Pesan Rahbar

Home » » Kajian Sunni: Mengenal Kitab Hadits Al-Muwaththa’, Karya Malik Bin Anas

Kajian Sunni: Mengenal Kitab Hadits Al-Muwaththa’, Karya Malik Bin Anas

Written By Unknown on Wednesday 18 October 2017 | 10:26:00


Mengenal Kitab Hadits Ahlusunnah,[1] Al-Muwaththa’, Karya Malik Bin Anas (93-179 H)[2]

Kitab Al-Muwaththa’ merupakan kitab hadits dan riwayat tertua di kalangan Ahlusunnah yang disusun pada abad kedua oleh Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru al-Ashbahi al-Hamiri, Abu Abdillah al-Madani al-Faqih (93-179 H), salah satu dari empat imam Ahlusunnah dan pendiri mazhab kedua dari Ahlusunnah (Mazhab Maliki). Kitab ini disusun atas perintah Mansur Abbasi (158 H) dan mencakup hadits-hadits Nabi saw, tentang para sahabat dan peninggalan-peninggalan mereka.


Mukadimah

Kata Jâmi’ memiliki bentuk plural Jawâmi’ dan maksudnya adalah kitab-kitab yang mencakup delapan bab. Ibnu Hajar dalam kitab Nazhah al-Nazhar mengatakan seperti berikut:

«الجوامع، جمع جامع، و هو کل کتاب یکون جامعاً لاحادیث الابواب الثمانیه ای لاحادیث العقائد، و الاحکام، و الرقاق، و الآداب و التفسیر و التاریخ و السیر و السنن و المناقب و المثالب؛ مثل الجامع الصحیح البخاری.»

Artinya, “Kata Jâmi’ memiliki bentuk plural Jawâmi’ dan maksudnya adalah kitab-kitab yang mencakup delapan bab hadits: hadits-hadits akidah, hukum (ahkâm), riqâq,[3] adab-adab, tafsir, sejarah dan sirah, sunan, manâqib dan matsâlib, seperti halnya kitab shahih Bukhari.”[4]

Kitab Al-Muwaththa’ merupakan kitab hadits dan riwayat tertua di kalangan Ahlusunnah yang disusun pada abad kedua oleh Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru al-Ashbahi al-Hamiri, Abu Abdillah al-Madani al-Faqih (93-179 H), salah satu dari empat imam Ahlusunnah dan pendiri mazhab kedua dari Ahlusunnah (Mazhab Maliki).[5]

Malik lahir di Madinah pada masa-masa akhir pemerintahan dinasti Umayyah dan masa-masa awal pemerintahan dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa khalifah Walid bin Abdul Malik (wafat 96 H).

Sebagian berpendapat, kakeknya (Abi ‘Amir) termasuk salah satu sahabat Nabi saw dan diyakini bahwa dia masuk ke Madinah pada masa hidup Nabi saw dan setelah perang Badar, dan selain perang Badar, dia telah ikut berperang bersama Rasulullah saw di seluruh peperangan.[6]

Sebagian dari peneliti Ahlusunnah meyakini bahwa Abu ‘Amir tidak pernah bertemu dengan Rasulullah saw tapi dia bertemu dengan sebagian sahabat Nabi saw sehingga dengan itu dia dianggap sebagai tabi’in.[7]


Motif Penyusunan

Mansur Abbasi (wafat 158 H) pada musim haji meminta Malik untuk menyusun dan menulis sebuah kitab yang mencakup hadits-hadits Rasulullah saw dan tentang sahabat-sahabat serta jejak-jejak peninggalan mereka, sehingga akhirnya terkodifikasi sebuah undang-undang yang nantinya pemerintah melakukan kerja-kerjanya berdasarkan hal itu. Malik menolak tapi Mansur Abbasi berkata, “Lakukanlah hal ini karena saat ini tidak ada yang lebih pandai dan pintar dari anda.” Malik menjawab, “Orang-orang telah bertebaran di berbagai negeri dan setiap negeri memiliki pandangan dan persfektif masing-masing. Penduduk Irak dan Madinah memiliki pandangan yang sama.” Khalifah berkata, “Saya tidak menerima Ilmu ahli Irak, ilmu dan pengetahuan hanya ada pada ahli Madinah.” Malik berkata, “Irak tidak menerima ilmu kami.” Mansur berkata, “Saya akan menghantam mereka dengan pedang dan saya akan mencambuk mereka.”[8]

Syafi’i meyakini bahwa Malik menulis kitabnya atas permintaan Mansur Abbasi. Mahmud Aburaih menyebutkan seperti berikut:

«ألف الموطأ فی أواخر عهد المنصور وکان ذلک فی سنه ۱۴۸ه‍ وکان سبب ذلک کما روى الشافعی أن أبا جعفر المنصور بعث إلى مالک لما قدم المدینه وقال له: إن الناس قد اختلفوا فی العراق فضع للناس کتابا نجمعهم علیه، فوضع “الموطأ”.»

Artinya, “Mansur datang ke Madinah pada tahun 148 H dan menemui Malik bin Anas dan berkata kepadanya, “Di Irak orang-orang telah berselisih dan saya minta supaya kamu menulis sebuah kitab yang membuat orang-orang atau masyarakat berkumpul dan bersatu.” Dalam merespon permintaan Mansur Abbasi, Malik bin Anas telah menulis kitab Al-Muwaththa’.[9]


Kedudukan Al-Muwaththa’ di Kalangan Ahlusunnah

Zarqani dalam komentarnya (Syarah) terhadap kitab Al-Muwaththa’, dengan menukil dari Imam Syafi’i, menulis seperti berikut:

Ibnu Fihr telah menukil dari Imam Syafi’i:

«وَأَخْرَجَ ابْنُ فِهْرٍ عَنِ الشَّافِعِیِّ: مَا عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ کِتَابٌ بَعْدَ کِتَابِ اللَّهِ أَصَحُّ مِنْ کِتَابِ مَالِکٍ. وَفِی لَفْظٍ: مَا عَلَى الْأَرْضِ کِتَابٌ هُوَ أَقْرَبُ إِلَى الْقُرْآنِ مِنْ کِتَابِ مَالِکٍ. وَفِی لَفْظٍ: مَا بَعْدَ کِتَابِ اللَّهِ أَکْثَرُ صَوَابًا مِنْ مُوَطَّأِ مَالِکٍ. وَفِی آخَرَ: مَا بَعْدَ کِتَابِ اللَّهِ أَنْفَعُ مِنَ الْمُوَطَّأِ. وَأَطْلَقَ جَمَاعَهٌ عَلَى الْمُوَطَّأِ اسْمَ الصَّحِیحِ.»

Artinya, “Ibnu Fihr menukil dari Imam Syafi’i bahwa, “Tidak ada kitab di muka bumi ini yang lebih sahih dari kitab Malik bin Anas.” Dalam redaksi yang berbeda dikatakan, “Setelah al-Qur’an, tidak ada kitab yang lebih sahih dari kitab Al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas.” Dalam redaksi lain juga disebutkan bahwa setelah al-Qur’an, tidak ada kitab yang lebih berguna dan lebih bermanfaat dari kitab Al-Muwaththa’.” Sekelompok orang menyebut kitab Al-Muwaththa’ dengan nama Sahih.”

Dihlawi dalam kitab Hujjatullâh al-Bâlighah mengklasifikasikan validitas dan kemuktabaran kitab-kitab seperti Al-Muwaththa’, Sahih Bukhari, dan Sahih Muslim, pada level pertama seraya berkata seperti berikut:

«… فالطبقه الأولى منحصره بالاستقراء فِی ثَلَاثَه کتب، الْمُوَطَّأ، وصحیح البُخَارِیّ، وصحیح مُسلم…»

Artinya, “Berdasarkan istiqra’ (induktif), ada tiga kitab yang berada di posisi level pertama: Al-Muwaththa’, Sahih Bukhari, dan Sahih Muslim…”[10]

Qadhi Abu Bakar al-Arabi berkata:

«قَالَ الْقَاضِی أَبُو بَکْرِ بْنُ الْعَرَبِیِّ فِی شَرْحِ التِّرْمِذِیِّ: الْمُوَطَّأُ هُوَ الْأَصْلُ الْأَوَّلُ، وَ اللُّبَابُ وَ الْبُخَارِیُّ الْأَصْلُ الثَّانِی فِی هَذَا الْبَابِ»

Artinya, “Telah berkata Qadhi Abu Bakar al-Arabi dalam kitab Syarah al-Tirmizi, “Kitab Al-Muwaththa’ adalah dasar pertama dan kitab al-Lubâb dan kitab al-Bukhari adalah dasar kedua dalam bab ini.”[11]


Metode Penyusunan Bab-bab dalam Kitab Al-Muwaththa’

Malik bin Anas telah menyusun kitabnya berdasarkan bab-bab fikih yang mencakup enam puluh (60) kitab dan disamping mayoritas bab-babnya terkait masalah fikih, juga terdapat sebagian pembahasan akhlak dan kitab ini dimulai dengan kitab Wuqût al-Shalâh dan ditutup dengan kitab Asmâ al-Nabî.[12] Kitab ini merupakan kumpulan hadits-hadits Nabi saw dan kejadian-kejadian mengenai sahabat dan fatwa-fatwa para tabi’in.

Riwayat-riwayat musnad dan muttasil kitab ini terdiri dari 600 riwayat. Jumlah riwayat yang sampai kepada Nabi saw secara Mursal sebanyak 222 riwayat. Dalam kitab ini terdapat 613 riwayat yang berhenti pada sahabat dan juga ada 285 hadits yang merupakan ucapan-ucapan para tabi’in.[13]


Jumlah Hadits Kitab Al-Muwaththa’

Malik bin Anas menyusun kitabnya dari sekitar seratus ribu riwayat. Pertama dia memilih sekitar sepuluh ribu riwayat dan selanjutnya melakukan seleksi berdasarkan al-Qur’an dan hadits yang pada akhirnya jumlah hadits yang dimuat di kitabnya berkurang menjadi lima ribu hadits.

Sebagian peneliti Ahlusunnah, dengan menukil dari Ibnu al-Habâb, menuliskan seperti berikut:

«أَنَّ مَالِکًا رَوَى مِائَهَ أَلْفِ حَدِیثٍ جَمَعَ مِنْهَا الْمُوَطَّأَ عَشَرَهَ آلَافٍ، ثُمَّ لَمْ یَزَلْ یَعْرِضُهَا عَلَى الْکِتَابِ وَالسُّنَّهِ وَیَخْتَبِرُهَا بِالْآثَارِ وَالْأَخْبَارِ حَتَّى رَجَعَتْ إِلَى خَمْسِمِائَهٍ.»

Artinya, “Sesungguhnya Malik bin Anas telah meriwayatkan hadits sebanyak seratus ribu hadits dan dia memilih sebanyak sepuluh ribu dan setelah melakukan penyeleksian (menimbangnya dengan al-Qur’an dan hadits), dia hanya mengambil sebanyak lima ratus hadits.”[14]

Sebagian berkeyakinan bahwa jika Malik bin Anas punya waktu dan kesempatan dan terus melakukan penyeleksian pada kitabnya, maka seluruh riwayat-riwayat yang ada padanya akan dihapusnya.

Atiq al-Zubairi berkata:

«قال عتیق الزبیری: وضع مالک الموطأ على نحو من عشره آلاف حدیث، فلم یزل ینظر فیه سنه بعد سنه ویسقط منه حتى بقی هذا، ولو بقی قلیلاً لأسقطه کله.»[15]

Karena ini semua, Malik menghapus sejumlah riwayat-riwayat. Qaththan menyebutkan:

«کان علم الناس فی الزیاده وعلم مالک فی النقصان.»

Artinya, “Adalah pengetahuan manusia terus bertambah sementara pengetahuan Malik bin Anas berkurang.”[16]

Setelah menyusun kitab Al-Muwaththa’, Malik bin Anas memperlihatkan kitabnya itu kepada sejumlah ulama-ulama fikih Madinah. Terkait masalah ini, beliau mengatakan:

«عرضت کتابی هذا على سبعین فقیها من فقهاء المدینه، فکلهم واطأنی علیه، فسمیته (الموطأ)»

Artinya, “Setelah selesai menyusun kitab, saya berikan dan perlihatkan kitab itu kepada tujuh puluh fuqaha dari sekian banyak fuqaha di Madinah dan karena semua sepakat dengan saya maka saya sebut kitab tersebut dengan nama Al-Muwaththa’“[17]

Al-Awza’i, salah satu murid dari Imam Malik, berkata seperti berikut:

«وأخرج ابن عبد البر عن عمر بن عبد الواحد صاحب الأوزاعی قال: عرضنا على مالک الموطأ فی أربعین یوما فقال کتاب ألفته فی أربعین سنه أخذتموه فی أربعین یوما ما أقل ما تفقهون فیه.»

Artinya, “Kami belajar kepada Malik kitab Al-Muwaththa’ selama empat puluh hari, kemudian dia berkata, “Saya telah menyusunnya selama empat puluh tahun tapi kalian mempelajarinya selama empat puluh hari. Begitu banyak yang kalian belum pelajari darinya.”[18]


Beberapa Naskah Kitab Al-Muwaththa’

Melihat sejarah panjang kitab ini dan fenomena tentang penyalinannya, maka naskah-naskah Al-Muwaththa’ mengalami perbedaan yang mana kuantitasnya mencapai hingga tiga puluh naskah. Berdasarkan penukilan Suyuti yang juga beliau termasuk salah satu komentator kitab Al-Muwaththa’, naskah kitab Al-Muwaththa’ paling populer ada empat belas (14) naskah dan diantara keempat belas naskah ini, yang paling tenar antara lain adalah:

1). Yahya bin Yahya;
2). Naskah Muhammad bin Hasan Syaibani;
3). Naskah Abu Mush’an Zuhri;
4). Naskah Ibnu Wahhab.

Diantara naskah-naskah yang paling populer ini, naskah Yahya bin Yahya Laitsi dianggap sebagai naskah yang paling sahih.


Buku-buku Komentar (Syarah) atas Al-Muwaththa’

Para ulama Ahlusunnah telah menulis sejumlah syarah dan buku komentar atas kitab Al-Muwaththa’ dimana diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Kasyf al-Mughaththa’ fî Syarh Al-Muwaththa’, karya Jalaluddin Suyuti.
2. Tanwîr al-Hawâlik fî Syarh Al-Muwaththa’ al-Mâlik.
3. Syarh Abdul Baqi al-Zarqani.
4. Al-Qabs, Abi Bakr al-Ma’afiri.
5. Fath al-Mâlik Tabwîb al-Tamhîd, Ibnu Abdulbar; Asmâ al-Mubaththa’ birijâl Al-Muwaththa’.


Guru-guru Malik bin Anas

Malik bin Anas telah menuntut ilmu dan belajar ke sejumlah guru dan ulama. Dikatakan bahwa guru atau syaikh beliau mencapai sekitar sembilan ratus dimana tiga ratus orang dari mereka merupakan tabi’in dan sisanya adalah tabi’i al-tabi’in. Diantara sekian banyak guru beliau, ada delapan orang dari mereka yang cukup banyak memberi pengaruh dalam terbentuknya pribadi Malik bin Anas, yaitu:

1. Ibnu Hurmuz (wafat 117 H).
Nafi’ Maula Abdullah bin Umar (wafat 117 atau 120 H). Bukhari berkata seperti berikut:

«قَالَ البُخَارِیُّ: أَصَحُّ الأَسَانِیْدِ کُلِّهَا: مَالِکٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ.»

Artinya, “Telah berkata Bukhari bahwa paling sahih sanad-sanad secara keseluruhan adalah Malik, dari Nafi’ dari Ibnu Umar.”[19]


2. Ibnu Syahab Zuhri (wafat 124 H).
3. Abu Zanad (wafat 130 atau 131).
4. Yahya bin Sa’ad Anshari (wafat 143).
5. Rabî’ah bin al-Ra’yi (136 H).
6. Imam Muhammad Baqir as; dan Imam Shadiq as.[20]


Murid-murid Imam Malik

Khatib Baghdadi menyebutkan bahwa jumlah murid Imam Malik adalah sekitar seribu orang dimana yang paling ma’ruf dan terkenal diantaranya:

1. Abdullah bin Wahab bin Muslim Fahri (wafat 199).
2. Abdurrahman bin Qasim Abu Abdillah Itqi Mishri (wafat 191).
3. Asyhab bin Abdul Aziz bin Qaisi Abu Amru Amiri (wafat 204).
4. Ibnu Majisyun (wafat 212).
5. Asad bin Furat bin Sinan (wafat 213).
6. Yahya bin Yahya Kastîr al-Laitsî (wafat 224).


Bahan Bacaan:

1. Al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Hajar al-Asqalani (852 H), riset: Syaikh Adil Ahmad Abdul Maujud, Syaikh Ali Muhammad Muawwadh, cet. 1, 2. Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1415 H.
3. Adhwâ’ ‘alâ al-Sunnah al-Muhammadiyah au Difâ ‘an al-Hadîts, Mahmud Aburaih, cet. 5, Nasyr al-Bath-hâ.
4. Al-Imâm al-Shadiq wa al-Madzâhib al-Arba’ah, Asad Haidari, cet. 4, Maktabah al-Shadr, Tehran, 1371 Syamsi.
5. Tuhfah Al-Ahwadzî Bisyarh Jâmi’ al-Tirmidzî, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarak Puri Abul’alâ, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 1426 H – 2005 M.
6. Al-Ta’dîl wa Al-Tarjîh liman Kharaja lahu al-Bukhârî fî al-Jâmi’ al-Shahîh, Sulaiman bin Sa’ad Abul al-Walid al-Baji, Dâr al-Liwâ’ Linnasyr wa al-Tauzî’, Riyadh, cet. 1, 1406 H – 1986 M.
7. Tanwîr al-Hawâlik, Syarh Muwaththa’ Malik, Abdurrahman bin Abi Bakar Abulfadhl Suyuti, Dâr al-Fikr, Beirut, 1414 H – 1996 M.
8. Tahdzîb al-Tahdzîb, Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. 1, Dâr al-Fikr, Beirut, 1404 H.
9. Al-Tsiqât, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Basati, Dâirah al-Ma’ârif al-Utsmâniyah, cet. 1, Haidar Abad, India, 1393 H.
10. Hujjatullâh al-Bâlighah, Ahmad bin Abdurrahim bin al-Syahid Wajihuddin bin Muazhzham bin Mansur atau lebih populer dengan nama Shah Waliyullah Dahlawi, riset: Sayid Sabiq, Dâr al-Jîl, Beirut – Libanon, cet. 1, 1426 H – 2005 M.
11. Al-Khishâl, Syaikh Shaduq (381 H), riset: Ali Akbar Gaffari, 1403 H – 1362 Syamsi.
12. Al-Dîbâj al-Mazhab fî Ma’rifah A’yân ‘Ulamâ al-Mazhab, Ibrahim bin Ali bin Muhammad, Ibnu Farhun, Burhanuddin al-Ya’mari, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut.
13. Al-Fikr al-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, Muhammad bin al-Hasan bin al-‘Arabi bin Muhammad al-Hajawi al-Tsa’âlabi al-Ja’fari al-Fasi (1376 H), Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. 1, 1416 H – 1995 M.
14. Syarh al-Zarqânî ‘alâ al-Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, Muhammad bin Abdul Baqi bin Yusuf al-Zarqani al-Mishri al-Azhari, riset: Thaha Abdurrauf Sa’ad, Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyah, Kairo, cet. 1, 1424 H – 2003 M.
15. Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts, Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah al-Hakim Naisaburi (405), riset: Sayid Muazzam Husain, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, cet. 2, 1397 H – 1977 M.
16. Minhâj al-Karâmah, Allamah Hilli (726 H), riset: Abdurahim Mubarak, cet. 1, Intisyârât-e Tâsû’â’, al-Hâdî, Qom, 1379 Syamsi.
17. Al-Muwaththa’, Al-Imâm Mâlik bin Anas, revisi dan catatan kaki: Muhammad Fuad Abdul Baqi, cet. 1, Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabî, Beirut, 1406 H.
18. Nazhah al-Nazhar fî Taudhîh Nukhbah al-Fikr, Ahmad bin Hajar al-Asqalani, Farûqî Kutub Khâneh Multân, Lahore.


Catatan Kaki:

[1] Sayid Muhammad Ja’far Subhani.
[2] Kitab-kitab hadits terpenting Ahlusunnah yang ditulis pada abad kedua adalah sebagai berikut: Al-Muwaththa’ karya Malik bin Anas (93-179 H); Musnad Ahmad bin Hanbal (164-241 H); Shahih Muhammad bin Ismail Bukhari (194-256 H); Shahih Muslim bin Hujjaj Qusyairi (204-261 H); Sunan Abi Daud Sulaiman bin Asy’ats Sajistani (202-275 H); Sunan Muhammad bin Isa Tirmizi (209-279 H); Sunan Ahmad bin Syu’aib Nasai (215-303 H); Sunan Ibnu Majah Qazwini (207 atau 209-273 H). Keenam kitab terakhir dikenal dengan sebutan Kutub al-Sittah.
[3] Riqâq adalah rahmat dan disebut demikian karena setiap sesuatu yang membuat hati lembut. Begitu pula dengan ungkapan, “Tinggallah di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melintas.”
[4] Nazhah al-Nazhar fî Taudhîh Nukhbah al-Fikr, Ibnu Hajar al-Asqalani, hal. 54, catatan kaki no. 4.
[5] Sebagian menyebutkan karya-karya Malik bin Anas seperti berikut: Al-Muwaththa’, tafsir Gharîb al-Qur’an, Al-Mudawwanah, Al-Rad ‘alâ al-Qadariyah, Al-Risâlah ilâ al-Laits bin Sa’ad. (Al-Mausû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid 1, hal. 369).
[6] Al-Fikr al-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, Muhammad bin al-Hasan bin al-‘Arabi bin Muhammad al-Hajawi al-Tsa’âlabi al-Ja’fari al-Fasi, jilid 2, hal. 446.
[7] Al-Fikr al-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, Muhammad bin al-Hasan bin al-‘Arabi bin Muhammad al-Hajawi al-Tsa’âlabi al-Ja’fari al-Fasi, jilid 2, hal. 446; Al-Ishâbah fî Tamyîz al-Shahâbah, Abu al-Fadhl Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Hajar al-Asqalani, jilid 7, hal. 248, no. 10329.
[8] Syarh al-Zarqânî ‘alâ al-Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, Muhammad bin Abdul Baqi bin Yusuf al-Zarqani al-Mishri al-Azhari, jilid 1, hal, 62; Al-Dîbâj al-Mazhab fî Ma’rifah A’yân ‘Ulamâ al-Mazhab, Ibrahim bin Ali bin Muhammad, Ibnu Farhun, Burhanuddin al-Ya’mari, hal. 25.
[9] Adhwâ’ ‘alâ al-Sunnah al-Muhammadiyah, Mahmud Aburaih, hal. 298.
[10] Hujjatullâh al-Bâlighah, Ahmad bin Abdurrahim bin al-Syahid Wajihuddin bin Muazhzham bin Mansur atau lebih populer dengan nama Shah Waliyullah Dihlawi, Bab Thabaqât Kutub al-Hadîts, jilid 1, hal. 231; Adhwâ’ ‘alâ al-Sunnah al-Muhammadiyah, Mahmud Aburaih, hal. 295.
[11] Syarh al-Zarqânî ‘alâ al-Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, Muhammad bin Abdul Baqi bin Yusuf al-Zarqani al-Mishri al-Azhari, jilid 1, hal, 61; Adhwâ’ ‘alâ al-Sunnah al-Muhammadiyah, Mahmud Aburaih, hal. 298.
[12] Untuk informasi lebih detil, silahkan merujuk kitab: Syarh al-Zarqânî ‘alâ al-Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, Muhammad bin Abdul Baqi bin Yusuf al-Zarqani al-Mishri al-Azhari.
[13] Tanwîr al-Hawâlik, Jalaluddin Suyuti (wafat 911), hal. 8.
[14] Tanwîr al-Hawâlik, Jalaluddin Suyuti (wafat 911), hal. 6; Syarh al-Zarqânî ‘alâ al-Muwaththa’ al-Imâm Mâlik, Muhammad bin Abdul Baqi bin Yusuf al-Zarqani al-Mishri al-Azhari, jilid 1, hal, 61.
[15] Kitab Al-Muwaththa’ al-Imam al-Malik (179), jilid 1, hal. 4; Tanwîr al-Hawâlik, Jalaluddin Suyuti (wafat 911), hal. 6; Al-Ta’dîl wa Al-Tarjîh, Sulaiman bin Khalaf al-Baji (474 H), jilid 1, 125.
[16] Al-Ta’dîl wa Al-Tarjîh, Sulaiman bin Khalaf al-Baji (474 H), jilid 1, 125.

(Shafei-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)

[17] Tanwîr al-Hawâlik, Jalaluddin Suyuti (wafat 911), hal. 6.

[18] Kitab Al-Muwaththa’ al-Imam al-Malik (179), jilid 1, hal. 4; Tanwîr al-Hawâlik, Jalaluddin Suyuti (wafat 911), hal. 6.

[19] Tuhfah Al-Ahwadzî, al-Mubarak Puri (1282), jilid 9, hal. 269; Ma’rifah ‘Ulûm al-Hadîts, al-Hakim Naisaburi (405), hal. 53.

[20] Dia termasuk salah satu perawi hadits-hadits Imam Shadiq as dan juga merupakan salah satu murid Imam Shadiq as. (Silahkan merujuk ke kitab: Al-Tsiqât, Muhammad bin Hibban bin Ahmad Abu Hatim al-Tamimi al-Basati, jilid 6, hal. 131, no. 7039), dimana tentang Imam Shadiq as, dia mengatakan seperti berikut:

a. Imam Malik berkata:




«وقال مالک اختلفت إلیه زمانا فما کنت أراه إلا على ثلاث خصال إما مصل وإما صائم وإما یقرأ القرآن وما رأیته یحدث إلا على طهاره.»

Artinya, “Cukup lama saya bersama dengan Ja’far bin Muhammad, saya senantiasa menyaksikan beliau dalam tiga kondisi, yaitu dalam kondisi shalat atau puasa dan atau membaca al-Qur’an, dan sama sekali saya tidak pernah menyaksikan beliau menukil hadits tanpa wudhu.” (Tahdzîb al-Tahdzîb, Ibnu Hajar al-Asqalani; Al-Imâm al-Shadiq wa al-Madzâhib al-Arba’ah, Asad Haidari, jilid 1, hal. 55; Al-Khishâl, Syaikh Shaduq (381 H), hal. 167).

b. Dia juga mengatakan seperti berikut:




«وما رأت عین ولا سمعت أذن ولا خطر على قلب بشر أفضل من جعفر بن محمد الصادق علما وعباده و ورعا»

Artinya, “Tidak pernah mata melihat dan tidak pernah telinga mendengar dan tidak pernah terlintas di hati tentang seseorang yang lebih utama dari Ja’far bin Muhammad al-Shadiq dalam masalah keilmuan, ibadah dan ketakwaan.” (Al-Imâm al-Shadiq wa al-Madzâhib al-Arba’ah, Asad Haidari, jilid 1, hal. 55-56; Minhâj al-Karâmah, Allamah Hilli, hal. 56).

c. Dia juga menyatakan hal berikut:




«کنت أدخل على الصادق جعفر بن محمد علیهما السلام فیقدم لی مخده ویعرف لی قدرا ویقول: یا مالک إنی أحبک فکنت أسر بذلک وأحمد الله علیه»

Artinya, “Saya datang menemui Imam Shadiq as dan beliau menghormatiku. Imam Shadiq as cukup menghargaiku seraya berkata, “Wahai Malik, Aku mencintaimu.” Saya sangat gembira dengan sikap beliau itu dan saya bersyukur kepada Allah Swt.” (Al-Khishâl, Syaikh Shaduq), hal. 167.)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: