Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat serupa yang menjelaskan bahwa Tuhan yang berkehendak untuk memberi hidayah dan menyesatkan manusia, serta menyiksa atau merahmati hamba-Nya. Dengan melihat kehendak-Nya itu, lalu apa arti keadilan Tuhan?
Jawaban Global:
Dalam banyak ayat-ayat Qur’an dijelaskan bahwa Allah swt adalah sebab utama kemulian atau kehinaan hamba-Nya, rizki dan kemiskinan manusia, siksa atau rahmat hamba-hamba. Juga banyak sekali ayat yang menjelaskan bahwa Ia adalah dzat yang menganugerahkan kemuliaan, rizki, kebahagiaan, rahmat kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa dan ikhlas. Semua ayat-ayat tersebut tidak bertentangan satu sama lain, dan semuanya saling mengartikan jika dipahami bersama. Karena kehendak dan keinginan Tuhan selalu berdasarkan hikmah dan adil. Jadi, tidak ada pertentangan antara kehendak Tuhan itu dengan keadilan-Nya.
Jawaban Detil:
Dalam berbagai ayat suci Al-Qur’an dijelaskan bahwa Ia adalah dzat yang memberi kemuliaan, kehinaan, rizki, kemiskinan, karunia, adzab, pahala, dan siksaan kepada hamba-hamba-Nya. Namun tidak hanya itu saja, masih banyak juga ayat-ayat lain yang menegaskan bahwa ketakwaan hamba-hamba berperan penting dalam menentukan nasibnya masing-masing. Ia juga menekankan bahwa kehendak-Nya bergantung pada ikhtiar dan ketakwaan hamba. Setiap hamba bebas berusaha untuk meraih kebahagiaan akherat, atau sebaliknya, mencari kehinaan dan kesengsaraan.
Lalu apakah ayat-ayat tentang kebebasan manusia dan kehendak Tuhan yang sekaan “menggariskan” nasib manusia saling bertentangan?
Untuk membahas pertanyaan ini, pertama kita harus jelaskan bahwa pertanyaan seperti itu hanya muncul di benak orang-orang yang mengira bahwa kehendak Tuhan sama dengan kehendak manusia. Padahal tidak, karena kehendak Tuhan berbeda dengan kehendak hamba-Nya. Kehendak manusia bersumber dari keinginan-keinginan hasrat dan ketertarikan jiwa, yang mungkin saja masuk akal atau tidak, dan bahkan sering kali keinginan itu adalah nafsu yang tak masuk akal.
Adapun kehendak dan keinginan Tuhan bersumber dari hikmah dan keadilan yang takkan pernah berubah sampai kapanpun. Karena Tuhan hanya memberlakukan segala sesuatu berdasarkan aturan sebab akibat yang penuh hikmah, dan sunah (aturan) ini tidak akan pernah berubah.
Dengan penjelasan ini, maka jelas sudah ketika Tuhan memberikan pahala kepada seorang hamba, atau menyiksanya, semua itu tidak tanpa alasan, namun berdasarkan keadilannya. Alasan Tuhan sering menyatakan bahwa kebahagiaan dan kesusahan hamba adalah karena-Nya, karena seluruh alam semesta dan diri manusia beserta ikhtiar dan kehendaknya adalah ciptaan Tuhan semata. Ialah yang memberi manusia jalan dan fasilitas untuk meraih kebahagiaannya ataupun kesengsaraannya. Tuhanlah yang telah membuat aturan yang jika dijalankan manusia maka hamba-Nya akan sampai pada kebahagian dan jika ditentang maka dengan sendirinya akan jatuh pada kesusahan. Dengan demikian bisa dikata semua nasib manusia berasal dari-Nya, dan itu pun tak bertentangan dengan keadilan Tuhan, karena Tuhan telah menciptakan seluruh peraturan itu dengan penuh keadilan. Manusia lah yang dengan kehendak (yang telah dianugerahkan Tuhan itu) untuk meraih kebaikan atau keburukan.[1]
Dengan penjelasan di atas, mari kita kembali tengok ayat di atas. Allah swt berfirman: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Baqarah [2]:284).
Maksud dari kata “dikehendaki-Nya” dalam ayat itu, dan juga dalam ayat-ayat lainnya, adalah kehendak yang didasari oleh hikmah. Yakni Tuhan akan menyiksa hamba “yang layak” untuk disiksa dan juga merahmat hamba “yang layak” untuk dirahmati. Yakni kehendak-Nya berhubungan langsung dengan kelayakan hamba. Tanpa ada sebab yang pasti, Tuhan tidak akan berkehendak apapun.[2]
Oleh karena itu, semua ayat-ayat dalam masalah ini tidak saling bertentangan, jusru semuanya saling mengartikan satu sama lain dan harus dipahami secara bersamaan keseluruhannya. Sunah (aturan dan kebiasaan) Tuhan dalam kebijakan-Nya di alam penciptaan bersumber dari hikmah yang takkan pernah berubah sampai kapanpun. Manusia memiliki kehendak atas dirinya sendiri untuk meraih kebahagiaan atau kesengsaraan.
Referensi:
[1] Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 498, dengan sedikit perubahan, cetakan Nashr Darul Kutub Islamiah, cetakan pertama , Tehran 1374 HS.
[1] Nashir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 498, dengan sedikit perubahan, cetakan Nashr Darul Kutub Islamiah, cetakan pertama , Tehran 1374 HS.
[2] Tafsir Nemune, jil. 22, hal. 92, dengan sedikit perubahan.
(Islam-Quest/Hauzah-Maya/ABNS)
(Islam-Quest/Hauzah-Maya/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email