Jatuhnya Presiden Suharto pada Mei 1998 melepaskan kekangan aktivitas politik lintas spektrum politik. Para aktivis Islamis, yang kian berani berkat kebebasan baru demokrasi Indonesia, mengorganisir diri dari semula kecil namun bertumbuh, dan sewaktu-waktu berpotensi jadi kekuatan politik. Beberapa partai politik, termasuk partai-partai arus-utama terbesar, melobi presiden terpilih untuk mendorong dan menerapkan pelbagai kebijakan yang membatasi kebebasan agama minoritas.
Huru-hara politik juga meledak pasca jatuhnya Suharto. Di bagian utara Sumatra, para pemberontak Aceh menuntut referendum yang sama seperti di Timor Timur pada 1999.
Di Kalimantan, milisi Dayak dan Melayu membantai pemukim Madura pada 1999-2003, sementara ribuan lebih orang tewas selama konflik sektarian di kepulauan Maluku pada 1999-2004.
Kekerasan sektarian antara Kristen dan Muslim juga meletus di Poso, Sulawesi.
Selepas Suharto jatuh, pengaruh politik Islam konservatif kian meningkat, sebagian karena partai-partai politik Islamis diizinkan memainkan peran legal dan terbuka dalam politik Indonesia, dan sebagian lagi karena kelompok-kelompok masyarakat sipil garis keras, yang beroperasi di luar sistem politik, berkembang dalam jumlah, ukuran, dan ditempa pengalaman.
Pada pemilihan anggota parlemen Juni 1999, partai-partai politik yang mengumumkan identitasnya sebagai pembela asas-asas Islam , terdiri 20 dari 48 parpol, ikut pemilu. Dua Partai nasionalis “sekuler” terkemuka memenangkan 56 persen suara, sementara partai-partai beridentias Muslim mengumpulkan sekitar 37 suara, dengan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Amanat Nasional, yang berpandangan moderat, masing-masing meraih 12 dan 7 persen suara. Dua partai Islamis, yang secara terbuka mengampanyekan Syariat Islam, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Keadilan, memperoleh 11 dan 1,5 persen suara.
Pasca-Suharto, kalangan Islamis, sebagaimana kelompok lain, memakai ruang demokrasi yang luas untuk menyebarkan dan mempromosikan gagasannya. Kelompok Islamis populis dan bahkan militan berkembang dengan mantap dalam menggalang kekuatan. Mereka termasuk Front Pembela Islam (FPI), dibentuk Agustus 1998, tiga bulan setelah Suharto lengser, dengan dukungan dari aparat keamanan yang saat itu bertujuan menantang kelompok mahasiwa yang memainkan peran kunci mendesak Suharto mundur.
Sejak Yudhoyono menjabat presiden pada Desember 2004, terjadi peningkatan kekerasan dengan sasaran Ahmadiyah, Kristen, Syiah, dan minoritas agama lain, sebagaimana data dari Setara Institute, yang dipaparkan di atas. Lebih dari 430 gereja diserang sejak 2004, menurut Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Serangan terhadap masjid-masjid Ahmadiyah meningkat dengan mencolok sejak Yudhoyono menuruti tekanan kelompok-kelompok Islamis garis keras dan mengeluarkan surat keputusan bersama anti-Ahmadiyah pada Juni 2008. Sejak itu, sedikitnya 30 masjid Ahmadiyah disegel.
Kendati empat presiden pasca-Suharto membuat kemajuan dalam transformasi Indonesia menuju demokrasi yang menghormati hak asasi manusia, mereka juga menghadapi tantangan serius dari Islamis militan. Tantangan itu termasuk pemboman, serangan mematikan terhadap komunitas Ahmadiyah, dan penutupan paksa gereja-gereja Kristen.
Sementara kelompok Islamis terus-menerus melakukan serangan, pemerintah di tingkat pusat dan daerah gagal mengambil tindakan serius terhadap mereka yang bertanggung jawab menciptakan iklim yang kian menggaungkan ketakutan di Indonesia terhadap penganut minoritas agama. Untuk itulah, pemerintah dari presiden hingga level terbawah bertanggung jawab atas situasi tersebut.
(HRW/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email