Pesan Rahbar

Home » » Dari Sunan Ampel Hingga Pajak Kuncir: Kontribusi Muslim Tionghoa di Indonesia

Dari Sunan Ampel Hingga Pajak Kuncir: Kontribusi Muslim Tionghoa di Indonesia

Written By Unknown on Friday 12 May 2017 | 15:25:00


Semua pakar sejarah Indonesia sepakat, Muslim Tionghoa memiliki andil dalam penyebaran Islam di Indonesia. Beberapa Walisongo generasi awal berasal dari etnis Tionghoa, seperti Sunan Ampel (Bong Swi Hoo), Sunan Bonang dan Sunan Kudus.

Keturunan Sunan Ampel melahirkan generasi ulama Jawa pertama, yaitu Sunan Bonang (Bong Ang). Dari istri yang lain, Sunan Ampel punya anak Sunan Drajat. Nama Tionghoa Sunan Bonang diambil dari nama depan ayahnya, Bong Swi Hoo. Anak angkat Sunan Ampel yang juga menjadi juru dakwah, yaitu Raden Paku (Sunan Giri) dari keturunan orang Arab.

Namun, aktivitas penyebaran Islam yang dilakukan oleh Muslim Tionghoa ini tidak berlangsung lama, ketika perantauan Muslim Tionghoa semakin sedikit karena gejolak politik di Champa dan Tiongkok. Secara perlahan, Sunan Ampel mulai membentuk masyarakat Islam Jawa ketika hubungan dakwah dan politik dengan Champa dan Tiongkok terputus ketika terjadi pergantian kekaisaran Dinasti Ming dan hancurnya Kesultanan Champa oleh Vietnam tahun 1471.

Setelah Perang Diponegoro, banyak kebijakan pemerintah Belanda yang sifatnya memisahkan antar kelompok etnis. Tujuannya untuk membatasi interaksi dan kerjasama antar etnis yang sering kali berujung pada perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Aturan passenstelsel (1816) yang merupakan pajak jalan bagi etnis Tionghoa jika hendak bepergian berlaku menyeluruh dan diperketat pelaksanaanya.

Untuk mempertegas pemisahan Tionghoa dengan Pribumi, Belanda membuat aturan wijkenstelsel dengan maksud mengisolasi etnis Tionghoa dalam kampung khusus (pecinan). Tujuannya untuk menghindari tercampurnya orang Tionghoa dan Jawa. Peraturan itu juga digunakan untuk mengontrol secara ketat kegiatan dagang dan aktivitas sosial Tionghoa.

Bagi orang Tionghoa yang masuk Islam, akan diikuti dengan memotong kucir atau thauwcang sebagai simbol. Orang Tionghoa yang hendak memotong kucir dikenakan pajak yang tinggi dan hukuman kerja paksa. Hukuman bagi kelompok etnis (Melayu, Tionghoa, Arab) akan dikenakan hukuman kerja paksa 12 hari.

Aturan hukum kaulanegara yang dibuat oleh Belanda, pada awalnya berdasarkan agama: (1) Christenen (orang-orang Nasrani), (2) Mooren (orang-orang Islam), (3) Onchristenen (orang-orang bukan Nasrani bukan Islam) ke dalam kelompok ketiga dimasukkanlah orang Tionghoa, orang Arab, dan orang Hindu (Keling). Ketika etnis Tionghoa memeluk Islam, ia akan dimasukkan ke kelompok mooren.

Undang-Undang rasial Belanda tentang Regeeringsreglement (tata tertib pemerintahan) awalnya dibuat tahun 1854. Aturan tersebut dipertegas dengan UU Kependudukan tahun 1910 yang mengatur penduduk Indonesia dibagi menjadi tiga: (1) Europeanen (orang-orang Eropa), (2) Vreemde Oosterlingen (orang Timur Asing); (3) Inlanders (bumiputera). Aturan tersebut merupakan aturan paling rasial dengan mendasarkan pada warna kulit dan masih menjadi problem sampai sekarang.

Posisi kelas dua sampai dipersamakan dengan penduduk Eropa menyebabkan status sosial etnis Tionghoa lebih tinggi dari pribumi. Selain itu, etnis Tionghoa diposisikan sebagai pedagang perantara yang menyebabkan status ekonomi cepat sekali membaik. Di manapun, orang Tionghoa terus semakin kaya, sedangkan pribumi hidup dalam kondisi sengsara dan terus bertambah miskin. Akhirnya, melahirnya stigma pribumi Islam identik dengan kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan.


Kontribusi Muslim Tionghoa

Abad ke-20, Muslim Tionghoa mulai aktif kembali dalam bidang dakwah dan perjuangan mendukung kemerdekaan Indonesia. Di Medan ada Haji Abdussomad Yap A Siong, muballigh dan tokoh pejuang kemerdekaan RI berdasarkan SK Menteri Urusan Veteran No. 01/A/KPTS/MUV/1968 tanggal 3 Januari 1968. Haji Abdusomad Yap A Siong, Abdul Hamid Soei Njo Sek, dan beberapa Muslim Tionghoa lainnya pada tahun 1930-an mendirikan Persatuan Islam Tionghoa (PIT) di Medan yang menjadi wadah dakwah dan perjuangan mendukung gerakan kemerdekaan RI.

Di Makasar Ong Kie Ho mendirikan Partai Tionghoa Islam Indonesia (PTII). Pendirian PTII untuk mewadahi dakwah dan aspirasi politik Muslim Tionghoa di Makasar dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Melihat perkembangan partai Islam Tionghoa di Makasar, pemerintah Belanda takut aktivitasnya menjadi semakin radikal, maka pemimpin partai ditangkap dan dibuang ke Jawa.

Dalam masa vakum setelah pembuangan ketua PTII, komunitas Muslim Tionghoa di Makasar kemudian mendirikan Persatuan Tionghoa Muslim (PTM) dan menjadi cabang dari induk organisasi Muslim Tionghoa di Medan.

Bek Go sebagai ketua PTM di Makasar masih diakui keulamaannya sebagai utusan resmi Konggres Muslimin Indonesia 1949 di Yogyakarta. Dalam konggres, gagasan dan usulan Bek Go yang jadi rekomendasi konggres sangat jauh ke depan, seperti mengusulkan ada Kementrian Agama, pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah, dan pemeliharaan bahasa Indonesia secara menyeluruh dalam kegiatan resmi.

Pembauran etnis Tionghoa dengan memilih Islam akan mempercepat proses asimilasi dan akulturasi. Agama Islam dijadikan sebagai faktor kohesi (perekat) yang berfungsi sebagai peredam terhadap kejutan budaya (cultural shock), karena perbedaan kultur, strata sosial, dan ras. Prinsip-prinsip dalam agama Islam, seperti “semua umat Islam bersaudara”, tanpa memandang ras, asal usul, dan kekayaannya, akan menghilangkan rasa sungkan untuk bergaul dan bersatu dalam kesatuan jamaah atau ranah pemukiman. Keserasian sosial antara masyarakat Tionghoa dan Indonesia akan terjalin karena persaudaraan dalam iman dan Islam.

Akulturasi antara kedua kelompok masyarakat akan mudah berproses saling memberi dan menerima unsur-unsur (traits) budaya masing-masing. Apalagi kalau mereka tinggal dalam wilayah bersama, tidak dalam pemukiman segregatif, seperti kampung pecinan. Keterikatan terhadap tempat hidup bersama, baik secara fisik atau emosional, menyebabkan komunitas mempunyai kepribadian kelompok yang kuat.

Apalagi kalau masjid dan madrasah dijadikan rallying point ‘tempat bertemu dan bermufakat’, sehingga terjalin persenyawaan unsur-unsur budaya yang dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam.


* Sunano, Alumni UIN Sunan Kalijaga, Penulis Buku 'Muslim Tionghoa di Yogyakarta.

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: