Pesan Rahbar

Home » » Teman dan Musuh Manusia Dalam Pertarungan Batin

Teman dan Musuh Manusia Dalam Pertarungan Batin

Written By Unknown on Thursday, 9 February 2017 | 15:23:00


Setelah secukupnya dibahas makna takwa – baca rubrik Tasawuf sebelumnya: “Takwa Negatif dan Postif”Sebagai Berikut:
*****

Takwa Negatif dan Positif


Ada dua hal yang sangat khas pada manusia: kehendak-bebas dan akal. Kehendak-bebas berarti bahwa manusia dapat bertindak sesuai dengan keinginan dan pilihannya. Tidak ada kekuatan yang sanggup memaksa manusia untuk melakukan sesuatu secara permanen dan total kecuali bila yang bersangkutan menghendaki terjadinya pemaksaan tersebut.

Jadi, mungkin saja ada orang atau kekuatan yang dapat memaksa manusia untuk melakukan suatu tindakan tertentu di waktu tertentu. Tetapi, tanpa kehendak untuk tunduk terhadapnya, maka pemaksaan itu tak akan lama bertahan.

Orang yang dipaksa melakukan sesuatu pasti akan punya kesempatan untuk melawan dan memberontak dengan cara-cara yang beragam. Bahkan, suatu saat, bukan mustahil dia akan bisa mematahkan kekuatan pemaksa itu once and for all.

Selain kehendak-bebas, manusia juga mempunyai akal. Salah satu fungsi akal adalah mengarahkan kehendak-bebas manusia ke jalan yang benar.

Akal bisa memahami prinsip-prinsip umum tentang jalan yang benar. Akan halnya rumusan rinci dan spesifik tentang jalan yang benar akal tidak mampu menjabarkannya.

Tidak ada kesanggupan padanya untuk merinci soal demi soal atau praktik demi praktik yang dapat membawa manusia pada jalan yang benar. Sebagai contoh, akal bisa memahami penyembahan kepada Sang Maha Pencipta sebagai prinsip umum dalam jalan yang benar.

Namun, akal tidak bisa menjelaskan cara-cara untuk menyembah Sang Maha Pencipta secara rinci dan spesifik. Untuk itulah syariat Ilahi diturunkan dalam rangka menjabarkan aturan-aturan khusus menyangkut prinsip umum “penyembahan”yang telah ditetapkan dan dibenarkan oleh akal.

Masalahnya kemudian adalah bahwa syariat sebagai kumpulan aturan dan tuntunan spesifik tidak akan efektif tanpa kesadaran dalam diri manusia untuk melaksanakan, menjaga dan memeliharanya.

Semua aturan dan undang-undang, baik yang datang dari manusia maupun yang datang dari Sang Maha Pencipta, tidak akan berguna tanpa adanya kesadaran yang sedemikian. Kesadaran semacam itu adalah prasyarat bagi keberhasilan dan efektivitas suatu aturan, baik di tingkat individual maupun sosial.

Dalam kaitan itu, “bertakwa kepada Allah” bermakna bahwa seluruh aturan dan tuntunan Ilahi tidak akan berguna tanpa lahirnya ketakwaan dalam diri manusia. Hanya takwa yang bisa memunculkan swakarsa dan self-enforcement untuk melaksanakan semua aturan dan tuntutan syariat.

Kekuatan atau kesadaran takwa dapat menghindarkan orang dari segala bentuk pelanggaran, baik pada tataran kehidupan pribadi maupun masyarakat.

Dalam kaitan dengan takwa, setidaknya ada dua pembacaan di kalangan sufi. Pertama, takwa negatif yang bersumber pada upaya menjauhkan diri dari noda-noda maksiat.

Pada tingkat ini, takwa hanya menjauhkan manusia dari hal-hal yang menjurus pada kemaksiatan; persis seperti upaya seseorang memelihara kesehatan fisiknya dengan menjauh dari lingkungan yang diduga terserang penyakit atau wabah tertentu.

Yang demikian tak pelak akan membawa sikap reaktif terhadap segala kemungkinan adanya penularan. Mendekati suatu tempat atau bergaul dengan suatu kelompok yang diduga tertular, dengan alasan apapun, jelas-jelas merupakan pantangan.

Kedua, takwa positif yang bersumber pada kekuatan dalam jiwa. Pada tingkat ini, takwa bukan hanya menjauhkan orang dari lingkungan maksiat, melainkan menjaga dan membentenginya, terlepas apakah noda-noda itu berada di tempat yang jauh ataupun dekat.

Sekiranya orang seperti ini tinggal di lingkungan yang penuh dengan berbagai fasilitas maksiat, maka kekuatan takwa yang ada di dalam dirinya akan menjaga dan mencegahnya dari pencemaran lingkungan sekitarnya. Dan ini tak ubahnya seperti orang yang telah menjalani vaksinasi sehingga menjadi kebal terhadap pengaruh-pengaruh penyakit.

Kekebalan yang datang dari takwa ini sudah terang tidak bersumber pada faktor-faktor fisikal-eksternal, melainkan bersumber pada aktivasi potensi-potensi spiritual-internal untuk menolak segala macam keburukan yang dapat mengancam kesehatan aspek ruhani manusia.

Dan salah satu potensi itu tak lain adalah akal dan perenungan. Fitrah, kalbu yang bersih, kesabaran, tawakal, istiqamah, dan lain sebagainya juga dapat memperkuat posisi akal dalam membentengi manusia.

Sayangnya, di kalangan para sufi, pembacaan negatif lebih umum berkembang ketimbang pembacaan positif. Akibatnya, berbondong-bondonglah orang menjauhi ruang-ruang kehidupan dan menyendiri di pedesaan.

Padahal, semua itu hanya mengacu pada makna takwa yang negatif, lemah dan temporer. Karena, coba kita bayangkan, kalau asumsinya memang takwa itu berarti hidup dalam kesendirian, maka orang yang “bertakwa” akan cepat (atau bahkan lebih cepat) terpengaruh oleh berbagai godaan yang muncul dalam keramaian daripada kebanyakan orang yang tidak bertakwa.

Lebih dari itu, bagaimana bila “keramaian” itu berlangsung dalam imajinasi dan fantasi, yang tidak bisa dihindari dengan lari dan menyendiri secara fisik? Karena itu, takwa negatif itu sebenarnya lebih merupakan ketakutan, kecemahan, kegelisahan, dan bukan takwa yang sejati.

Barangkali, pembacaan negatif itu muncul lantaran sejak awal takwa telah dimaknai sebagai “menjauhkan diri dari dosa”. Lalu, secara bertahap, makna “menjauhkan diri dari dosa” terasosiasi dengan “menjauhkan diri dari lingkungan dan hal-hal yang mengakibatkan dosa”.

Selanjutnya, “takwa” identik dengan pengucilan dan kehidupan asosial. Walhasil, takwa berbanding lurus dengan keterkucilan, keterasingan, dan keterpisahan dari lingkungan; makin terkucil dan terpencil kehidupan, makin besar pula peluang orang untuk bertakwa.

Perbandingan semacam menjadi tidak relevan dalam pembacaan yang positif. Sebab, orang yang benar-benar bertakwa akan tetap bersikap sejalan dengan syariat, bagaimanapun situasi dan kondisi di sekelilingnya.[]
*****

Kaitannya dengan kehendak dan akal sebagai dua dasar kemanusiaan serta sisi negatif dan positifnya, kali ini kita membincangkan nilai dan pengaruh takwa terhadap kehidupan manusia. Baik secara individual maupun sosial, di dunia maupun akhirat.

Guna mendapatkan gambaran umum mengenai berbagai nilai, pengaruh dan hasil takwa bagi kehiduapan manusia, artikel ini akan menjelaskannya butir demi butir.

Pertama, dalam Al-Quran surah 8 (Al-Anfal) ayat 29, Allah mengungkapkan tiga pengaruh takwa pada manusia: timbulnya furqan; tertutupnya kejelekan; dan pengampunan (maghfirah).

Dalam menafsirkan ayat ini, para ahli hikmah mengemukakan bahwa furqan adalah kemampuan akal untuk membedakan kebenaran dan kebatilan; ketajaman akal dalam memilah kebenaran dari kebatilan. Karena itu, furqan sangat berkaitan dengan kemampuan akal dan pikiran manusia.

Untuk mencuraikan korelasi takwa dan ketajaman akal, mula-mula kita perlu membagi akal menjadi dua: teoretis (nazhari) dan praktis (‘amali). Akal teoretis berfungsi menjawab pertanyaan apakah sesuatu itu, sementara akal praktis berfungsi menjawab apa yang seharusnya dilakukan.

Akal teoretis menghasilkan filsafat, logika, matematika, fisika dan sebagainya, sementara akal praktis menghasilkan ilmu akhlak, etika, ilmu hkuum, estetika dan kesenian.

Wilayah akal teoretis adalah penalaran dan pemikiran, sementara wilayah akal praktis adalah kecenderungan, perasaan dan perbuatan. Akal praktis menguraikan soal-soal yang berkenaan dengan kebaikan dan keburukan, kebajikan (virtue) dan kemungkaran (vice), keuntungan dan kerugian, kewajiban dan hak, keharusan dan larangan dan lain sebagainya.

Dalam sabda Nabi dan ucapan orang-orang suci terdapat perbandingan terbalik antara sifat-sifat buruk seperti cinta dunia, kesombongan, ketamakan, keras kepala, fanatisme (ta’ashshub) dan kemampuan akal.

Demikian pula sebaliknya: kemampuan akal berbanding lurus dengan kukuhnya sifat-sifat baik dalam jiwa manusia. Dengan demikian, semakin kukuh takwa dalam diri manusia, semakin tajam kemampuan akal praktis membedakan kebenaran dari kebatilan dan kebaikan dari kejelekan.

Kenyataan itu secara sederhana bisa dijelaskan dengan mengutip prinsip akal-sehat yang dikemukakan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib: “Ada tiga jenis teman dan ada tiga jenis musuhmu. Temanmu sendiri, sahabat temanmu dan lawan musuhmu. Adapun musuhmu ialah musuhmu, musuh temanmu dan teman musuhmu.”

Teman musuh disebut musuh karena ia membantu musuh melancarkan serangnnya, sementara lawan musuh disebut teman karena ia melemahkan pengaruh dan kekuatan musuh.

Selain tentunya berlaku dalam konteks hubungan-hubungan sosial, prinsip ini juga berlaku dalam konteks pertarungan batin yang abadi antara kekuatan baik dan buruk dalam jiwa dan ruh manusia.

Pertarungan batin antara kekuatan jahat dan baik dalam jiwa ini disebut dengan jihad an-nafs (jihad melawan hawa nafsu) dan menjadi tema utama dalam khazanah tasawuf Islam selama berabad-abad.

Oleh sebab itu, dapatlah dikatakan bahwa manusia mempunyai tiga kawan dan tiga musuh dalam pertarungan batin yang terjadi di dalam jiwanya. Teman pertama manusia adalah akal yang mengantar manusia menuju kebenaran. Teman keduanya ialah kawan-kawan akal seperti Syariat, Sunnah Nabi dan ajaran orang-orang suci.

Dan teman terakhir manusia ialah semua sifat baik dan sikap terpuji seperti takwa, kesabaran, kerendahan hati, tawakal, azam, keberanian, kehormatan dan sebagainya.

Pada sisi lain, musuh pertama manusia – seperti kata Al-Quran-adalah setan. Musuh lainnya ialah teman setan, yaitu hawa nafsu.

Hawa nafsu menjadi musuh manusia secara aksidental karena ia kerap diperbudak oleh setan untuk menyimpangkan manusia ke jalan kesesatan melalui ketundukan pada dunia dan segala tipu-dayanya.

Musuh manusia yang ketiga ialah teman-teman dari kedua musuh besar di atas. Teman-teman kedua musuh tersebut tidak lain dari semua sifat buruk seperti cinta dunia, kezaliman, ketamakan, keras kepala, pengingkaran, was-was, ta’ashshub (sikap membuta) dan sebagainya.

Dalam konteks ini, takwa adalah musuh setan dan hawa nafsu, dan karenanya menjadi teman akal. Seperti telah kita jelaskan, hakikat takwa ialah pemeliharan dan penjagaan. Sepanjang takwa ada, terpeliharalah ketenangan dan keheningan dalam jiwa.

Dan dalam suasana yang hening itulah seruan akal bisa bergema dengan jelas. Sebaliknya, jiwa yang gaduh oleh bentakan hawa nafsu yang telah terjerat rayuan setan tidak akan bisa mendengarkan ajakan akal ke jalan yang benar.

Nah, di lain pihak, setan senantiasa memaksa hawa nafsu untuk membuat kegaduhan dan kekaburan. Dalam suasana yang gaduh dan kabur, jiwa bakal susah mendengarkan suara akal atau melihat sinaran cahayanya.

Kekuatan penjagaan dan pemeliharaan takwa bisa menetralisir jiwa dari keadaan gaduh dan kabur yang dibuat oleh hawa nafsu itu, sedemikian sehingga kemampuan akal untuk membedakan kebenaran dan kebatilan – yang dalam ayat di atas disebut dengan furqan- bisa menjadi efektif dan optimal.

Bahkan, makin kuat ketakwaan seseorang, makin kukuh pula fungsi furqan itu dalam jiwa. Penyair-sufi Iran, Sa’adi, mengisyaratkan korelasi tersebut dalam syairnya yang berbunyi:

“Hakikat kebahagiaan adalah keteraturan, hawa nafsu adalah debu yang berhamburan. Tidakkah engkau mengerti bahwa bila debu beterbangan, engkau takkan bisa melihat meskipun engkau tidak buta.”

Akan halnya hubungan antara tumbuhnya takwa dan tertutupnya kejelekan serta pengampunan Allah sebagaimana dikatakan ayat di atas (QS 8 [An-Fal]: 29), kiranya sudah sangat jelas. Seperti sudah dijelaskan pada kolom-kolom sebelumnya, takwa ibarat vaksin atau antibiotik yang menjaga manusia dari segenap kejelekan.

Makin tinggi dosis takwa dalam diri kita, makin terhindar kita dari kejelakan sehingga kemampuan berbuat jelek itu sendiri seolah-olah mati. Konsekuensi logisnya kemudian tiada lain kecuali pengampunan Allah atas segala kekurangan kita. Allahumma ij’alna minal muttaqien!’

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: