Oleh: Abdul Karim Al-Bahbahani
Keyakinan-keyakinan ardhiyah (yang berasal dari diri manusia) ataupun samawiyah (yang bersumber dari Allah swt.) hendaknya memiliki tujuan dan arti manusiawi. Jika bersifat ardhiyah, keyakinan itu berawal dari kondisi-kondisi manusia dan ungkapan segala pengetahuan dan keinginannya terhadap kehidupan yang lebih mulia.
Namun, jika bersifat samawiyah, keyakinan itu merupakan perwujudan rahmat Allah swt. kepada manusia dan kecintaan-Nya untuk menyampaikan manusia kepada puncak kebahagiaan, dan inilah yang diyakini oleh seorang mukmin seputar akidah Islam, baik yang sudah dijelaskan secara rinci ataupun yang masih tersimpan di balik tabir gaib.
Adakalanya, manusia memperlakukan keyakinan tersebut secara logis dan argumentatif, dan adakalanya memperlakukannya dengan cara empirik atas hasil-hasil yang terwujud dari keyakinan tersebut dan dari efektifitasnya dalam memberikan jawaban atas berbagai persoalan hidup manusia sehari-hari.
Kendati suatu keyakinan itu gamblang dari aspek argumentasi, namun kesamaran dari aspek praktis-manusiawi menjadi sebab keraguan, atau minimal telah menjadi titik beku dan kehilangan pengaruhnya pada jiwa seseorang.
Keyakinan-keyakinan Islam juga seperti akidah samawi yang lain; kita tidak dapat memaparkan tujuan manusiawinya secara detail, karena penjelasan detail menuntut suatu konsentrasi khusus pada aspek empirik dari pribadi seseorang, dan ini bertentangan dengan hakikat akidah yang aktif sebagai pencerahan aspek logis dan pemuasan aspek spiritual manusia.
Oleh karena itu, sangat wajar bila aqidah memberikan penjelasan pada batas minimum dan kadar umum dari tujuan-tujuan insaninya, seperti firman Allah swt.:
“Dan Aku tidak mengutusmu (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.[1]
Akan tetapi pada saat yang sama, akidah menganjurkan manusia mukmin agar menggunakan akal untuk memperoleh kebenaran, hikmah dan tujuan kemanusiaan secara detail di berbagai bidang aqidah dan syariat Islam.
Dan sampai di sini, kita telah mempelajari Mahdiisme dari aspek argumentasi. Juga telah jelas bahwa konsep mazhab Ahlul Bait tentang Mahdiisme secara argumentatif lebih mapan dan lebih sempurna ketimbang konsep empat mazhab Ahli Sunnah.
Kemapanan dan kesempurnaan konsep tersebut di bidang teologis dan dalil ini telah menuntun kita untuk meyakini kesempurnaannya dalam memberikan bakti dan hasil kemanusiaan. Adapun perselisihan yang menyebabkan sebagian besar orang menjadi ragu dan menimbulkan berbagai tanda tanya seputar konsep Mahdiisme versi Ahlul Bait, pada dasarnya berawal dari diri mereka yang tidak memandang konsep ini dari aspek argumentasinya.
Mereka malah memberikan perhatian begitu besar pada aspek praktis-kemanusiaannya yang membuat mereka bertanya-tanya: “Manfaat apa yang bisa diperoleh dari keyakinan pada Mahdiisme sebagai konsep yang dipenuhi oleh unsur-unsur misterius dan tidak lumrah seperti kegaiban, usia panjang dan kepemimpinan yang masih dini?”
Dan tatkala mereka tidak menemukan jawaban yang memuaskan sehingga aspek praktis-kemanusiaan konsep ini tampak masih saja samar, kebodohan dan ketakberdayaan mereka dalam memahami konsep telah membuat mereka ingkar terhadapnya dan menuduhnya sebagai pendirian ekstrim dan takhayyul belaka. Kemudian mereka mencari alternatif selain konsep Mahdiisme yang tidak memiliki unsur-unsur semacam itu dan tidak mengesankan kegaiban yang begitu berat.
Hanya mereka tidak sadar bahwa dengan cara ini, justru mereka telah beralih dari kesempurnaan kepada kekurangan, dan keberatan-keberatan mereka terhadap unsur-unsur itu berarti penolakan terhadap kekayaan esensi konsep Mahdiisme dalam agama Islam.
Apalagi dari aspek logika, penentangan mereka dalam perkara aqidah semestinya tunduk pada argumentasi, bukan malah mengendalikan argumentasi itu searah dengan hawa nafsu, dan kepentingan dan pendapat pribadi.
Seandainya mereka memikirkan konsep Ahlul Bait tentang Mahdiisme, mereka akan mendapatkan kesempurnaan yang lebih unggul dari apa yang kita temukan dalam konsep Mahdiisme versi mazhab Khulafa’ (Ahli Sunnah).
Tentang hal ini, Sayyid Baqir Ash-Shadr secara indah telah menjelaskan:[2] “Kita akan memeriksa persoalan kedua, yaitu atas dasar apa keinginan yang besar dari Allah swt. atas manusia ini, sehingga dengannya hukum-hukum alam tidak lagi berlaku seperti panjangnya usia beliau (Imam Mahdi)?
Dan kenapa kepemimpinan sekarang ini dikosongkan dan tidak dilimpahkan kepada seseorang yang mempersiapkan masa depan dan mendekatkan tanda-tanda Hari Yang Dijanjikan sehingga beliau muncul ke medan kehidupan dan melakukan perannya sebagai sosok yang dinanti-nantikan?”
“Dengan ungkapan lain, apa fungsi kegaiban yang begitu panjang? Dan alasan apa yang mendasari kejadiannya?” Begitu banyak manusia yang bertanya-tanya tentang persoalan ini, dan mereka tidak mengharapkan jawaban yang misterius dan samar.
“Kita meyakini bahwa para imam dua belas adalah manusia-manusia istimewa[3] yang tidak dapat digantikan satu pun dari mereka oleh siapapun.
Hanya saja, para peragu menuntut jawaban atas persoalan ini dengan penafsiran sosiologis dan data-data empirik dalam rangka perubahan akbar itu sendiri dan konsekuensi-konsekuensi yang bisa dibayangkan dari Hari Yang Dijanjikan itu.
“Atas dasar ini, maka untuk sementara, kita kesampingkan kriteria dan keistimewaan para imam maksum[4] yang kita percayai itu.
Dan marilah kita kembali bertanya: “Ihwal perubahan akbar yang akan terjadi di Hari Yang Dijanjikan sekadar apa yang kita pahami dari hukum-hukum kehidupan dan pengalaman-pengalaman kita, apakah kita dapat memastikan usia panjang pemimpin kita yang dijanjikan ini sebagai salah satu faktor kesuksesan perubahan itu?
Dan apakah usia panjang itu membuatnya mampu melakukan perubahan dan memimpinnya secara lebih baik?
“Kita dapat menjawab positif atas pertanyaan ini, karena beberapa alasan. Di antaranya, proses perubahan akbar menuntut kondisi kejiwaan luar biasa pada seorang pemimpin yang akan memimpin gerak perubahan tersebut, sebuah kondisi jiwa yang penuh dengan kepercayaan akan keunggulan dan perasaan dalam akan kehancuran kekuatan-kekuatan besar yang menjadi sasaran perubahannya dan mengubah peradaban mereka ke dalam dunia yang baru.
“Maka sebesar kepercayaan di dada sang pemimpin terhadap kerapuhan peradaban yang akan dilawannya, dan perasaan yang dalam akan posisi hanya sekadar sebuah titik dari perjalanan panjang peradaban manusia, sang pemimpin itu akan menjadi lebih mampu secara sisi kejiwaan[5] untuk melawan mereka, berdiri tabah dan berjuang teguh hingga kemenangan menjelang.
“Telah jelas bahwa kualitas yang diperlukan dari kepercayaan dan perasaan kejiwaan ini seluas skala perubahan itu sendiri dan sebesar kebutuhan untuk menghancurkan peradaban dan eksistensi suatu sistem. Jika perlawanan terhadap peradaban dan eksistensi itu lebih besar dan lebih keras, maka dibutuhkan perasaan dan mental yang lebih besar dan lebih tahan pula.
“Dan tatkala misi Hari Yang Dijanjikan itu berupa perubahan dunia yang telah dipenuhi oleh kezaliman; yakni perubahan universal dan menyeluruh terhadap setiap nilai peradaban dan basis-basis eksistensinya yang beraneka ragam, sudah barang tentu misi tersebut membutuhkan seorang manusia yang jiwa dan perasaannya melampaui dunia dan segenap isinya, seorang manusia yang bukan dari putra-putra dunia yang tumbuh di dalam peradaban yang hendak dihancurkan dan diubah menjadi peradaban dipenuhi nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Sebab, seorang yang tumbuh di dalam peradaban yang sudah mapan, yang hidup seakar dengan dunia, kekuasaan, nilai-nilai dan pemikirannya, dia akan hidup dalam jiwa yang membawa perasaan takut dan kecil diri di hadapannya, karena dia terlahir tatkala peradaban itu sudah berdiri kuat, dia mulai tumbuh ketika peradaban itu sudah tampil perkasa, dia telah membuka matanya dan melihat dunia, dan dia tidak mendapatkan kecuali aneka corak lapisan-lapisan luarnya.
“Sebaliknya, manusia yang masuk ke medan sejarah telah hidup di dunia sebelum ia melihat peradaban itu. Dia melihat peradaban-peradaban besar telah menguasai dunia satu demi satu yang kemudian runtuh saling menyusul.[6]
Dia telah melihat semua itu dengan mata kepala sendiri. Dia tidak membaca semua kenyataan dunia itu dari buku sejarah.
“Kemudian dia telah melihat peradaban yang telah ditakdirkan untuk menjadi babak terakhir dari sejarah manusia sebelum tibanya Hari Yang Dijanjikan. Dia sungguh melihatnya semasih berupa benih-benih kecil yang belum lagi tampak.
“Dia telah menyaksikan peradaban itu sedang merembas ke dalam akar-akar umat manusia sambil mencuri-curi kesempatan tumbuh dan berkembang.
“Lalu dia mengalami zaman peradaban itu dalam keadaan bangkit, mulai tumbuh dan merangkak; terkadang jatuh dan terkadang bangun.
“Kemudian ia mengendalikan peradaban itu dalam keadaan berkembang, maju dan secara bertahap mendominasi semua kekuatan dan sumber dunia.
“Sosok manusia seperti ini telah hidup di dalam setiap fase-fase dengan segenap kecerdasan dan kesadaran yang penuh. Dia melihat kekuatan raksasa dunia yang hendak ditentangnya dari sudut perjalanan sejarah yang begitu panjang yang telah dirasakan dan dialaminya secara langsung; bukan dari buku-buku sejarah saja. Dia melihatnya bukan sebagai takdir yang tak bisa diubah. Dia melihatnya tidak seperti John J. Rousseau[7] melihat Kerajaan Prancis.
Dikisahkan, begitu besar kekuatirannya sekedar membayangkan Perancis tanpa raja―kendati ia salah satu pelopor pemikiran dan filosof besar dalam pembangunan politik pada waktu itu―karena ia tumbuh di dalam lingkungan Kerajaan, dan menghirup hawa dan suasananya sepanjang hidupnya.
Adapun sosok manusia yang telah merasuki jantung sejarah; dia memiliki kewibawaan sejarah, kekuatan sejarah, dan perasaan yang memadai bahwa semua sistem dan peradaban di sekelilingnya adalah hasil dari sepenggal sejarah, dan hadir setelah mencukupi beberapa faktor kejadiannya, dan akan muncul sederetan faktor lain muncul yang mempersiapkan kehancurannya.
Maka, tidak tersisa sedikit pun darinya seakan tak pernah terjadi apa-apa kemarin lusa atau sebelumnya. Sesungguhnya usia sejarah peradaban dan sistem-sistem kekuasaan―betapapun lamanya mereka bertahan, hidup dan berkuasa―tak lebih dari sepenggal usia sejarah yang sangat panjang.
“Apakah Anda membaca surat Al-Kahfi? Apakah Anda telah membaca kisah sejumlah pemuda yang beriman kepada Allah swt., kemudian Dia melipatkan hidayah untuk mereka?[8]
Mereka telah menghadapi sistem syirik yang berkuasa; yang tidak pernah berbelas kasih dan ragu-ragu dalam menghanguskan benih-benih tauhid, sambil memupuk kesyirikan. Jiwa para pemuda tertekan oleh keputusasaan, jendela harapan telah tertutup di depan mata-mata mereka. Akhirnya, mereka berlindung ke gua dan memohon kepada Allah agar memberikan jalan keluar setelah menemui jalan buntu. Mereka telah merasakan begitu beratnya keadaan tatkala kebatilan senantiasa berkuasa, memimpin dan menghancurkan kebenaran.
“Tahukah Anda; apa yang diperbuat Allah kepada mereka? Allah menidurkan mereka selama 309 tahun[9] di gua tersebut, kemudian membangunkan mereka dari tidurnya lalu menyuruh mereka kembali ke dalam kehidupan umum setelah sistem syirik dan kezaliman yang mengancam jiwa-jiwa mereka itu runtuh dan menjadi seutas sejarah yang tidak lagi menakutkan seorang pun atau menggetarkan orang yang diam. Semua itu terjadi agar pemuda-pemuda mukmin itu menyaksikan kematian sistem kebatilan yang pernah dirasakan oleh mereka begitu perkasa dan akan terus bertahan kuat, dan agar mereka melihat nasib akhir sistem itun dengan mata kepala sendiri, dan kebatilan menjadi kecil dan tak lagi berharga di dalam jiwa mereka.
“Dan jika kesaksian sejarah yang jelas ini telah dialami oleh Ashabul Kahfi dengan segenap kehancuran dan kebesaran jiwa di tengah peristiwa yang unik itu―yang di dalamnya Allah memanjangkan hidup mereka selama 300 tahun―maka pengalaman sejarah ini juga akan dialami oleh sang pemimpin yang dijanjikan berdasarkan umurnya yang panjang yang memberikan kesempatan baginya untuk menyaksikan kekuatan-kekuatan dunia yang tampaknya raksasa namun kecil-kerdil, dan menyaksikan pohon yang tampaknya menjulang tinggi namun sebenarnya masih berupa benih-benih, dan menyaksikan masa-masa kebesaran padahal hanyalah manusia biasa.[10]
“Di samping itu, pengalaman yang didapatkan dari menyaksikan peradaban-peradaban yang silih berganti itu dan dari menghadapi langsung perkembangan dan perjalanan mereka, berpengaruh besar dalam penyiapan intelektual dan pengembangan kapasitas kepemimpinan untuk Hari Yang Dijanjikan, karena hal ini telah meletakkannya sebagai manusia yang dijanjikan di hadapan pengalaman-pengalaman orang lain yang penuh dengan sisi-sisi kurang dan lebih, yang sarat dengan aneka kesalahan dan ketepatan. Kesaksian langsung itu juga dapat memberikan kekuatan lebih kepadanya untuk menilai gejala-gejala sosial dengan kesadaran penuh akan sebab musababnya dan kondisi-kondisi sejarah yang menyertainya.
“Kemudian proses perubahan yang dilempangkan untuk sang pemimpin yang ditunggu-tunggu bergerak di atas misi yang sudah ditentukan, yaitu misi Islam. Tentunya, dalam keadaan ini, proses itu membutuhkan seorang pemimpin yang dekat atau akrab dengan sumber-sumber utama Islam. Kepribadiannya sudah dibina secara sempurna dan secara terpisah dari pengaruh-pengaruh peradaban yang akan ditumbangkan oleh Hari Yang Dijanjikan itu.
“Namun sebaliknya, seorang manusia yang lahir dan tumbuh di bawah naungan peradaban tersebut dan membuka cakrawala pemikirannya dan gelinjang emosinya di dalam pengaruhnya, umumnya dia tidak akan bebas dari imbas, rembasan dan asas-asas peradaban itu, kendati dia menggalang kekuatan untuk mengubahnya.
“Dan sebagai jaminan agar sang pemimpin tidak terpengaruh dengan peradaban yang hendak diubahnya, seyogyanya dia menjadi pribadi telah dibina secara sempurna pada tahap keperadabannya sebelum itu; yaitu peradaban yang lebih dekat dalam semangat universal, dan dari aspek prinsip keyakinan lebih dekat dengan suasana peradaban yang diusahakan oleh Hari Yang Dijanjikan di bawah kepemimpinannya”.[11]
Kemudian Sayyid Baqir Ash-Shadr mengajukan pertanyaan lain sekaitan dengan aspek praktis-manusiawi dari konsep Mahdiisme, yaitu kenapa sang pemimpin dunia itu tidak juga muncul di selama masa yang panjang ini?
Jika dia telah menyiapkan diri untuk tugas sosial, lalu apa yang menghalangi beliau tampil secara umum pada masa-masa kegaiban singkat atau beberapa masa setelahnya, daripada melanjutkannya sampai ke kegaiban panjang, padahal kondisi tugas sosial dan perubahan pada masa-masa itu sangatlah ringan dan tidak sulit, dan hubungan langsung pun antara beliau dan umat melalui managemen kegaiban singkat membuka peluang guna menggalang barisan dan memulai tugasnya dari basis yang kuat, sedangkan kekuatan penguasa ketika itu belum mencapai kekuatan yang diciptakan kemajuan ilmu dan industri?[12]
Sayyid Baqir Ash-Shadr menjawab pertanyaan ini demikian:
“Pada dasarnya, segala proyek perubahan sosial yang keberhasilannya bergantung pada kondisi dan syarat-syarat riel di luar tidak akan mencapai titik tujuannya kecuali setelah kondisi dan syarat-syarat itu terpenuhi.
“Ciri khas proses perubahan sosial yang bergulir dari langit ke bumi ialah bahwa proses ini dari sisinya sebagai misi tidak bergantung pada kondisi-kondisi riel,[13] karena misi yang menjadi sumber proses perubahan ini bersifat ketuhanan (rabbani), dan pekerjaan Langit; bukan pekerjaan kondisi-kondisi riel. Akan tetapi, dari sisi pelaksanaan misi, proses ini―dalam segenap keberhasilan atau kegagalannya― bergantung pada kondisi-kondisi riel di luar.
Oleh karena itu, Langit menunggu berlalunya lima abad dari zaman Jahiliyah sehingga diturunkanlah misi terakhir yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw.; karena kebergantungan pada kondisi riel untuk pelaksanaan misi itu melazimkan keterlambatannya, kendati demikian ini dibutuhkan oleh dunia sejak masa yang amat jauh sebelumnya.
“Di antara kondisi-kondisi riel dan obyektif yang berpengaruh dalam pelaksanaan proses perubahan ialah menciptakan iklim yang memadai, situasi umum dalam rangka gerakan perubahan yang terarah, juga sejumlah unsur-unsur yang diperlukan dalam pergerakan itu melalui liku-liku yang akan dilaluinya secara spesifik.
“Misalnya, ihwal gerakan perubahan yang dipimpin oleh Lenin di Rusia yang berakhir pada kemenangan, proses ini terkait erat dengan faktor-faktor seperti: Perang Dunia Pertama dan melemahnya dinasti di sana. Faktor-faktor inilah yang menciptakan iklim yang sesuai dengan proses perubahannya.
Selain itu, proses ini berkaitan dengan faktor-faktor lainnya yang bersifat parsial dan terbatas seperti: keselamatan dan keamanan Lenin dalam perjalanannya dan penyusupannya ke dalam Rusia hingga memimpin revolusi. Sebab, jika terjadi sebuah aksiden yang menghalanginya, mungkin saja revolusi itu akan kehilangan kekuatannya untuk diletuskan pada waktu yang begitu cepat.
“Sudah menjadi hukum cipta Allah yang tidak dapat diganggu-gugat dan diubah-ubah, bahwa proses perubahan ilahiyah ini dari sisi pelaksanaan praktisnya bergantung pada kondisi-kondisi riel dan obyektif; kondisi-kondisi yang akan menciptakan iklim yang memadai, dan keadaan umum yang melempangkan proses perubahan ini. Dari sinilah Islam tidak datang kecuali setelah diutusnya para rasul sepanjang beberapa masa dan kevakuman yang pahit yang berlangsung selama beberapa abad.
“Maka, kendati Allah swt. kuasa untuk memudahkan segala rintangan dan kesulitan di hadapan misi ilahiyah, dan kuasa untuk menciptakan iklim yang memadai dalam bentuk mukjizat, akan tetapi Dia tidak menginginkan untuk memakai cara ini; karena ujian, malapetaka dan penderitaan yang dengannya manusia menjadi sempurna melazimkan upaya perubahan ilahiyah berjalan wajar dan objektif dari sisi pelaksanaannya.
Hal ini juga tidak menutup kemungkinan intervensi Allah untuk menyiapkan beberapa kondisi pendukung, di antaranya: pertolongan dan dukungan gaib yang dianugerahkan Allah kepada para wali-Nya pada saat-saat genting, seperti ketika api Namrud menjadi dingin dan penyelamat bagi Ibrahim a.s., ketika tangan seorang Yahudi yang menghunus pedang hendak membunuh Nabi Muhammad saw. hingga kehilangan tenaganya, ketika topan dahsyat yang memporak-porandakan kemah-kemah orang-orang kafir dan musyrikin yang mengepung kota Madinah dan menebarkan rasa takut pada jiwa mereka.[14]
Hanya saja semua ini tidak termasuk sebagai faktor-faktor parsial dan memberikan pertolongan pada saat-saat kritis setelah kondisi yang memadai dan iklim yang mendukung proses perubahan secara umum terjadi secara wajar alamiah dan sesuai dengan kondisi-kondisi yang melingkupi realitas di luar.
“Atas dasar ini, kita akan mempelajari sikap Imam Mahdi a.s., dan kita akan mendapati bahwa proses perubahan yang telah dipersiapkan―dari sisi pelaksanaan―sama dengan proses perubahan yang lain; yakni sama-sama bergantung pada kondisi-kondisi riel yang berpengaruh dalam menciptakan iklim secara cukup dan memadai untuk pelaksanaan proses itu.
“Dan telah jelas bahwa Imam Mahdi a.s. tidak menyiapkan dirinya untuk tugas sosial yang terbatas, juga tidak untuk proses perubahan atas sebagian dunia, karena misi yang telah disiapkan Allah swt. untuknya adalah perubahan universal ke seluruh alam, dan mengeluarkan selurah umat manusia dari kezaliman menuju cahaya keadilan[15]. Dalam pelaksanaannya, proses perubahan akbar ini tidak cukup hanya dengan mengandalkan datangnya misi dan wujud seorang pemimpin yang adil. Karena, jika demikian, syarat-syarat pelaksanaannya sudah terpenuhi sejak masa kenabian sendiri. Jadi, proses ini membutuhkan iklim dunia yang memadai dan situasi umum yang kondusif, yang dapat mewujudkan kondisi-kondisi riel yang diperlukan untuk proses perubahan universal.
“Lalu, dari sisi kemanusiaan, kejemuan dan kejenuhan orang pada peradaban yang ada merupakan satu faktor utama dalam menciptakan iklim yang memadai untuk menyambut misi keadilan yang baru. Perasaan jemu dan jenuh ini terbentuk dan makin merembas akibat pengalaman-pengalaman peradaban yang beraneka ragam, dan manusia keluar darinya dengan memikul suatu peradaban yang ditumpuki oleh nilai-nilai negatif yang telah dibangun, sampai menyadari akan kebutuhannya pada pertolongan lalu bersama fitrahnya menghadap ke yang gaib dan yang pernah hilang darinya.
“Dari sisi materiel, boleh jadi kondisi kehidupan materi kontemporer itu lebih memadai daripada kondisi kehidupan zaman dahulu seperti di zaman kegaiban singkat Imam Mahdi a.s. untuk merealisasikan misi universal ini. Sebab, di zaman kontemporer, jarak dan tempat bukanlah kendala, belum lagi tersedianya kapasitas yang sangat besar untuk berinteraksi di antara segenap penduduk bumi, dan sarana-sarana yang dibutuhkan untuk mempersiapkan mereka berdasarkan misi yang baru.
“Adapun yang diisyaratkan dalam pertanyaan kita itu, yakni kemajuan pesat angkatan dan peralatan militer―yang akan dihadapi oleh sang pemimpin di Hari Yang Dijanjikan―seiring dengan penangguhan waktu kemunculannya, adalah sebuah fakta. Namun, apa kegunaan dari perkembangan materiel dari sebuah kekuatan yang dilapisi oleh kekalahan mental dari dalam diri, dan kehancuran bangunan spiritual manusia sebagai pemegang kendali semua kekuatan dan peralatan canggih tersebut? Dalam sejarah manusia, betapa banyak kehancuran sebuah peradaban yang kokoh hanya dengan sekali penyerangan; karena memang pada dasarnya dia sudah hancur sebelum diserang, dan telah kehilangan kepercayaan pada keberadaannya dan tidak lagi mengakui eksistensinya yang sekarang ini”.[16]
Demikianlah kita menyimak jawaban yang disampaikan oleh Sayid Shadr.
Di sini, kita juga dapat memaparkan pengaruh praktis-kemanusiaan dari konsep Mahdiisme menurut mazhab Ahlul Bait a.s. dari sisi yang lain, yaitu demikian:
Keyakinan pada Imam Mahdi a.s. yang gaib dari pandangan namun hidup dan berpengaruh di dalam lini-lini kehidupan untuk kepentingan masyarakat mukmin. Konsep Mahdiisme membawa segenap ciri-ciri khas prinsip Imamah seperti kemaksuman, kesaksian nash dari Nabi, kesempurnaan ilmu dan amal. Maka itu, sejatinya konsep ini dapat menebarkan suasana Imamah dan kesan-kesan spiritualnya yang agung di tengah-tengah masyarakat. Dia dapat memuaskan manusia dengan perasaan yang damai akan hubungan mesra antara Langit dan bumi, dan berlanjutnya pengayoman langit atas bumi.
Konsep Mahdiisme mampu mengubah semua itu menjadi arti-arti yang dapat dialami secara langsung dan lebih aktif di dalam jiwa, setelah dasar-dasarnya di tataran keyakinan berupa arti-arti yang teoretis-rasional, lalu membangun kekuasaan tauhid di medan sosial-politik. Konsep Mahdiisme mampu menjadikannya kekuasaan ini dapat dirasakan secara lebih dekat dan akrab. Sebab Imam Mahdi yang gaib bukanlah seorang manusia biasa, namun dia adalah Imam Kedua Belas yang telah ditentukan oleh Langit untuk menempati posisi kepemimpinan hingga akhir sejarah.
Memang benar Imam Mahdi tidak bergaul dan bersentuhan dengan umat manusia secara fisis, akan tetapi keyakinan terhadapnya adalah hakikat indriawi yang dapat dijangkau oleh perasaan, membuat jiwa berada pada situasi dan interaksi spiritual yang positif bersama garis kepemimpinan ilahiyah yang maksum sebagai perwujudan dari kepemimpinan tauhid di muka bumi.
Interaksi ini semakin menguat ketika konsep Mahdiisme dan wujud Imam Mahdi yang maksum dan gaib itu mengungkapkan realtis dirinya sebagai sebagai ajaran politis yang menonjol sejak perwakilan khusus di zaman kegaiban singkat dan pada awal perwakilan umum bagi para faqih di masa kegaiban panjang. Ajaran ini adalah kepemimpinan sosial-politik yang legal atas masyarakat Islam dan menjaga posisi kepemimpinan yang agung sebagai pengawas yang mengawal perjalanan politik dan sosial umat, serta melindunginya. Konsep ini laksana sumber yang mengisi kehidupan sosial-politik dengan legalitas syariat Islam tatkala mendapatkannya sejalan dengan hukum Islam.
Dari perkalian keterangan-keterangan di atas ini, tampak jelas arti kesempurnaan yang diajukan oleh konsep Mahdiisme versi Ahlul Bait a.s. sebagai konsekuensi praktis dan berkah kemanusiaan; konsekuensi yang seutuhnya sesuai dengan esensi konsep Mahdiisme. Sebab, Mahdiisme dan Imam Mahdi yang maksum dan gaib adalah motor penggerak dan berpengaruh positif pada realitas kehidupan manusia.
Sedangkan Mahdiisme dalam perspektif Ahli Sunnah tidak berpengaruh pada kenyataan hidup manusia. Dalam perspektif ini, Mahdiisme tidak lebih dari sekedar pemberitaan futurologis tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan.
Namun dalam perspektif Ahlul Bait, seakan-akan konsep Mahdiisme telah menjamin realisasi apa yang telah dijanjikannya melalui mobilisasi realitas umat manusia dan melakukan interaksi positif dengan mereka. Dan dengan sendirinya, hal ini merupakan penjelasan terbaik atas muatan positif dari konsep intidzar (menanti kemunculan Imam Mahdi a.s.), karena menanti kemunculan tidak berarti diam dan pasrah, akan tetapi semangat aktif yang besar menuju perubahan kemahdian yang diharapkan.
Konklusi
Dari penjelasan-penjelasan di atas, kita dapat memetik beberapa poin berikut ini:
Sesungguhnya agama merupakan ungkapan paling sempurna dari hakikat manusia, dan Islam adalah ungkapan paling sempurna dari sebuah hakikat keagamaan. Lebih lanjutnya, Syi’ah merupakan ungkapan paling utuh dari hakikat keislaman, dan pada akhirnya Mahdiisme dalam konsep Ahlul Bait adalah ungkapan paling sempurna dari pokok masalah Mahdiisme yang disepakati dan diyakini oleh kaum muslimin.
Sesungguhnya esensi perbedaan antara Mahdiisme versi Ahlul Bait dan Mahdiisme yang diyakini oleh mayoritas ulama kaum muslimin itu berasal dari masalah Imamah. Maka, Imam Mahdi menurut mazhab Ahlul Bait ialah Imam Kedua Belas. Sedangkan menurut mazhab Ahli Sunnah, dia hanya sekedar pemberitaan ihwal masa depan, tidak lebih.
Saat konsep Mahdiisme versi Ahlul Bait diangkat sebagai pembahasan Imam Kedua Belas―dimana tidak ada imam lagi bagi umat manusia setelah beliau―maka konsep Mahdiisme pada madrasah ini memiliki tiga ciri-ciri; kelahiran beliau a.s. yang serbarahasia, kepemimpinan beliau yang masih dini, dan kegaiban beliau yang melazimkan panjangnya usia beliau sepanjang usia masa. Ciri-ciri ini telah terbuktikan dengan terbuktinya dasar kepemimpinan dua belas imam maksum, sebab konsep Mahdiisme merupakan bagian dari dasar kepemimpinan ini. Selain itu juga telah dipaparkan beberapa argumentasi atas masing-masing ciri tersebut.
Sesungguhnya tiga ciri di atas tidak hanya dibuktikan melalui argumentasi filosofis, teologis, dan fakta konkret semata sehingga tidak dapat disangkal oleh logika maupun agama, akan tetapi konsep Mahdiisme sendiri juga memberikan arti kesempurnaan dan menjadikannya sebagai sebuah konsep yang penuh nilai teologis dan kandungan manusiawi yang sangat luhur serta efektif dalam tataran sosial, menyempurna dan selaras dengan muatan asas dogmatis dalam kehidupan manusia.[]
Catatan Kaki:
[1] Anbiya’: 107.
[2] Bahtsun Haula Al-Mahdi: 83-89 disunting oleh Dr. Abdul Jabbar Syararah.
[3] Ini mengacu pada keyakinan Syi’ah sesuai dengan dalil-dalil rasional dan dogmatis, terlebih hadis Tsaqalain yang mutawatir: “Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan tersesat selama-lamanya; yaitu kitab Allah dan keluargaku”. Lihat: Sahih Muslim: 4/1873, dan lihat Shawaiq Muhriqah, Ibnu Hajar: 89, dia berkata: “Dan ketahuilah bahwa hadis tamasuk (berpegang teguh) ini diriwayatkan dari jalur yang banyak yang datang dari dua puluhan lebih sahabat Nabi saw. Begitu juga lanjutan sabda beliau: “Bahwa keduanya tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Surga kelak…”. Juga sabda beliau saw.: “Para khalifah setelahku berjumlah 12 orang, mereka semua dari Quraisy”. Dan semua kandungan semua riwayat ini adalah penjelasan atas uraian di atas.
[4] Nabi saw. telah membicarakan ciri-ciri dan tugas-tugas mereka. Mereka adalah pembawa syariat, perahu penyelamat, pemberi aman bagi umat, dan menjaganya dari kesesatan, sebagaimana telah disinggung oleh hadis Tsaqalian, dan hadis ketakterpisahan mereka dari Al-Quran, keduanya menandaskan kemaksuman mereka, karena sangat tidak logis jika mereka disebut penjaga manusia dari kesesatan dan mereka tidak akan terpisah dari al-Quran lalu mereka sendiri tidak maksum. Lihat: Usulul ‘Ammah lil Fiqh Al-Muqaran, Allamah Muhammad Taqi Al-Hakim, tema Hujjiyah As-Sunnah: hal. 169 dan seterusnya.
[5] Hendaknya seorang pemimpin historis memiliki kesiapan mental dan kecakapan yang sesuai untuk melaksanakan tugas ini adalah sesuatu yang telah disepakati, dan jika kita merujuk pada al-Quran kita akan mendapatkan bahwa kitab suci ini telah memperbincangkan masalah ini dalam sejarah para Nabi secara jelas sekali khususnya saat berhubungan dengan Nabi Nuh as, di mana hal ini butuh pada perhatian dan kecermatan mungkin hal ini karena adanya keserupaan dan kesamaan di dalam peran dan tugas yang diemban oleh keduanya sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Shadr. Lihat: ‘Ma’a Al-Anbiya’, Afif Abdul Fattah Thabarah.
[6] Fakta ini dapat didekatkan dengan apa yang kita saksikan dalam jatuh bangunnya Uni Soviet dan kemajuannya sampai menjadi kutub kedua di dunia. Bersama Amerika, Uni Soviet telah berbagi dunia dan mempengaruhi peradaban dan hegemoni politis. Mereka telah bersama-sama menjelajahi angkasa raya. Lalu, kita menyaksikan kehancuran Uni Soviet begitu cepatnya, namun adakah sesuatu yang tersisa dari peradabannya? Betapa banyak pelajaran yang tersimpan di dalamnya? Dan betapa banyak isyarat-isyarat yang kuat di sana?
[7] John J. Rousseau (1712-1778) penulis dan filosof Prancis dia dianggap oleh sebagian para pengkritik sebagai corak yang sangat jauh di dalam sastra Prancis dan filsafat kontemporer, buku-buku dan makalahnya telah menjadi cikal bakal revolusi Prancis, karya paling terkenalnya dia adalah ikatan sosial. Lihat: Mausu’ah Al-Maulid, Munir Ba’albaki: 8/169.
[8] Al-Kahfi: 13. lihat tafsir ayat ini dalam Al-Kassyaf, karya Zamakhsyari 1:706, cet. Darul Kitab Al-Arabi, Beirut.
[9] Al-Kahfi: 25.
[10] Semuanya itu berperan dalam mendidik dan menyiapkannya secara khusus dan melengkapinya dengan pandangan universal dan tajam, terlebih ketika dia menyaksikan langsung kehancuran mereka yang telah memenuhi dunia dengan kezaliman dan kejahatan. Kesaksian-kesaksian langsung ini telah menyiapkannya lebih matang untuk melaksanakan tugas merubah dunia, memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi kezaliman. Demikian ini tanpa kita perhatikan kelayakan subtansial dirinya dan dukungan ilahiyah yang khusus tercurah kepadanya.
[11] Tidak selayaknya menyangkal Nabi Muhammad saw. bahwa beliau dengan keuniversalan misi perubahannya yang akbar, mengapa hidup di dalam kehidupan Jahiliah, tanpa terpengaruh olehnya, begitu pula para nabi sebelum beliau, karena:
Sesungguhnya Nabi saw. telah menghindar dan mengasingkan diri dari peradaban Jahiliah, sebagaimana dicatat oleh sejarah; bahwa beliau lebih memilih menyendiri, sering kali pergi ke gua Hira’ dan beribadah di sana. Begitu juga dengan para nabi a.s. telah suci dari hal-hal yang dilakukan oleh para umatnya. Mereka beruzlah. Allah swt. berfirman:
“Dan saat dia mengucilkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah maka Kami anugerahkan kepadanya (Ibrahim) Ishak.” Maryam: 49.
Sesungguhnya Nabi saw. utusan yang diberi wahyu, dan ditopang langsung dari langit, berdakwah dengan praktek, dan melangkah setapak demi setapak, sedang Imam tidak menerima wahyu sebagaimana keyakinan mazhab Syi’ah, dan secara tidak langsung menyampaikan masalah-masalah dari Langit.
Memang dia selalu di bawah dukungan ilahiyah, oleh karenanya dia perlu persiapan khusus. Pada saat yang sama, dia yang paling dekat dan lekat dengan kemurnian dan ilmu peradaban Islam melalui kakek-kakeknya. Dia tahu pengalaman manusia dan kebangkitan peradaban-peradaban, faktor-faktor pembentuk dan lini-lini kekuatannya, dia juga tahu keruntuhan dan faktor-faktornya. Maka itu, Imam akan menggunakan pengalaman, kemampuan dan penguasaannya atas segala urusan. Ini di samping keyakinan kita akan keilmuannya yang dianugerahkan Allah kepadanya, dan kapasitasnya sebagai sosok yang didukung dari Langit.
[12] Bahtsun Haul Al-Mahdi a.s., hal. 89.
[13] Kendati Sayyid Baqir Ash-Shadr menekankan kondisi riel ini, juga peran kematangannya dalam menyukseskan gerakan-gerakan revolu-sioner—dan ini merupakan persepsi yang amat tajam terhadap pengaruh sebuah faktor sosial—hanya saja dia memaparkan teori baru dalam menganalisis proses perubahan sosial yang dipesankan oleh Langit melalui kitab-kitab sucinya. Maka, dari sisi sebagai misi, proses ini berkaitan dengan hukum-hukum tertentu, namun dari sisi eksekusi misi, proses ini bergantung waktu dan keberhasilannya pada kondisi rielnya di luar. Yang saya maksudkan dari kondisi-kondisi riel adalah kondisi sosial-politik umat dan realitas kontemporer negara-negara, dan kadar kesanggupan umat dari sisi kapasitas-kapasitas dan kesiapan-kesiapan jiwa mereka.
[14] Tarikh Ath-Thabari: 2/244, peristiwa-peristiwa tahun kelima Hijriah.
[15] Sebagaimana ditegaskan oleh hadis Nabi saw.: “Andaikan dunia tidak tersisa lagi kecuali satu hari saja, maka Allah akan memanjangkan hari tersebut sehingga Dia mengutus seorang laki-laki dariku (atau dari keluargaku) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana telah dipenuhi oleh kezaliman dan kenistaan”. Lihat Tajul Jami’ lil Usul: 5/343, Abu Daud dan At-Turmuzi juga meriwayatkannya.
[16] Kita telah menyaksikan di awal era sembilan puluhan misdaq dari apa yang telah disampaikan oleh Sayyid Shadr dengan berlandaskan kepada keilmuannya yang mendalam akan masyarakat, sungguh telah runtuh Uni Soviet salah satu dari dua kutub yang telah mendominasi dunia dengan keruntuhan dan kehancuran yang sangat cepat dan mengherankan semua kalangan.
(Info-Hauzah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email