negara tetangga selain Israel, Negeri Mulla ini masih tetap harus berhadapan dengan tembok besi permusuhan dan kerusuhan mazhab yang semuanya terwujud demi kepentingan Tel Aviv.
Sebaliknya, Arab Saudi membayar seluruh ulama yang tidak berkomitmen terhadap agama dan kemanusiaan untuk mengeluarkan fatwa-fatwa pesanan demi menghalalkan pembantaian manusia dan penghinaan terhadap tempat-tempat suci Islam dan Kristen.
Sebelum ini, Arab Saudi juga telah memberikan dukungan finansial terhadap Saddam untuk memerangi Iran dan juga meminta bantuan Amerika Serikat untuk menumbangkan Republik Islam Iran. Riyadh juga menjadi pioneer dalam menentang kesepakatan nuklir Iran. Aksi-aksi teroris di Iraq dan Suriah dengan dukungan finansial Saudi serta agresi Saudi ke Yaman, semua ini terjadi dengan menggunakan agama sebagai justifikasi untuk menyulut perang internal hanya untuk merealisasikan “Plan Oded Yinon”.
Sekarang, setelah Arab Saudi dan Israel sebagai dua rezim teroris secara terang-terangan menegaskan banyak kepentingan bersama, kita harus sadari bahwa kesepahaman mereka dalam program strategis telah memasuki arena menentukan satu musuh bersama: garis muqawamah dan Republik Islam Iran sebagai kepala piramida.
(Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email