Kisah pembagian ghanimah pasca Perang Hunain, dimana kau Anshar tidak mendapatkan sama sekali, selain memberikan teladan politik yang baik dalam diri Rasulullah juga membuktikan kecintaan beliau kepada kaum Anshar.
Seperti yang telah dimuat pada edisi sebelumnya, setelah Perang Hunain, Rasulullah saw membagikan ghanimah (rampasan perang) kepada kaum Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya, dan tidak sedikit pun beliau memberi kepada kaum Anshar, sehingga timbul kasak-kusuk pembicaraan di kalangan mereka. Hingga salah seorang dari kaum Anshar ada yang berkata, “Demi Allah, Rasulullah telah menemukan kaumnya.’
Maksud sahabat Anshar itu adalah setelah peristiwa penaklukan kota Makkah (Fathul Makkah) dan kemenangan di Hunain, ia mengira Rasulullah akan kembali ke kotanya. Tidak kembali ke Madinah.
Atas peristiwa ini, kita akan mengerti benarlah Rasulullah saw ketika bersabda, “Sesungguhnya, setan dapat menyusup ke dalam aliran darah manusia.”
Setan ingin menanamkan ke dalam jiwa kaum Anshar rasa tidak puas terhadap kebijakan Rasulullah saw menyangkut pembaian rampasan. Barangkali setan menginginkan agar mereka menanggapi Nabi saw sebagai telah mengutamakan kaum kerabat serta orang-orang sekampungnya dan melupakan orang-orang Anshar.
Lalu apa yang dikatakan oleh Nabi saw kepada mereka setelah mendengar ‘protes’ tersebut?. Rasulullah saw mengumpulkan mereka di tempat yang khusus, kemudian berkhutbah dengan khutbah yang cukup panjang. Di antara isi khutbah itu berisi tentang penjelasan mengapa harta ghanimah itu tidak diberikan kepada kaum Anshar.
“Hai kaum Anshar, apakah kalian jengkel karena tidak menerima sejumput sampah keduniaan yang tidak ada artinya?. Dengan ‘sampah’ itu, aku hendak menjinakkan suatu kaum yang baru saja memeluk Islam, sedangkan kalian telah lama berislam. Hai kaum Anshar, apakah kalian tidak puas melihat orang lain pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasul Allah?. Demi Allah, apa yang kalian bawa pulang itu lebih baik daripada apa yang mereka bawa. Demi Allah yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, kalau bukan karena hijrah, niscaya aku menjadi salah seorang dari Anshar. Seandainya orang lain berjalan di lereng unun dan kaum Anshar juga berjalan di lereng gunung yang lain, aku pasti turut berjalan di lereng gunung yang ditempuh kaum Anshar. Sesungguhnya kalian akan menghadapi diskriminasi sepeninggalku. Karena itu bersabarlah hingga kalian berjumpa denganku di telaga (surga). Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada kaum anshar, kepada anak-anak kaum Anshar dan kepada cucu kaum Anshar.”
Sesungguhnya, khotbah yang disampaikan Nabi saw sebagai jawaban terhadap bisikan keraguan tersebut sarat dengan nilai-nilai kelembutan dan perasaan cinta yang mendalam kepada kaum Anshar. Akan tetapi, dalam waktu yang sama, juga sarat dengan ungkapan rasa sakit karena dituduh melupakan dan berpaling dari orang-orang yang paling dicintainya.
Renungkanlah kembali khotbah Nabi saw di atas, niscaya anda akan merasakan betapa khotbah itu telah mengandung ungkapan kekecewaan hati Nabi saw yang paling dalam dan getaran perasaannya yang paling lembut.
Kelembutan dan kekecewaan ini telah menyentuh perasaan kaum Anshar sehingga membuat hati mereka luruh, mengikis segala bentuk keraguan dan bisikan ketidakpuasan yang baru saja merasuki hati mereka. Karena itu, terdengarlah suara tangis mereka karena gembira mendapatkan Nabi saw dan rela menerima bagian mereka.
Apa artinya harta kekayaan, ternak, dan barang rampasan dibandingkan kembalinya kekasih mereka, Rasulullah saw, bersama mereka ke kampung halaman (Madinah) untuk hidup dan mati di antara mereka? Adakah bukti ketulusan cinta dan kasih sayang yang lebih besar selain kesediaan Nabi saw untuk meninggalkan tanah kelahirannya kemudian untuk seterusnya menetap bersama mereka?
Selain itu, kapankah harta benda pernah menjadi bukti cinta dan penghargaan dalam pandangan Nabi saw?
Memang, Nabi saw telah memberikan harta dan barang rampasan dalam jumlah besar kepada orang-orang Quraisy. Akan tetapi, apakah Nabi saw menyisihkan sesuatu dari harta tersebut untuk dirinya? Ataukah mengambil bagiannya sebanyak bagian orang-orang Anshar? Rasulullah saw hanya mengambil khumus (seperlima) yang telah dikhususkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk diserahkan kepada siapa saja yang dikehendakinya. Karena itu, dibaginya khumus tersebut kepada orang-orang Arab yang ada di sekitarnya.
Renungkanlah apa yang dikatakan Nabi saw kepada mereka ketika mereka mengelilinginya dan meminta tambahan pemberian, “Wahai manusia, demi Allah, aku tidak memperoleh dari barang rampasan kalian kecuali seperlima dan itu pun aku kembalikan lagi kepada kalian.”(Sumber: http://www.suara-islam.com/read/index/6728/Kecintaan-Rasulullah-Kepada-Kaum-Anshar)
Penjelasan Jakfari:
Sebuah Renungan Terhadap Konsep Keadilan Sahabat
Diantara doktrin yang tak henti-hentinya ditalqinkan oleh jumhûr penganut mazhab Ahlusunnah, khususnya yang Sunni Plus/Nashîbi (Ekstrimis Wahhâbi/Salafi) adalah bahwa seluruh sahabat[1] Nabi saw. adalah bersifat ‘Udûl (baik, tidak mungkin jahat dan menyengaja melanggar syari’at tanpa dasar). Dan barang siapa yang meragukan doktrin ini akan berhadapan dengan Pasukan Pembela Sahabat yang siap meluncurkan edisi fatwa terekstrim: Zindiq, Kafir dll!
Apabila ada yang mengatakan bahwa sahabat A atau B itu fasik apalagi munafik mereka segera menuduh Anda telah terpengaruh oleh Abdullah Ibnu Saba’ (si aktor Yahudi yang merusak Islam dengan menjelak-jelekkan para sahabat)…. Menuduh Anda berusaha meruntuhkan risalah agama dengan mencacat para pengembannya. Demikianlah doktrin itu dicekokkan di hampir setiap kesempatan, khususnya di pengajian atau pengkajian yang bernuansa menghujat ajaran Syi’ah!
Saya tidak pedulu dengan itu semua. Karena masalah ini telah lama menjadi bahan perdebatan mandul antara mereka yang menganut “Mazhab Pokoknya” dan para kritikus sejarah. Saya hanya mengajak Anda merenungkan beberapa catatan yang mungkin dapat membuka mata hati dan pikiran Anda (bukan mereka yang menganut “Mazhab Pokoknya”. Sebab bagi mereka apapun yang dapat meruntuhkan doqma mazhab mereka harus disingkirkan jauh-jauh…. Ayat-ayat Al Qur’an yang membombardir doqma mazhab mereka harus dilawan. Sesekali ditakwil dan sesekali dilupakan! Hadis-hadis palsu pun yang tak henti-hentinya diproduksi di masa subur pemalsuan. Dan diobral untuk mengggertak kaum awam di masa kini! Data-data sejarah pun harus diabaikan dan diragukan bahkan dibohongkan… Pokoknya, semua sahabat harus adil! Titik!!
Jangan-jangan Nabi saw. ”Agak Terpengaruh” Syi’ah!
Ketika mereka dikagetkan dengan banyak hadis Nabi saw. yang membongkar bahwa di antara sahabat-sahabat beliau tenyata ada yang munafik, (walaupun tidak semestinya mereka kaget sebab Al Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang membongkar kemunafikan sebagian sahabat, bahkan yang dekat sekalipun)… ketika memergoki hadis-hadis seperti itu dalam kitab-kitab hadis standar mungkin terbesit dalam kepala sebagian awam (yang sudah “tercerahkan” oleh doktrin “Mazhab Pokoknya”): jangan-jangan Nabi saw. sendiri sudah terpengaruh fitnah Syi’ah Sabaiyyah?! Atau jangan-jangan Nabi saw’ agak berpihak kepada kaum Syi’ah?!
Imam Ahmad dan para muhaddistîn lain telah meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:
إنَّ فِي أصحابِي مُنافِقِيْنَ.
“Di antara para sahabatku ada yang munafik.” [2]
Atau sabda Nabi saw. “Di antara sahabatku ada dua belas orang munafik, delapan di antaranya tidak pernah masuk surga sehingga onta memasuki lubang jarum.” Seperti diriwayatkan Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya[3].
Jumlah kaum munafik di antara sahabat Nabi saw. tidaklah sedikit. Terbukti bahwa dalam peperangan Uhud, Abdullah ibn Ubay ibn Salûl –gembong kaum Munafikin- membelot bersama tiga ratusan prajurit dari total jumlah prajurit sekitar seribut personil. [4] Akan tetapi karena satu dan lain hal, identitas sebagian mereka dirahasiakan demi menjaga nama baik mereka… akan tetapi ketika mereka tidak termasuk kelompok “Saqifah Group” maka kekebalan itu tidak lagi dipertahankan! Nama mereka akan disebutkan! Kedok kemunafikan mereka segera dibongkar. Mereka dijadikan tumbal untuk keselamatan teman-teman lainnya! Karenanya kaum munafik dari kalangan Anshar dibongkar kedok kemunafikan mereka, sementara kaum munafik dari kaum Quraisy dirahasiakan identitas mereka!
Ibnu Hisyam Membongkar Kedok Kemunafikan Kaun Ashar!
Gelar Anshar yang artinya para pembela kini tak lagi sakral. Kaum Anshar yang dikenal membela perjuangan da’wah Nabi saw. yang untuk mereka beberapa ayat turun memuji ketulusan keimanan dan perjuangan mereka, kini dibongkar data-data yang menaburkan keraguan atas mereka. Kaum Anshar ternyata tidak semuanya seperti yang kita bayangkan selama ini!
Ibnu Hisyam melaporkan dalam Sirahnya yang sangat terkenal itu di bawah judul pasal: Man Ijtama’a Ilâ al Yahûd Min Munafiqî al Anshâr/Kaum Munafik dari kalangan Anshar yang bergabung dengan kaum Yahudi, pada laporannya itu ia mengatakan:
“(Dari bani ‘Amr)
Ibnu Ishaq berkata, “Dan di antara kaum munafik dari suku Aus dan Khazraj[5] yang bergabung dengan kaum Yahudi –dalam persekongkolan mengkhianati Nabi saw.- yang nama-nama mereka disampaikan kepada kami adalah (Allah Maha Mengetahui): dari suku Aus tepatnya dari keluarga bani ‘Amr ibn Auaf ibn Mâlik ibn Aus kemudian dari suku bani Laudzân ibn ‘Amr ibn Auf adalah: Zuwai ibn al Hârits.
(Dari suku bani Habîb)
Dan dari suku bani Habîb ibn ‘Amr ibn ‘Auf adalah Julâs ibn Suwaid ibn Shâmid dan saudaranya yang bernama al Hârits ibn Suwaid.
Sekilas Tentang Julâs ibn Suwaid
Julâs adalah orang yang berkata -ketika ia membelot dari rombongan pasukan nabi dalam peperangan Tabûk-, “Jika orang ini (Nabi saw. maksudnya) benar, pastilah kita ini lebih jahat/jelek dari keledai.” Lalu ucapannya ini dilaporkan kepada Nabi saw. oleh ‘Umair ibn Sa’ad (anak tirinya sendiri). Lalu setelah dipanggil Nabi saw. dan ditanyakan kepadanya atas ucapannya itu, ia mengelak dengan bersumpah bahwa ia tidak mengatakannya. Lau turunlan beberapa ayat tentangnya:
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ ما قالُوا وَ لَقَدْ قالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَ كَفَرُوا بَعْدَ إِسْلامِهِمْ وَ هَمُّوا بِما لَمْ يَنالُوا وَ ما نَقَمُوا إِلاَّ أَنْ أَغْناهُمُ اللَّهُ وَ رَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْراً لَهُمْ وَ إِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذاباً أَليماً فِي الدُّنْيا وَ الْآخِرَةِ وَ ما لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَ لا نَصيرٍ
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam, dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya; dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat; dan mereka sekali- kali tidak mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (QS. At Taubah [9];74)
Sekilas Tentang al Hârits ibn Suwaid
Ia bergabung bersama pasukan kaum Muslim dalam peperangan Uhud dalam keadaan munafik, kemudian dia membunuh dua orang Muslim; al Mujadzdzar ibn Diyâb al Balwi dan Qais ibn Zaid[6], karena dahulu di sa’at terjadi peperangan di masa jahiliyah antara suku Aus dan Khazraj, al Mujadzdzar membunuh ayahnya. Dan setelahnya ia melarikan diri bergabung dengan kaum kafir Quraisy.[7]
(Dari suku bani Dhabî’ah)
Dan dari suku bani Dhabî’ah ibn Zaid ibn Mâlik ibn ‘Auf ibn ‘Amr ibn ‘Auf adalah: Bijâd ibn Utsman ibn ‘Âmir.
(Dari suku bani Ladzân)
Dan dari suku bani Ladzân ibn ‘Amr ibn ‘Auf adalah Nabtal ibn al Hârits. Dialah yang Nabi saw. bersabda tentangnya, “Barang siapa ingin menyaksikan setan maka hendaknya ia melihat Nabtal ibn al Hârits.” Dialah yang gemar menukil pembicaraan Nabi saw. kepada rekan-rekan kaum munafiknya dan mengejek Nabi saw. dengan ejekan bahwa beliau adalah bak telinga yang tak mampu membedakan omongan apapun, semuanya ia terima!
Maka Allah SWT menurunkan ayat:
وَ مِنْهُمُ الَّذينَ يُؤْذُونَ النَّبِيَّ وَ يَقُولُونَ هُوَ أُذُنٌ قُلْ أُذُنُ خَيْرٍ لَكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَ يُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنينَ وَ رَحْمَةٌ لِلَّذينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ الَّذينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذابٌ أَليمٌ
“Di antara mereka (orang- orang munafik) ada yang menyakiti Nabi dan mengatakan:” Nabi mempercayai semua apa yang didengarnya”. Katakanlah:” Ia mempercayai semua yang baik bagi kamu, ia beriman kepada Allah, mempercayai orang- orang mukmin, dan menjadi rahmat bagi orang- orang yang beriman di antara kamu”. Dan orang- orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih.” (QS. At Taubah [9];61)
(Dari suku bani Dhabî’ah)
Dan dari suku bani Dhabî’ah[8] adalah 1) Abu Habîbah ibn al Az’ar. -dia termasuk yang terlibat dalam pembangunan masjid Dhirâr-, 2) Tsa’labah ibn Hâthib, 3) Mu’tab ibn Qusyair- kedua orang ini yang berjanji jika ia diberi kelapangan rizki untuk bersedekah dan menjadi orang-orang yang shaleh. Tsa’labah ini yang berbicara ketika perang Uhud berkecamuk, “Andai kita punya kekuasaan pastilah kita tidak terbunuh di sini.” Maka Allah SWT menurunkan ayat mengecam sikapnya:
وَ طائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ يُخْفُونَ في أَنْفُسِهِمْ ما لا يُبْدُونَ لَكَ يَقُولُونَ لَوْ كانَ لَنا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ ما قُتِلْنا هاهُنا قُلْ لَوْ كُنْتُمْ في بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلى مَضاجِعِهِمْ وَ لِيَبْتَلِيَ اللَّهُ ما في صُدُورِكُمْ وَ لِيُمَحِّصَ ما في قُلُوبِكُمْ وَ اللَّهُ عَليمٌ بِذاتِ الصُّدُورِ
“… sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata:” Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini” Katakanlah:”Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah”. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata:” Sekiranya ada bagi kita barang sesuatu) hak campur tangan (dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”. Katakanlah:” Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang- orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar (juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” (QS. Âlu “imrân [3];154)
Dan dialah yang juga berkomentar miring pada hari peperangan Ahzâb/Khandaq, “Muhammad menjanjikan kita untuk menikmati harta simpanan raja Kisra dan Kaisar, sementara seorang dari kita kini tidak merasa aman atas dirinya ketika pergi ke tempat buang air. Maka Allah SWT menurunkan ayat:
وَ إِذْ يَقُولُ الْمُنافِقُونَ وَ الَّذينَ في قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ ما وَعَدَنَا اللَّهُ وَ رَسُولُهُ إِلاَّ غُرُوراً
“Dan (ingatlah) ketika orang- orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata:” Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (QS. Al Ahzâb [33];12 (
4) al Hârits ibn Hâthib.
Ibnu Jakfari berkata:
Sebagian orang –termasuk Ibnu Hisyâm- meragukan bahwa Mu’tab dan kedua putra Hâthib adalah termasuk kaum munafik, dengan satu alasan yang terkesan lugu yaitu karena mereka ikut serta dalam perang Badr. Akan tetapi jujur saja harus dikatakan bahwa tidak alasan yang meinscayakan bahwa tidak mungkin seorang pun dari yang ikut serta dalam peperangan Badr itu munafik! Mungkin anggapanj itu didasarkan kepada sebuah riwayat yang sangat ganjil dari sisi kandungannya konon diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda, “Bisa jadi Allah telah menyaksikan para peserta peperangan Badr lalu berfirman, ‘lakukan sekehandak kalian, Aku telah ampuni kalian semua.’”
Selain mereka, Ibnu Hisyam juga menyebutkan nama-nama sebagai berikut: 5) ‘Abbâd ibn Hunaif saudara Sahl ibn Hunaif, 6) Bahzaj. Mereka termasuk yang terlibat dalam pembangunan masjid Dhihrâr. 7) ‘Amr ibn Khidâm dan 8.). Abdullah ibn Nabtal.
(Dari bani Tsa’labah)
Dan dari suku bani Tsa’labah ibn ‘Amr ibn ‘auf adalah: 1) Jâriyah ibn ‘Âmir ibn al ‘Aththâf, dan keduan putranya 2) Zaid dan 3) Mujamma’. Mereka termasduk yang terlibat dalam pembangunan masjid Dhihrâr.
Catatan Penting!
Yang sangat membingungkan adalah laporan Ibnu Hisyâm bahwa Mujamma’ adalah seorang pemuda cerdas yang telah menghafal hampir seluruh Al Qur’an. Dialah yang bertindak sebagai imam dalam shalat di masjid Dhirâr itu. Dan di masa kekhalifahan Umar ibn al Khaththâb ada usulan agar ia diangkat kembali menjadi imam shalat, tetapi Umar menolak dengan alasan: “Bukankah ia adalah imamnya kaum munafikin di masjid Dhirâr!” Dan setelah ia berasalan di hadapan Umar bahwa ia tidak tau apa-apa tentang niatan jahat mereka. Ia hanya diminta memimpin mereka shalat maka ia lakukan, maka Umar pun mengizinkan kembali.
Ibnu Jakfari berkata:
Selain nama-nama yang telah saya sebutkan banyak nama lainnya yang dibongkar Ibnu Hisyâm dalam kitab Sirâh-nya hal mana menimbulkan pertanyaan serius, bagaimana di kalangan sahabat Anshar kok ada yang munafik? Bukankah mereka semua itu ‘udûl? Lalu bagaimana nasib doktrin yang selama ini disakralkan bahwa semua sahabat Nabi saw. itu‘udûl?
Lalu apakah ada pula kaum munafik dari suku Quraisy yang selama bertahun-tahun getol memerangi Nabi Muhammad saw. dan hanya terpaksa berhenti berterang-terangan memerangi Nabi saw. ketika mereka ditaklukkan dengan ditaklukkannya kota suci Mekkkah?
Sementara ada ayat yang sangat serius turun untuk sebagian mereka, khususnya aimmatul kufri, para pembesar kafir Quraisy yang selalu menjadi pelopor dalam memerangi Nabi saw…
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ خَتَمَ اللّهُ عَلَى قُلُوْبِهمْ وَ عَلَى سَمْعِهِمْ وَ عَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَ لَهُمْ عَذَابٌ عظِيْمٌ
“Sesungguhnya orang-orang kafir tidak berbeda bagi mereka, baik engkau memberikan peringatan kepada mereka atau tidak; mereka tidak akan beriman* Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka (dihalangi oleh) sebuah penutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat. ” (QS. Al Baqarah [2];6-7)
Para mufassirin, di antaranya adalah Ibnu Jarîr ath Thabari, Ibnu Mundzir dan ibnu Abi Hâtim meriwayatkan bahwa kedua ayat ini turun berkaitan dengan para pembesar kafir Quraisy, di antaranya adalah Abu Sufyân [9] (ayah Mu’awiyah dan kakek Yazid serta suami Hindun si pengunyah jantung Sayyidina Hamzah; paman Nabi saw.) dan al Hakam ibn al ‘Âsh (moyang para penguasa bani Marwân/dinasti Umayyah)[10].
Jadi pertanyaan yang mungkin muncul ialah: mungkinkah orang-orang yang oleh Allah divonis tidak akan beriman: Sesungguhnya orang-orang kafir tidak berbeda bagi mereka, baik engkau memberikan peringatan kepada mereka atau tidak; mereka tidak akan beriman, dan telah dikabarkan bahwa Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka (dihalangi oleh) sebuah penutup, mungkinkah mereka itu akan beriman dengan sepenuh hati?
Mereka tidak mungkin akan beriman dengan tulus walaupun mereka mengikrarkannya dengan lisan!
Selain itu, Anda berhak mempertanyakan, mengapakah hanya kaum Anshar saja yang menjadi bulan-bulanan pembongkaran data kemunafikan ini?
Dan terakhir yang menarik untuk diteliti adalah mengapakah maraknya terma munafik dan kenufikan itu hanya ada di masa hidup Nabi saw. saja, sementara, sepeninggal beliau seakan tidak ada lagi kaum munafikin! Lalu kemanakah mereka itu?
Apakah mereka kini, sepeninggal Nabi saw. mendadak berubah menjadi kaum Mukminin yang tulus keimanannya?
Lalu apakah yang menghalangi mereka di masa hidup Nabi saw. untuk menjadi mukmin sejati?
Apakah keberadaan Nabi saw. di tengah-tengah mereka dengan serba-serbi mu’jizat yang beliau miliki jusretu menghalangi mereka dari beriman dengan tulus?
Mengapa? Mungkinkah keberadaan beliau ssaw. menjadi penghalang bagi keimanan mereka?
Jika keberadaan Nabi saw. menjadi penghalang bagi keimanan mereka, lalu siapakah yang dapat menjadi pelancar keimanan kaum munafikin itu?
Atau justru, kekuasaan menuntut kita untuk merahasiakan nama dan data kaum munafik, karena mereka kini berpartisipasi dalam kabinet gotong royong pemerintahan “Saqifah Group”?
Atau kini kemunafikan telah tidak lagi menjadi trend yang digemari kaum munafikin, sebab berterang-terang dalam menampakkan kekafiran tidak menjadi apa-apa, ia sudah menjadi fenomena biasa yang ditoleransi?
Atau ada alasan lain, lastu adri!
Wallahu A’lam Bihaqîqatil Umûr.
Catatan Kaki:
[1] Para ulama Ahlsunnah mendefenisikan Sahabat dengan: Setiap orang yang melihat Nabi saw. dalam keadaan Muslim walaupun hanya melihatnya sebentar saja. Lebih lanjut baca: Syarah Imam Nawawi atas Shahih Muslim,16/85.
[2] Musnad Ahmad,4/83 hadis dengan nomer urut:16810 dan Musnad ath Thayâlisi,1/128 hadis dengan nomer urut:949.
[3] Shahih Muslim,4/2143 hadis dengan nomer urut 2779.
[4] Târîkh ath Thabari,2/60. Demikian juga dalam peparangan Tabûk ada sekitar delapan puluh sahabat sengaja absen tidak mau ikut serta bergabung bersama pasukan kaum Muslimin. (Baca Fathu al Bâri,8/113).
[5] Suku Aus dan Khazraj adalah dua suku yang membentuk masyarakat kota madinah yang menyambut Nabi saw… yang kemudian mereka disebut dengan nama Al anshar.
[6] Ada yang mengatakan bahwa ia hanya membunuh al Mujadzdzar seorang.
[7] Ketarngan selengkapnya dipersilahlkan dirujuk dalam Sirah Ibnu Hisyam.
[8] Bisa jadi ia bukan suku bani Dhabî’ah ibn Zaid yang telah disebutkan sebelumnya.
[9] Para sejarawan Islam seperti ath Thabari melaporkan bahwa dalam peperangan Hunain, ketika Abu Sufyan ikut serta bersama para sahabat lainnya (tentunya setelah ia mengikrarkan syahadatain dengan lisan kerena terpaksa sebagai syarat formal menjadi sahabat Nabi saw. yang diyakini kaadilannya oleh Ahlusunnah), ia menanti-nantikan saat kekalahan kaum Muslimin dan ia selalu membawa serta azlâm, arca-arca kecil sesembahannya. (Târîkh ath Thabari,2/168). Abu Sufyan, Hakîm ibn Hizâm dan Shafwân ibn Umayyah –mereka adalah gembong kagfir Quraisy yang terpaksa mengikrarkan syahadatain- mereka menanti-nanti kekalahan atas kaum Muslimin. (Mushannaf; Ibnu Abi Syaibah,7/418 hadis dengan nomer urut:36996.)
[10] Dalam banyak hadis, seperti diriwayatkan ulama dari Aisyah dan lain bahwa Nabi saw. telah mengutuk al Hakam dan Marwan anaknya serta keturunan dari sulbinya.
Disisi Lain ada Sahabat Anshar Menyakiti Nabi Saw
Tidak ada yang meragukan kemuliaan sahabat Anshar tetapi tidak semua sahabat Anshar baik perilakunya. Di antara mereka ada yang pernah menyakiti Nabi SAW dengan kata-kata yang tidak pantas, tentu perilaku seperti ini tidak patut untuk diteladani.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad 1/453 no 4331;
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا عفان ثنا حماد بن سلمة قال أنا عاصم بن بهدلة عن أبي وائل عن بن مسعود قال تكلم رجل من الأنصار كلمة فيها موجدة على النبي صلى الله عليه و سلم فلم تقرني نفسي أن أخبرت بها النبي صلى الله عليه و سلم فلوددت اني افتديت منها بكل أهل ومال فقال قد آذوا موسى عليه الصلاة و السلام أكثر من ذلك فصبر ثم أخبر ان نبيا كذبه قومه وشجوه حين جاءهم بأمر الله فقال وهو يمسح الدم عن وجهه اللهم اغفر لقومي فإنهم لا يعلمون
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Affan yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ashim bin Bahdalah dari Abi Wail dari Ibnu Mas’ud yang berkata “Seorang laki-laki Anshar membicarakan sesuatu yang menyinggung Nabi SAW “. Aku merasa tidak tenang sebelum menceritakannya kepada Nabi SAW. Aku sungguh rela bila dapat menebus pembicaraan itu dengan seluruh keluarga dan hartaku. Beliau lalu bersabda “Mereka(Umat Musa) telah menyakiti Musa AS lebih dari itu tetapi dia tetap bersabar”. Beliau lalu menceritakan tentang seorang Nabi yang dianggap berbohong oleh masyarakat(kaum) nya. Mereka melukainya saat dia mendatangi mereka dengan membawa perintah Allah, Lalu dia berdoa sambil mengusap darah dari wajahnya “Ya Allah ampunilah kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui”.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad no 4331 berkata:
صحيح لغيره وهذا إسناد حسن
Shahih lighairihi dan sanad hadis ini hasan.
Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad no 4331 menyatakanbahwa hadis ini shahih. Apa sebenarnya yang dikatakan oleh sahabat Anshar tersebut sehingga begitu terasa berat bagi Ibnu Mas’ud?. Jika kita melihat respon Nabi SAW maka kita mengetahui bahwa sungguh perkataan sahabat Anshar tersebut telah menyakiti Nabi SAW. Dalam Musnad Ahmad 1/380 no 3608 disebutkan dengan jelas perkataan sahabat Anshar tersebut.
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو معاوية ثنا الأعمش عن شقيق عن عبد الله قال قسم رسول الله صلى الله عليه و سلم ذات يوم قسما قال فقال رجل من الأنصار إن هذه لقسمة ما أريد بها وجه الله عز و جل قال فقلت يا عدو الله أما لأخبرن رسول الله صلى الله عليه و سلم بما قلت قال فذكر ذلك للنبي عليه الصلاة و السلام فاحمر وجهه قال ثم قال رحمة الله على موسى لقد أوذي بأكثر من هذا فصبر
Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah yang berkata telah menceritakan kepada kami Al’Amasy dari Syaqiq dari Abdullah yang berkata “Suatu hari Rasulullah SAW membagi-bagikan harta rampasan”. Ia berkata “Lalu seorang laki-laki dari kalangan Anshar berkata “Ini adalah pembagian yang tidak didasari mencari ridha Allah ‘azza wajalla”. Ia berkata “aku berkata ‘wahai musuh Allah sungguh akan aku ceritakan kepada Rasulullah SAW apa yang barusan kamu katakan”. Ia berkata “lalu disebutkan hal itu kepada Nabi SAW dan memerahlah wajah Beliau”. Ia berkata “kemudian Beliau bersabda”Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Musa, Ia telah disakiti lebih dari ini namun ia tetap bersabar”.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiq Musnad Ahmad no 3608 berkata:
إسناده صحيح على شرط الشيخين
Hadis ini sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhari Muslim
Hadis ini juga dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad no 3608. Jelas sekali perkataan sahabat Anshar tersebut sangat tidak layak untuk dikatakan sampai-sampai Ibnu Mas’ud menyebut sahabat Anshar tersebut dengan sebutan “Musuh Allah”. Dan tidak diragukan lagi bahwa perkataan shahabat Anshar tersebut telah menyakiti Nabi SAW.
(Jakfari/Mawaddahfi-Ahlil-Bayt/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email