Pesan Rahbar

Home » » Kapitalisme VS Komunisme

Kapitalisme VS Komunisme

Written By Unknown on Saturday 21 May 2016 | 17:41:00


Pertengahan April lalu, di senja yang memanjang di awal musim semi, saya dipaksa istri berkodak di pangkuan Karl Heinrich Marx dan Friedrich Engels di Schlossplatz Berlin. Patung perunggu dua lelaki berjenggot lebat dan berkumis tebal itu terasa dingin ketika bersentuhan dengan kulit punggung saya.

Menyusul runtuhnya tembok Berlin yang beberapa dekade telah membelah bekas ‘Rumah Hitler’ itu dalam dua ideologi yang bertentangan (kapitalisme di barat dan komunisme di timur), patung kedua filusuf dan pantolan ideologi komunisme itu rupanya tak turut dihancurkan. Namun semakin nyata dalam pandangan mata Melayu saya betapa kedua orang tua itu makin menjadi liyan dalam geliat Berlin yang kian basah dijilat lidah kapitalisme.

Kota itu, sebagaimana banyak metropolitan lainnya di Eropa Barat, makin menawarkan gairah duniawi dan kemewahan. Dan selalu saja ada yang menjadi pecundang dalam gerak ke arah pemujaan uang dan benda-benda itu: para gelandangan berjaket dan bersarung tangan compang yang dengan sekaleng bir sering terlihat layu dan menggigil duduk di bangku-bangku taman kota dalam deraan angin empat musim kiriman dari Laut Utara.

Penampilan yang makin kontras antara gelandangan dan orang kaya berlindak adalah salah satu penyebab rusaknya retina mata kemanusiaan kita di zaman ini. Ada orang yang melihat fenomena itu sebagai jalan nasib dan suratan tangan. Tetapi yang lain berpandangan bahwa hal ini merupakan ekses dari sebuah sistem politik ekonomi yang bernama Kapitalisme. Thomas Pikkety dalam bukunya yang sedang laris manis

Kapital in the Twenty-First Century mengingatkan bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang berlaku di dunia sekarang telah mendorong melebarnya kesenjangan ekonomi dan merusak demokrasi. Sejak beberapa dekade terakhir dunia makin disetir oleh segelintir millionaire yang menggenggam modal super besar dan mengendalikan arus perputaran uang sambil mengeksploitasi mayoritas kerumunan massa yang mereka beri label: ‘buruh’.

Kini dunia diingatkan lagi pada tesis klasik tentang ideologi komunisme versus kapitalisme: apakah dinamika akumulasi modal swasta menyebabkan terkonsentrasinya kekayaan yang tak terelakkan di tangan segelintir orang, sebagaimana pernah dipikirkan Marx di abad ke-19? Atau apakah kekuatan pertumbuhan ekonomi yang seimbang, persaingan pasar bebas, dan kemajuan teknologi menjadi faktor penentu akhir dalam mengurangi ketidaksetaraan dan disharmoni antar kelas yang makin jomplang seperti yang diteorikan oleh Simon Kuznets di abad 20? Piketty dan beberapa ekonom lain menunjukkan bahwa apa yang pernah dinukilkan Marx dalam Das Kapital tampak makin nyata sekarang. Di abad ini nasib mayoritas manusia di bumi ini makin ditentukan oleh segelintir manusia super kaya yang menjadikan mereka sebagai ‘mesin produksi’ untuk mengakumulasi kapital mereka setiap detik. Nama keren mereka adalah ‘kelas pekerja’ – sebuah eufemisme modern untuk kata ’sahaya’.

Dengan kata lain, abad ini makin menunjukkan secara kasat mata gejala penghisapan manusia oleh sesamanya. Kesenjangan ekonomi kaum buruh dengan tuan-tuan borjuisnya makin menganga lebar. Di Amerika (dan mungkin juga di banyak negara maju lainnya), seperti ditulis oleh Alan Woods, gaji seorang direktur 200 kali lebih besar dibanding gaji buruh yang bekerja di perusahaannya. Sejak 30 tahun terakhir pendapatan para CEO di Amerika sudah naik 725%, berbanding pendapatan para pekerja yang hanya naik sebanyak 5,7%. Pendapatan golongan kelas atas rata-rata 244 kali lebih besar dari pendapatan para pegawainya. Artikel Alan Wood ‘The Ideas of Karl Marx’ dengan detil menunjukkan bahwa kapitalisme dan globalisasi ekonomi telah gagal membawa kesejahteraan kepada lebih banyak umat manusia di bumi ini. Globalisasi, kata Alan lagi, makin mempertajam kesenjangan ( inequality).
Indonesia, bekas ‘liontin zamrud’ kolonialis Belanda di khatulistiwa, juga telah menjadi ajang permainan kasar para maniak uang dan kuasa dunia itu. Masih terbayang dalam ingatan kita sikap congkak Michel Camdessus yang melipat tangan di dada menyaksikan Presiden Suharto yang dengan geraham menggigil (terpaksa) membubuhkan tanda tangannya di dokumen paket bantuan [baca: racun] IMF kepada bangsa Indonesia pada 15 Oktober 1998.

Kini tentakel-tentakel para psikopat uang dan kekuasaan duniawi itu telah sampai ke ujung-ujung gang di kota-kota kita, melalui Carrefour, Walmart, McDonald, KFC, Burger King, 7-Eleven Inc. dan puluhan waralaba asing lainnya. Mereka menangguk fulus dari dompet-dompet kelas menengah dan atas kita yang makin menjaga jarak dengan kehidupan kaum miskin dan papa dan membuat masyarakat kelas bawah di negeri ini terus bermimpi di siang bolong tentang hidup mewah yang menyenangkan. Dan para petani di desa-desa kita dibuat layuh oleh bibit-bibit padi-padian dan kacang-kacangan bikinan Monsanto.

Sementara lembah-lembah di celah gunung, dataran, dan kawasan lepas pantai kita dijadikan areal pertambangan oleh para alien itu. Mereka membawa hasil bersihnya ke negeri mereka dan meninggalkan sampahnya yang penuh limbah untuk bangsa ini. Pabrik-pabrik sepatu dan garmen didirikan di mana-mana oleh para kapitalis-borjuis asing itu dan kita berebut menjadi pekerjanya yang dibayar dengan upah rendah.

Di bawah sistem kapitalisme, Alan Woods menggarisbawahi, telah terjadi polarisasi yang kian kontras antara kaum bourgeoise dan kaum ploretariat. Seperti halnya di banyak tempat di dunia, fenomena ini makin meruyak di Indonesia. Oleh sebab itu, pemimpin bangsa ini haruslah pribadi yang pro rakyat dan tidak mudah disetir oleh alien-alien dari tanah seberang itu. Siapa pun presiden Indonesia mendatang, ia harus berusaha menyelamatkan bangsa ini sebelum terjerembab menjadi paria dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia.

Suryadi – Leiden University, Belanda | Padang Ekspres , Minggu, 15 Juni 2014

(Mahdi-News/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: