Pesan Rahbar

Home » » Akar Kemunculan Islam Radikal di Indonesia Menurut Prof. Afif Muhammad

Akar Kemunculan Islam Radikal di Indonesia Menurut Prof. Afif Muhammad

Written By Unknown on Thursday, 8 January 2015 | 18:39:00


“…Pada tataran doktrin, semua agama mengajarkan kedamaian dan keselamatan. Akan tetapi, ketika doktrin tersebut diaktualisasikan oleh para pemeluknya, seringkali terdapat kesenjangan yang cukup lebar. Semua agama, misalnya, mengajarkan perdamaian, persaudaraan, dan keselamatan, tetapi pada kenyataannya seringkali para pemeluk agama memperlihatkan pengamalan yang bertentangan. Di sini, agama yang semula mengajarkan perdamaian, seakan berubah menjadi salah satu faktor penyebab konflik dan permusuhan.”

Demikianlah pernyataan Prof. Afif Muhammad pada Pengantar bukunya Agama & Konflik Sosial : Studi Pengalaman di Indonesia (2013: 5). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa agama bagai pisau bermata dua, di satu sisi berisi kedamaian, di sisi lainnya mengandung peperangan; di satu sisi menyerukan persaudaraan, di sisi lain menyerukan permusuhan. Dan hal itu terjadi secara riil di tengah-tengah masyarakat Indonesia apapun agamanya termasuk umat Islam. Apa penyebabnya?

Prof, Afif menyebutkan bahwa salah satu faktor pemicu munculnya radikalisme Islam adalah pemahaman normatif terhadap Islam yang bersifat tekstual, berorientasi ke masa lalu, eksklusif, dan menolak rasio dalam masalah agama. Pemahaman ini, menurutnya, dianut oleh kelompok yang menamakan diri salafiah atau wahabiah, yang di Indonesia ternyata cukup berkembang. Pemahaman seperti ini melahirkan sikap eksklusif dan menutup diri terhadap agama lain dan juga pemahaman pihak lain sesama Muslim. Kondisi ini menyebabkan pernyataan sesat dan kafir merebak, bukan saja hanya ke pada non-Muslim, tetapi juga ke sesama kaum muslim.

Hal ini diperparah lagi dengan sikap tokoh-tokoh agama yang adakalanya memprovokasi umat melakukan tindakan kekerasan. Hasil penelitian Prof. Afif dalam bukunya di atas menunjukkan bahwa terdapat tokoh agama—baik Kristen maupun Islam—yang selalu menyampaikan khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah yang dapat memprovokasi dan menghasut umat untuk melakukan tindak kekerasan.Mereka juga menyebarkan pamflet, brosur, buletin, dan buku-buku. Dari sini agama dipicu menjadi radikal.

Lantas apa sebenarnya makna Islam Radikal? Istilah “radikal”, kata Prof. Afif, diberikan kepada Islam, dimulai oleh Montgomery Watt dan Dilip Hiro untuk menyebut gerakan-gerakan di Mesir yang melakukan tindak kekerasan, misalnya Jamaah Takfir wa al-Hijrah, Hizbullah, dan Jamaah al-Jihad. Dan kembali mencuat, semenjak peledakan WTC dan Al-Qaida di belakang peristwia tersebut.

Radikal berasal dari radic yang berarti “akar”, dan radikal adalah (sesuatu yang) bersifat “mendasar” atau “hingga ke akar-akarnya”. Predikat ini bisa dikenakan pada pemikiran atau paham, sehingga muncul istilah pemikiran yang radikal, dan bisa pula pada gerakan. Radikalisme itu diartikan “paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembauran sosial dan politik dengan cara keras atau drastis”, dan “sikap ekstrem di suatu aliran politik.” Degan demikian, Islam Radikal adalah paham keislaman atau aliran dalam Islam yang menginginkan dan mencita-citakan perubahan sosial dan politik yang sesuai dengan syariat Islam yang dilakukan dengan tindak-tindak kekerasan dan drastis.

Islam Radikal menginginkan terlaksananya syariat Islam dalam bentuknya yang murni dan otentik, yang diajarkan Al-Quran dan dipraktikkan oleh Rasulullah saw. Murni, berarti tidak ada unsur-unsur luar yang masuk ke dalamnya. Tolok-ukurnya adalah Al-Quran dan sunnah. Segala yang berasal dari luar harus ditolak dan dipandang bid’ah. Sebab, bagi mereka, Islam yang ideal adalah Islam yang dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Islam seperti itulah yang harus dihadirkan kapan pun dan di mana pun, karena, Islam sesuai untuk segala ruang dan waktu (shalihun li kulli zaman wa makan).

Dengan pemahaman seperti itu mereka selalu berorientasi ke belakang; dan membagi dunia menjadi dua : Allah atau thagut, syariat Islam atau syariat kafir, Negara Islam (Dar al-Islam) atau Negara Musuh (Dar al-Harb), Masyarakat Islam atau Masyarakat jahiliyah, Partai Allah (Hizb Allah) atau Partai Setan (Hizb asy-Syaithan). Di situ tidak ada kompromi dan setengah-setengah. Apa yang datang dari Allah pasti benar dan baik, dan karena itu harus diterima dan dilaksanakan. Sedangkan yang berasal dari selain Allah pasti salah dan buruk, dan karena itu harus ditolak dan dibasmi.

Kadang-kadang, saking semangatnya, sampai-sampai hal-hal yang teknis pun diurus. Ujung celana jangan sampai menutup mata kaki, kenakan jubah dan sorban, dan peliharalah janggut. Lalu, istilah-istilah itu pun mesti “ditertibkan” dengan menggunakan bahasa yang lebih “islami” atau “Arabi”. Istilah sembahyang jadi shalat, “puasa” jadi shaum, dan kawan-kawan menjadi ikhwan/akhwat. Namun, Islam Radikal bergerak lebih jauh dalam memaksakan pendapatnya, sehingga menggunakan kekerasan dan cara-cara yang drastis, yang menimbulkan ketakutan pada banyak orang, dan juga mengganggu stabilitas negara. Itu sebabnya, Islam Radikal sangat dekat dengan terorisme.


Judul Buku : Agama & Konflik Sosial : Studi Pengalaman Indonesia
Pengarang : Prof. Dr. Afif Muhammad, MA
Terbitan : Marja, Bandung, 2013.

*Prof. Dr. Afif Muhammad, MA, cendekiawan Muslim dan ketua Program Studi Religious Studies PPS UIN Bandung.

Dalam sejarah Islam, Islam Radikal pernah muncul pada masa awal dalam bentuk gerakan kaum Khawarij. Inilah aliran politik pertama dalam Islam. Pengaitan politik dengan gerakan dan paham radikal kaum Khawarij, menunjukkan bahwa politik merupakan salah satu faktor yang dapat memunculkan radikalisme dalam Islam. Sementara itu, Ali Sami an-Nasysyar menunjukkan faktor lain, yakni pemahaman tekstual yang dimiliki kaum Khawarij, di samping faktor yang disebutkan sebelumnya.

Mengacu pada indikator radikalisme di atas, Prof. Afif, menyebutkan lima hal yang menjadi faktor munculnya gerakan Islam Radikal di Indonesia.

Pertama, Islam ideologis, yaitu pemahaman yang menjadikan Islam tidak saja sebagai sistem teologi dan peribadatan, tetapi, tetapi sebagai complete civilization. Islam tidak saja mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan, tanpa mengecualikannya barang sedikit pun. Islam adalah agama yang benar, universal, cukup diri (self sufficiency), dan tidak membutuhkan sesuatu yang datang dari luar. Di sini Islam dijadikan tolok-ukur dan landasan bagi seluruh perbuatan seorang Muslim.

Pada posisi ini perlu dilakukan redefenisi total atas seluruh ajaran Islam, yang dilanjutkan dengan identifikasi. Melalui redefenisi dan identifikasi ini, Islam ditampakkan dengan sangat jelas yang berbeda dari ajaran lainnya. Di situ dibedakan secara tegas mana yang Islam dan mana yang bukan. Dunia pun dibelah menjadi dua : Allah dan taghut, Islam atau non-Islam, Dar al-Islam atau dar al-Harb, Hizb Allah atau Hizb asy-Syaithan. Tidak ada kompromi. Menerima Islam dan menjadi Muslim, atau menolaknya dan menjadi kafir. Inilah yang menyebabkan munculnya sikap penentangan terhadap segala yang berasal dari luar Islam disertai dengan sikap bermusuhan. Dari sini muncullah benih-benih radikalisme.

Di Indonesia sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi, kelompok radikal ini selalu membayangi. Meskipun di masa Orde Baru cukup mendapat tekanan, tetapi kelompok ini tetap tidak pudar. Karena itu, begitu Orde Baru jatuh, aspirasi-aspirasi pemberlakuan syariat Islam di Indonesia kembali merebak. Akan tetapi, adakalanya aspirasi tersebut tidak tertampung, maka para pendukung tidak sabar dan melakukan tindak kekerasan, misalnya sweeping dan perusakan sarana-sarana umum, maka ini adalah tindakan inkonstitusional bahkan terorisme.

Kedua, Kapitalisme dan sekularisme. Gelombang sekularisme yang memisahkan antara agama dan negara, yang dampaknya juga pemisahan kehidupan sosial, sains dan teknologi dari nilai-nilai agama. Nilai-nilai moral dipindahkan dari agama ke ilmu pengetahuan. Dengan begitu, kehidupan sosial pun terlepas dari ikatan agama, dan dipijakkan pada ilmu pengetahuan modern. Implikasinya, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat, tetapi tanpa arah. Perlahan, seluruh kehidupan pun terlepas dari agama, dan agama terpenjara dalam kehidupan pribadi. Kebangkitan Barat yang ditandai dengan sekularisme menjadikan kapitalisme sebagai penyangganya. Berikutnya, semangat kapitalisme yang mengedepankan kepemilikan dan penguasaan ekonomi menghasilkan penjajahan bentuk baru, kolonialisme ekonomi.

Kolonialisme baru ini merambah dunia Islam, tak terkecuali Indonesia, yang merupakan negara berkembang dengan sumber daya alam yang melimpah. Kolonialisme ekonomi di Indonesia ini sangat kentara sekali, sehingga melahirkan perlawanan dalam bentuk kekerasan. Dari sinilah lahir akar radikalisme Islam.

Ketiga, Ketika negara-negara Muslim memperoleh kemerdekaannya, muncullah kekuatan baru di tengah dua kekuatan : Timur Komunis dan Barat Kapitalis. Negara-negara Muslim merdeka dengan SDA yang melimpah tentu memberi ancaman tersendiri bagi hegemoni Barat. Untuk memecah belah kekuatan Muslim ini, Barat (Amerika dan Inggris), melalui perjanjian Balfour, mendirikan negara boneka, yakni Israel.

Kehadiran negara Yahudi ini, sangat ditentang oleh negara-negara Arab, dan muncullah konflik di Timur Tengah, khusunya Israel dan Palestina. Jadi, konflik tersebut didalangi oleh intervensi Barat. Dan setiap perjanjian damai selalu menguntungkan Israel dan merugikan Palestina. Keberpihakan Barat kepada Israel ini, memicu kebencian kepada Barat. Karena Islam agama universal yang melintas batas-batas geografis, maka kebencian itu tersebar ke seluruh dunia, terutama negara-negara yang berpenduduk Muslim, tak terkecuali Indonesia. Kelompok-kelompok Islam Indonesia, yang kecewa dan frustasi ini, menempuh cara-cara kekerasan, maka muncullah terorisme, bom-bom bunuh diri seperti Bom Bali dan JW Marriot, bahkan pengiriman relawan-relawan perang dari Indonesia ke Afghanistan, Palestina, dan lainnya, yang semua itu mereka legitimasi atas nama jihad. Jadi, radikalisme timbul karena Konflik Timur Tengah dan Intervensi Barat.

Keempat, Pemahaman normatif terhadap ajaran Islam. Di dalam Islam terdapat aliran yang disebut salafiah. Aliran ini memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain, pemahaman Islam yang normatif tekstual, berorientasi ke masa lalu, dan penolakan terhadap rasio dalam masalah agama. Pemahaman seperti ini melahirkan sikap eksklusif dan menutup diri terhadap pemahaman yang dilakukan pihak lain. Dalam bentuk modernnya, aliran ini menampakkan diri dalam paham wahabiah. Penafsiran aliran ini berkembang juga di Indonesia. Abu Bakar Ba’asyir, misalnya, beberapa kali menegaskan bahwa Amerika adalah bangsa kafir yang memusuhi Islam, dan karena itu umat Islam harus melawan mereka. Selain itu, beberapa kelompok Islam ini, bahkan menganggap orang-orang Muslim lainnya, yang beda pemahaman dengan mereka, sebagai orang-orang kafir-sesat. Permusuhan dan kekerasan pun merebak, bukan hanya ke pada non-Muslim, tetapi juga ke sesama kaum muslim.

Kelima, Reformasi yang terjadi di Indonesia kembali memunculkan aspirasi diberlakukannya syariat Islam dalam kehidupan sosial. Usaha-usaha bagi dilaksanakannya ajaran Islam ini tampak, antara lain, dalam bentuk tuntutan terhadap berbagai praktik sosial yang bertentangan dengan Islam, misalnya penutupan tempat pelacuran, perjudian, dan toko-toko minuman keras. Ketika tuntutan ini tidak atau belum direspon positif oleh pemerintah, kekecewaan pun muncul, lalu lahirlah anarkisme yang dibalut agama. Begitu pula, dalam bidang ekonomi dan keamanan, berbagai kasus penyelewengan dan korupsi merebak dan tidak terselesaikan, bahkan hakim dan petugas hukum terlibat di dalamnya. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan dan ketidakpercayaan masyarakat kepada para petugas hukum, sehingga terjadilah main hakim sendiri.

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang signifikan pun hanya dinikmati oleh segelintir orang.

Sehingga terjadi ketimpangan sosial-ekonomi yang lebar antara si kaya dan si miskin. Ketimpangan sosial-ekonomi ini yang terjadi karena keberpihakan pemerintah hanya kepada segelintir orang menimbulkan kecemburuan dan perasaan marah yang mudah tersulut menjadi tindak kekerasan. Inilah akar radikalisme yang berawal dari kesejangan sosial-ekonomi dan ketidakpastian hukum di Indonesia.

Kelima faktor di atas tentu saja bukanlah harga mati, tetapi setidaknya perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah Indonesia dan tokoh-tokoh agama serta ormas-ormas Islam yang moderat untuk bersatu padu membangun komunikasi yang intensif dan kerjasama dalam berbagai kegiatan yang menjurus pada perbaikan umat baik dari sisi pemahaman kegamaan, penanaman ideologis kebangsaan, serta sosial-ekonominya, agar Indonesia terhindar dari konflik, tindakan anarkisme, radikalisme serta terorisme.

Wallahu 'alam
 
(Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: