Sejak 1959 pemerintah melancarkan perang serius terhadap korupsi. Namun keseriusan itu mulai luntur ketika lembaga pemberantas korupsi justru saling menjatuhkan satu sama lain.
Pada 1974, Bung Hatta sempat menyatakan bahwa korupsi sudah jadi “budaya kita”, budaya bangsa Indonesia. Pernyataan itu terlontar saat Pertamina digoyang korupsi dahsyat yang dilakukan oleh direktur utamanya sendiri: Ibnu Sutowo. Barangkali komentar Bung Hatta itu bercampur luapan emosi karena geram menyaksikan korupsi yang tak ada habis-habisnya di negeri ini.
Setelah Indonesia merdeka, ternyata persoalan korupsi ternyata kembali meruyak. Periode antara 1950-1959 bukan saja ditandai oleh meriahnya pelaksanaan demokrasi liberal melainkan juga dinodai oleh beberapa kasus korupsi yang mendera tokoh politik saat itu. Sebut saja semisal Mr. Djody Gondokusumo, Menteri Kehakiman pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang didakwa bersalah melakukan korupsi oleh Mahkamah Agung.
Lantas Iskaq Tjokrohadisurjo, Menteri Perekonomian pada kabinet yang sama dengan Djody. Iskaq hanya memberikan izin lisensi impor kepada relasi dekatnya dan sebagai imbal balik, mereka mengucurkan duit ke Partai Nasional Indonesia (PNI). Jusuf Wibisono, Menteri Keuangan dari Partai Masyumi sempat dicokok Polisi Militer karena kasus penyalahgunaan wewenang pemberian lisensi kredit.
Untuk mengatasi korupsi, pada Agustus 1959 pemerintah mendirikan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Badan yang diketuai oleh Sultan HB IX itu berhasil mengungkap praktik korupsi yang dilakukan mulai kelas pegawai sampai pejabat pemerintahan. Sejak didirikan sampai Juli 1960, Bapekan menerima 912 pengaduan masyarakat.
Selain Bapekan, pemerintah juga mendirikan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin Jenderal Nasution. Sepak terjang Paran berhasil membongkar korupsi yang dilakukan beberapa pejabat tinggi pemerintahan. Tak berhenti di sana, pemerintah juga meluncurkan Operasi Budhi, yang sejak Februari sampau April 1961 berhasil menyelamatkan uang negara sebanyak Rp11 milyar.
Sejak 1959 pemerintah melancarkan perang serius terhadap korupsi. Namun keseriusan itu mulai luntur ketika lembaga pemberantas korupsi justru saling menjatuhkan satu sama lain. Contoh persaingan tidak sehat itu adalah konflik Paran dengan Bapekan. Paran merasa bahwa Bapekan harus diperiksa, yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bapekan.
Bapekan menilai Paran tak punya dasar kuat untuk memeriksa dan juga tak bisa menjelaskan apa alasannya. Kedua lembaga merasa sama-sama kuat dan sama-sama berwenang. Perseteruan semakin memanas sampai kemudian Presiden Sukarno turun tangan melerai dan menganjurkan agar Sultan Hamengkubuwono IX duduk semeja dengan AH Nasution. Pertikaian mereda.
Tapi runyamnya, pemberantasan korupsi di masa itu pun berkelit kelindan dengan kepentingan politik. Pada 1962 Bapekan dibubarkan karena mulai menelisik dugaan korupsi pembangunan Istora Senayan yang melibatkan beberapa kolega presiden. Operasi Budhi juga dibubarkan karena dianggap jadi alat Nasution mempreteli kekuatan Sukarno.
Sementara itu Paran tak jelas nasibnya. Sebagai gantinya, pada Mei 1964 Presiden Sukarno mendirikan Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar) yang dipimpin Subandrio. Lembaga ini pun tak bertahan lama karena setahun kemudian terjadi peristiwa G30S yang menyudahi kekuasaan Sukarno.
Di masa Soeharto kita semua tahu seperti apa, sehingga Bung Hatta pun sampai bilang korupsi menjadi budaya. Tapi masih saja orang banyak bilang, korupsi di masa itu tak sehebat sekarang. “Kalau dulu korupsi di bawah meja, kalau sekarang sampai mejanya pun digondol,” begitu katanya.
Mungkin orang benar, korupsi di masa kini lebih banyak dibanding zaman Orba. Tapi barangkali orang lupa: sekarang orang (baca: pejabat korup) yang ditangkap pun jauh lebih banyak dari zaman Orba. Dan itu karena kehadiran KPK. Yang celaka adalah membiarkan kita menemui kembali masa-masa seperti konflik Bapekan dengan Paran, saat di mana lembaga pemberantas korupsi berseteru dengan lembaga penegak hukum lainnya.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Persidangan kasus korupsi pada masa Orde Lama.
Pada 1974, Bung Hatta sempat menyatakan bahwa korupsi sudah jadi “budaya kita”, budaya bangsa Indonesia. Pernyataan itu terlontar saat Pertamina digoyang korupsi dahsyat yang dilakukan oleh direktur utamanya sendiri: Ibnu Sutowo. Barangkali komentar Bung Hatta itu bercampur luapan emosi karena geram menyaksikan korupsi yang tak ada habis-habisnya di negeri ini.
Setelah Indonesia merdeka, ternyata persoalan korupsi ternyata kembali meruyak. Periode antara 1950-1959 bukan saja ditandai oleh meriahnya pelaksanaan demokrasi liberal melainkan juga dinodai oleh beberapa kasus korupsi yang mendera tokoh politik saat itu. Sebut saja semisal Mr. Djody Gondokusumo, Menteri Kehakiman pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang didakwa bersalah melakukan korupsi oleh Mahkamah Agung.
Lantas Iskaq Tjokrohadisurjo, Menteri Perekonomian pada kabinet yang sama dengan Djody. Iskaq hanya memberikan izin lisensi impor kepada relasi dekatnya dan sebagai imbal balik, mereka mengucurkan duit ke Partai Nasional Indonesia (PNI). Jusuf Wibisono, Menteri Keuangan dari Partai Masyumi sempat dicokok Polisi Militer karena kasus penyalahgunaan wewenang pemberian lisensi kredit.
Untuk mengatasi korupsi, pada Agustus 1959 pemerintah mendirikan Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan). Badan yang diketuai oleh Sultan HB IX itu berhasil mengungkap praktik korupsi yang dilakukan mulai kelas pegawai sampai pejabat pemerintahan. Sejak didirikan sampai Juli 1960, Bapekan menerima 912 pengaduan masyarakat.
Selain Bapekan, pemerintah juga mendirikan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin Jenderal Nasution. Sepak terjang Paran berhasil membongkar korupsi yang dilakukan beberapa pejabat tinggi pemerintahan. Tak berhenti di sana, pemerintah juga meluncurkan Operasi Budhi, yang sejak Februari sampau April 1961 berhasil menyelamatkan uang negara sebanyak Rp11 milyar.
Sejak 1959 pemerintah melancarkan perang serius terhadap korupsi. Namun keseriusan itu mulai luntur ketika lembaga pemberantas korupsi justru saling menjatuhkan satu sama lain. Contoh persaingan tidak sehat itu adalah konflik Paran dengan Bapekan. Paran merasa bahwa Bapekan harus diperiksa, yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Bapekan.
Bapekan menilai Paran tak punya dasar kuat untuk memeriksa dan juga tak bisa menjelaskan apa alasannya. Kedua lembaga merasa sama-sama kuat dan sama-sama berwenang. Perseteruan semakin memanas sampai kemudian Presiden Sukarno turun tangan melerai dan menganjurkan agar Sultan Hamengkubuwono IX duduk semeja dengan AH Nasution. Pertikaian mereda.
Tapi runyamnya, pemberantasan korupsi di masa itu pun berkelit kelindan dengan kepentingan politik. Pada 1962 Bapekan dibubarkan karena mulai menelisik dugaan korupsi pembangunan Istora Senayan yang melibatkan beberapa kolega presiden. Operasi Budhi juga dibubarkan karena dianggap jadi alat Nasution mempreteli kekuatan Sukarno.
Sementara itu Paran tak jelas nasibnya. Sebagai gantinya, pada Mei 1964 Presiden Sukarno mendirikan Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar) yang dipimpin Subandrio. Lembaga ini pun tak bertahan lama karena setahun kemudian terjadi peristiwa G30S yang menyudahi kekuasaan Sukarno.
Di masa Soeharto kita semua tahu seperti apa, sehingga Bung Hatta pun sampai bilang korupsi menjadi budaya. Tapi masih saja orang banyak bilang, korupsi di masa itu tak sehebat sekarang. “Kalau dulu korupsi di bawah meja, kalau sekarang sampai mejanya pun digondol,” begitu katanya.
Mungkin orang benar, korupsi di masa kini lebih banyak dibanding zaman Orba. Tapi barangkali orang lupa: sekarang orang (baca: pejabat korup) yang ditangkap pun jauh lebih banyak dari zaman Orba. Dan itu karena kehadiran KPK. Yang celaka adalah membiarkan kita menemui kembali masa-masa seperti konflik Bapekan dengan Paran, saat di mana lembaga pemberantas korupsi berseteru dengan lembaga penegak hukum lainnya.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email