Seorang pria menangis dalam acara mengenang syahidnnya imam Husein as di Swedia
Oleh: Abdul Hakim
Setiap kali Muharram tiba air mata dan ratapan adalah dua hal yang hampir tak terpisahkan. Betapa tidak, kala orang yang kita kasihi apakah itu anak, isteri, suami, orang tua, atau saudara dan sahabat terdekat pergi meninggalkan kita untuk selamanya, tentu secara alami kita pun akan bersedih karena harus berpisah dengan mereka.
Bagaimana halnya kalau ia adalah seorang yang begitu mulia dari keturunan suci Nabi akhir zaman, yang juga adalah seorang Wali yang sangat kita cintai dan selalu kita dambakan bimbingannya dalam mengarungi kehidupan di dunia ini, kemudian kita dapati mengalami kematian yang begitu tragis oleh manusia-manusia durjana yang sudah tak lagi memiliki hati kemanusiaanya?
Mestilah, hati siapa pun akan tersentuh oleh kepedihan dan kepiluan ketika mengetahui peristiwa besar yang sangat mengenaskan seperti itu. Kecuali bagi orang-orang yang benar-benar telah tertutup mata hatinya oleh debu kedengkian dan kebencian yang sedemikian rupa, tentu itu adalah peristiwa yang mereka syukuri.
Namun, ketika mengingat peristiwa yang memilukan seperti itu, tentu saja kita tak cukup sekadar mencucurkan air mata sebagai tanda duka cita yang mendalam. Lebih dari itu, ada sesuatu yang lebih substansial yang perlu kita perhatikan ketika melakukan peringatan hari-hari yang sangat menyesakkan dada itu.
Peristiwa besar di bulan Muharram pada tahun ke 61 Hijrah, yang kita kenal sebagai Asyura itu pada tingkatan ini harus kita maknai sebagai suatu perjuangan antara gerakan keadilan dan kebenaran melawan gerakan kezaliman dan kebatilan. Dan perjuangan itu sesungguhnya telah berlangsung di sepanjang masa sampai saat ini. Ia merupakan pertarungan abadi antara Habil melawan Qabil, Ibrahim melawan Namrud, Musa melawan Firaun, Muhammad melawan pemuka jahiliah Qureisy, dan Husein melawan Yazid dari Bani Umayyah.
Pada saat ini pun perjuangan kedua kubu itu masih terus berlangsung. Karena itu, untuk membuktikan kecintaan kepada Imam Husein, tidak ada cara lain bahwa kita harus menempatkan diri di barisan para pengusung gerakan keadilan itu. Di sini, yang diangkat bukan isu kelompok, mazhab, atau pun agama. Jadi, isu Asyura itu sesungguhnya bukan soal Sunnah dan Syiah, soal Iran yang Syiah dan Arab Saudi yang Wahabi, dan bukan pula soal Islam dan bukan Islam. Tapi, ia merupakan isu keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan universal yang harus diperjuangkan dan digemakan oleh siapa pun dan dimana pun yang memiliki kepedulian.
Karena itu, siapa pun yang berjuang di jalan keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan itu harus kita dukung. Dan, sebaliknya, mereka yang melakukan kezaliman dan kejahatan kemanusiaan sekali pun sama mazhab dan agamanya dengan kita, mereka harus kita lawan dan perangi.
Gerakan kebangkitan Imam Husein adalah dalam rangka menegakkan keadilan dan kebenaran itu. Kebenaran yang dibawa oleh kakeknya, Nabi Muhammad Saw, ketika itu telah dijungkirbalikkan dan dimanipulasi oleh Yazid bin Muawiyyah dan para pendukungnya untuk menindas rakyat. Mereka telah menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk mengumbar hawa nafsu dan kesenangan duniawi.
Di atas hal itu, masih ada satu tingkatan lagi dalam memperingati peristiwa Asyura itu. Perlu disadari bahwa memperingati peristiwa yang terjadi pada Imam Husein, keluarga, dan para sahabatnya di padang Karbala itu baru sebatas memperingati Husein historis. Demikian pula, kisah peperangan antara pasukan Yazid melawan Imam Husein yang disampaikan dalam majelis-majelis Asyura, yang dibicarakan di situ adalah tentang Husein dan Yazid yang historis.
Peringatan yang diadakan di setiap bulan Muharram itu, hanya akan berhenti sebatas tangisan dan ratapan kepiluan apabila tidak dimaknai lebih dalam lagi dan dibawa ke dalam eksistensi diri kita, bahwa sesungguhnya di dalam diri kita pun ada Husein dan Yazid yang saling berperang dan menikam. Inilah yang dinamakan sebagai Husein dan Yazid ontologis, yang ada dalam diri setiap orang.
Apa yang kita dapatkan dari memperingati Husein historis itu, seharusnya adalah untuk membangkitkan Husein ontologis yang ada di dalam diri kita. Sebagaimana halnya yang dilakukan Imam Husein, Husein ontologis itu juga harus menegakkan keadilan, kebenaran, cinta kasih, dan persatuan di dalam dirinya. Sebaliknya, tatkala dalam diri itu yang muncul adalah kezaliman, permusuhan, memecah belah umat, berarti ia tengah membangkitkan Yazid ontologis.
Pada diri kita hanya ada dua pilihan, apakah akan menjadi Husein atau menjadi Yazid. Apabila, Yazid yang menang, maka hedonisme, kesenangan seksual, kezaliman, permusuhan dan perpecahan, akan bangkit untuk membangun kerajaan Yazid. Dan, sebaliknya apabila Husein yang menang, maka ia akan membangun kerajaan Husein yang akan menegakkan keadilan dan kebenaran, serta menebarkan cinta kasih untuk semua orang.
Jadi, dengan berangkat dari cara melihat peristiwa Karbala seperti itu, kita tidak lagi sebatas membicarakan Karbala yang ada di sana dan memperingati Asyura yang hanya datang sekali dalam setahun itu. Tapi, kita berbicara tentang Asyura dan Karbala yang ada di dalam setiap diri.
Karena itu, tatkala kita mengadakan peringatan atas peristiwa yang sangat kelam dalam sejarah umat manusia itu, maka esensi dari perjuangan Imam Husein dan para syahid Karbala dapat terus kita hidupkan dan gaungkan ke dalam diri kita, kapan pun dan dimana pun kita berada, sehingga seruan “kullu yaumin asyura wa kullu ardhin karbala” menjadi lebih bermakna!
(Mahdi-News/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email