Dalam sejarah Islam dan ummat manusia, sebagaimana tercatat dalam Tarikh Thabari, Nahjul Balaghah, Hayah Amiril Mu’minin fi Ahdi an Nabi dan yang lainnya, pembai’atan Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah adalah contoh pertama pemilihan umum dalam sejarah Islam dan momentum paling demokratis dalam sejarah agama ini. Hal yang tidak pernah dialami oleh ketiga khalifah sebelumnya. Kaum muslimin sangat gembira dengan bai’at yang mereka lakukan. Harapan mereka adalah dengan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah akan terbentuk pemerintahan yang sah dan adil, di mana dengannya kekhalifahan adalah penolong kaum lemah dan tertindas. Ketika itu ummat begitu gembira, sebagaimana yang diceritakan oleh beliau:“Pembai’atan kaum muslimin terhadapku membuat mereka begitu gembira. Anak-anak terlihat senang, sementara badan orang-orang tua mereka bergetar saking gembiranya. Semua orang sangat berhasrat untuk melakukan bai’at bahkan orang sakit”. Segera, tak lama setelah kaum muslimin membai’atnya sebagai khalifah itu, program pertama Ali Bin Abi Thalib karramallahu wajhah adalah reformasi sosial-politik, dan bahkan keagamaan.
Namun, sebagaimana setiap perjuangan dan langkah perbaikan yang hendak dilakukan seorang pemimpin, tentu selalu ada halangan dan rintangan. Salah satu penghalang gerakan reformasi Imam Ali bin Abi Thalib ketika itu adalah adanya sekumpulan tokoh yang mengambil posisi sebagai oposannya. Sebagai tambahan, luas wilayah pemerintahan Islam di masa pemerintahan Abu Bakar tidak lebih dari Jazirah Arab dan Irak. Sementara pada zaman khalifah Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah luas teritorial pemerintahan Islam telah mencakup Afrika Utara, Asia Tengah ditambah lagi seluruh Jazirah Arab, Irak dan Syam (Suriah dan Palestina). Pada masa kekhalifahnnya itu, yang masuk Islam pun semakin beragam.
Lalu apa saja reformasi sosial-politik Imam Ali ketika menjadi khalifah itu? Berikut beberapa diantaranya yang paling signifikan: Yang pertama adalah menghancurkan sistem kelas sosial berdasarkan kesukuan (‘ashabiyah) yang masih berlaku di masa-masa khalifah-khalifah sebelumnya, yaitu dengan cara menghapuskan perlakuan khusus bagi golongan tertentu. Di masa kepemimpinannya semua diperlakukan secara sama dalam pemberian dari Baitul Mal. Hal ini tentu saja sesuai dengan Sunnah Rasul saw yang sebelumnya banyak dilanggar dan mengalami penyimpangan.
Dalam rangka menegakkan reformasi sosial-politik dan keadilan menyeluruh itu, Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah berkata dalam khotbahnya: “Sesungguhnya yang paling mulia dari kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Ketahuilah, setiap orang menjawab seruan Allah dan Rasul-Nya kemudian ia membenarkan agama kami, dan masuk dalam agama kami, mengarah pada kiblat yang sama dengan kami, maka hak-haknya secara Islam harus dipenuhi. Kalian adalah hamba-hamba Allah. Harta yang ada adalah milik Allah. Harta tersebut akan dibagikan kepada kalian secara sama. Tidak ada seorang pun yang akan diperlakukan secara khusus sehingga mendapatkan lebih dari yang lain. Kelak, orang yang bertakwa akan mendapat balasan yang lebih baik di sisi Allah”.
Langkah reformasi (dalam rangka mengembalikan Sunnah Rasulullah) selanjutnya yang dicanangkan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah adalah menarik kembali harta-harta yang dibawa lari dari Baitul Mal di zaman khalifah Usman bin Affan. Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pun mengumumkan bahwa harta apa saja yang diambil dari Baitul Mal secara tidak sah, yang memang sangat banyak terjadi di zaman Usman bin Affan, harus dikembalikan. Harta yang disebut Imam Ali bin Abi Thalib itu memang, sebagaimana dicatat para ‘ulama tarikh, lebih banyak berada di kelompok yang selalu mendekati dan mengitari khalifah Usman bin Affan.
Kala itu Imam Ali bin Abi Thalib berkata: “Ketahuilah, setiap apa saja yang diambil oleh Usman bin Affan dan setiap harta yang diberikan kepada orang lain dan itu berasal dari Baitul Mal, maka itu semua harus dikembalikan. Kebenaran tidak bisa dianulir oleh apapun sekalipun aku menemukannya telah dipakai untuk biaya perkawinan, pembelian budak dan telah dibagi di negeri-negeri niscaya aku akan mengembalikannya. Dalam keadilan ada kelapangan. Barang siapa yang melihat keadilan membuat hidupnya sempit maka berbuat kezaliman lebih sempit lagi buatnya”.
Konsekuensi Reformasi
Dan tentu saja, sebagai konsekuensi dan tantangannya, kebijakan moneter yang diterapkan Imam Ali bin Abi Thalib membuat gerah sejumlah tokoh Quraisy, hingga mereka yang terkena peraturan Imam Ali bin Abi Thalib tersebut berupaya melakukan agitasi dan langkah-langkah perlawanan dan pembangkangan, seperti Marwan bin Al-Hakam, Thalhah dan Zubair. Mereka percaya betul bahwa Imam Ali bin Abi Thalib secara serius akan melaksanakan keputusannya. Dan ketika mereka melihat hal itu, mereka pun mulai melakukan manuver-manuver untuk menciptakan fitnah terhadap pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib. Dan diriwayatkan banyak ‘ulama penulis tarikh bahwa suatu hari, Thalhah dan Zubair mendatangi Imam Ali bin Abi Thalib dan mengkritik keras kebijakannya. Dan akhirnya kala itu terjadi dialog di antara mereka. Keduanya berkata: “Kami memiliki hubungan kekerabatan dengan Rasulullah saw, termasuk yang dahulu masuk Islam dan melakukan jihad. Dengan berpatokan pada itu, mengapa engkau memberikan kepada kami dari Baitul Mal dengan bagian yang sama dengan orang lain. Umar dan Usman tidak pernah memberikan kami sama dengan yang lainnya. Mereka pasti memperlakukan kami secara khusus dengan memberikan kepada kami lebih dibandingkan yang lain”.
Tetapi dengan tenang dan berwibawa, Imam Ali bin Abi Thalib menjawab: “Ini adalah hukum Al-Quran. Kalian berdua lihat sendiri berapa bagian kalian dan ambillah sesuai dengan hak kalian”. Mendengar itu, mereka pun menyela: “Tapi kami termasuk orang yang paling dahulu masuk Islam?” Imam Ali menjawab: “Dibandingkan denganku?” Mereka pun serentak menjawab: “Tidak! Kami bersumpah engkau orang yang pertama masuk Islam dibanding kami. Tapi memiliki kekerabatan dengan Nabi!” Imam Ali pun menjawab lagi: “Lebih dekat dari kekerabatanku dengan Nabi?” Kembali mereka menjawab: “Tidak! Kami tahu engkaulah manusia paling utama setelah Nabi. Namun bagaimana dengan jihad dan perjuangan kami?” Imam Ali sekali lagi berkata: “Adakah jihad kalian lebih dariku?” Serempak mereka berdua menjawab: “Juga tidak! Kami bersumpah engkaulah yang digelari Asadullah (Singa Allah)”. Akhirnya Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajah pun berkata: “Demi Allah! Bagian dan upahku sama dengan yang lainnya”.
Reformasi Hukum dan Pemberantasan Korupsi
Selain melakukan reformasi moneter dan memerangi korupsi, Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pun menegakkan kembali persamaan di depan hukum Allah. Singkatnya, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajah tidak pernah lupa dengan penerapan syari’at sekalipun di zaman khalifah sebelumnya. Ia selalu menghukumi dan memutuskan dengan benar dan adil ketika yang lain tidak mampu melakukannya. Hal yang sama dilakukannya ketika menjabat sebagai khalifah muslimin, sehingga ia dikenal dan dijadikan contoh sebagai orang yang paling wara' dan takwa dalam kelompok orang-orang yang ingin menegakkan keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini para ‘ulama tarikh menyatakan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib adalah manifestasi keadilan syari’at ilahiah dan kekuatan Islam yang mampu mendirikan negara yang berisi kebebasan, keamanan, dan keadilan. Dan untuk mewujudkan keadilan tersebut, Imam Ali bin Abi Thalib tidak merasa berat untuk melaksanakan hukum baik bagi dirinya, keluarga, dan sahabat-sahabatnya. Salah contohnya adalah ketika seorang Yahudi mengadukannya ke peradilan dalam masalah baju perang Imam Ali bin Abi Thalib yang hilang.
Kala itu, dalam perkara baju perang yang hilang (dicuri si Yahudi) tersebut, pemutusan hukum yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib bersumber dari kedalaman syari’at Islam dan keluasan ilmu beliau tentang agama dan masalah-masalah keduniaan, di mana beliau menerima kekalahan di pengadilan karena tidak kuatnya saksi. Dan justru, karena melihat hal itu, si Yahudi itu malah mengakui bahwa ia memang mencuri baju perang Imam Ali tersebut, dan si Yahudi itu pun akhirnya masuk Islam karena menyaksikan sendiri akhlaq dan keadilan Islam yang ditunjukkan dan dibuktikan dengan nyata oleh Imam Ali.
Reformasi Birokrasi dan Manajemen
Tak hanya melakukan reformasi moneter dan hukum, Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pun ketika menjadi khalifah mulai mencopot satu persatu gubernur-gubernur yang tidak adil dan korup. Kala itu Ali bin Abi Thalib menggantikan mereka dengan orang-orang yang lebih layak dan mampu bekerja, lebih professional dan memiliki kapasitas. Mereka adalah orang-orang yang dipercayai oleh kaum muslimin. Imam Ali kemudian melantik dan mengutus Usman bin Hanif Al-Anshari menggantikan Abdullah bin 'Amir di propinsi Basrah. Sementara itu, untuk daerah Kufah, Imam Ali mengirim Imarah bin Syahab sebagai pengganti Abu Musa Al-Asy'ari. Ubaidillah bin Abbas dikirim ke Yaman menggantikan Ya'la bin Munabbih. Abdullah bin Saad yang sebelumnya diangkat oleh Usman sebagai Gubernur Mesir digantikan oleh Ali bin Abi Thalib dengan mengirim gubernur barunya yang bernama Qais bin Saad bin Ubadah. Tidak lupa pula dikirim ke Syam seorang gubernur baru bernama Sahl bin Hanif sebagai pengganti Muawiyah bin Abi Sufyan. Semua ini dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib karena kebobrokkan pemerintahan sebelumnya dan tidak sehatnya manajemen pemerintah. Usman telah mengangkat Ya'la bin Munabbih sebagai penjaga Baitul Mal di Yaman, namun yang dilakukan Ya’la adalah membawa lari semua harta yang ada. Sedangkan di sisi lain, Muawiyah bersikeras untuk tetap berkuasa di Syam dan tidak taat kepada pemerintah pusat, dan dengan kekuatan militer yang dimilikinya kala itu Muawwiyah berusaha mencegah Sahl bin Hanif untuk melaksanakan tugasnya.
Demikianlah, dalam memilih dan mengangkat pejabat baru, Imam Ali bin Abi Thalib melakukannya dengan sangat teliti dan obyektif. Semua itu dilakukan karena kepedulian yang dalam terhadap penerapan syari’at Islam dalam jajaran pemerintahnya yang baru. Ali bin Abi Thalib mengembalikan kepercayaan kaum Anshar kepada diri sendiri dan meninggikan semangat dan rohani mereka dengan menyertakan mereka berpartisipasi dalam pemerintahannya. Dan sebagaimana di sisi yang lain, Imam Ali bin Abi Thalib tidak akan menerima oknum-oknum yang memiliki catatan negatif dan memiliki kecenderungan menyimpang. Di masa kekhalifahannya, Imam Ali bin Abi Thalib telah bertekad bulat untuk menghapuskan kebobrokan yang selama ini terjadi. Begitu pula Imam Ali bin Abi Thalib menolak memberikan waktu kepada Muawiyah bin Abu Sufyan untuk tetap bercokol di Syam tanpa harus menunggu pemerintahannya kokoh terlebih dahulu setelah itu baru melakukan tindakan pencopotan.
Dengan reformasi moneter, hukum, dan pemerintahannya itu, Imam Ali bin Abi Thalib berusaha menaikkan kewibawaan pemerintah pusat atas pemerintahan Syam yang membangkang setelah Muawiyah bin Abu Sufyan menolak untuk melakukan bai’at. Untuk itu, Imam Ali bin Abi Thalib memberikan bendera kepada anaknya, yaitu Muhammad Al-Hanafiah, sedangkan Abdullah bin Abbas mengiringi pasukan dari sisi kanan dan Umar bin Abi Salamah di sisi kirinya. Imam Ali bin Abi Thalib juga memanggil Abu Laila bin Umar bin Al-Jarrah dan memutuskannya memimpin pasukan di front terdepan. Dan setelah itu, Imam Ali bin Abi Thalib berpidato di hadapan penduduk Madinah dan memberi semangat kepada mereka untuk berperang dengan Muawiyah yang menolak reformasi yang dicanangkan Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Singkatnya, setiap langkah perbaikan dan reformasi, pastilah memiliki resiko, tantangan, dan konsekuensi. Namun bukan berarti tidak akan membuahkan hasil. Sejarah mencatat bahwa masa kepemimpinan Imam Ali dikenal sebagai masa emas keadilan hukum, keadilan ekonomi, dan keadilan sosial, di mana dengan sendirinya jurang kesenjangan pun sangat berkurang, dan masyarakat pun merasakan kesejahteraan.
(Wasathon/Syiatulislam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email