Pesan Rahbar

Home » » Penulisan Sejarah Khulafa’ur Rasyidin: Antara Muhadits dan Muarikh.

Penulisan Sejarah Khulafa’ur Rasyidin: Antara Muhadits dan Muarikh.

Written By Unknown on Monday, 7 July 2014 | 09:47:00



Pendahuluan.
Khulafa’ur Rasyidin telah memainkan peranan yang penting dalam kelangsungan umat Islam pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahun ke-11 Hijriyah. Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘Anh mengambil alih kepimpinan beliau dan terus menjalankan tanggungjawab yang besar dalam membuat keputusan-keputusan kritikal yang bukan saja melibatkan tindakan politik tetapi melibatkan asas-asas utama agama dalam memerangi golongan Murtadin, kelompok yang enggan membayar zakat serta kemunculan pengaku kenabian palsu, Musailamah Al Kadzdzab. Tindakan cepat Abu Bakar dalam menyusun kembali fokus umat Islam di Madinah ketika itu, diulas oleh Abu Hurairah, “Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, kalaulah Abu Bakar tidak dilantik menjadi pengganti (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), niscaya Allah tidak lagi disembah.” (Ibn Katsir: 6/309).

Proses transisi kepimpinan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Khulafa’ur Rasyidin berhadapan dengan berbagai kejadian yang kemudian dipahami oleh umat Islam sebagai peristiwa-peristiwa paling kontroversi. Ini adalah karena perpecahan umat Islam kepada berbagai aliran politik yang kemudian menjadi aliran aqidah seperti Syiah dan Khawarij adalah merujuk kepada tafsiran mereka kepada peristiwa-peristiwa yang kontroversi itu tadi. Pemilihan Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anh sebagai Amirul Mu’minin (11 Hijriyah), perselisihan pendapat antara Fathimah binti Muhammad Radhiyallahu ‘Anha dengan beliau, bai’at Ali Radhiyallahu ‘Anhu kepadanya, membawa kepada pelantikan Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘Anh sebagai pengganti (13 Hijriyah), pembunuhan beliau (23 Hijriyah), perlantikan Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anh (24 Hijriyah), peperangan Jamal (36 Hijriyah), pelantikan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anh sebagai pengganti (36 Hijriyah), peperangan Siffin (37 Hijriyah), konflik yang berlarut-larus antara beliau bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘Anh, hingga membawa kepada terbunuhnya pula Ali (40 Hijriyah) yang berakhir hingga Hasan bin Ali menyerahkan kepimpinan beliau kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘Anh enam bulan selepas itu. Mu’awiyah menamatkan konflik dalaman umat Islam selama tiga puluh tahun itu di bawah kepimpinannya pada tahun 41 Hijriyah.

Peristiwa-peristiwa kontroversi tersebut diketahui dan ditafsir oleh umat Islam melalui riwayat-riwayat yang terdapat di dalam berbagai sumber rujukan. Selain isu keshahihan riwayat, kaidah periwayatan yang berbeda di antara seorang pengumpul dan penulis buku dengan seorang yang lain, menjadi permasalahan yang bisa dikaji. Justru makalah ini akan meninjau aspek metode penulisan sejarah oleh muhaddits dan muarrikh di dalam penulisan sejarah zaman Khulafa’ur Rasyidin.

Kedudukan Para Shahabat.
Penulisan sejarah berkaitan para Shahabat mempunyai implikasi yang berbeda daripada penulisan sejarah Islam era yang lain. Selain daripada sintesis sumber pada membedakan di antara yang betul dan salah, para Shahabat mempunyai kedudukannya yang khusus seperti yang diterangkan oleh Al Quran dan Hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ibnu Hajar Al Asqalani menukilkan daripada Al Khatib Al Baghdadi bahwa beliau telah berkata, “Keadilan para Shahabat adalah ditetapkan dan maklum dengan ta’dil yang dilakukan oleh Allah berkenaan mereka dan pemberitahuan Allah tentang kesucian mereka serta pilihan-Nya terhadap mereka. Antaranya adalah firman Allah:
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (karena) kamu menyuruh berbuat segala perkara yang baik dan melarang daripada segala perkara yang salah (buruk dan keji), serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan sebenar-benar iman)…” (Q3:110).

“Dan demikianlah (sebagaimana Kami telah memimpin kamu ke jalan yang lurus), Kami jadikan kamu (wahai umat Muhammad) satu umat yang pilihan lagi adil, supaya kamu layak menjadi orang yang memberi keterangan kepada umat manusia (tentang yang benar dan yang salah) dan Rasulullah (Muhammad) pula akan menjadi orang yang menerangkan kebenaran perbuatan kamu” (Q2:143).

“Demi sesungguhnya! Allah reda akan orang-orang yang beriman, ketika mereka memberikan pengakuan taat setia kepadamu (wahai Muhammad) di bawah naungan pohon (yang termaklum di Hudaibiyah); maka (dengan itu) ternyata apa yang sedia diketahuiNya tentang (kebenaran iman dan taat setia) yang ada dalam hati mereka, lalu Ia menurunkan semangat tenang tenteram kepada mereka, dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat masa datangnya” (Q48:18).

“Dan orang-orang yang terdahulu – yang mula-mula (berhijrah dan memberi bantuan) dari orang-orang “Muhajirin” dan “Ansar”, dan orang-orang yang menurut (jejak langkah) mereka dengan kebaikan (iman dan taat), Allah reda akan mereka dan mereka pula reda akan Dia, serta Ia menyediakan untuk mereka Syurga-syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; itulah kemenangan yang besar” (Q9:100).

… di dalam ayat (Al Quran) yang banyak dan panjang pada menyatakannya serta hadits-hadits yang masyhur, banyak jumlahnya. Kesemuanya itu menjurus kepada kemuktamadan pendirian tentang keadilan mereka, tanpa pengecualian pun dari kalangan mereka – dengan adanya ta’dil Allah buat mereka – berhajatkan kepada ta’dil seseorang dari kalangan makhluk. Bahkan jika tiada sekali pun apa-apa keterangan dari Allah dan Rasul-Nya berkenaan mereka seperti yang telah kami uraikan, niscaya keadilan mereka tetap tidak berubah berdasarkan apa yang telah mereka lakukan semasa Hijrah, jihad dan perjuangan membantu Islam, mengorbankan jiwa dan harta, memerangi bapak-bapak dan anak-anak sendiri, nasihat menasihati di dalam agama, kekuatan iman dan keyakinan, maka muktamadlah keadilan mereka serta iktikad tentang kesucian mereka. Mereka seluruhnya lebih mulia daripada sekalian generasi yang datang kemudian, dan diutamakan melebihi sesiapa yang datang sesudah mereka… Sekiranya engkau bertemu dengan seseorang yang menghina salah seorang dari Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam maka ketahuilah bahwa ia itu Zindiq. Demikian itu adalah karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benar, Al Quran adalah benar, apa yang datang dengannya juga adalah benar. Sesungguhnya semua itu sampai kepada kita melalui para Shahabat, sementara mereka (yakni golongan yang mencela Shahabat) mahu menjatuhkan saksi-saksi kita, untuk membatalkan Al Kitab dan As Sunnah…)[1]

Kedudukan para Shahabat seperti yang dinyatakan ini, mempengaruhi penulisan sejarah berkenaan mereka. Abdelkader I. Tayob berpendapat persoalan kedudukan para Shahabat ini memainkan peranan yang sangat penting  dalam Pandangan Alam Islam dan bukan sekadar kesan penyusunan ide oleh ahli sejarah seperti Ath Thabari.  Beliau mengatakan bahwa Baghdad pada kurun ke-9, motif seperti ini di dalam sumber rujukan, bukan hanya memberikan kesan kepada isu-isu penulisan sejarah, malah turut diperdebatkan oleh sarjana-sarjana di dalam majlis mereka karena ia memberikan dampak yang mendalam kepada makna dan tabiat Islam itu sendiri. (Abdelkader I. Tayob: 204).

Apabila para Shahabat dilihat sebagai periwayat dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang  berada di kedudukan tertinggi di dalam silsilah perawi, sudah tentu kelompok yang paling memberi perhatian kepada hal ihwal para Shahabat ini terdiri daripada Muhaddits sebagai golongan pertama yang melakukan pengumpulan serta analisa kepada riwayat-riwayat daripada Shahabat, oleh Shahabat dan berkenaan Shahabat.

Walau bagaimana pun, tradisi ini bukanlah muncul secara tiba-tiba. Sebaliknya ia bersifat kesinambungan kepada kaidah penulisan sejarah kaum Arab yang telah terwujud semenjak di era pra Islam. Riwayat-riwayat bersanad dipindahkan secara lisan daripada satu generasi ke satu generasi sehingga tibanya Islam dan mengubah tabiat penulisan sejarah itu menjadi sesuatu yang baru.

Perkembangan Penulisan Sejarah Awal Arab  Islam.
Kaum Arab mempunyai kaidah mereka sendiri dalam merekamkan sejarah. Semenjak  era pra Islam, kaum Arab Selatan di Yaman dan Arab Utara di Syam sudah pun biasa dengan tradisi menukilkan kisah berkenaan raja-raja Arab terdahulu, keperwiraan kabilah masing-masing, berhala-berhala sembahan serta segala kemegahan mereka. Riwayat-riwayat yang juga disebut sebagai Al Ayyam ini disampaikan secara lisan daripada satu generasi kepada satu generasi.

Abdul Aziz Ad Duri menyatakan bahwa riwayat-riwayat Yamaniyyah terbentuk di dalam sumber-sumber awal dan keseluruhannya lebih bersifat hikayat dan tidak benar. Syair-syair yang menceritakan perihal kehidupan Arab pra Islam ini dinilai oleh Ad Duri tidak berupaya untuk menggambarkan bentuk kehidupan Arab Jahiliah. Dalam arti kata yang lain, riwayat-riwayat sejarah di era pra Islam diriwayatkan tanpa mengambil perkiraan keshahihan isi kandungannya, dan hanya dipilih berdasarkan apa yang memenuhi objektif membuktikan kebanggaan kabilah masing-masing dan bangsa Arab itu sendiri secara umum.

Penulisan sejarah era Jahiliah ini, biar pun kebanyakannya hilang karena tiada proses mencatatnya secara sempurna dan pendirian era Islam yang menolak terhadap adat Jahiliah dengan berhala-berhalanya, ia menjadi ciri unik yang membedakan penulisan sejarah Arab berbanding dengan kaum yang lain, apabila sejarah bergantung kepada riwayat yang bersanad. Ini menyediakan asas yang penting kepada perkembangan ilmu di zaman kenabian Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang kemudian dikenali sebagai Al Hadits.

Al Quran memberikan makna yang baru kepada sejarah apabila kisah-kisah (Al Qasas) tentang kaum silam dinyatakan di dalam ayat-ayat Al Quran dengan motif ibrah. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Demi sesungguhnya, kisah Nabi-nabi itu mengandungi pelajaran yang mendatangkan ibrah bagi orang-orang yang mempunyai akal pikiran. (Kisah Nabi-nabi yang terkandung dalam Al Quran) bukanlah ia cerita-cerita yang diada-adakan, tetapi ia mengisahkan apa yang tersebut di dalam Kitab-kitab agama yang terdahulu darinya, dan ia sebagai keterangan yang menjelaskan tiap-tiap sesuatu, serta menjadi hidayah petunjuk dan rahmat bagi kaum yang (mau) beriman” (Q12:111).

Ar Raghib Al Asfahani menjelaskan pengertian Ibrah (العبرة) atau Iktibar (الاعتبار) sebagai apa yang menghubungkan dengannya pengetahuan pihak yang menyaksikan kejadian dengan yang tidak menyaksikannya[2] (Ar Raghib Al Asfahani: 320). Cerita-cerita di dalam Al Quran disampaikan dengan tujuan memahami sebab dan akibat sesuatu peristiwa serta hubungannya dengan kehidupan saat ini. Motif ini mengubah tabiat penulisan sejarah Arab dari menerima riwayat seperti pengumpul, kepada membuat penilaian terhadap keshahihan isi kandungannya seperti seorang penganalisa.

Ketelitian para Shahabat sendiri dalam memperkatakan sesuatu perkara yang mau dinisbatkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi tabiat yang penting pada diri generasi Shahabat selaku perawi pertama. Ia bersesuaian dengan peringatan yang diberikan oleh Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri:
“Barangsiapa yang mendustakan aku dengan sengaja maka tersedialah baginya tempat duduk daripada api Neraka” (Hadits riwayat Muslim).

Al Hadits atau As Sunnah merupakan satu lagi bentuk keunikan perkembangan ilmu kritikan ke atas riwayat. Ia menjadi asas yang baik pada perkembangan ilmu sejarah. Kaum muslimin di peringkat awal merekod dan menyampaikan secara lisan semua riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di sebagian keadaan para Shahabat dilarang oleh Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari menulis kata-katanya karena bimbang berlaku kekeliruan di kalangan sebagian Shahabat antara Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan ayat-ayat Al Quran. Namun dalam masa yang sama, ada juga beberapa orang Shahabat yang diberi keizinan khusus oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menulis Hadits dengan tujuan untuk memeliharanya.

Antara Shahabat itu adalah Abdullah bin Amr dan lain-lainnya. Walau bagaimana pun, kita tidak mengetahui secara jelas apakah isi kandungan yang terkandung di dalam lembaran-lembaran yang pernah ditulis oleh penulis di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini karena kebanyakan mereka memusnahkan lembaran tersebut. Mereka khawatir ia jatuh ke tangan bukan ahli ilmu lalu menafsirnya secara salah (Muhammad Fathi Utsman: 123).

Umar bin Abdul Aziz Radhiyallahu ‘Anh telah menekankan tentang pentingnya menghimpun hadits-hadits nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau pernah menulis surat kepada penduduk Madinah dan berkata, “Perhatikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tuliskan ia. Sesungguhnya yang aku khawatirkan proses menuntut ilmu dan pupus ahlinya.” Perintah ini telah diajukan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm. Begitu juga dengan Ibnu Shihab Az Zuhri untuk menghimpun Sunan. Selain itu, yang lain juga ialah Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, salah seorang dari Tujuh Fuqaha’ Madinah. Akan tetapi Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia sebelum proyek tersebut siap. Beliau hanya sempat menyaksikan usaha-usaha awal yang dilakukan oleh Ibnu Shihab Az Zuhri seperti yang beliau nyatakan, “Kami telah diperintahkan oleh Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan Sunan. Lalu kami lakukan ia dengan menulisnya naskhah demi naskhah. Lalu naskhah tersebut diantar ke setiap negeri yang diperintah.” (Muhammad Fathi Uthman: 126).

Kemunculan Maghazi dan Sirah.
Di peringkat ini, hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diriwayatkan lebih kepada motif memeliharanya sebagai sumber hukum. Hadits sebagai sumber hukum, lebih dikenali sebagai As Sunnah, merujuk kepada riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selepas pengangkatan beliau sebagai Rasul.  Di dalam konteks yang lebih luas, pemeliharaan riwayat dari  atau mengenai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam turut dilihat daripada sudut Beliau sebagai pemimpin yang dikasihi, dan segala mengenainya perlu diketahui. Sisi ini dikenali sebagai Sirah.

Penulisan Sirah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan cabang dari Sejarah Islam. Di peringkat awal, ia lebih dikenali sebagai Al Maghazi. Walaupun Al Maghazi lebih tertumpu kepada peperangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia mencakupi catatan seluruh kehidupan kenabian Beliau. Antara mereka yang banyak mengumpul riwayat Al Maghazi ini adalah anak-anak para Shahabat sendiri. Misalnya Aban bin Utsman bin Affan dan Urwah bin Az Zubair.

Aban bin Utsman bin Affan mengumpul riwayat yang banyak diambil darinya oleh ahli Hadits. Tidak banyak ahli Sejarah yang meriwayatkan dari beliau, kecuali Al Ya’qubi. Berbeda dengan Urwah bin Az Zubair. Abdul Aziz Ad Duri berpendapat, Urwah merupakan orang pertama yang menulis Al Maghazi. Tulisan beliau sampai kepada kita melalui apa yang diriwayatkan oleh Ath Thabari, Ibnu Ishaq, Al Waqidi, Ibn Sayyid An Nas dan Ibn Katsir. Walaupun pengumpulan riwayat oleh Urwah bin Az Zubair sampai kepada era Khulafa’ur Rasyidin, riwayat-riwayatnya bersifat kucar kacir dan sukar hendak dirumuskan. Abdul Aziz Ad Duri membuat kesimpulan bahwa perkembangan penulisan sejarah hingga ke peringkat Al Maghazi, lebih bersifat pengumpulan. Usaha-usaha individu membina bagian-bagian madrasah Al Maghazi ini yang mana setiap seorang menambah apa yang telah dilakukan oleh guru-guru mereka yang terdahulu (Ad Duri: 22).

Turut sama menyumbang kepada perkembangan ilmu Al Maghazi ini adalah Shurahbil bin Sa`d. Beliau telah mengusahakan daftar nama para Shahabat yang menyertai  peristiwa-peristiwa yang besar seperti Perang Badar dan Uhud, serta mereka yang menyertai Hijrah ke Habshah dan Madinah.

Pengasingan Ilmu Sejarah Dari Maghazi.
Usaha awal yang dilakukan oleh Aban, Urwah dan Shurahbil diteruskan oleh beberapa tokoh lain pada mengembangkan ilmu Maghazi. Abdullah bin Abi Bakar ibn Hazm, Asim bin Umar bin Qatadah, Muhammad bin Muslim bin Shihab Az Zuhri adalah pelopor utama kepada generasi kedua penulis Maghazi ini.

Muhammad bin Muslim bin Shihab Az Zuhri dilihat oleh Ad Duri sebagai ahli Maghazi pertama yang melakukan proses sintesis ke atas riwayat-riwayat yang sampai kepadanya. Ia menjadikan beliau berbeda daripada mereka sebelumnya dan Ad Duri merumuskan bahwa beliau adalah ahli sejarah (Muarrikh) yang pertama. Alasan Ad Duri ialah Muhammad bin Muslim bin Shihab Az Zuhri tidak membatasi pengambilan riwayat beliau hanya dari Maghazi Urwah bin Az Zubair, tetapi beliau berusaha mendapatkan secara luas riwayat-riwayat Madinah dan hadits-hadits dari perawinya. Beliau kemudian menulis setiap yang didengarnya untuk membantu ingatan, serta meneliti riwayat-riwayat tersebut serta menyusunnya dalam susunan yang teratur. Usaha itu menjadikan Muhammad bin Muslim bin Shihab Az Zuhri orang pertama yang memberikan Sirah (istilah yang beliau sendiri gunakan) struktur yang spesifik dengan reka bentuk yang jelas.

Di tingkat ini, tidak menjadi satu kesulitan bagi ahli sejarah kita yang awal melazimi kaidah mendatangkan sanad bagi setiap riwayat bagi peristiwa-peristiwa sejarah karena kebanyakan mereka adalah asalnya Muhaddits sebelum menjadi Muarrikh. Ini dapat dilihat dari generasi yang menyusul seperti Musa bin Uqbah, Ibnu Ishaq, Al Waqidi dan Ibnu Sa’d.

Kaidah Penulisan Muhaddits
Berdasarkan kepada perkembangan yang terjadi pada penulisan sejarah sejak era periwayatan lisan hingga kepada pembukuan riwayat, kaidah penilaian riwayat yang menjadi ciri utama penulisan sejarah Islam terbagi kepada dua yaitu kaidah ahli Hadits (muhadits) dan kaidah ahli sejarah (muarrikh).

Ahli Hadits menilai riwayat pada rantaian perawi yang meriwayatkannya (sanad) serta matan (lafaz) riwayat tersebut berpandukan syarat-syarat yang sudah diketahui di kalangan muhaddits. Mereka membagi riwayat berkenaan kepada shahih, hasan, dan dhaif, berserta cabang-cabang kepada setiap bagian itu [3] (As Sayuthi: 1/22).

Riwayat yang benar disebut sebagai hadits shahih. Ia bermaksud bahwa riwayat yang sanadnya bersambung oleh perawi-perawi yang adil serta teliti periwayatannya tanpa sebarang keganjilan (syaz) mahu pun kecacatan (illah). Sementara riwayat yang baik disebut sebagai hadits hasan. Ia bermaksud riwayat yang sanadnya kurang daripada apa yang disyaratkan untuk hadits shahih. Riwayat yang lemah pula disebut sebagai hadits dhaif. Ia adalah riwayat yang sanadnya tidak memenuhi kriteria hasan dan terbagi kepada banyak kategori bergantung kepada bentuk kecacatan yang dikenal pasti pada sanad dan matan.

Muhadits mensyaratkan perawi bagi sebuah riwayat itu mestilah seorang yang adil, teliti, Muslim, aqil baligh, bebas dari sebab-sebab yang membawa kepada kefasikan dan kerendahan muru’ah. Beliau juga mestilah seorang yang peka dan hafizh apabila meriwayatkan hafalannya, teliti jika membicarakannya dan berilmu tentang apa yang dikandung makna pada riwayat yang diriwayatkannya itu.

Ilmu menilai perawi ini dikenali sebagai Ilmu Jarh wa Ta’dil. Ulama’ jarh wa ta’dil membagikan para perawi hadits yang disebut sebagai Rijal, kepada kategori-kategori yang berlainan dengan syarat yang ketat. Apabila seorang perawi itu terhimpun padanya kesaksian terhadap kecacatan (jarh) dan keadilan (ta’dil), majoriti ulama berpendapat kesaksian terhadap kecacatan perawi itu lebih diutamakan. Sementara sebagian ulama yang lain pula berpendapat jika jumlah kesaksian terhadap keadilan perawi itu mengatasi jumlah kesaksian terhadap kecacatannya, maka ta’dil adalah lebih diutamakan.

Syarat yang ketat ini dipakai tanpa sembarang pertikaian apabila riwayat-riwayat yang dijadikan penilaian itu merupakan riwayat yang bersangkutan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bagaimana pula jika riwayat-riwayat ini melibatkan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Lanjutan dari itu, apakah mungkin kaidah Muhadits ini boleh diaplikasikan kepada Sejarah Islam secara keseluruhan itu sendiri?

Menjawab persoalan ini, kita perlu berbalik kepada tujuanyang hendak dicapai oleh kedua cabang ilmu ini. Hadits dipelajari dengan tujuan untuk mengetahui hukum yang terbina melaluinya Syariah itu sendiri. Karena itu, diriwayatkan, “Sanad-sanad itu adalah sebagian daripada agama. Jika tidak karena sanad, niscaya akan berkatalah sisiapa saja apa saja yang dimauinya” (Al Qasimi: 201). Sementara sejarah juga dipelajari untuk tujuan ibrah, pengajaran, dan hikmah.

Jika dilihat pada Muhadits sendiri, pendirian mereka terhadap riwayat-riwayat yang melibatan aqidah, serta halal dan haram, adalah berbeda dengan pendirian mereka terhadap riwayat-riwayat melibatkan kelebihan beramal (fadhail al a’mal) serta targhib dan tarhib. Al Baihaqi berkata, “Apabila kami meriwayatkan sesuatu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada perkara yang melibatkan halal dan haram serta hukum hakam yang lain, kami akan mengetatkan penilaian terhadap sanad dan rijal. Dan apabila kami meriwayatkan sesuatu berkaitan dengan kelebihan beramal, ganjaran dan balasan, kami akan melonggarkan syarat ke atas sanad serta bertolak ansur mengenai rijal.”

Seandainya Muhadits meletakkan syarat yang berbeda bergantung kepada tujuan yang hendak dicapai dari periwayatan maklumat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka sudah tentulah periwayatan di dalam sejarah mempunyai ruang yang sama untuk kelonggaran itu diperolehi. Seandainya syarat ketat yang dikenakan ke atas Muhadits itu dikenakan juga ke atas riwayat-riwayat sejarah, niscaya sebagian besar daripada riwayat yang ada akan tertolak dan tidak memungkinkan penulisan sejarah mencapai tujuannya.

Kaidah Penulisan Muarrikh
Muarrikh menggunakan pendekatan yang agak berbeda dibandingkan dengan Muhadits karena setiap satu riwayat, tidak dinilai secara mikro. Sebaliknya setiap riwayat akan dipertimbangkan konsistensinya dengan latar belakang perawi serta orang tokoh yang disebut di dalam riwayat itu sendiri. Dalam arti kata yang lain, pendekatan muarrikh melibatkan proses menafsir lafazh riwayat. Ini menjelaskan kita kepada terlibatnya pendapat yang bermacam-macam tentang riwayat yang dikaji serta kecenderungan pribadi pengkaji yang menafsir. Namun kaidah ini mempunyai faedah yang unik terutamanya ketika meneliti riwayat-riwayat yang kita perolehi tanpa sanad, atau yang sanadnya terlalu kabur.

Misalnya, Ibnu Khaldun di dalam Al Muqaddimah memberikan contoh tentang riwayat-riwayat yang dibawa oleh sumber sejarah Islam yang terdahulu, seperti Tarikh Ath Thabari, berkenaan jumlah Bani Israel semasa mereka di Sinai. Sumber sejarah menyatakan bahwa jumlah mereka yang membawa bersama mereka senjata adalah 600 ribu orang atau lebih. Ibnu Khaldun merumuskan bahwa jumlah ini tidak mungkin bisa diterima sebagai kebenaran karena secara perbandingan, Raja Parsi yang memiliki kekaisaran yang begitu luas, ketika berhadapan dengan tentara Muslim di Qadisiyyah, jumlah mereka hanya 120 ribu orang malah ada riwayat yang menyebutkan jumlah mereka sekitar 60 ribu saja.

Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa jumlah Bani Israel semasa masuk ke Mesir di awal kedatangan mereka hanya berjumlah70 ribu orang. Tempo mereka berpendudukan di Mesir hingga pengusiran ke Sinai hanya sekitar 220 tahun saja. Mustahil 4 generasi mampu mencapai jumlah seramai itu.

Penulisan Sejarah Khulafa’ur Rasyidin.
Muhammad Muhammad Hassan Shurrab berpendapat, penulisan sejarah Sirah Khulafa’ur Rasyidin hendaklah dibagi kepada dua yaitu aspek Aqidah dan Syariah, sementara yang keduanya adalah kematian.
Para Shahabat di sepanjang era Khulafa’ur Rasyidin membuat berbagai keputusan dan melaksanakan berbagai tindakan yang merincikan aspek Aqidah dan Syariah. Dari sudut Aqidah, para Shahabat perlu menentukan kedudukan golongan yang enggan membayar zakat sejurus selepas kematian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Demikian juga dengan golongan yang menyokong Musailamah Al Kazzab. Terdapat juga keputusan-keputusan besar melibatkan masalah fiqh penyelarasan Mushaf serta seri ijtihad Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘Anh yang dikenali sebagai Awlawiyyat Umar.

Di dalam hal-hal yang seperti ini, Akram Dhiya’ Al Umari menggariskan secara umum bahwa kaidah yang diguna pakai adalah dengan mengutamakan riwayat-riwayat yang shahih kemudian hasan. Selepas itu, riwayat-riwayat yang dhaif boleh diterima pakai untuk melengkapkan pembentukan gambaran sejarah bagi era awal Islam ini, selagi dhaif itu hanya berfungsi mengisi kekosongan pada bagian yang tiada keterangan shahih dan hasan mengenainya. Sekiranya berlaku pertentangan, maka riwayat yang lebih kuat senantiasa diutamakan. Riwayat yang dhaif itu juga mestilah tidak bersangkutan dengan aspek Aqidah dan Shariah (Al Umari: 25).

Sementara riwayat-riwayat yang  melibatkan aspek keperadabanan seperti perancangan bandar, pembinaan bangunan dan penggalian terusan, maka wajar berlaku kelonggaran di dalamnya, selagi mana ia tidak berlebih-lebihan hingga menjerumuskan riwayat keluar dari realitas, menjadi hikayat berbentuk khayalan.

Contoh: Kisah Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu ‘Anhu.
Muhammad Muhammad Hasan Shurrab memetik kisah Abu Dzar Al Ghifari seperti yang diceritakan oleh Ahmad Amin di dalam bukunya Fajr Al Islam. Ahmad Amin ingin membuktikan pengaruh kepercayaan Persia pada umat Islam melalui kisah Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu. Ahmad Amin menjelaskan di muka surat 110, bahwa di sana terdapat persamaan di antara pendapat Abu Dzar Al Ghifari dengan pendapat Mazdak, pengasas aliran Mazdakism Parsi di dalam isu harta. Ahmad Amin menyandarkan kenyataan ini kepada riwayat yang dipetik daripada Tarikh Ath Thabari yang menyebut:
Abu Dzar telah tinggal di Syam dan beliau berkata, “Wahai sekalian hartawan dan seburuk-buruk orang fakir, berikan kabar gembira kepada mereka yang menghimpun emas dan perak, tetapi mereka itu tidak menafkahkannya di jalan Allah, bahwa nanti akan dituangkan besi cair daripada api Neraka ke atas, tepi dan hadapan mereka. Mereka akan terus dalam keadaan begitu hingga golongan fakir menebusnya daripada golongan kaya dan hingga golongan kaya mendapat balasan dari apa yang telah mereka lakukan terhadap orang ramai.”

Lalu Mu’awiyah telah menghantar pergi Abu Dzar kepada Utsman bin Affan di Madinah supaya Abu Dzar tidak merusakkan penduduk Syam. Utsman bertanya kepada beliau, “Apakah halnya penduduk Syam mengadu dengan kelancangan mulutmu?” Abu Dzar menjawab, “Adalah tidak harus bagi golongan kaya memonopoli harta”

Ahmad Amin menyimpulkan berdasarkan riwayat ini bahwa pendirian Abu Dzar tentang harta, menyerupai pendapat Mazdak. Bagaimanakah Abu Dzar boleh menerima pengaruh Mazdak yang Persia itu? Ahmad Amin menjelaskan bahwa Ath Thabari sendiri sudah mendatangkan jawaban kepada isu ini dengan berkata, “Sesungguhnya Ibnu Sawda’ (Abdullah bin Saba’ Al Yamani) telah bertemu dengan Abu Dzar dan menghasutnya tentang hal ini. Ibnu Sawda’ yang sama juga telah bertemu dengan Abu Darda’ serta Ubadah bin Ash Shamit tetapi mereka berdoa menolaknya. Ubadah telah membawa Ibnu Sawda’ bertemu dengan Mu’awiyah dan berkata, “Lelaki ini demi Allah yang telah mengantar Abu Dzar kepadamu…”

Muhammad Muhammad Hasan Shurrab menegaskan bahwa kisah seperti ini adalah contoh keadaan yang memerlukan pendekatan Muhadits yang lebih ketat dipakai. Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu ‘Anh adalah salah seorang dari Shahabat yang dijamin Surga oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau juga merupakan seorang perawi yang banyak meriwayatkan hadits yaitu sebanyak 281 hadits di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim.

Dalam masa yang sama, Shurrab berpendapat, riwayat Ath Thabari yang menjelaskan pertemuan Abu Dzar Al Ghifari dengan Abdullah bin Saba’ itu berdiri secara tunggal tanpa sebarang riwayat lain yang menyokongnya. Semua ahli Sejarah yang memetik kisah pertemuan ini, menyandarkannya kepada riwayat Ath Thabari. Tarikh Ath Thabari seperti yang diketahui, menghimpunkan riwayat berserta sanad tanpa dibedakan antara shahih dengan yang dusta. Sanad itulah yang menjadi sumber penentuan keshahihan satu per satu riwayat.

Di dalam masa yang sama Ath Thabari juga bersendirian dalam meriwayatkan berita tersebut yaitu melalui Saif bin Umar, yang dikritik oleh ulama’ Jarh dan Ta’dil sebagai pereka riwayat palsu, pendusta, lemah, mungkar, malah disifatkan sebagai Zindiq sebagaimana yang boleh dirujuk di dalam Tahdzib At Tahdzib oleh Ibnu Hajar Al Asqalani.

Riwayat Ath Thabari ini juga bersendirian dalam penyataan kisah pertemuan Abu Dzar dengan Abdullah bin Saba’, berbeda dengan riwayat-riwayat lain yang menceritakan tentang perselisihan faham yang terjadi antara Abu Dzar dengan Utsman dan Mu’awiyah, namun tiada penjelasan tentang adanya keterlibatan Abdullah bin Saba’ berkenaan hal ini. Misalnya riwayat di dalam Musnad Al Imam Ahmad (5/147) di bawah bab Musnad Abu Dzar, Umar bin Shabbah menceritakan di dalam kitabnya, Tarikh Al Madinah beberapa riwayat tentang perbedaan pendapat yang berlaku di antara Abu Dzar dan Utsman, kemudian Mu’awiyah. Di sepanjang kisah, tiada disebutkan pertemuan antara Abu Dzar bersama Abdullah bin Saba’.

Dari aspek matan (lafazh) riwayat pula, Abu Dzar Al Ghifari merupakan seorang Shahabat yang alim dan faqih seperti yang diterangkan oleh Ibnu Abdul Barr di dalam Al Isti’ab, Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam Al Ishabah serta Ibn Sa’d di dalam Ath Thabaqat Al Kubra. Adalah tidak munasabah Abu Dzar yang disifatkan begitu, bisa mendengar dan terpengaruh dengan pendapat seorang yang baru memeluk Islam seperti Abdullah bin Saba. Ibnu Hajar di dalam Al Ishabah menjelaskan bahwa Abu Dzar pernah berdebat dengan Ibnu Mas’ud dalam hal keilmuan.

Perintah membelanjakan harta sama ada dalam bentuk zakat, sedekah atau lain-lain penyaluran uang di dalam masyarakat adalah sesuatu yang sedia dimaklumi oleh seluruh umat Islam. Amat janggal apabila Abu Dzar begitu berkeras dalam menyeru hal ini kepada para Shahabat.

Kesimpulan kepada hal ini, tindakan Ahmad Amin pada mengaitkan pengaruh Mazdak ke atas Abu Dzar melalui riwayat Ath Thabari itu adalah tertolak, apabila kita mengenakan syarat-syarat Muhadits ke atas sumber yang dirujuk. Ia bersesuaian dengan kedudukan Abu Dzar sendiri sebagai perawi hadits. Demikian juga Utsman dan Mu’awiyah yang juga merupakan Shahabat utama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Riwayat tersebut juga tertolak oleh kejanggalan yang berlaku pada isi kandungan riwayat yang bertentangan dengan maklumat mengenai Abu Dzar sendiri serta suasana yang terjadi di zaman Shahabat.

Contoh Riwayat Perang Jamal dan Siffin Oleh Ath Thabari.
Abdelkader I. Tayob di dalam kertas kerja beliau bertajuk Tabari on the Companions of the Prophet: Moral and Political Contours in Islamic Historial Writing telah melakukan pemeriksaan teliti kepada pendekatan yang digunajan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dalam pengumpulan riwayat berkaitan dengan Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan menjadikan Perang Jamal dan Perang Siffin sebagai tumpuan kajian.

Tabari sebagai seorang Muhadits yang berkecimpung di dalam sejarah menolak pembatasan kawalan atas laporan-laporan yang diriwayatkannya. Apa saja riwayat yang sampai kepada beliau, dicatat berserta dengan rantaian perawi sebagai penentu antara riwayat yang shahih dengan sebaliknya. Tayob juga memetik pendapat Albrecht Noth yang menyatakan bahwa riwayat-riwayat era awal Islam terdiri daripada laporan yang saling bertentangan berkaitan peristiwa-peristiwa yang penting melibatkan soal agama dan politik. Laporan yang cenderung kepada kelompok-kelompok yang bermacam-macam di dalam masyarakat Islam sukar hendak dikaitkan sumbernya pada wilayah-wilayah yang tertentu karena kecamuk yang berlaku di kalangan riwayat itu tadi.  Malah Noth juga menyimpulkan bahwa ahli Sejarah Muslim yang awal, lebih merupakan pengumpul dan bukan pengusaha sintesis yang menganalisa isi kandungan sumber itu tadi.

Noth juga memperdebatkan pendapat Wellhausen yang mengklasifikasikan ahli Sejarah kepada  wilayah yaitu aliran Madinah dan Iraq. Beliau meragui pendapat Wellhausen dengan menekankan bahwa tidak mungkin hasil kerja individu seperti Ibnu Ishaq dan Saif bin Umar boleh dianggap mewakili wilayah yang dinisbahkan kepada mereka, tanpa menafikan adanya pengaruh lingkungan terhadap periwayatan mereka. Tayob terus memetik pendapat Noth yang menyarankan agar tumpuan diberi kepada perkara-perkara pokok tentang ajaran Islam dan pengaruhnya kepada penulisan sejarah Muslim berbanding dengan bergantung kepada penilaian keagamaan, politik dan wilayah.

Tayob menjelaskan bahwa  kepercayaan tentang kedudukan istimewa dan khusus Shahabat Nabi amat penting dalam membentuk pandangan hidup Islam. Baghdad pada kurun yang ke-9 M menyaksikan isu kedudukan Shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini bukan hanya melayang di dalam permasalahan penulisan sejarah malah menjadi topik yang dibincangkan di dalam majelis-majelis ilmuwan. Isu ini mempunyai implikasi yang besar kepada makna dan tabiat Islam itu sendiri. Ahlus Sunnah waal Jamaah, Syiah dan keluarga Bani Abbas yang bersikap apologetik mendukung pendapat yang tersendiri berkenaan para Shahabat secara umum, dan terhadap beberapa orang Shahabat secara khusus.

Al Jahiz memberikan indikasi bahwa pendapat yang berpihak kepada Mu’awiyah akan mencetuskan bantahan dan penolakan oleh Bani Abbas.

Secara khusus, permasalahan ini menjadi perhatian utama melibatkan Muhadits yang juga seorang Muarrikh penting yaitu Ath Thabari. Konflik antara beliau dan Hanabilah, situasi politik yang begitu partisan oleh Bani Abbas, mencetuskan dilema untuk menyeimbangkan dua tuntutan. Antara kewujudan sebegitu banyak riwayat yang mencetuskan sanggahan terhadap keadilan para Shahabat, dan tuntutan prinsip agama yang juga menjurus kepada mempertahankan keadilan para Shahabat yang sama.

Tayob berpendapat, Ath Thabari banyak mendatangkan riwayat Saif bin Umar bagi peristiwa perang Jamal, dan riwayat Abu Mikhnaf bagi Peperangan Siffin. Landau-Tasseron berpendapat, Ath Thabari sepatutnya meletakkan Saif bin Umar di taraf yang sama dengan perawi-perawi yang lain karena pendapatnya yang memperdebatkan Saif bin Umar, tidak lagi menjadikan Ath Thabari seorang yang netral dalam mengemukakan riwayat (Landau-Tasseron 1990). Cadangan ini diperdebatkan oleh Donner dan Blankinship yang meragui upaya Saif bin Umar untuk diambil riwayat darinya.

Muhadits lebih cenderung menggunakan pendekatan yang meletakkan punca krisis fitnah kepada kelompok bukan Shahabat. Ath Thabari mengambil pendiriannya yang tersendiri. Beliau tidak memilih pandangan golongan yang bersikap apologis untuk Bani Abbas seperti Al Jahiz, maupun cenderung kepada golongan yang dominan ketika itu, kelompok Hanabilah. Sebaliknya, sebagai seorang tokoh yang tersendiri, Ath Thabari memilih untuk menjelajahi aspek fiqh dan kendali moral  serta mengelakkan diri dari terlibat secara langsung dengan sembarang gerakan sosial dan politik saat itu.

Ath Thabari meletakkan tanggungjawab aqidah dan moral sebagai komitmen yang mesti dipegang oleh para pengkaji untuk berinteraksi dengan riwayat-riwayat yang dibentangkannya.

Kesimpulan:
Penulisan sejarah yang melibatkan era Khulafa’ur Rasyidin perlu memanfaatkan kedua kaidah yang digunakan oleh muhadits dan muarrikh untuk membentuk penulisan sejarah yang baik. Biar pun terdapat perbedaan yang signifikan antara syarat penerimaan riwayat oleh muhadits berbanding dengan muarrikh yang mana syarat ini penting untuk menyaring riwayat-riwayat yang melibatkan persoalan aqidah dan syariah, pendekatan muarrikh dalam mendatangi riwayat-riwayat berkenaan secara kolektif, membuat perbandingan dan menafsir isi kandungannya, membolehkan kebenaran dikenal pasti khususnya saat berhadapan dengan riwayat-riwayat tidak bersanad, atau yang sanadnya terlalu kabur dan tidak lengkap untuk dinilai secara muhadits.

Rujukan:
  1. Abdul Aziz Ad Duri. Bahs fi Nash’ah ‘Ilm At Tarikh ‘inda Al ‘Arab. Beirut. Dar Al Mashriq. 1983. Cetakan Pertama.
  2. Muhammad Fathi Uthman. Al Madkhal ila At Tarikh Al Islami. Beirut. Dar An Nafais. 1992. Cetakan kedua.
  3. Muhammad Muhammad Hasan Shurrab. Fi Usul Tarikh Al Arab Al Islami. Dimashq. Dar Al Qalam. 1993. Cetakan pertama.
  4. Faruq Hamadah. Masadir As Sirah An Nabawiyyah wa Taqwimuha. Rabat. Dar At Tsaqafah. 1989. Cetakan kedua.
  5. Nuruddin Hatum, Nabih Aqil, Ahmad Tarbin, Salah Madani. Al Madkhal ila At Tarikh. Dimashq. DaMatba’ah Al Hilal. 1982. Cetakan pertama.
  6. Al Hafiz Jalal Ad Din Abdul Rahman bin Abi Bakar As Sayuti. Tadrib Ar Rawi fi Sharh Taqrib An Nawawi. Beirut. Dar Al Kitab Al Arabi. 1989. Cetakan pertama.
  7. Abu Al Qasim Al Husain bin Muhammad Ar Raghib Al Asfahani,. Al Mufradat fi Gharib Al Quran. . Beirut. Dar El-Marefah.
  8. Muhammad Jalal Ad Din Al Qasimi. Qawa’id At Tahdith min Funun Mustalah Al Hadits. Beirut. Muassasah Ar Risalah. 2004. Cetakan pertama.
  9. Ahmad Amin. Fajr Al Islam. Beirut. Dar Al Kitab Al Arabi. 1969. Cetakan kesepuluh.
  10. Shihab Ad Din Abi Al Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajr Al Asqalani. Al Isabah fi Tamyiz As Sahabah. Beirut. Dar Ihya’ At Turath Al Arabi. 1328H. Cetakan pertama.

[1] Al Asqalani, Shihab Ad Din Abi Al Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar. 1328H. Al Isabah fi Tamyiz As Sahabah. Jil 1. Dar Ihya’ At Turas Al Arabi.
[2] Ar Raghib Al Asfahani, Abu Al Qasim Al Husain bin Muhammad. Al Mufradat fi Gharib Al Quran. . Beirut. Dar El-Marefah.
[3] As Sayuti, Al Hafiz Jalal Ad Din Abdul Rahman bin Abi Bakar. 1989. Tadrib Ar Rawifi Sharh Taqrib An Nawawi. Dar Al Kitab Al Arabi. Beirut.
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: