Pendahuluan.
Khulafa’ur Rasyidin telah memainkan
peranan yang penting dalam kelangsungan umat Islam pasca wafatnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada tahun ke-11 Hijriyah. Abu
Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu ‘Anh mengambil alih kepimpinan beliau dan
terus menjalankan tanggungjawab yang besar dalam membuat
keputusan-keputusan kritikal yang bukan saja melibatkan tindakan politik
tetapi melibatkan asas-asas utama agama dalam memerangi golongan
Murtadin, kelompok yang enggan membayar zakat serta kemunculan pengaku
kenabian palsu, Musailamah Al Kadzdzab. Tindakan cepat Abu Bakar dalam
menyusun kembali fokus umat Islam di Madinah ketika itu, diulas oleh Abu
Hurairah, “Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, kalaulah Abu Bakar
tidak dilantik menjadi pengganti (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam), niscaya Allah tidak lagi disembah.” (Ibn Katsir: 6/309).
Proses transisi kepimpinan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Khulafa’ur Rasyidin berhadapan
dengan berbagai kejadian yang kemudian dipahami oleh umat Islam sebagai
peristiwa-peristiwa paling kontroversi. Ini adalah karena perpecahan
umat Islam kepada berbagai aliran politik yang kemudian menjadi aliran
aqidah seperti Syiah dan Khawarij adalah merujuk kepada tafsiran mereka
kepada peristiwa-peristiwa yang kontroversi itu tadi. Pemilihan Abu
Bakar Radhiyallahu ‘Anh sebagai Amirul Mu’minin (11 Hijriyah),
perselisihan pendapat antara Fathimah binti Muhammad Radhiyallahu ‘Anha
dengan beliau, bai’at Ali Radhiyallahu ‘Anhu kepadanya, membawa kepada
pelantikan Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘Anh sebagai pengganti (13
Hijriyah), pembunuhan beliau (23 Hijriyah), perlantikan Utsman bin
Affan Radhiyallahu ‘Anh (24 Hijriyah), peperangan Jamal (36 Hijriyah),
pelantikan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anh sebagai pengganti (36
Hijriyah), peperangan Siffin (37 Hijriyah), konflik yang berlarut-larus
antara beliau bersama Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘Anh, hingga
membawa kepada terbunuhnya pula Ali (40 Hijriyah) yang berakhir hingga
Hasan bin Ali menyerahkan kepimpinan beliau kepada Mu’awiyah bin Abi
Sufyan Radhiyallahu ‘Anh enam bulan selepas itu. Mu’awiyah menamatkan
konflik dalaman umat Islam selama tiga puluh tahun itu di bawah
kepimpinannya pada tahun 41 Hijriyah.
Peristiwa-peristiwa kontroversi tersebut
diketahui dan ditafsir oleh umat Islam melalui riwayat-riwayat yang
terdapat di dalam berbagai sumber rujukan. Selain isu keshahihan
riwayat, kaidah periwayatan yang berbeda di antara seorang pengumpul dan
penulis buku dengan seorang yang lain, menjadi permasalahan yang bisa
dikaji. Justru makalah ini akan meninjau aspek metode penulisan sejarah
oleh muhaddits dan muarrikh di dalam penulisan sejarah zaman Khulafa’ur
Rasyidin.
Kedudukan Para Shahabat.
Penulisan sejarah berkaitan para
Shahabat mempunyai implikasi yang berbeda daripada penulisan sejarah
Islam era yang lain. Selain daripada sintesis sumber pada membedakan di
antara yang betul dan salah, para Shahabat mempunyai kedudukannya yang
khusus seperti yang diterangkan oleh Al Quran dan Hadits Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Ibnu Hajar Al Asqalani menukilkan
daripada Al Khatib Al Baghdadi bahwa beliau telah berkata, “Keadilan
para Shahabat adalah ditetapkan dan maklum dengan ta’dil yang
dilakukan oleh Allah berkenaan mereka dan pemberitahuan Allah tentang
kesucian mereka serta pilihan-Nya terhadap mereka. Antaranya adalah
firman Allah:
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang
dilahirkan bagi (faedah) umat manusia, (karena) kamu menyuruh berbuat
segala perkara yang baik dan melarang daripada segala perkara yang salah
(buruk dan keji), serta kamu pula beriman kepada Allah (dengan
sebenar-benar iman)…” (Q3:110).
“Dan demikianlah (sebagaimana Kami
telah memimpin kamu ke jalan yang lurus), Kami jadikan kamu (wahai umat
Muhammad) satu umat yang pilihan lagi adil, supaya kamu layak menjadi
orang yang memberi keterangan kepada umat manusia (tentang yang benar
dan yang salah) dan Rasulullah (Muhammad) pula akan menjadi orang yang
menerangkan kebenaran perbuatan kamu” (Q2:143).
“Demi sesungguhnya! Allah reda akan
orang-orang yang beriman, ketika mereka memberikan pengakuan taat setia
kepadamu (wahai Muhammad) di bawah naungan pohon (yang termaklum di
Hudaibiyah); maka (dengan itu) ternyata apa yang sedia diketahuiNya
tentang (kebenaran iman dan taat setia) yang ada dalam hati mereka, lalu
Ia menurunkan semangat tenang tenteram kepada mereka, dan membalas
mereka dengan kemenangan yang dekat masa datangnya” (Q48:18).
“Dan orang-orang yang terdahulu –
yang mula-mula (berhijrah dan memberi bantuan) dari orang-orang
“Muhajirin” dan “Ansar”, dan orang-orang yang menurut (jejak langkah)
mereka dengan kebaikan (iman dan taat), Allah reda akan mereka dan
mereka pula reda akan Dia, serta Ia menyediakan untuk mereka
Syurga-syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya; itulah kemenangan yang besar” (Q9:100).
… di dalam ayat (Al Quran) yang banyak
dan panjang pada menyatakannya serta hadits-hadits yang masyhur, banyak
jumlahnya. Kesemuanya itu menjurus kepada kemuktamadan pendirian tentang
keadilan mereka, tanpa pengecualian pun dari kalangan mereka – dengan
adanya ta’dil Allah buat mereka – berhajatkan kepada ta’dil
seseorang dari kalangan makhluk. Bahkan jika tiada sekali pun apa-apa
keterangan dari Allah dan Rasul-Nya berkenaan mereka seperti yang telah
kami uraikan, niscaya keadilan mereka tetap tidak berubah berdasarkan
apa yang telah mereka lakukan semasa Hijrah, jihad dan perjuangan
membantu Islam, mengorbankan jiwa dan harta, memerangi bapak-bapak dan
anak-anak sendiri, nasihat menasihati di dalam agama, kekuatan iman dan
keyakinan, maka muktamadlah keadilan mereka serta iktikad tentang
kesucian mereka. Mereka seluruhnya lebih mulia daripada sekalian
generasi yang datang kemudian, dan diutamakan melebihi sesiapa yang
datang sesudah mereka… Sekiranya engkau bertemu dengan seseorang yang
menghina salah seorang dari Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam maka ketahuilah bahwa ia itu Zindiq. Demikian itu adalah karena
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benar, Al Quran adalah
benar, apa yang datang dengannya juga adalah benar. Sesungguhnya semua
itu sampai kepada kita melalui para Shahabat, sementara mereka (yakni
golongan yang mencela Shahabat) mahu menjatuhkan saksi-saksi kita, untuk
membatalkan Al Kitab dan As Sunnah…)[1]
Kedudukan para Shahabat seperti yang
dinyatakan ini, mempengaruhi penulisan sejarah berkenaan mereka.
Abdelkader I. Tayob berpendapat persoalan kedudukan para Shahabat ini
memainkan peranan yang sangat penting dalam Pandangan Alam Islam
dan bukan sekadar kesan penyusunan ide oleh ahli sejarah seperti Ath
Thabari. Beliau mengatakan bahwa Baghdad pada kurun ke-9, motif seperti
ini di dalam sumber rujukan, bukan hanya memberikan kesan kepada
isu-isu penulisan sejarah, malah turut diperdebatkan oleh
sarjana-sarjana di dalam majlis mereka karena ia memberikan dampak yang
mendalam kepada makna dan tabiat Islam itu sendiri. (Abdelkader I.
Tayob: 204).
Apabila para Shahabat dilihat sebagai
periwayat dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang
berada di kedudukan tertinggi di dalam silsilah perawi, sudah tentu
kelompok yang paling memberi perhatian kepada hal ihwal para Shahabat
ini terdiri daripada Muhaddits sebagai golongan pertama yang melakukan
pengumpulan serta analisa kepada riwayat-riwayat daripada Shahabat, oleh
Shahabat dan berkenaan Shahabat.
Walau bagaimana pun, tradisi ini
bukanlah muncul secara tiba-tiba. Sebaliknya ia bersifat kesinambungan
kepada kaidah penulisan sejarah kaum Arab yang telah terwujud semenjak
di era pra Islam. Riwayat-riwayat bersanad dipindahkan secara lisan
daripada satu generasi ke satu generasi sehingga tibanya Islam dan
mengubah tabiat penulisan sejarah itu menjadi sesuatu yang baru.
Perkembangan Penulisan Sejarah Awal Arab Islam.
Kaum Arab mempunyai kaidah mereka
sendiri dalam merekamkan sejarah. Semenjak era pra Islam, kaum Arab
Selatan di Yaman dan Arab Utara di Syam sudah pun biasa dengan tradisi
menukilkan kisah berkenaan raja-raja Arab terdahulu, keperwiraan kabilah
masing-masing, berhala-berhala sembahan serta segala kemegahan mereka.
Riwayat-riwayat yang juga disebut sebagai Al Ayyam ini disampaikan secara lisan daripada satu generasi kepada satu generasi.
Abdul Aziz Ad Duri menyatakan bahwa riwayat-riwayat Yamaniyyah
terbentuk di dalam sumber-sumber awal dan keseluruhannya lebih bersifat
hikayat dan tidak benar. Syair-syair yang menceritakan perihal
kehidupan Arab pra Islam ini dinilai oleh Ad Duri tidak berupaya untuk
menggambarkan bentuk kehidupan Arab Jahiliah. Dalam arti kata yang lain,
riwayat-riwayat sejarah di era pra Islam diriwayatkan tanpa mengambil
perkiraan keshahihan isi kandungannya, dan hanya dipilih berdasarkan apa
yang memenuhi objektif membuktikan kebanggaan kabilah masing-masing dan
bangsa Arab itu sendiri secara umum.
Penulisan sejarah era Jahiliah ini, biar
pun kebanyakannya hilang karena tiada proses mencatatnya secara
sempurna dan pendirian era Islam yang menolak terhadap adat Jahiliah
dengan berhala-berhalanya, ia menjadi ciri unik yang membedakan
penulisan sejarah Arab berbanding dengan kaum yang lain, apabila sejarah
bergantung kepada riwayat yang bersanad. Ini menyediakan asas yang
penting kepada perkembangan ilmu di zaman kenabian Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang kemudian dikenali sebagai Al Hadits.
Al Quran memberikan makna yang baru kepada sejarah apabila kisah-kisah (Al Qasas) tentang kaum silam dinyatakan di dalam ayat-ayat Al Quran dengan motif ibrah. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Demi sesungguhnya, kisah Nabi-nabi
itu mengandungi pelajaran yang mendatangkan ibrah bagi orang-orang yang
mempunyai akal pikiran. (Kisah Nabi-nabi yang terkandung dalam Al Quran)
bukanlah ia cerita-cerita yang diada-adakan, tetapi ia mengisahkan apa
yang tersebut di dalam Kitab-kitab agama yang terdahulu darinya, dan ia
sebagai keterangan yang menjelaskan tiap-tiap sesuatu, serta menjadi
hidayah petunjuk dan rahmat bagi kaum yang (mau) beriman” (Q12:111).
Ar Raghib Al Asfahani menjelaskan
pengertian Ibrah (العبرة) atau Iktibar (الاعتبار) sebagai apa yang
menghubungkan dengannya pengetahuan pihak yang menyaksikan kejadian
dengan yang tidak menyaksikannya[2] (Ar Raghib Al Asfahani: 320).
Cerita-cerita di dalam Al Quran disampaikan dengan tujuan memahami sebab
dan akibat sesuatu peristiwa serta hubungannya dengan kehidupan saat
ini. Motif ini mengubah tabiat penulisan sejarah Arab dari menerima
riwayat seperti pengumpul, kepada membuat penilaian terhadap keshahihan
isi kandungannya seperti seorang penganalisa.
Ketelitian para Shahabat sendiri dalam
memperkatakan sesuatu perkara yang mau dinisbatkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi tabiat yang penting pada diri
generasi Shahabat selaku perawi pertama. Ia bersesuaian dengan
peringatan yang diberikan oleh Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
sendiri:
“Barangsiapa yang mendustakan aku dengan sengaja maka tersedialah baginya tempat duduk daripada api Neraka” (Hadits riwayat Muslim).
Al Hadits atau As Sunnah merupakan satu
lagi bentuk keunikan perkembangan ilmu kritikan ke atas riwayat. Ia
menjadi asas yang baik pada perkembangan ilmu sejarah. Kaum muslimin di
peringkat awal merekod dan menyampaikan secara lisan semua riwayat yang
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Di
sebagian keadaan para Shahabat dilarang oleh Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dari menulis kata-katanya karena bimbang berlaku kekeliruan di
kalangan sebagian Shahabat antara Hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dengan ayat-ayat Al Quran. Namun dalam masa yang sama, ada juga
beberapa orang Shahabat yang diberi keizinan khusus oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menulis Hadits dengan tujuan untuk
memeliharanya.
Antara Shahabat itu adalah Abdullah bin
Amr dan lain-lainnya. Walau bagaimana pun, kita tidak mengetahui secara
jelas apakah isi kandungan yang terkandung di dalam lembaran-lembaran
yang pernah ditulis oleh penulis di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam ini karena kebanyakan mereka memusnahkan lembaran tersebut.
Mereka khawatir ia jatuh ke tangan bukan ahli ilmu lalu menafsirnya
secara salah (Muhammad Fathi Utsman: 123).
Umar bin Abdul Aziz Radhiyallahu ‘Anh
telah menekankan tentang pentingnya menghimpun hadits-hadits nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau pernah menulis surat kepada
penduduk Madinah dan berkata, “Perhatikan hadits Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan tuliskan ia. Sesungguhnya yang aku khawatirkan
proses menuntut ilmu dan pupus ahlinya.” Perintah ini telah diajukan
kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm. Begitu juga dengan Ibnu
Shihab Az Zuhri untuk menghimpun Sunan. Selain itu, yang lain juga ialah
Al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar, salah seorang dari Tujuh Fuqaha’ Madinah.
Akan tetapi Umar bin Abdul Aziz meninggal dunia sebelum proyek tersebut
siap. Beliau hanya sempat menyaksikan usaha-usaha awal yang dilakukan
oleh Ibnu Shihab Az Zuhri seperti yang beliau nyatakan, “Kami telah
diperintahkan oleh Umar bin Abdul Aziz untuk mengumpulkan Sunan. Lalu
kami lakukan ia dengan menulisnya naskhah demi naskhah. Lalu naskhah
tersebut diantar ke setiap negeri yang diperintah.” (Muhammad Fathi
Uthman: 126).
Kemunculan Maghazi dan Sirah.
Di peringkat ini, hadits-hadits Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diriwayatkan lebih kepada motif
memeliharanya sebagai sumber hukum. Hadits sebagai sumber hukum, lebih
dikenali sebagai As Sunnah, merujuk kepada riwayat-riwayat yang
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selepas
pengangkatan beliau sebagai Rasul. Di dalam konteks yang lebih luas,
pemeliharaan riwayat dari atau mengenai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam turut dilihat daripada sudut Beliau sebagai pemimpin yang
dikasihi, dan segala mengenainya perlu diketahui. Sisi ini dikenali
sebagai Sirah.
Penulisan Sirah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam merupakan cabang dari Sejarah Islam. Di peringkat awal, ia
lebih dikenali sebagai Al Maghazi. Walaupun Al Maghazi lebih
tertumpu kepada peperangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ia
mencakupi catatan seluruh kehidupan kenabian Beliau. Antara mereka yang
banyak mengumpul riwayat Al Maghazi ini adalah anak-anak para Shahabat
sendiri. Misalnya Aban bin Utsman bin Affan dan Urwah bin Az Zubair.
Aban bin Utsman bin Affan mengumpul
riwayat yang banyak diambil darinya oleh ahli Hadits. Tidak banyak ahli
Sejarah yang meriwayatkan dari beliau, kecuali Al Ya’qubi. Berbeda
dengan Urwah bin Az Zubair. Abdul Aziz Ad Duri berpendapat, Urwah
merupakan orang pertama yang menulis Al Maghazi. Tulisan beliau
sampai kepada kita melalui apa yang diriwayatkan oleh Ath Thabari, Ibnu
Ishaq, Al Waqidi, Ibn Sayyid An Nas dan Ibn Katsir. Walaupun pengumpulan
riwayat oleh Urwah bin Az Zubair sampai kepada era Khulafa’ur Rasyidin,
riwayat-riwayatnya bersifat kucar kacir dan sukar hendak dirumuskan.
Abdul Aziz Ad Duri membuat kesimpulan bahwa perkembangan penulisan
sejarah hingga ke peringkat Al Maghazi, lebih bersifat pengumpulan.
Usaha-usaha individu membina bagian-bagian madrasah Al Maghazi ini yang
mana setiap seorang menambah apa yang telah dilakukan oleh guru-guru
mereka yang terdahulu (Ad Duri: 22).
Turut sama menyumbang kepada
perkembangan ilmu Al Maghazi ini adalah Shurahbil bin Sa`d. Beliau telah
mengusahakan daftar nama para Shahabat yang menyertai
peristiwa-peristiwa yang besar seperti Perang Badar dan Uhud, serta
mereka yang menyertai Hijrah ke Habshah dan Madinah.
Pengasingan Ilmu Sejarah Dari Maghazi.
Usaha awal yang dilakukan oleh Aban,
Urwah dan Shurahbil diteruskan oleh beberapa tokoh lain pada
mengembangkan ilmu Maghazi. Abdullah bin Abi Bakar ibn Hazm, Asim bin
Umar bin Qatadah, Muhammad bin Muslim bin Shihab Az Zuhri adalah pelopor
utama kepada generasi kedua penulis Maghazi ini.
Muhammad bin Muslim bin Shihab Az Zuhri
dilihat oleh Ad Duri sebagai ahli Maghazi pertama yang melakukan proses
sintesis ke atas riwayat-riwayat yang sampai kepadanya. Ia menjadikan
beliau berbeda daripada mereka sebelumnya dan Ad Duri merumuskan bahwa
beliau adalah ahli sejarah (Muarrikh) yang pertama. Alasan Ad Duri ialah
Muhammad bin Muslim bin Shihab Az Zuhri tidak membatasi pengambilan
riwayat beliau hanya dari Maghazi Urwah bin Az Zubair, tetapi beliau
berusaha mendapatkan secara luas riwayat-riwayat Madinah dan
hadits-hadits dari perawinya. Beliau kemudian menulis setiap yang
didengarnya untuk membantu ingatan, serta meneliti riwayat-riwayat
tersebut serta menyusunnya dalam susunan yang teratur. Usaha itu
menjadikan Muhammad bin Muslim bin Shihab Az Zuhri orang pertama yang
memberikan Sirah (istilah yang beliau sendiri gunakan) struktur yang
spesifik dengan reka bentuk yang jelas.
Di tingkat ini, tidak menjadi satu
kesulitan bagi ahli sejarah kita yang awal melazimi kaidah mendatangkan
sanad bagi setiap riwayat bagi peristiwa-peristiwa sejarah karena
kebanyakan mereka adalah asalnya Muhaddits sebelum menjadi Muarrikh. Ini
dapat dilihat dari generasi yang menyusul seperti Musa bin Uqbah, Ibnu
Ishaq, Al Waqidi dan Ibnu Sa’d.
Kaidah Penulisan Muhaddits
Berdasarkan kepada perkembangan yang
terjadi pada penulisan sejarah sejak era periwayatan lisan hingga kepada
pembukuan riwayat, kaidah penilaian riwayat yang menjadi ciri utama
penulisan sejarah Islam terbagi kepada dua yaitu kaidah ahli Hadits
(muhadits) dan kaidah ahli sejarah (muarrikh).
Ahli Hadits menilai riwayat pada
rantaian perawi yang meriwayatkannya (sanad) serta matan (lafaz) riwayat
tersebut berpandukan syarat-syarat yang sudah diketahui di kalangan
muhaddits. Mereka membagi riwayat berkenaan kepada shahih, hasan, dan
dhaif, berserta cabang-cabang kepada setiap bagian itu [3] (As Sayuthi:
1/22).
Riwayat yang benar disebut sebagai
hadits shahih. Ia bermaksud bahwa riwayat yang sanadnya bersambung oleh
perawi-perawi yang adil serta teliti periwayatannya tanpa sebarang
keganjilan (syaz) mahu pun kecacatan (illah). Sementara riwayat yang
baik disebut sebagai hadits hasan. Ia bermaksud riwayat yang sanadnya
kurang daripada apa yang disyaratkan untuk hadits shahih. Riwayat yang
lemah pula disebut sebagai hadits dhaif. Ia adalah riwayat yang sanadnya
tidak memenuhi kriteria hasan dan terbagi kepada banyak kategori
bergantung kepada bentuk kecacatan yang dikenal pasti pada sanad dan
matan.
Muhadits mensyaratkan perawi bagi sebuah
riwayat itu mestilah seorang yang adil, teliti, Muslim, aqil baligh,
bebas dari sebab-sebab yang membawa kepada kefasikan dan kerendahan
muru’ah. Beliau juga mestilah seorang yang peka dan hafizh apabila
meriwayatkan hafalannya, teliti jika membicarakannya dan berilmu tentang
apa yang dikandung makna pada riwayat yang diriwayatkannya itu.
Ilmu menilai perawi ini dikenali sebagai Ilmu Jarh wa Ta’dil.
Ulama’ jarh wa ta’dil membagikan para perawi hadits yang disebut
sebagai Rijal, kepada kategori-kategori yang berlainan dengan syarat
yang ketat. Apabila seorang perawi itu terhimpun padanya kesaksian
terhadap kecacatan (jarh) dan keadilan (ta’dil), majoriti ulama
berpendapat kesaksian terhadap kecacatan perawi itu lebih diutamakan.
Sementara sebagian ulama yang lain pula berpendapat jika jumlah
kesaksian terhadap keadilan perawi itu mengatasi jumlah kesaksian
terhadap kecacatannya, maka ta’dil adalah lebih diutamakan.
Syarat yang ketat ini dipakai tanpa
sembarang pertikaian apabila riwayat-riwayat yang dijadikan penilaian
itu merupakan riwayat yang bersangkutan dengan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Bagaimana pula jika riwayat-riwayat ini melibatkan
para Shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Lanjutan dari itu,
apakah mungkin kaidah Muhadits ini boleh diaplikasikan kepada Sejarah
Islam secara keseluruhan itu sendiri?
Menjawab persoalan ini, kita perlu
berbalik kepada tujuanyang hendak dicapai oleh kedua cabang ilmu ini.
Hadits dipelajari dengan tujuan untuk mengetahui hukum yang terbina
melaluinya Syariah itu sendiri. Karena itu, diriwayatkan, “Sanad-sanad
itu adalah sebagian daripada agama. Jika tidak karena sanad, niscaya
akan berkatalah sisiapa saja apa saja yang dimauinya” (Al Qasimi: 201).
Sementara sejarah juga dipelajari untuk tujuan ibrah, pengajaran, dan
hikmah.
Jika dilihat pada Muhadits sendiri,
pendirian mereka terhadap riwayat-riwayat yang melibatan aqidah, serta
halal dan haram, adalah berbeda dengan pendirian mereka terhadap
riwayat-riwayat melibatkan kelebihan beramal (fadhail al a’mal) serta targhib dan tarhib.
Al Baihaqi berkata, “Apabila kami meriwayatkan sesuatu dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada perkara yang melibatkan halal dan
haram serta hukum hakam yang lain, kami akan mengetatkan penilaian
terhadap sanad dan rijal. Dan apabila kami meriwayatkan sesuatu
berkaitan dengan kelebihan beramal, ganjaran dan balasan, kami akan
melonggarkan syarat ke atas sanad serta bertolak ansur mengenai rijal.”
Seandainya Muhadits meletakkan syarat
yang berbeda bergantung kepada tujuan yang hendak dicapai dari
periwayatan maklumat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka sudah
tentulah periwayatan di dalam sejarah mempunyai ruang yang sama untuk
kelonggaran itu diperolehi. Seandainya syarat ketat yang dikenakan ke
atas Muhadits itu dikenakan juga ke atas riwayat-riwayat sejarah,
niscaya sebagian besar daripada riwayat yang ada akan tertolak dan tidak
memungkinkan penulisan sejarah mencapai tujuannya.
Kaidah Penulisan Muarrikh
Muarrikh menggunakan pendekatan yang
agak berbeda dibandingkan dengan Muhadits karena setiap satu riwayat,
tidak dinilai secara mikro. Sebaliknya setiap riwayat akan
dipertimbangkan konsistensinya dengan latar belakang perawi serta orang
tokoh yang disebut di dalam riwayat itu sendiri. Dalam arti kata yang
lain, pendekatan muarrikh melibatkan proses menafsir lafazh riwayat. Ini
menjelaskan kita kepada terlibatnya pendapat yang bermacam-macam
tentang riwayat yang dikaji serta kecenderungan pribadi pengkaji yang
menafsir. Namun kaidah ini mempunyai faedah yang unik terutamanya ketika
meneliti riwayat-riwayat yang kita perolehi tanpa sanad, atau yang
sanadnya terlalu kabur.
Misalnya, Ibnu Khaldun di dalam Al Muqaddimah
memberikan contoh tentang riwayat-riwayat yang dibawa oleh sumber
sejarah Islam yang terdahulu, seperti Tarikh Ath Thabari, berkenaan
jumlah Bani Israel semasa mereka di Sinai. Sumber sejarah menyatakan
bahwa jumlah mereka yang membawa bersama mereka senjata adalah 600 ribu
orang atau lebih. Ibnu Khaldun merumuskan bahwa jumlah ini tidak mungkin
bisa diterima sebagai kebenaran karena secara perbandingan, Raja Parsi
yang memiliki kekaisaran yang begitu luas, ketika berhadapan dengan
tentara Muslim di Qadisiyyah, jumlah mereka hanya 120 ribu orang malah
ada riwayat yang menyebutkan jumlah mereka sekitar 60 ribu saja.
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa
jumlah Bani Israel semasa masuk ke Mesir di awal kedatangan mereka hanya
berjumlah70 ribu orang. Tempo mereka berpendudukan di Mesir hingga
pengusiran ke Sinai hanya sekitar 220 tahun saja. Mustahil 4 generasi
mampu mencapai jumlah seramai itu.
Penulisan Sejarah Khulafa’ur Rasyidin.
Muhammad Muhammad Hassan Shurrab
berpendapat, penulisan sejarah Sirah Khulafa’ur Rasyidin hendaklah
dibagi kepada dua yaitu aspek Aqidah dan Syariah, sementara yang
keduanya adalah kematian.
Para Shahabat di sepanjang era
Khulafa’ur Rasyidin membuat berbagai keputusan dan melaksanakan berbagai
tindakan yang merincikan aspek Aqidah dan Syariah. Dari sudut Aqidah,
para Shahabat perlu menentukan kedudukan golongan yang enggan membayar
zakat sejurus selepas kematian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Demikian juga dengan golongan yang menyokong Musailamah Al
Kazzab. Terdapat juga keputusan-keputusan besar melibatkan masalah fiqh
penyelarasan Mushaf serta seri ijtihad Umar bin Al Khaththab
Radhiyallahu ‘Anh yang dikenali sebagai Awlawiyyat Umar.
Di dalam hal-hal yang seperti ini, Akram
Dhiya’ Al Umari menggariskan secara umum bahwa kaidah yang diguna pakai
adalah dengan mengutamakan riwayat-riwayat yang shahih kemudian hasan.
Selepas itu, riwayat-riwayat yang dhaif boleh diterima pakai untuk
melengkapkan pembentukan gambaran sejarah bagi era awal Islam ini,
selagi dhaif itu hanya berfungsi mengisi kekosongan pada bagian yang
tiada keterangan shahih dan hasan mengenainya. Sekiranya berlaku
pertentangan, maka riwayat yang lebih kuat senantiasa diutamakan.
Riwayat yang dhaif itu juga mestilah tidak bersangkutan dengan aspek
Aqidah dan Shariah (Al Umari: 25).
Sementara riwayat-riwayat yang
melibatkan aspek keperadabanan seperti perancangan bandar, pembinaan
bangunan dan penggalian terusan, maka wajar berlaku kelonggaran di
dalamnya, selagi mana ia tidak berlebih-lebihan hingga menjerumuskan
riwayat keluar dari realitas, menjadi hikayat berbentuk khayalan.
Contoh: Kisah Abu Dzar Al Ghifari Radhiyallahu ‘Anhu.
Muhammad Muhammad Hasan Shurrab memetik kisah Abu Dzar Al Ghifari seperti yang diceritakan oleh Ahmad Amin di dalam bukunya Fajr Al Islam.
Ahmad Amin ingin membuktikan pengaruh kepercayaan Persia pada umat
Islam melalui kisah Abu Dzar Radhiyallahu ‘Anhu. Ahmad Amin menjelaskan
di muka surat 110, bahwa di sana terdapat persamaan di antara pendapat
Abu Dzar Al Ghifari dengan pendapat Mazdak, pengasas aliran Mazdakism
Parsi di dalam isu harta. Ahmad Amin menyandarkan kenyataan ini kepada
riwayat yang dipetik daripada Tarikh Ath Thabari yang menyebut:
Abu Dzar telah tinggal di Syam dan
beliau berkata, “Wahai sekalian hartawan dan seburuk-buruk orang fakir,
berikan kabar gembira kepada mereka yang menghimpun emas dan perak,
tetapi mereka itu tidak menafkahkannya di jalan Allah, bahwa nanti akan
dituangkan besi cair daripada api Neraka ke atas, tepi dan hadapan
mereka. Mereka akan terus dalam keadaan begitu hingga golongan fakir
menebusnya daripada golongan kaya dan hingga golongan kaya mendapat
balasan dari apa yang telah mereka lakukan terhadap orang ramai.”
Lalu Mu’awiyah telah menghantar pergi
Abu Dzar kepada Utsman bin Affan di Madinah supaya Abu Dzar tidak
merusakkan penduduk Syam. Utsman bertanya kepada beliau, “Apakah halnya
penduduk Syam mengadu dengan kelancangan mulutmu?” Abu Dzar menjawab,
“Adalah tidak harus bagi golongan kaya memonopoli harta”
Ahmad Amin menyimpulkan berdasarkan
riwayat ini bahwa pendirian Abu Dzar tentang harta, menyerupai pendapat
Mazdak. Bagaimanakah Abu Dzar boleh menerima pengaruh Mazdak yang Persia
itu? Ahmad Amin menjelaskan bahwa Ath Thabari sendiri sudah
mendatangkan jawaban kepada isu ini dengan berkata, “Sesungguhnya Ibnu
Sawda’ (Abdullah bin Saba’ Al Yamani) telah bertemu dengan Abu Dzar dan
menghasutnya tentang hal ini. Ibnu Sawda’ yang sama juga telah bertemu
dengan Abu Darda’ serta Ubadah bin Ash Shamit tetapi mereka berdoa
menolaknya. Ubadah telah membawa Ibnu Sawda’ bertemu dengan Mu’awiyah
dan berkata, “Lelaki ini demi Allah yang telah mengantar Abu Dzar
kepadamu…”
Muhammad Muhammad Hasan Shurrab
menegaskan bahwa kisah seperti ini adalah contoh keadaan yang memerlukan
pendekatan Muhadits yang lebih ketat dipakai. Abu Dzar Al Ghifari
Radhiyallahu ‘Anh adalah salah seorang dari Shahabat yang dijamin Surga
oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau juga merupakan
seorang perawi yang banyak meriwayatkan hadits yaitu sebanyak 281 hadits
di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim.
Dalam masa yang sama, Shurrab
berpendapat, riwayat Ath Thabari yang menjelaskan pertemuan Abu Dzar Al
Ghifari dengan Abdullah bin Saba’ itu berdiri secara tunggal tanpa
sebarang riwayat lain yang menyokongnya. Semua ahli Sejarah yang memetik
kisah pertemuan ini, menyandarkannya kepada riwayat Ath Thabari. Tarikh
Ath Thabari seperti yang diketahui, menghimpunkan riwayat berserta
sanad tanpa dibedakan antara shahih dengan yang dusta. Sanad itulah yang
menjadi sumber penentuan keshahihan satu per satu riwayat.
Di dalam masa yang sama Ath Thabari juga
bersendirian dalam meriwayatkan berita tersebut yaitu melalui Saif bin
Umar, yang dikritik oleh ulama’ Jarh dan Ta’dil sebagai pereka riwayat
palsu, pendusta, lemah, mungkar, malah disifatkan sebagai Zindiq
sebagaimana yang boleh dirujuk di dalam Tahdzib At Tahdzib oleh Ibnu Hajar Al Asqalani.
Riwayat Ath Thabari ini juga
bersendirian dalam penyataan kisah pertemuan Abu Dzar dengan Abdullah
bin Saba’, berbeda dengan riwayat-riwayat lain yang menceritakan tentang
perselisihan faham yang terjadi antara Abu Dzar dengan Utsman dan
Mu’awiyah, namun tiada penjelasan tentang adanya keterlibatan Abdullah
bin Saba’ berkenaan hal ini. Misalnya riwayat di dalam Musnad Al Imam
Ahmad (5/147) di bawah bab Musnad Abu Dzar, Umar bin Shabbah menceritakan di dalam kitabnya, Tarikh Al Madinah beberapa
riwayat tentang perbedaan pendapat yang berlaku di antara Abu Dzar dan
Utsman, kemudian Mu’awiyah. Di sepanjang kisah, tiada disebutkan
pertemuan antara Abu Dzar bersama Abdullah bin Saba’.
Dari aspek matan (lafazh) riwayat pula,
Abu Dzar Al Ghifari merupakan seorang Shahabat yang alim dan faqih
seperti yang diterangkan oleh Ibnu Abdul Barr di dalam Al Isti’ab, Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam Al Ishabah serta Ibn Sa’d di dalam Ath Thabaqat Al Kubra.
Adalah tidak munasabah Abu Dzar yang disifatkan begitu, bisa mendengar
dan terpengaruh dengan pendapat seorang yang baru memeluk Islam seperti
Abdullah bin Saba. Ibnu Hajar di dalam Al Ishabah menjelaskan bahwa Abu Dzar pernah berdebat dengan Ibnu Mas’ud dalam hal keilmuan.
Perintah membelanjakan harta sama ada
dalam bentuk zakat, sedekah atau lain-lain penyaluran uang di dalam
masyarakat adalah sesuatu yang sedia dimaklumi oleh seluruh umat Islam.
Amat janggal apabila Abu Dzar begitu berkeras dalam menyeru hal ini
kepada para Shahabat.
Kesimpulan kepada hal ini, tindakan
Ahmad Amin pada mengaitkan pengaruh Mazdak ke atas Abu Dzar melalui
riwayat Ath Thabari itu adalah tertolak, apabila kita mengenakan
syarat-syarat Muhadits ke atas sumber yang dirujuk. Ia bersesuaian
dengan kedudukan Abu Dzar sendiri sebagai perawi hadits. Demikian juga
Utsman dan Mu’awiyah yang juga merupakan Shahabat utama Nabi Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Riwayat tersebut juga tertolak oleh
kejanggalan yang berlaku pada isi kandungan riwayat yang bertentangan
dengan maklumat mengenai Abu Dzar sendiri serta suasana yang terjadi di
zaman Shahabat.
Contoh Riwayat Perang Jamal dan Siffin Oleh Ath Thabari.
Abdelkader I. Tayob di dalam kertas kerja beliau bertajuk Tabari on the Companions of the Prophet: Moral and Political Contours in Islamic Historial Writing
telah melakukan pemeriksaan teliti kepada pendekatan yang digunajan
oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dalam pengumpulan riwayat berkaitan dengan
Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan menjadikan
Perang Jamal dan Perang Siffin sebagai tumpuan kajian.
Tabari sebagai seorang Muhadits yang
berkecimpung di dalam sejarah menolak pembatasan kawalan atas
laporan-laporan yang diriwayatkannya. Apa saja riwayat yang sampai
kepada beliau, dicatat berserta dengan rantaian perawi sebagai penentu
antara riwayat yang shahih dengan sebaliknya. Tayob juga memetik
pendapat Albrecht Noth yang menyatakan bahwa riwayat-riwayat era awal
Islam terdiri daripada laporan yang saling bertentangan berkaitan
peristiwa-peristiwa yang penting melibatkan soal agama dan politik.
Laporan yang cenderung kepada kelompok-kelompok yang bermacam-macam di
dalam masyarakat Islam sukar hendak dikaitkan sumbernya pada
wilayah-wilayah yang tertentu karena kecamuk yang berlaku di kalangan
riwayat itu tadi. Malah Noth juga menyimpulkan bahwa ahli Sejarah
Muslim yang awal, lebih merupakan pengumpul dan bukan pengusaha sintesis
yang menganalisa isi kandungan sumber itu tadi.
Noth juga memperdebatkan pendapat
Wellhausen yang mengklasifikasikan ahli Sejarah kepada wilayah yaitu
aliran Madinah dan Iraq. Beliau meragui pendapat Wellhausen dengan
menekankan bahwa tidak mungkin hasil kerja individu seperti Ibnu Ishaq
dan Saif bin Umar boleh dianggap mewakili wilayah yang dinisbahkan
kepada mereka, tanpa menafikan adanya pengaruh lingkungan terhadap
periwayatan mereka. Tayob terus memetik pendapat Noth yang menyarankan
agar tumpuan diberi kepada perkara-perkara pokok tentang ajaran Islam
dan pengaruhnya kepada penulisan sejarah Muslim berbanding dengan
bergantung kepada penilaian keagamaan, politik dan wilayah.
Tayob menjelaskan bahwa kepercayaan
tentang kedudukan istimewa dan khusus Shahabat Nabi amat penting dalam
membentuk pandangan hidup Islam. Baghdad pada kurun yang ke-9 M
menyaksikan isu kedudukan Shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
ini bukan hanya melayang di dalam permasalahan penulisan sejarah malah
menjadi topik yang dibincangkan di dalam majelis-majelis ilmuwan. Isu
ini mempunyai implikasi yang besar kepada makna dan tabiat Islam itu
sendiri. Ahlus Sunnah waal Jamaah, Syiah dan keluarga Bani Abbas yang
bersikap apologetik mendukung pendapat yang tersendiri berkenaan para
Shahabat secara umum, dan terhadap beberapa orang Shahabat secara
khusus.
Al Jahiz memberikan indikasi bahwa
pendapat yang berpihak kepada Mu’awiyah akan mencetuskan bantahan dan
penolakan oleh Bani Abbas.
Secara khusus, permasalahan ini menjadi
perhatian utama melibatkan Muhadits yang juga seorang Muarrikh penting
yaitu Ath Thabari. Konflik antara beliau dan Hanabilah, situasi politik
yang begitu partisan oleh Bani Abbas, mencetuskan dilema untuk
menyeimbangkan dua tuntutan. Antara kewujudan sebegitu banyak riwayat
yang mencetuskan sanggahan terhadap keadilan para Shahabat, dan tuntutan
prinsip agama yang juga menjurus kepada mempertahankan keadilan para
Shahabat yang sama.
Tayob berpendapat, Ath Thabari banyak
mendatangkan riwayat Saif bin Umar bagi peristiwa perang Jamal, dan
riwayat Abu Mikhnaf bagi Peperangan Siffin. Landau-Tasseron berpendapat,
Ath Thabari sepatutnya meletakkan Saif bin Umar di taraf yang sama
dengan perawi-perawi yang lain karena pendapatnya yang memperdebatkan
Saif bin Umar, tidak lagi menjadikan Ath Thabari seorang yang netral
dalam mengemukakan riwayat (Landau-Tasseron 1990). Cadangan ini
diperdebatkan oleh Donner dan Blankinship yang meragui upaya Saif bin
Umar untuk diambil riwayat darinya.
Muhadits lebih cenderung menggunakan
pendekatan yang meletakkan punca krisis fitnah kepada kelompok bukan
Shahabat. Ath Thabari mengambil pendiriannya yang tersendiri. Beliau
tidak memilih pandangan golongan yang bersikap apologis untuk Bani Abbas
seperti Al Jahiz, maupun cenderung kepada golongan yang dominan ketika
itu, kelompok Hanabilah. Sebaliknya, sebagai seorang tokoh yang
tersendiri, Ath Thabari memilih untuk menjelajahi aspek fiqh dan kendali
moral serta mengelakkan diri dari terlibat secara langsung dengan
sembarang gerakan sosial dan politik saat itu.
Ath Thabari meletakkan tanggungjawab
aqidah dan moral sebagai komitmen yang mesti dipegang oleh para pengkaji
untuk berinteraksi dengan riwayat-riwayat yang dibentangkannya.
Kesimpulan:
Penulisan sejarah yang melibatkan era
Khulafa’ur Rasyidin perlu memanfaatkan kedua kaidah yang digunakan oleh
muhadits dan muarrikh untuk membentuk penulisan sejarah yang baik. Biar
pun terdapat perbedaan yang signifikan antara syarat penerimaan riwayat
oleh muhadits berbanding dengan muarrikh yang mana syarat ini penting
untuk menyaring riwayat-riwayat yang melibatkan persoalan aqidah dan
syariah, pendekatan muarrikh dalam mendatangi riwayat-riwayat berkenaan
secara kolektif, membuat perbandingan dan menafsir isi kandungannya,
membolehkan kebenaran dikenal pasti khususnya saat berhadapan dengan
riwayat-riwayat tidak bersanad, atau yang sanadnya terlalu kabur dan
tidak lengkap untuk dinilai secara muhadits.
Rujukan:
- Abdul Aziz Ad Duri. Bahs fi Nash’ah ‘Ilm At Tarikh ‘inda Al ‘Arab. Beirut. Dar Al Mashriq. 1983. Cetakan Pertama.
- Muhammad Fathi Uthman. Al Madkhal ila At Tarikh Al Islami. Beirut. Dar An Nafais. 1992. Cetakan kedua.
- Muhammad Muhammad Hasan Shurrab. Fi Usul Tarikh Al Arab Al Islami. Dimashq. Dar Al Qalam. 1993. Cetakan pertama.
- Faruq Hamadah. Masadir As Sirah An Nabawiyyah wa Taqwimuha. Rabat. Dar At Tsaqafah. 1989. Cetakan kedua.
- Nuruddin Hatum, Nabih Aqil, Ahmad Tarbin, Salah Madani. Al Madkhal ila At Tarikh. Dimashq. DaMatba’ah Al Hilal. 1982. Cetakan pertama.
- Al Hafiz Jalal Ad Din Abdul Rahman bin Abi Bakar As Sayuti. Tadrib Ar Rawi fi Sharh Taqrib An Nawawi. Beirut. Dar Al Kitab Al Arabi. 1989. Cetakan pertama.
- Abu Al Qasim Al Husain bin Muhammad Ar Raghib Al Asfahani,. Al Mufradat fi Gharib Al Quran. . Beirut. Dar El-Marefah.
- Muhammad Jalal Ad Din Al Qasimi. Qawa’id At Tahdith min Funun Mustalah Al Hadits. Beirut. Muassasah Ar Risalah. 2004. Cetakan pertama.
- Ahmad Amin. Fajr Al Islam. Beirut. Dar Al Kitab Al Arabi. 1969. Cetakan kesepuluh.
- Shihab Ad Din Abi Al Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajr Al Asqalani. Al Isabah fi Tamyiz As Sahabah. Beirut. Dar Ihya’ At Turath Al Arabi. 1328H. Cetakan pertama.
[1] Al Asqalani, Shihab Ad Din Abi Al Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar. 1328H. Al Isabah fi Tamyiz As Sahabah. Jil 1. Dar Ihya’ At Turas Al Arabi.
[2] Ar Raghib Al Asfahani, Abu Al Qasim Al Husain bin Muhammad. Al Mufradat fi Gharib Al Quran. . Beirut. Dar El-Marefah.
[3] As Sayuti, Al Hafiz Jalal Ad Din Abdul Rahman bin Abi Bakar. 1989. Tadrib Ar Rawifi Sharh Taqrib An Nawawi. Dar Al Kitab Al Arabi. Beirut.
Post a Comment
mohon gunakan email