Bagian 1
Saya sering tidak habis pikir -atau malah sama sekali habis pikir- dengan pola sebagian orang mengambil kesimpulan. Terkadang saya sampai mencoba menelisik sisi-sisi perbedaan latarbelakang keluarga, pendidikan, literatur bacaan, ideologi, sikap hidup, pengalaman, pekerjaan dan sejenisnya. Tapi, saya tetap juga tidak bisa menemukan faktor yang membuat kita begitu berbeda dalam mengambil kesimpulan.
Tentu tidak mungkin saya mengklaim telah mencapai tingkat tertentu dari kesempurnaan, sementara orang-orang yang berbeda itu berada dalam kebodohan dan sejenisnya. Ini jelas klaim yang tidak manusiawi atau tidak ilmiah.
Lantas, apakah faktor utama itu? Setelah memutar otak dan membaca sejumlah referensi, pokok masalahnya ternyata lebih sederhana ketimbang yang saya duga, yaitu: perbedaan sudut-pandang. Lain sudut pandang, lain pula cara orang mengambil kesimpulan.
Masalah lain yang patut kita ajukan adalah mengapa seseorang mengambil sudut pandang yang berbeda dengan orang lain? Ini pertanyaan yang tentu lebih rumit, lantaran menyangkut matra “jeroan alias motif” yang perlu penyelidikan lebih panjang dan berlarut-larut. Sebaiknya kita tinggalkan dulu pertanyaan itu di laboratorium psikologi atau disiplin sejenisnya.
Demi menyederhanakan masalah panjang yang berlarut-larut itu, saya kira ada baiknya kita langsung saja membuktikan dengan cara-cara ilmiah bahwa sudut-pandang yang berbeda dengan kita sesungguhnya lebih lemah, sempit dan terbatas.
Dalam kenyataannya, banyak orang yang memang tidak mampu mencari sudut-pandang yang lebih luas dan mendalam. Mereka umumnya tertahan di tahap-tahap awal pendakian intelektual dan malas menjelajah lebih jauh, lebih dalam dan lebih tinggi. Tidak jarang juga mereka tidak punya daya abstraksi intelektual, sehingga pikirannya melulu terbentur dinding materi yang serba sempit ini. Orang seperti ini ujung-ujungnya bakal gagal menemukan sudut-pandang yang lebih sempurna sesuai dengan kapasitas intelektual dan mental manusia yang tidak terbatas itu.
Jadi, dengan mengabaikan dimensi motif psikologis, pertanyaan ihwal faktor munculnya perbedaan pola mengambil kesimpulan menjadi lebih mudah dipecahkan dan pembuktian berkenaan dengan sudut-pandang manakah yang lebih tepat akan mendarat di dataran ilmiah yang lebih kukuh.
Sebagai ilustrasi tentang pentingnya sudut-pandang, coba kita perhatikan bagaimana bedanya saat kita melihat kerbau dari atas dan dari bawah. Selain sempit, pengap dan bau, “sudut-pandang bawah” bisa berujung dengan kesimpulan yang salah. Sebaliknya, “sudut-pandang atas” memberi keluasaan dan ketepatan. Anda bisa langsung mencobanya sendiri setiap saat bertemu dengan kerbau di mana pun ia berada. Meski saya tetap tidak menyarankan Anda melihat kerbau dari bawah, lantaran akibatnya tidak baik bagi indra penciuman manusia normal.
Bagian 2
Bahasan tentang sudut-pandang di bagian sebelumnya saya pakai sebagai pengantar sederhana untuk membahas masalah inti yang saya potong dalam dua bagian. Sekitar awal bulan kemarin, saya membaca tulisan Sdr. Ulil di situs Jaringan Islam Liberal (07/01/0 yang berjudul “Doktrin-doktrin yang Kurang Perlu dalam Islam”. Dalam esai itu, Sdr. Ulil mencampur-adukkan dua sudut-pandang yang menurut saya agak ribet: sudut-pandang terhadap orang beragama (Muslim) dan sudut-pandang terhadap konsep agama (Islam).
Akibatnya, ajakan moral pada kaum beragama (Muslim) untuk rendah hati itu bisa dianggap sebagai kritik ambisius atas konsep agama (Islam). Malah, rasanya tidak berlebihan jika ada orang yang beranggapan bahwa kalimat pembuka di awal paragraf yang mengajak orang beragama (Muslim) untuk merendahkan hati itu sekadar pemanis mulut, lantaran sasaran kritik Sdr. Ulil sebenarnya adalah Islam itu sendiri.
Marilah kita periksa paragraf pertama tulisan Sdr. Ulil tersebut. Di awal paragraf, dia menulis begini, “Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu.”
Dalam paragraf awal ini, Sdr. Ulil telah memunculkan dua ajakan yang berangkat dari dua sudut-pandang yang berbeda. Bila tidak menyadari bahwa Sdr. Ulil telah mengubah sudut-pandang, tentu kita bisa pusing tujuh sampai beberapa belas keliling. Pertama, dia ingin “menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati” dan ingin kerendah-hatian itu diberlakukan pada “kleim-kleim yang berlebihan tentang agama”. Kedua, bertolak dari ajakan moral yang dapat dengan mudah kita terima itu, dia berjibaku dengan mengambil sudut-pandang lain, “Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri.”
Di sini, menurut saya, telah terjadi perubahan sudut-pandang yang terlalu melompat. Mengapa? Karena, corak keberagamaan yang rendah hati menyangkut pola seseorang dalam beragama, demikian pula dengan “kleim-kleim yang berlebihan tentang agama”. Meskipun dalam dua kalimat itu saja kita sudah merasakan pergeseran sudut-pandang secara halus, tapi kedua ajakan rendah hati itu samar-samar masih menyasar pada pribadi orang yang beragama.
Sayangnya, dalam kalimat lanjutan yang dirames seolah-olah sebagai lanjutan dari ajakan moral rendah hati yang dengan mudah bisa diterima semua orang itu, Sdr. Ulil mengajak kita untuk menerapkan etika rendah hati itu pada Islam sendiri. Melalui kalimat terakhir ini, Sdr. Ulil rupanya inign mengajak kita merendahkan “hati” Islam. Sasaran ajakan rendah hati Sdr. Ulil kini sudah bukan lagi terkait dengan pribadi orang beragama yang memang memiliki hati, tapi dia melempar lembing kritiknya pada Islam itu sendiri. Sebagai rangkaian konsep abstrak, rasanya agak berlebihan bila Islam kita minta untuk rendah hati.
Lebih dari sekadar berlebihan, ajakan ini sebenarnya mengandung sejumlah kesesatan logika. Antara lain, cum hoc ergo propter hoc, yaitu karena orang beragama banyak yang tidak rendah hati, berarti agama itu sendiri tidak rendah hati. Atau, meminjam istilah Pak Alfred North Whitehead, terdapat kesalahan berpikir yang umum berlaku dalam diskusi-diskusi filsafat dan teologi yang disebut dengan misplaced concreteness (konsep agama ditempatkan setara dengan pola orang beragama).
Bila kita mau melangkah lebih jauh dengan kesalahan berpikir ini, mungkin kita harus lebih “berani” lagi dengan mengajak rendah hati untuk lebih merendahkan hati—semata-mata dengan argumen “Jika rendah hati itu menganjurkan etika rendah hati, maka rendah hati itu pertama-tama harus diterapkan pada konsep rendah hati sendiri.” Nah, kalau sudah begini, apa kata dunia coba? Cara berpikir ini akan membawa kita pada daur yang tidak berujung: siapakah yang seharusnya merendahkan hati terlebih dahulu dalam usaha menciptakan rendah hati kolosal ini?
Jadi, di paragraf pertama ini saja, Sdr. Ulil telah menggonta-ganti sudut-pandang argumennya dari ajakan rendah hati pada orang yang beragama (Islam) menjadi ajakan merendahkan “hati” agama (Islam) itu sendiri. Bahkan, jika kita anggap ajakan untuk merendahkan hati Islam itu sahih secara logika, cara berargumen dari sesuatu yang umum diterima (musallam) berupa sikap rendah hati menuju ajakan “merendahkan hati” Islam itu mengandung sophistry yang mencolok.
Sebenarnya, saat pertama kali membaca paragraf awal itu, saya tak ingin buru-buru menyimpulkan perubahan sudut-pandang Sdr. Ulil yang sangat dramatis ini. Tapi, apa mau dikata, saya dikejutkan oleh penegasan perubahan itu pada paragraf-paragraf selanjutnya. Misalnya, Sdr.Ulil seterusnya menulis begini, “Banyak hal dalam agama yang jika dibuang sebetulnya tidak mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu. Oleh para pemeluk agama, banyak ditambahkan hal baru terhadap esensi agama itu, sekedar untuk menjaga aura agama itu agar tampak “angker” dan menakutkan di mata pemeluknya. Saya akan mengambil contoh Islam.”
Nah, pada paragraf kedua ini, Sdr. Ulil kembali menegaskan bahwa ajakannya untuk rendah hati itu bukan ditujukan pada pribadi orang yang beragama atau katakanlah konsep keberagamaan belaka, tapi pada Islam sebagai konsep keagamaan itu sendiri. Penggantian sudut-pandang semacam ini jelas merugikan halusnya tutur bahasa Sdr. Ulil di awal paragraf yang ingin mengubah cara beragama umat menjadi kritik irelevan atas Islam sebagai konsep agama itu sendiri.
Pada bagian 3 rangkaian tulisan ini, saya akan mengambil satu saja dari doktrin yang menurut Sdr. Ulil perlu diubah demi mewujudkan Islam yang “rendah hati”– whatever that means! Doktrin itu tak lain ihwal kemaksuman Nabi.
(Bagian Terakhir)
Dalam tulisan yang berjudul “Doktrin-doktrin yang Kurang Perlu dalam Islam”, Sdr. Ulil Absar berpendapat begini, “Menurut saya, doktrin ini sama sekali tak berkaitan dengan inti dan esensi agama Islam, dan karena itu kurang perlu. Jika doktrin ini dihilangkan, Islam tidak menjadi kurang nilainya sebagai sebuah agama. Mengatakan bahwa manusia, apapun namanya (entah Nabi, Rasul, Imam [dalam Syiah], Paus [dalam Katolik]) sebagai “infallible“, tidak bisa berbuat salah, jelas tak masuk akal.”
Gugatan Sdr. Ulil terhadap doktrin kemaksuman ini ternyata sama sekali tidak didukung oleh bukti apapun. Padahal, penggugat seharusnya mengajukan bukti untuk setiap gugatannya. Saya sendiri hanya akan menunjukkan 12 kelemahan gugatan ini, tanpa perlu mengajukan dalil baru sesuai prinsip necessitas probandi incumbit ei qui agit (keharusan mengajukan bukti berada pada pihak penggugat).
(1) Gugatan ini sebenarnya menunjukkan pesimisme—untuk tidak menyebut agnotisme—terhadap batas akhir kesempurnaan manusia. Seluruh fakta ilmiah yang menunjukkan ketidakterbatasan potensi manusia seketika runtuh dihantam palu godam “manusia pasti bersalah”. Kita tahu bahwa konsekuensi pernyataan “manusia pasti bersalah” adalah “manusia tak mungkin sempurna”. Padahal, secara prima facie, ilmu terus mengguyur bukti potensi kesempurnaan manusia yang tidak terbatas.
(2) Segenap fakta ilmiah di atas tidak bisa kita buang begitu saja lantaran kita tidak pernah menemukan orang sempurna. Siapa kita gitu lho? Apa kita sudah bertemu seluruh manusia yang pernah hidup di masa lalu hingga akhir masa? Atau jangan-jangan induksi kita amat sangat terbatas? Atau mungkin kita tidak punya gambaran tentang kesempurnaan (manusia) yang definitif? Atau, dan ini lebih gawat, kita sudah terlalu negative thinking terhadap kemanusiaan hingga tak mampu lagi memberi peluang adanya manusia sempurna yang tidak bersalah itu?
(3) Sampai di sini, secara res ipsa loquitur, gugatan itu sepertinya justru menunjukkan kelemahan penggugat dalam mengabstraksi konsep kesempurnaan. Misalnya, begitu ada orang yang menyebut Nabi Muhammad sebagai manusia sempurna yang tak bersalah, maka daya abstraksinya langsung lumpuh dan berubah menjadi negatif. Dia puncaknya memproyeksikan kekurangan-kekurangan dirinya pada Sang Nabi tersebut.
(4) Selanjutnya, salah satu alasan yang sering diajukan penggugat konsep kemaksuman ialah asumsi keliru bahwa ketakbersalahan merupakan sifat khusus Allah. Tapi, benarkah demikian? Sama sekali tidak! Kesalahan itu adalah konsep dalam pikiran manusia, lantaran “salah” itu bergantung pada sesuatu yang lain. Misalnya, saat kita berbicara tentang arah, barulah kita bisa berbicara tentang “arah yang benar” dan “arah yang salah”. Padahal, di sisi lain, sifat-sifat Allah jelas tidak bergantung dan mutlak.
(5) Nah, dalam konteks manusia, ungkapan “salah” itu bisa memiliki banyak makna, yang semuanya bergantung pada sesuatu yang lain. Misalnya, “salah” dalam hubungannya dengan akal, kita sebut “sesat”; “salah” dalam hubungannya denga moralitas, kita sebut “buruk”; “salah” dalam hubungannya dengan tubuh, kita sebut “sakit” atau “cacat”; dan demikian seterusnya. Jadi, “salah” itu adalah istilah yang mesti memiliki relasi dengan objek lain: salah pikir; salah paham; salah duga; salah kerja; salah tulis; salah omong; salah obat; salah makan dan sebagainya.
(6) Sekarang, coba kita ambil pernyataan “manusia pasti bersalah” secara apa adanya, lalu kita lihat implikasinya. Jika pernyataan yang mengandung kepastian itu benar, maka hasil akhirnya adalah seperti ini: pernyataan itu pasti salah karena manusia yang menyatakannya juga pasti bersalah! Eh, kok jadi begini ya?
(7) Berhadapan dengan dilema di atas, sebenarnya kita punya alternatif yang melegakan: sebagian manusia pasti tidak bersalah, lantaran pernyataan “semua manusia pasti bersalah” adalah mutlak salah. Masalahnya kemudian adalah siapa mereka? Bagaimana kita tahu bahwa mereka tidak mungkin bersalah? Kedua pertanyaan ini tidak akan saya jawab, mengingat sudah jelas yang kita maksud di sini adalah para nabi, terutama Nabi Muhammad dan semua manusia suci lain yang secara ketat berproses mendaki ambang akhir kesempurnaan.
(8) Pertanyaan selanjutnya: Apakah alam ini adalah sistem yang sempurna? Kalau iya, kita bertanya lagi: Apakah manusia termasuk dalam sistem yang sempurna itu? Rasanya tidak sulit untuk membuktikan bahwa manusia adalah sempurna—sesempurna atau lebih sempurna dari ciptaan lain. Bahkan, secara prima facie, manusia memiliki potensi kesempurnaan yang tak terbatas. Orang yang menolak fakta ini harus mengajukan bukti, sementara yang menerimanya hanya cukup duduk santai menunggu.
(9) Di sini saya ingin mengambil ilustrasi dari desain sebuah pesawat. Jika ada pesawat yang bisa terbang sejauh 60.000 kaki di atas permukaan laut, maka tentu secara logis kita mesti menerima fakta bahwa pesawat itu minimal bisa terbang. Anggapan bahwa pesawat itu pasti jatuh (error) sebelum terbang serta merta gugur saat pesawat itu telah kita postulatkan mampu terbang di atas 60.000 kaki.
(10) Dalam konteks manusia, anggapan bahwa “manusia pasti bersalah” bertentangan dengan seluruh temuan saintifik menyangkut ketakterbatasan potensi manusia. Jadi, pertanyaan yang benar ialah sebagai berikut: Siapakah manusia-manusia yang tidak bersalah dan terus melejit mendaki puncak-puncak kesempurnaan itu?
(11) Orang-orang beragama percaya, tentu berdasarkan bukti-bukti logis-filosofis-teologis, bahwa para nabi dan imam tidak mungkin bersalah lantaran “tidak bersalah” itu adalah syarat minimal bagi mereka untuk menjadi nabi dan berhubungan dengan wilayah transenden Ilahi. Tanpa syarat minimal itu, mereka tidak akan menjadi nabi atau imam. Fungsi kenabian dan keimaman itu pun gugur. Lebih dari itu, para nabi dan imam adalah model kesempurnaan manusia. Jika model itu saja sudah pasti error, maka tentu Tuhan Pencipta manusia ini jauh di bawah kemampuan seorang insinyur atau desainer yang setidak-tidaknya mampu memproduksi model yang bebas-cacat atau bebas-galat (error-proof). (12) Terakhir, ini adalah salah satu argumen teologis paling sederhana: sebagai utusan, nabi sudah sewajarnya mendapat perlindungan khusus dari Allah. Jika Anda bekerja untuk badan keamanan nasional, maka negara akan menjamin dengan segenap kekuatannya untuk menjaga dan menyukseskan tugas Anda. Apapun bentuknya. Nah, bukankah para nabi (dan imam menurut mazhab Syiah) lebih patut secara logis mendapat perlindungan dari Allah dari segala sesuatu yang dapat menghalangi pelaksanaan tugas-tugasnya, terutama lantaran tugas-tugasnya memiliki cakupan yang universal?
(Musa-Kazhim/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email