Pesan Rahbar

Home » » Intelektual dan Moralitas Politik Gus Dur, Kunci Kemenangan Muktamar Cipasung 1994

Intelektual dan Moralitas Politik Gus Dur, Kunci Kemenangan Muktamar Cipasung 1994

Written By Unknown on Sunday 23 August 2015 | 08:13:00

Intelektual dan Moralitas Politik Gus Dur, Kunci Kemenangan Muktamar Cipasung 1994


Muktamar yang paling berat ialah Muktamar Cipasung 1994 melalui banyak intervensi pemerintah untuk menjungkalkan Gus Dur dari kursi ketua umum. Oposisi Gus Dur melakukan sejumlah agitasi dengan selogan ABG (Asal Bukan Gus Dur). Mereka terdiri Fahmi D. Syafiuddin, Chalid Mawardi, dan Abu Hasan. Mereka mengemukakan kritik yang serupa terhadap Gus Dur, yakni manajemen NU di bawah kepemimpinan Gus Dur lemah dan otokratik, dan konsep serta tindakan Gus Dur yang melakukan oposisi terhadap pemerintah membingungkan dan tidak menyentuh masalah sehari-hari. Menurut mereka, langkah Gus Dur untuk melakukan oposisi tersebut bukan hanya menyimpang dari khittah NU, tetapi juga bertentangan dengan kepentingan NU sendiri.

Intervensi pemerintah pun kelihatan kentara. Kampanye untuk menentang pemilihan Gus Dur ini terjadi ketika sebeum pelaksanaan muktamar, para delegasi dipanggil oleh pejabat pemerintah daerah untuk tidak memilih Gus Dur.[1] Rencana Soeharto untuk menggeser Gus Dur dari kepemimpinan NU merupakan bagian dari rencana besarnya untuk mengamankan kontrol kuatnya terhadap jalannya pemilihan presiden 1999 mendatang.

Menurut Greg Fearly, ada sejumlah alasan tentang posisi Gus Gur sebagai ancaman. Alasan-alasan tersebut adalah Gus Dur melakukan penolakan dukungan terhadap Soeharto pada pemilihan umum 1993, tidak berhentinya mengkritik pemerintah, dan kritik Gus Dur yang kasar terhadap Soeharto dalam Buku Adam Schwarz mengenai alasan presiden mengebaikan peringatan Gus Dur tentang ICMI. Alasan lainnya ialah Gus Dur sangat dekat dengan PDI. Jika Gus Dur menduduki posisi ketua umum NU untuk ketidak kalinya, tidak mustahil ia akan berkoalisi dengan PDI sehingga mengancam strategi pemerintah untuk memenangkan Golkar pada 1997.

Campur tangan pihak eksternal ialah sumber utama keprihatinan dan kemarahan. Tentara berjaga di sekitar Cipasung sejumlah 1.500 personil, serta100 intel dan pejabat kemanan mondar-mandir di arena muktamar. Sebagian dari mereka ditugaskan untuk memonitordelegasi-delegasi daerah dan membantu memberikan pertimbangan-pertimbangan.

Pada tahap pencalonan, Gus Dur memperoleh suara 157 suara, Abu Hasan 136 suara, Fahmi Saifuddin 17 suara, dan Chalid Mawardi 6 suara. Situasi tersebut benar-benar diluar dugaan kubu Gus Dur yang semula diperkirakan akan memperoleh dukungan sekitar 65 persen. Akan tetapi kenyataannya hanya memperoleh sibawah 50 persen. Dengan enam suara Chalid Mawardi yang kemungkinan jatuh ke tangan Abu Hasan, maka pemilihan ketua umum ditentukan oleh 17 delegasi yang memberikan suara mereka kepada Fahmi Safudin. Kemungkinan kekalahan dengan segala konsekuensinya jika NU jatuh ke tangan Abu Hasan dibayangkan oleh kebu Gus Dur sehingga membuat mereka panik. Beberapa kiai yang duduk dekat dengan Gus Dur menahan air mata dan berdoa secara khusyuk. Berdasarkan perhitungan suara yang dilaksanakan hingga pukul 03.00, Gus Dur memeperoleh 174 suara, sementara Abu Hassan hanya mendapatkan 142 suara. Pendukung Gus Durpun merayakan kemenangan tersebut dengan penuh sukacita dan rasa syukur.

Jika diamati secara seksama, kekuatan Gus Dur yang dipercaya menjadi ketua PBNU selama 15 tahun di bawah rezim orde baru yang otoriter dikarenakan figuritas Gus Dur yang kuat. Kiprah intelektual kritis yang berani melawan tirani, terobosan-terobosan dalam pemikiran dan pemberdayaan masyarakat, dekat dan rela berkorban untuk kemaslahatan (kebaikan) rakyatnya, menjadi kekuatan sosial dirinya untuk dipercaya menjadi pemimpin dan panutan di tengah keterpurukan warga NU. Social capital (modal sosial) tersebut menjadi kepercayaan warga NU dan sekaligus menjadi investasi yang mengantarkannya kepada pimpinan tanfidiyah (eksekutif) di NU.Tanpa modal sosial tersebut, Gus Dur tidak akan mampu bertahan dari kritik dan tidak akan dipercaya kembali menjadi ketua umum PBNU betapa pun modal ekonomi dan modal politik dikerahkan seperti A. Hassan pada Muktamar Cipasung tersebut.

Referensi:
[1] Greg Fearly, Api Muktamar NU 1994: Abdurrahman Wahid, Suksesi, dan Perlawanan NU terhadap Kontrol Negara, dalam Tradisionalisme Radikal, hal 319.

(Abdurrahmanwahid-Gusdur/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: