Raden Pamanah Rasa, kakek dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)–dalam konteks Sunda-Siliwangi-Padjajaran merupakan episode The Last Kujang di abad XVI. Sosok pemimpin Sunda yang muncul dari latar kesedihan dinasti terdahulu, dengan kharisma yang merambat ke seantero Nusantara, tak terkecuali tatkala kepulauan ini terjamah para pendatang dari Eropa. Sosok raja Sunda yang berkarakter ‘teuas peureup lemes usap, pageuh keupeul lega awur’ yaitu kepemimpinan yang memiliki keteguhan dalam berprinsip dengan tetap menjunjung tinggi makna welas asih, serta memiliki jiwa yang bersahaja yang tetap memikirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dialah sosok raja besar yang diakui oleh beragam keyakinan.
Novel ini, kabarnya, menjadi sebuah gong untuk penulisan-penulisan novel selanjutnya tentang kemaharajaan Nusantara yang belum terungkap. Novel ini ditulis berdasarkan kisah tutur dalam tradisi lisan. Penulis berupaya menuliskan apa yang tak sempat dituliskan. Ruang-ruang yang samar, bahkan gelap, dalam sejarah rupanya memberikan keleluasaan bagi penulis untuk menggali narasi dengan mengandalkan imajinasi, mencoba mencari titik sambung antara satu dan lain masa, membentangkan garis hubungan antara tempat yang satu dan tempat lainnya. Dari awal sampai akhir cerita, sangat tampak bahwa penulis cerdas dalam menata data sejarah ke dalam bentuk novel, patut diacungi jempol. Sejarah yang mana, dari mana, bagaimana tingkat kesahihannya, dipadu dengan data yang berasal dari tradisi lisan menjadikan ‘sejarah’ Raden Pamanah Rasa yang putus kejadiannya menjadi hidup dan berkesinambungan. Novel ini menyiratkan pesan yang mengajak kita untuk berani mempertaruhkan bahwa tradisi lisan patut diperhatikan dengan seksama keberadaannya.
Sejarah bukanlah sekadar kejadian di masa lalu, sesungguhnya ia merupakan “ruh” yang mewarnai kehidupan suatu bangsa, maka bangsa yang beradab tidak pernah melupakan kisah sejarah para leluhurnya. Dalam novel Raden Pamanah Rasa ini banyak tersaji nama tokoh sejarah di zaman kerajaan dan itu membantu mengingatkan kita kepada “jati diri dan cara-ciri kebangsaan” yang dibentuk oleh keberadaan sejarah kerajaan besar beserta tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Selain gambaran sejarah, melalui novel ini, penulis mampu mengungkap dan menuturkan dengan baik nilai-nilai filosofi adi luhung yang disisipkan melalui jalan cerita, bahkan cukup banyak peristilahan dengan sengaja tidak diganti ke dalam bahasa Indonesia agar tidak mengurangi makna yang sesungguhya. Raden Pamanah Rasa, kisah berlatar sejarah Nusantara yang digali dari sumber tradisi lisan, memang sangat pelik untuk diungkapkan dalam kondisi kekinian. Setidaknya diperlukan gaya ungkap yang memadukan alur rasional, emosional, dan spiritual. Penulis benar-benar melesat jauh melebihi genre-nya. Keyakinan ia dalam menggali sumber kisah, bukan hanya mengandalkan modalitas auditif, melainkan visual dan kinestetik. Ia melumatkan secara kritis dirinya dalam sumber, sehingga misi kisah menghunjam jantung perenungan dan mendobrak kesadaran akan kejatidirian.
Raden Pamanah Rasa atau dalam cerita pantun dikenal dengan nama Mundinglaya Di Kusuma atau Sunan Pagulingan ketika posisinya menjadi Rama adalah putra Sunan Prabu Dewa Niskala atau Ningrat Kancana bergelar Adipati Kertabumi ketika memegang posisi sebagai Ratu Galuh atau Prabu Anggalarang ketika menjadi Raja Sunda di Pakujajar. Ketika berdiam di Cirebon Girang, Prabu Anggalarang bergelar Ki Gedeng Singapura.
Setelah terjadinya Perang Bubat, bukan saja menggagalkan pernikahan Mayong Wuruk (Hayam Wuruk) dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, Raden Purwa Andayaningrat atau Hyang Bunisora yang ketika menjadi Mahapatih Pakuan dikenal dengan nama Mahapatih Anapaken atau Batara Guru Niskala Wastukancana memindakan Kerajaan Galuh dari Panjalu ke Lawang Gintung dengan nama Galuh Anyar atau Kerajaan Pakujajar. Sementara Adipati Kertabumi atau Ningrat Kancana atau ketika berasa di Muntur/Panjalu dikenal dengan nama Prabu Di Muntur, pindah ke Jonggol mendirikan Kerajaan Subang Larang. Di Kerajaan Subang Larang inilah Ningrat Kancana bergelar Ki Gedeng Singapura. Kerajaan ini diperuntukan untuk putra mahkotanya yaitu Raden Pamanah Rasa.
Semasa Kerajaan Pakujajar yang berdiri di atas falsafah negara yaitu Negara Kerta Bumi, posisi Ratu dipegang oleh Ningrat Kancana atau Dewa Niskala, sedangkan posisi Resi dipegang oleh Rahyang Kancana atau Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan yang ketika di Jawa bernama Mayong Wuruk atau Hayam Wuruk. Kerajaan Pakujajar tidak lama berdiri karena hadirnya Amuk Murugul atau Adipati Nangganan yang menginginkan posisi Rama Agung. Obsesis Amuk Murugul ini diwujudkan dengan upaya mengadudomba dua saudara yaitu Prabu Anggalarang dengan Prabu Susuk Tunggal. Akibat dari fitnah inilah kemudian muncul Perang Cogreg. Sebagai akibatnya kedudukan Prabu Anggalarang dari posisi Ratu dan menurunkan Prabu Susuk Tunggal dari posisinya sebagai Resi, kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Lawang Gintung ke Sumedang Larang dengan nama Pakuan Pajajaran.
Sebelum peristiwa ini Raden Pamanah Rasa yang waktu itu posisinya masih sebagai Putra Mahkota Kerajaan Galuh, pernah saling berhadapan dengan Amuk Murugul yaitu dalam peristiwa sayembara yang diselenggarakan oleh Ki Gedeng Tapa penguasa di Cirebon Girang, untuk memperebutkan putrinya Nyai Subang Larang. Sayembara ini dimenangkan oleh Raden Pamanah Rasa yang menyamar menjadi Raden Sunu sebagai perwakilan wilayah Surantaka. Kemudian keduanya menikah. Ini merupakan pernikahan kedua bagi Raden Pamanah Rasa, karena sebelumnya setelah menaklukan Harimau Putih atau Giling Wesi dari Kerajaan Harimau, telah menikah dengan Nyai Ambet Kasih atau Putri Buniwangi, putri Ki Gedeng Sendang Kasih penguasa di Surantaka yang tak lain adalah adik Raja Galuh (ayah Raden Pamanah Rasa), Prabu Anggalarang. Pernikahan Raden Pamanah Rasa dengan Nyai Ambet Kasih merupakan wujud cinta yang telah lama bersemi, karena sejak kecil sebenarnya Raden Pamanah Rasa dididik dan diangkat putra oleh Ki Gedeng Sendang Kasih.
Kegemaran Raden Pamanah Rasa mengembara, menyebabkan posisi sebagai Surantakan ditinggalkan dan diurus oleh Nyai Ambet Kasih. Baru setelah turunnya Prabu Anggalarang dari posisi Ratu dan memindahkan pusat Kerajaan ke Sumedang Larang dengan nama Pakuan Pajajaran, Raden Pamanah Rasa menerima jabatan sebagai Raja Pakuan Pajajaran.
Datangnya Portugis ke Malaka menjadi pekerjaan berat bagi Raden Pamanah Rasa dalam posisi sebagai Raja Sunda. Ekspedisi Portugis yang datang ke Malaka dengan persenjataan modern (menggunakan senapan dan meriam) bukan tandingan para datuk di Nusantara yang pada saat itu masih menggunakan senjata tradisional. Misi ekspedisi Portugis yang datang untuk menjalin hubungan perdagangan dengan raja-raja di Nusantara ternyata menyimpan misi rahasia yaitu penyebaran agama katolik. Keadaan ini juga membuat bingung para datuk karena ternyata misi dagang itu dipersenjatai lengkap seperti layaknya pasukan atau angkatan perang. Tentu saja ketika para datuk di Malaka bertekuk lutut, mereka dipaksa untuk menyampaikan ajaran agama baru itu. Inilah yang kemudian membuat bingung para datuk, sebab Nusantara pada saat itu telah menganut agama islam. Ketika dalam pertemuan, akhirnya para datuk menyetujui niat ganda pasukan Portugis itu dengan catatan mendapat persetujuan dari Raja Sunda yang pada saat ini sedang dipegang oleh Raden Pamanah Rasa. Pernikahan ketiganya dengan Nyai Kentring Manik Mayang Sunda putri Prabu Susuk Tunggal. Pernikahan ini sebagai pertanda disatukannya Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda.
Akhirnya utusan Portugis dibawah pimpinan Laksamana Bungker bertemu dengan Raden Pamanah Rasa bergelar Sri Baduga Maharaja, di suatu tempat ketika sedang mencangkul. Tentu saja utusan Portugis merasa heran bagaimana mungkin seorang Raja Sunda yang demikian dikagumi para datuk di Nusantara ternyata hanya seorang tukang berkebun. Utusan Portugis memang tidak tahu bila Raden Pamanah Rasa sedang menyamar. Utusan Portugis itupun menyampaikan niatnya. Raden Pamanah Rasa bersedia untuk hadir di Malaka. Sebelum pergi ke Malaka, Raden Pamanah Rasa melakukan sowan ke Banten Girang, kepada seorang guru agama yaitu Tubagus Hasanudin putra Amuk Murugul atau ketika masih di Jawa Timur dikenal dengan nama Damar Wulan. Sowannya Sri Baduga atau Raden Pamanah Rasa merupakan perwujudan kesederajatan antara Sunda dan Islam. Missi Raden Pamanah Rasa sebagai Raja Sunda ke Malaka juga mewakili negeri-negeri islam di Nusantara pada saat itu seperti Malaka, Goa, Aceh dan negeri lainnya.
Raden Pamanah Rasa memimpin delegasi islam di Malaka menghadapi perwakilan Portugis. Diskusi panjang terjadi karena berubahnya niat Portugis yang awalnya ingin berdagang, kemudian mengemban misi agama. Raden Pamanah Rasa meminta perwakilan Portugis itu menyatakan dengan tegas apa yang dikatakan perwakilan itu merupakan kebijakan Ratu di negerinya. Raden Pamanah Rasa menolak menyebaran agama karena di Nusantara sudah menganut islam, tapi bila ingin berdagang dengan tangan terbuka negeri-negeri di Nusantara. Akhirnya Portugis mengakui bila tujuan utamanya adalah berdagang, sehingga dipersilakan membuka kantor perwakilan dagang di Nusantara. Ketika Portugis memilih perwakilan dagang di Malaka, dengan tegas Raden Pamanah Rasa menolak karena daerah itu sudah cacat hukum. Sebab sebelumnya Portugis sudah mengerahkan pasukan bersenjata untuk mengintimidasi para datuk. Akhirnya disetujuilah kantor perwakilan dagang Portugis itu di ujung timur Nusantara.
Sepulang dari Malaka, Raden Pamanah Rasa tidak kembali ke Pakuan Pajajaran melainkan ke Gunung Gede, menyambut kedatangan saudaranya yang memegang surat suci dari Ratu Sunda. Di tempat inilah kemudian diikrarkan untuk pembagian kekuasaan. Sejak saat inilah Gelar Siliwangi mulai dipergunakan.
Novel yang didasarkan pada cerita lisan dan historiografi ini dengan gaya penulisan yang mengalir mampu merekonstruksi jejak sejarah kebesaran raja-raja Nusantara di masa silam, khususnya Kemaharajaan Sunda di masa akhir. Novel Raden Pamanah Rasa: Kemaharajaan Nusantara yang Tak Terungkap, membuktikan bahwa history is stranger than fiction – sejarah lebih ajaib dari fiksi. Kearifan budaya Pasundan yang indah dan adiluhung dihidupkan kembali dalam kisah heroik Raden Pamanah Rasa – Prabu Guru Gantangan Sang Sri Jaya Dewata – sebuah cerita yang memiliki ruh dan jiwa leluhur Parahyangan.
Novel ini bukan sekadar fiksi, ada perspektif alternatif yang rinci terkait terma Siliwangi yang ditampilkan secara apik dan rapi. Peminat susastra dan sejarah yang tertarik akan perspektif alternatif perlu membaca novel ini. Menjelajah sejarah, untuk menemukan narasi besar biografi kekuasaan, memerlukan beragam pendekatan. Salah satunya dengan teknik jurnalisme investigasi, seperti yang dilakukan penulis dalam penyusunan novel ini. Tak hanya data tertulis dari buku referensi maupun situs di internet, novelnya disusun pula dari interpretasi lapangan dengan menemui sumber-sumber lain yang juga penting. Sehingga pengambilan versi mana yang dipilih, merupakan pertangungjawabannya dan kerja intelektual sebagai seorang sastrawan yang mempunyai passion kesejarahan. Ini bukan masalah memilih mana yang paling kontroversial. Raden Pamanah Rasa dibuat dalam aroma untuk menemukan substansi etika novel sejarah, yang juga mempertimbangkan secara cerdas estetikanya.
Buku ini sungguh berisi dan memberikan wawasan baru mengenai ke-Sunda-an pada zaman Pajajaran. Semua Wangsa Sunda yang peduli akan budayanya dan Kasundaan wajib mengoleksi dan membacanya. Baca dan akan kalian temukan sentuhan romantisme Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Ambet Kasih yang melengkapi keindahan novel ini seakan kalian menonton sebuah film yang mengasyikkan.
Menurut info novel ini segera difilmkan secara serial di sebuah stasiun TV swasta nasional. Tunggu tanggal mainnya!
Data Buku:
Judul : Raden Pamanah Rasa, Kemaharajaan Nusantara yang Tak Terungkap (Novel Prekuel dari Dwilogi Prabu Siliwangi)
Penulis : E. Rokajat Asura
ISBN : 978-602-7926-23-3
Penerbit: Imania, April, 2016
Tebal : 266 halaman
Peresensi: Faried Wijdan, penikmat buku-buku sejarah Nusantara
(NU-Online/Ahmad-Samantho/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email