Kalau kita coba menilik perjalanan sejarah ajaran Budha, tentunya kita akan menyimpulkan bahwa ajaran ardi ini merupakan salah satu pecahan dari agama kaum brahma. Ajaran ini tumbuh dan berkembang dengan pesat di India, sekitar dua abad paska kematian sang Budha, yang diprakarsai serta didukung oleh salah seorang pemimpin besar bernama Asoka.
Kemudian go public ke manca negara, khususnya ke Asia seperti Jepang dan China.
Masyarakat kedua negara ini sangat menyambut kedatangan agama dan kepercayaan baru tersebut dan berbondong-bondong memasukinya dan menurut hasil sebuah riset dikabarkan bahwa akhir-akhir ini di Amerika dan Eropa juga telah ditemukan orang-orang yang mulai menggandrungi ajaran Budha tersebut.
Diantara faktor-faktor yang mendukung tersebarnya ajaran ini adalah ia memiliki pemikiran-pemikiran atau praktek-praktek keagamaan yang bernuansa sufistik.[1] Hal ini bisa kita lihat dalam sejarah perjalanan hidup sang Budha yang mana kisahnya hampir mirip dengan perjalanan hidup salah seorang sufi bernama Ibrahim Adham yang konon ia adalah seorang raja negeri Balkh yang meninggalkan tahta singgasananya dan menjalani kehidupan sufi dan kefakiran[2].
Demikian juga menurut cerita yang ada, sang Budha pun adalah putra dari seorang raja negeri Kapilawastu yang terletak dibagian selatan wilayah India yang sekarang ini menjadi bagian dari negeri Nepal. Ia pergi meninggalkan istana dan menjalani kehidupan sebagai seorang rahib dibawah bimbingan seorang yang bernama Alara.[3]
Terlepas dari hal diatas, terkait dengan ajaran ini ditemukan beberapa pertanyaan ihwal status apakah ajaran Budha itu sebuah aliran keagamaan (Din) ataukah sebuah aliran filsafat?. Disini ada beberapa asumsi yang bisa disebutkan, diantaranya: sebagian orientalis barat menyebut ajaran Budha itu sebagai sebuah aliran filsafat dan sebagiannya lagi menyebutnya sebagai Din (agama).
Dalam hal ini, John Boyer Noss mengatakan bahwa: ihwal apakah aliran Budha itu bisa dianggap sebagai agama atau mazhab masih menjadi bahan perbincangan dan diskusi. Tentunya kalau dilihat dari aspek dogmatisme dan metode-metode ruwet dan berseluk beluk yang ada dalam ajaran Budha, maka bisa didefinisikan sebagai Din (agama).[4]
Secara sepintas, statemen ini bisa dianggap benar dengan alasan bahwa Allah SWT ketika menyebutkan ajaran-ajaran sesat juga menggunakan kata-kata Din. "lakum dinukum waliya din".[5]
Akan tetapi kalau kita teliti dan kaji secara historis dan faktor-faktor kemunculannya serta ajaran-ajarannya, maka akan ditarik sebuah konklusi bahwa ajaran Budha itu lebih dikenal sebagai sebuah maktab atau aliran moralitas yang banyak mengajarkan dan menitikberatkan aspek-aspek moral dan etika daripada dikenal sebagai maktab filsafat.
Alasannya bahwa sang Budha tidak pernah terjun dan membahas pokok-pokok materi yang berkenaan dengan metafisik dan filsafat dan selalu berusaha menggunakan metode analogis ketika membahas dan menjelaskan hal-hal yang ada korelasinya dengan tema-tema filsafat dan sang Budha juga menganggap bahwa bahasan-bahasan yang berkenaan dengan Tuhan dan ruh merupakan hal yang tidak berguna.[6]
Dan hanya mencukupkan dengan memberikan tausiah-tausiah yang bersifat etika berkenaan hal ini. Menurut hasil tinjauan pakar-pakar agama Ibrahimisme (monoteisme), ajaran Budha tidak bisa dianggap sebagai sebuah Din (agama); karna seperti yang akan kita jelaskan nanti, ajaran Budha ini tidak mempercayai akan keberadaan sang realitas mutlak dan juga tidak meyakini perkara-perkara metafisik dan non-materi dan hanya beritikad pada keabadian dan keazalian materi.
Dengan kata lain, ajaran Budha tidak lebih dari sebuah aliran yang hanya bergelut pada dunia etika. Ia dalam berbagai dimensi hanya terfokus pada bagaimana beretika, bersikap dan ber-suluk dan tidak perduli pada hal-hal yang berkenaan dengan ritual-ritual keagamaan dan ajaran-ajaran tauhid.[7]
Asas ajaran Budha berdiri diatas prinsip yang menyatakan bahwa alam semesta ini adalah alam penuh beban dan derita dan manusia harus berusaha mencari solusi untuk keluar dari beban dan derita tersebut.[8] Sang Budha membangun ajarannya dengan empat prinsip dasar yang dikenal dengan empat hakikat tertinggi.
Keempat prinsip dasar tersebut adalah:
1. Substansi derita: dunia ini penuh dengan penderitaan.
2. Substansi penyebab derita: kecenderungan dan keterikatan yang didasari cinta yang sangat pada kehidupan merupakan sebab utama beban dan derita.
3. Substansi berakhirnya derita: menghilangkan dan menghapus kecintaan dan keterikatan itu mampu memberikan solusi untuk keluar dari beban dan derita tersebut.
4. Substansi metode keluar dari penderitaan: metode yang digunakan untuk menghilangkan kecenderungan-kecenderungan pada kehidupan itu terdiri dari delapan macam yang dikenal dengan sebutan "delapan maqam tertinggi". Diantaranya adalah:
a. Berpandangan benar; yakni keyakinan yang benar yang bisa membimbing manusia.
b. Berpikir benar; yakni senantiasa dalam keadaan cool, tenang dan tidak mengganggu setiap makhluk hidup.
c. Berkata benar; yakni tidak boleh berkata dusta dan bohong.
d. Bersikap benar; yakni tidak boleh membunuh, mencuri dan tidak berbuat sesuatu yang menyesalkan.
e. Hidup secara benar; yakni tidak berbuat perbuatan yang menjijikkan, tidak memakan uang riba, dan tidak menggunakan harta dari hasil curian.
f. Usaha dengan cara benar; yakni selalu berbuat kebajikan dan menjauhi perbuatan yang buruk.
g. Perhatian yang benar; yakni selalu dalam keadaan tenang dan derita serta kesedihan yang dialaminya tidak membuatnya berubah dan berpaling.
h. Merenung secara benar; yang terakhir ini merupakan pondasi ketujuh hal diatas.[9]
Prinsip-prinsip Ajaran Budha
Pada hakikatnya ajaran Budha itu memiliki dua prinsip utama:
Prinsip pertama: duka, derita dan buruknya alam semesta ini dan menganggap bahwa semakin hati manusia bergantung kepada alam ini, maka akan semakin menderita dan berduka.
Prinsip kedua: hanya ada satu jalan untuk selamat dari duka, derita dan keburukan alam ini; yaitu meniti jalan sampai ke maqam Nirwana yang mana bisa dianggap sebagai sebuah bentuk ketiadaan atau dalam istilah tasawwuf disebut fana (tanda kutip).
Berangkat dari presentasi diatas, maka dapat dikatakan: betul bahwa berdasarkan defenisi yang menyatakan: "agama Ilahi (Din) adalah komponen-komponen yang terdiri dari prinsip-prinsip dasar (akidah), akhlak (etika) dan aturan-aturan yang bersifat praktis (hukum-hukum) yang diturunkan Allah SWT untuk mengatur dan menghidayahi umat manusia"[10].
Ajaran Budha adalah sebuah agama (Din) dalam artian yang non-hakiki, namun karna para penganutnya menganggapnya sebagai sebuah ajaran agama dan berharap dengan meyakininya mereka bisa memperoleh dan mencapai kebahagiaan.
Untuk meluruskan adanya keyakinan-keyakinan yang tak berdasar seperti ini, maka disini akan dipaparkan beberapa kritikan yang bisa diajukan dan direkomendasikan untuk menolak asumsi-asumsi yang mengatakan bahwa Budha adalah sebuah ajaran agama (Din).
1. Inkar terhadap bahasan-bahasan yang bersifat teoritis (nazhari) dan teologis (I'tiqad).
Dalam ajaran Budha, berbeda dengan ajaran-ajaran Ibrahimisme yang terbentuk dari dua pondasi utama yaitu teoritis-teologis dan praktisi-taklif (ahkam), bahasan-bahasan yang ada korelasinya dengan teoritis-teologis dan praktisi-taklif itu sama sekali tidak dihiraukan dan kalau ada seseorang ingin menjadi pengikut ajaran ini, maka tanpa ada argumentasi dia harus menerima konsep bahwa hakikat derita adalah keburukan kehidupan dan juga dia harus mengimani serta mempercayai prinsip dasar Samsara (reinkarnasi) dan dengan mengamalkan delapan jalan sang Budha yang telah disebutkan diatas, dia mampu terbebas dari putaran roda samsara.[11]
Ajaran Budha kurang begitu memperhatikan pokok-pokok bahasan yang berkenaan dengan akidah, mabda, falsafah metafisika dan yang semisalnya. Dalam pandangan dia, bahasan-bahasan yang bersifat rasional tidak begitu berarti. Berikut salah satu kutipan ungkapan sang Budha:
"saya tidak punya penjelasan ihwal qadim dan azali alam semesta ini dan saya juga tidak punya tafsiran ihwal keterbatasan dan keberakhiran wujud ini…"[12]
Berdasarkan semua hal diatas, klaim yang mana menyatakan bahwa dia tidak memiliki keinginan untuk membincangkan hal-hal yang berkenaan dengan teoritis dan I'tikad, pada wilayah praktisi telah dilupakan dan terperangkap dalam sebuah system materialisme dan sibuk dalam membuktikan bahwa abadi dan azali itu adalah berbentuk materi serta berusaha untuk mengingkari adanya sang pencipta. Ketika mereka disodorkan pertanyaan yang sangat penting dan mendasar; yaitu dari mana kita datang dan hendak kemana kita akan melanjutkan pelayaran ini?
Dia menjawab: saya tidak punya urusan dengan bahasan-bahasan yang bermuatan teoritis.[13]
Dan ketika tiba giliran pada pengingkaran wujud sang pencipta dan ma'ad, maka dia memulai menjelaskan dasar-dasar keingkarannya itu kepada mabda dan ma'ad.
Berasaskan bukti inilah, maka dapat dikatakan bahwa: Budhisme tidak memiliki penjelasan yang transparan dan jelas mengenai bahasan-bahasan akidah dan terjerembab di dalam kekontradiksian. Dan juga disebabkan problematika bahwa dia tidak memiliki dasar-dasar pandangan dan teori yang jelas, maka pada tataran praktisinya tidak begitu Nampak dan tidak begitu terlihat sebuah kesuksesan dan mayoritas pada tataran ini mereka banyak menyajikan kajian-kajian yang bersifat moralitas buram dan abu-abu yang mana setiap orang boleh memilikinya sesuai dengan selerah dan konklusinya masing-masing.
Dengan bukti ini pulalah sehingga sepanjang sejarah ajaran Budha yang mana telah go public ke mancanegara, ketika mereka berbenturan dengan problematika semisal mitos-mitos atau berupa keyakinan-keyakinan lokal disebuah wilayah atau masyarakat maka ajaran Budha secara spontanitas pun berusaha untuk mencocokkan diri dan beradaptasi dengan keyakinan-keyakinan yang di wilayah atau masyarakat tersebut.[14]
2. Mengingkari Tuhan.
Budhisme berbeda dengan maktab-maktab filsafat atau ajaran-ajaran lain yang meyakini akan keberadaan sebuah wujud eksistensial yang berperan sebagai creator alam semesta. Ia berkeyakinan bahwa alam ini adalah qadim dan azali dan tidak memerlukan pencipta dan ia juga mengingkari eksistensi Tuhan.[15]
Budha tidak pernah mengetengahkan dan menyinggung persoalan-persoalan seperti eksistensi metafisik yang azali dan zati serta pencipta alam semesta, langit dan bumi yang juga segala qada' dan qadar setiap insan berada dalam genggamannya.
Eksistensi metafisik yang merespon dan memenuhi segala hajat dan keperluan kita serta menjadi kiblat atau titik focus perhatian kita ketika melaksanakan ibadah semisal shalat.[16]
Ada sekelompok orang berpandangan bahwa pada dasarnya Budha itu tidak mengingkari eksistensi Tuhan dan juga metafisik, namun ia hanya megambil sikap "diam" dan menyatakan bahwa kita tidak mampu dan tidak akan bisa memahami persoalan tersebut sehingga seyogyanya jangan merepotkan serta memaksa diri untuk membincang bahasan-bahasan teoritis dan metafisika.[17]
Oleh karna itu, sang Budha tidak pernah menggunakan atau memakai istilah-istilah seperti konsep-konsep ma'ad, surga, neraka, wahyu, mukjizat dalam pengajaran dan ta'limnya.
Pertanyaannya adalah pertama: mungkinkah seseorang bisa memasuki tahap pengamalan (praktisi) tanpa harus memiliki teori-teori keyakinan terlebih dahulu?
dan bilakah seseorang meniti jalan kesempurnaan dan kebahagiaan tanpa menjelaskan terdahulu alam eksistensi ini?
Kedua: dalam ajaran Budha terdapat dua asumsi keyakinan, yaitu: keyakinan pada hakikat derita dan keyakinan pada reingkarnasi (tanasukh) dimana dikatakan bahwa siapa saja yang mengikrarkan atau menerima hal ini maka dia pasti mampu mengikuti serta meniti jalan dan tarikat yang ditempuh oleh sang Budha dalam meraih kebahagiaan.
Tentunya disini kita akan memasuki sebuah pembahasan I'tikad dan keyakinan dimana Budhisme menjadikan hal diatas sebagai benang merah dan juga menganggapnya bahwa hal tersebut diluar batas kemampuan manusia.
Oleh karna itu, ajaran Budha harus menawarkan solusi-solusi yang dapat menjawab seluruh persoalan terkait prinsip-prinsip ajarannya, seperti menjelaskan ihwal mabda' dan ma'ad atau menghentikan saja pengajaran-pengajarannya yang bersifat praktisi itu, dan jika hal ini tidak diaplikasikannya maka dia akan terjerembab ke jurang paradisme (mughalathah) seperti yang telah dialaminya sepanjang sejarah.
Padahal kita tahu bahwa slogan-slogan yang selalu mereka gembor-gemborkan dan mereka klaim adalah mereka muncul dan lahir untuk menentang tradisi-tradisi ajaran Hindu yang meyakini eksistensi Tuhan itu lebih dari satu, namun realitas yang terjadi justru malah lebih tragis, yaitu: seperti yang kita saksikan sepanjang sejarah bahwa mereka kaum Budha malah menjadikan patung Budha tersebut sebagai bahan sesembahan.
3. Mengingkari keberadaan ma'ad dan meyakini reingkarnasi.
Ajaran Budha yang memiliki tujuan untuk mereformasi dan memperbaiki ajaran Hindu mengingkari keberadaan ruh, namun ketika dilontarkan pertanyaan padanya terkait bagaimana akhir dari kehidupan manusia ini? Dengan terpaksa memberikan jawaban yang sama dengan jawaban yang ada dalam ajaran Hindu, yaitu: substansi reingkarnasi (tanasukh).
Menurut keyakinan dia ketika manusia sedang sekarat dan mati, ruhnya pindah ke jasad lain dan ruh tersebut melalui beberapa proses untuk mendapatkan kehidupan baru. Setelah lahir untuk kedua kalinya dan hidup maka ruh itu merasuk ke dalam jasad lain.
Proses semacam ini kemungkinan berlanjut sampai waktu yang tidak terbatas dan kita meyakini bahwa hal seperti ini dapat menimbulkan sebuah kontradiksi, karna tanpa penetrasi (hulul) ruh dari satu jasad ke jasad yang lain maka reingkarnasi (tanasukh) tidak akan mungkin terealisasi.[18]
Atau aggaplah kita menerima teori reingkarnasi tersebut sebagai sebuah keyakinan, maka akan akan muncul sebuah pertanyaan bahwa argumentasi logis mana yang bisa dijadikan tameng pembenaran atas teori reingkarnasi yang diyakini kaum Budha?!
Sekitar seratus tahun lalu masyarakat India mencapai dua ratus atau tiga ratus juta orang dimana paska kematiannya ruh mereka itu pindah dan mengalami proses penetrasi ke dalam tubuh dua ratus atau tiga ratus juta manusia yang baru lahir.
Nah, kalau jumlah penduduk India yang saat ini berkisar sekitar satu milyar jiwa dikurangi dengan jumlah diatas (dua ratus atau tiga ratus juta jiwa) akan tersisa sekitar delapan ratus atau tujuh ratus juta jiwa. Dan kalau kita cocokkan dengan apa yang menjadi landasan teori reingkarnasi, maka harus dikatakan bahwa jumlah penduduk yang berkisar tujuh atau delapan ratus jiwa itu tidak memiliki ruh karna tidak terdapat ruh sebelumnya yang bisa pindah melalui proses penetrasi (hulul) ke jasad manusia sebesar jumlah diatas.
Kalau kita mengakui kebenaran teori reingkarnasi tersebut, maka semestinyalah kita memungkiri adanya pertambahan penduduk dunia dan seharusnya jumlah orang yang hidup dan mati itu sama sehingga teori reingkarnasi itu bisa dikata teraplikasi dan jika tidak demikian, maka harus kita akui bahwa sebagian orang-orang yang ada di dunia ini tidak memiliki ruh dan sebagiannya lagi hidup di dunia ini dengan ruh dan kedua proposisi ini tentunya bertentangan dengan teori reingkarnasi (tanasukh).
4. Individualisme.
Pengajaran-pengajaran Budha yang tercermin pada empat hakikat dan delapan jalan yang telah disebutkan diatas identik mengarah kepada persoalan-persoalan personal dan individual dan menurut klaim-klaim kaum Budha jalan keselamatan itu hanya bisa diperoleh dengan berpegang teguh pada pengajaran-pengajaran tersebut dan tidak ada pengajaran lain yang bisa membantu seseorang untuk meraih ketentraman.
Dalam pandangan Ajaran Budha system social atau sosialisme itu adalah perkara yang tak bermakna dan tidak lebih dari sebuah khayalan dan tidak punya peranan apapun dalam kehidupan manusia dan atas dasar ini pulalah ketika sang Budha ingin meraih maqam Nirwana dia mengisolir diri dari masyarakat dan pergi serta menjalani hidup di hutan-hutan sambil mengemis dan menjadi seorang darwis.
Dan demikian pula saat sang Budha kembali dari pengasingan dirinya, dia mendakwahkan ajaran-ajarannya dengan cara mengunjungi orang satu persatu.[19]dan dia tidak pernah berusaha untuk mengadakan perombakan dan pembaharuan terhadap system social yang ada; dia tidak pernah mau menentang seorang penguasa atau menentang aturan-aturan yang ada dimasanya, tapi dia justru menjalin hubungan dengan cara satu persatu dan mengajak serta menstimulasi mereka untuk meninggalkan hidup dan keterikatan kepada urusan-urusan yang ada sangkut pautnya dengan social kemasyarakatan.
Menurut dia, sang Budha, barangsiapa mampu membebaskan dirinya dari kehidupan bermasyarakat dan bahkan membebaskan diri pribadinya dan juga ayah, ibu, istri, anak serta kekuasaannya, maka dia dijamin akan bisa mencapai maqam NIRWANA.
Jika ditinjau dari seluruh pengajaran sang Budha, disana akan ditemukan bahwa ada sebuah kewajiban tetap dan selamanya untuk setiap pribadi yaitu bahwa seseorang harus independen dalam memikirkan persoalan yang dihadapinya dan dan juga harus memutuskannya dan mengambil tindakan dengan catatan bahwa dia harus tetap menjaga nilai-nilai etika…[20]
Selain itu, dalam ajaran ini kita tidak menemukan aturan-aturan berupa bimbingan tentang bagaimana menentang system dan aturan-aturan yang semena-mena dan dictator dalam sebuah masyarakat social dan sikap individualism yang berlebihan inilah yang menjadi penyebab ajaran Budha ini tidak mampu membentuk sebuah agenda praktis untuk kehidupan umat manusia.
5. Banyak mengandung mitos.
Ajaran Budha yang note bene tidak menghiraukan serta tidak menyinggung bahasan-bahasan yang bersifat teoritis dan I'tikad dan juga tidak menyodorkan sebuah solusi terhadap pertanyaan-pertanyaan seputar mabda' dan ma'ad terperangkap dalam sebuah kerangka yang kosong dari pembahasan-pembahasan yang bersifat argumentative dan teologis.
Untuk mengisi kekosongan ini mereka mencari perlindungan di bawah naungan mitos-mitos lama dan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan kepadanya, mereka identik menggunakan argumen silogisme dan cerita-cerita serta dalam menjelaskan prinsip-prinsip dasar mereka menggunakan cerita-cerita mitos.[21]
Catatan Kaki:
[1] Hossein Tawfiqi, Asy nai ba adyaan-e bazarg, hal 38.
[2] Yahya Kabir, Irfan va ma'rifat-e quds, hal 296 (cetakan pertama).
[3] Hossein Tawfiqi, Asy nai ba adyaan-e bazarg, hal 38 (cetakan ke 8).
[4] John B Noss, Man's Religions (diterjemahkan ke dalam bahasa Persia "Tarikh Jame' Adyaan" oleh Ali Ashgar Hikmat), hal 204.
[5] Qs. Al Kafirun ayat 6: "bagimu agamamu dan bagiku agamaku".
[6] Ghulam Ali, Ariya, Asynai ba Tarikh-e Adyaan.
[7] Well Durant, Tarikh-e Tamaddun (terjemahan dalam bahasa Persia oleh: Ahmad Arami, Pashai; Amir Husein Aryan Pur) cetakan ke 6.
[8] Sadhatisa, Budha va Andisyehhay-e u (terjemahan Persia oleh Muhammad Taqi Bahrami Harran) hal 28, 78 dan 140.
[9] Hossein Tawfiqi, Asy nai ba adyaan-e bazarg, hal 42 cetakan ke 8.
[10] Abdullah Jawadi Amuli, Intidzhar Basyar az Din, hal 26 cetakan pertama.
[11] Wel Durant, Tarikh-e Tamaddun (diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh: Ahmad Arami, Pashai, Amir Husein Aryan Pur) cetakan ke 6, jilid 1, hal 495.
[12] John B Noss, Man's Religions (diterjemahkan ke dalam bahasa Persia "Tarikh Jame' Adyaan" oleh Ali Ashgar Hikmat), hal 188.
[13] Wel Durant, Tarikh-e Tamaddun (diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh: Ahmad Arami, Pashai, Amir Husein Aryan Pur) cetakan ke 6, jilid 1, hal 497.
[14] Ghulam Ali, Ariya, Asynai ba Tarikh-e Adyaan, hal 73.
[15] Ibid, hal 47.
[16] John B Noss, Man's Religions (diterjemahkan ke dalam bahasa Persia " Tarikh-e jame' adyaan " oleh Ali Asgar Hikmat), hal 189.
[17] Ibid, budha wa andisyehay-e U (budha dan pemikiran-pemikirannya), hal 140 dan 141.
[18] Ghulam Ali, Ariya, Asynai ba Tarikh-e Adyaan, hal 72.
[19] Hasyim Rajab Zadeh, Cenin guft-e Budha (penerbit ASATHIR), hal 12-27; Budha wa Andisy-e U (terjamahan Muhammad Taqi Bahrami Harran), hal 39.
[20] Hasyim Rajab Zadeh, Cenin guft-e Budha (penerbit ASATHIR), hal 108.
[21] Ghulam Ali, Ariya, Asynai ba Tarikh-e Adyaan, hal 72.
(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email