Pesan Rahbar

Home » » Imam Ali Ridho as dan Wilayah Ishq

Imam Ali Ridho as dan Wilayah Ishq

Written By Unknown on Thursday, 5 May 2016 | 22:43:00


Najmah Khatun, ibu Imam Ali bin Musa ar-Ridha as berkata, “Ketika aku mengandung anakku, sama sekali aku tidak merasakan kesulitan. Ketika tidur, aku mendengar suara tasbih dan puja-pujian kepada Allah Swt dari dalam tubuhku. Aku terbangun dalam ketakutan, namun kemudian aku tidak lagi mendengar suara tasbih tersebut. Ketika anakku lahir, tangannya diletakkan ke tanah dan wajah sucinya menghadap langit, mulutnya terbuka dan ia mengatakan sesuatu yang aku tidak pahami. Kemudian aku mendatangi Imam Kadhim as. Beliau berkata, “Semoga Allah melimpahkan kehormatan kepada mu. Saat itu, Imam Kadhim mengumandangkan azan di telinga kanan sang bayi dan melantunkan iqamah di telinga kiri. Selanjutnya beliau memberikan anak tersebut kepadaku. Kemudian Imam Kadhim berkata, ambillah anak ini, sesungguhnya ia adalah simpanan Allah di muka bumi dan hujjah-Nya setelah ku.”

Imam Ali bin Musa ar-Ridha as dilahirkan di Madinah pada tanggal 11 Dzulqadah tahun 148 Hijriah. Ayahnya adalah Imam Musa al-Kazhim as dan ibunya adalah Najmah Khatun. Setelah Imam Kazhim as syahid, ia dalam usia 35 tahun mulai memegang tali kepemimpinan umat, menegakkan ajaran-ajaran agama dan membimbing umat manusia. Masa keimamahan Imam Ridha as adalah dua puluh tahun. Sepuluh tahun pertama masa kepemimpinan beliau bertepatan dengan masa pemerintahan Harun ar-Rasyid. Setelah masa tersebut, Imam Ridha as memimpin umat selama lima tahun di masa pemerintahan Amin, putra Harun. Sementara lima tahun kedua, kepemimpinan beliau bertepatan dengan masa pemerintahan Makmun al-Abasi, saudara Amin.

Dalam setiap fase kepemimpinan tersebut, Imam Ridha as berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik dalam menjaga dan menyebarkan ajaran Islam meskipun beliau harus berhadapan dengan kebijakan konfrontatif penguasa masa itu dan juga kepincangan-kepincangan sosial yang menimpa masyarakat. Imam Ridha as pada tiga tahun terakhir hidupnya banyak menguras tenaga untuk menyadarkan masyarakat luas dan memfokuskan perhatian mereka pada permasalahan-permasalahan pokok umat.

Imam Ridha as syahid pada tahun 203 Hijriah dalam usia 55 tahun di sebuah desa yang bernama Senabad Nuqan dan sekarang desa itu menjadi salah satu bagian dari kota Mashad. Beliau syahid karena diracun oleh Makmun, khalifah yang berkuasa pada saat itu. Menurut Imam Ridha as, Dinasti Abbasiah bertolak belakang dengan ajaran Ilahi. Karena penentangan beliau, Khalifah Makmun merasa terancam sehingga memaksa Imam Ridha as meninggalkan kota Madinah menuju Ibukota Dinasti Abbasiah saat itu, Khorasan. Namun untuk menghilangkan kecurigaan dan kepekaan umat, Makmun melakukannya dengan bermacam tipu muslihat.

Dalam Islam sesuatu yang bernilai adalah amal dan perbuatan manusia. Nilai setiap manusia tergantung pada amal perbuatannya. Faktor keturunan, warna kulit, nenek moyang, etnis, kesukuan dan hubungan sosial tidak akan membuat seseorang menjadi mulia dan unggul. Tidak ada yang dapat duduk diam dan tidak melakukan apa pun, namun mengharapkan nasib menguntungkan. Kondisi ini tak berbeda apakah ia dari keluarga khusus, keturunan nabi atau memiliki posisi sosial yang tinggi, jika dia tidak berusaha dan melakukan perbuatan baik maka ia tidak bernilai.

Imam Ridha as sendiri tidak pernah membeda-bedakan manusia, baik itu kulit hitam atau putih, kaya atau miskin atau dari keturunan orang besar atau tidak. Imam hanya menilai keunggulan seseorang terletak pada ketakwaannya kepada Allah Swt. Semakin besar ketakwaan seseorang, maka posisinya akan semakin tinggi dalam pandangan Imam. Abdullah bin Shalt, salah satu warga Balkh meriwayatkan, dalam sebuah perjalanan ke kota Khurasan, aku bersama rombongan Imam Abu al-Hasan bin Musa ar-Ridha as. Suatu hari beliau mengundang seluruh orang untuk bersantap bersama. Para pelayan beliau baik kulit hitam mau pun tidak mulai berdatangan dan mereka pun ikut duduk di perjamuan. Aku kemudian berkata kepada beliau, apakah tidak lebih baik mereka ini (para pelayah/budak) duduk di meja perjamuan yang terpisah? Mendengar pertanyaan tersebut, Imam Ridha berkata, “Tutup mulutmu! Tuhan dari semua orang satu, ibu dan ayah mereka pun satu, oleh karena itu, tidak ada perbedaan dan diskriminasi di antara mereka. Pahala seseorang tergantung amal ibadahnya.

Dalam hal ini, Yasir, salah satu pelayan Imam Ridha as berkata, “Di hari Imam diracun oleh khalifah bani Abbasiah, Makmun dan di hari itu juga beliau gugur, setelah menunaikan shalat dhuhur Imam berkata kepadaku, Wahai Yasir! Apakah orang-orang di rumah ini telah makan semuanya? Aku berkata, wahai Imam! Dalam kondisimu seperti ini, siapa yang rela untuk makan? Saat itu, Imam bangkit dan duduk, kemudian berkata, “Tolong siapkan perjamuan! Kemudian beliau mengundang seluruh anggota keluarga dan tidak melupakan satu pun di antara mereka. Satu persatu merasakan kecintaan mendalam beliau … ketika acara jamuan usai, Imam Ridha as langsung pingsan.”

Para nabi dan auliya Allah senantiasa mengenalkan manusia kepada asas persamaan. Mereka pun mendidik anggota keluarganya untuk tidak bersandar pada kemuliaan keluarga, namun mereka harus menjadi orang yang beramal saleh. Imam Ridha as kepada sahabatnya berkata, “Tidak ada hubungan kekeluargaan antara Tuhan dan siapa pun, kedekatan dengan Tuhan hanya diperoleh dengan amal dan ketaatan. Berhati-hatilah, Rasulullah kepada anak-anak Abdul Muthalib berkata, “Berikanlah kepadaku amal kalian dan jangan dengan silsilah serta nasab keluarga.”

Suatu hari seseorang datang menemui Imam Ridha as dan berkata, Aku bersumpah bahwa tidak ada orang di muka bumi yang mengunggulimu dari sisi nasab dan keturunan. Imam menjawab dan bersabda, “Takwa lebih unggul dari nenek moyangku dan ketaatan kepada Allah yang membuat mereka sampai pada derajat tinggi serta kemuliaan.”

Di hari yang lain datang seseorang kepada Imam Ridha as dan berkata, Aku bersumpah bahwa Anda adalah sebaik-baiknya manusia. Imam berkata kepadanya, “Janganlah kamu bersumpah, orang yang lebih mulia daripadaku adalah orang yang paling taat kepada Allah dan paling takut untuk melanggar perintah-Nya. Kemudian beliau membacakan ayat ke 13 surat al-Hujurat yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Imam juga memberi nasehat kepada umatnya untuk melakukan perbuatan baik karena hal itu sebagai parameter kemuliaan seseorang. Salah satunya adalah membantu orang lain dan melakukan perbuatan baik. Hal ini juga merupakan satu dari keistimewaan para Imam Maksum as. Setiap kali berbicara mengenai kewajiban seorang muslim, para Imam Maksum as dengan pelbagai ungkapan menyebut berbuat baik sebagai salah satu prinsip nilai dalam masyarakat Islam.

Dalam budaya Islam, berbuat baik kepada orang lain muncul dalam banyak tema pembahasan dan disebut sebagai jembatan bagi akhirat, ladang akhirat, perdagangan penuh keuntungan, bekal jalan, kemenangan ilahi dan lain-lain. Membantu orang lain dan melayani manusia bermakna memenuhi kebutuhan mereka dari jalan yang benar, baik dari sisi materi maupun spiritual. Berbuat baik dikenal dalam budaya Islam sebagai ibadah yang paling penting. Diriwayatkan dari Rasulullah Saw, “Orang yang memenuhi kebutuhan saudara mukminnya, seperti orang yang beribadah kepada Allah seumur hidupnya.”

Imam Ridha as dalam pelbagai kesempatan mengingatkan tradisi baik ini dan menilainya sebagai perbuatan yang agung. Beliau juga menyebut berbuat baik kepada orang lain dapat menyebabkan panjang umur dan menyarankan manusia untuk berbuat baik dan bersedekah. Imam Ridha as meriwayatkan dari ayahnya hingga kepada Rasulullah Saw berkata, “Harta manusia yang paling baik dan bermanfaat adalah yang disedekahkan.”

Sekaitan dengan pengaruh dan ragam sedekah, Imam Ridha as mengatakan, “Bersedekahlah, sekalipun sedikit. Karena setiap yang sedikit bila dilakukan demi Allah dengan niat yang ikhlas dinilai besar dan agung di sisi Allah Swt.” “Dengan memberi sedekah, kalian memohon rezeki yang lebih banyak dari Allah Swt.” “Obati orang yang sakit dengan sedekah.” “Setiap perbuatan baik itu seperti sedekah dan dengan demikian ia memiliki pahala sedekah.” Dan juga, “Membantu orang lemah dan miskin merupakan sedekah terbaik.”

Di tempat lain Imam Ridha as menyebut kehidupan ideal ada pada upaya manusia menjamin kehidupan orang lain dan membantu orang miskin. Beliau berkata, “Kehidupan terbaik milik siapa yang dapat menjamin kehidupan orang lain yang hidup bersamanya.” Pada hakikatnya, setiap apa saja yang dibelanjakan di jalan Allah, sekalipun sedikit, tetap dihitung besar oleh Allah Swt. Sekaitan dengan hal ini Imam Ridha as berkata, “Bersikaplah seimbang dalam pengeluaran! Seimbang ketika memiliki harta atau tidak. Begitu juga dalam berbuat baik, apakah itu sedikit atau banyak. Karena sesungguhnya Allah menilai besar pemberian sebagian biji buah kurma, sehingga di Hari Kiamat pahalanya itu seperti gunung Uhud.”

(IRIB-Indonesia/Muslim-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: