Seseorang yang bergegas menyandarkan agama dengan justifikasi kekerasan, diskriminasi dan ketidaksetaraan terhadap para wanita, sejatinya telah berperantara dengan etnis dan tolok ukur budaya, bukan dengan manifestasi-manifestasi agama dan hukum-hukum Ilahi yang termaktub dalam Al-Quran.
Menurut laporan IQNA, seperti dikutip dari Daily News, Dr. Alaa Murabit, dokter Kanada dan keturunan Lebanon aktivis sosial dan pembela hak-hak wanita muslim, dalam sebuah makalah yang baru-baru saja diterbitkan di harian The Huffington Post, mengungkapkan pandangan terkait kondisi para wanita di Libya dan perlawanan untuk menuntut hak-hak legal mereka, setelah tumbangnya diktator Muammar al-Qaddafi.
Dr. Alaa Murabit umur 15 tahun bersama keluarganya hijrah dari Kanada menuju Libya. Migrasi ini baginya adalah sebuah kejutan budaya. Di Kanada, kedua orang tuanya bersikap tanpa pilih kasih antara dia dengan saudaranya, namun, di Libya kondisi tidaklah demikian, karena masyarakat dan budaya negara ini telah menjalankan banyak pelarangan untuk para wanita dan remaja putri.
Setelah ketidaksetaraan ini, Dr. Alla bertekat hendak menelaah Al-Quran dan sejarah Islam, namun setelah riset dan pencarian, dia mendapatkan bahwa Islam dan Al-Quran telah mengemukakan contoh-contoh para wanita terkemuka dan mampu, yang telah melakukan kepemimpinan dan inovasi dan karenanya mereka mendapat pujian dan sanjungan.
Menurut penuturannya, orang yang bergegas menyandarkan agama dengan justifikasi kekerasan, diskriminasi dan ketidaksetaraan terhadap para wanita, sejatinya telah berperantara dengan etnis dan tolok ukur budaya, bukan dengan manifestasi-manifestasi agama dan hukum-hukum Ilahi yang termaktub dalam Al-Quran. Dalam kebanyakan hal ini, sejarah tradisi etnis-budaya semacam ini juga kembali kepada sebelum kemunculan Islam.
Saat terjadi revolusi di Libya tahun 2011, para wanita seperti Murabit berada di baris terdepan para demonstran. Tapi pada masa setelah perang saudara dan setelah pemerintah baru berkuasa, ia dan perempuan lain untuk kesetaraan tidak mampu untuk melakukan peran sosial dalam masyarakat dan jalan untuk kemakmuran dan kemajuan mereka diblokir.
Dia menganggap interpretasi salah tentang agama sangat berpengaruh dalam membendung wanita dari rute kemajuan dan perkembangan dalam masyarakat yang efektif, namun dengan ini semua dia meyakini bahwa satu-satunya cara untuk mencapai hak asasi manusia dan hukum perempuan setelah masa diktator adalah kehadiran para wanita di masyarakat dan sosial guna berpartisipasi dalam mengakhiri konflik dan stabilitas perdamaian dan keamanan melalui pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukum syariat.
Dr. Murabit mengatakan, tidak adanya kesetaraan gender dan tidak mengindahkan hak-hak asasi wanita di Libya memaksa saya untuk mendirikan sebuah organisasi dengan nama Suara Wanita Libya, sebuah organisasi yang terinspirasi dari ayat-ayat Al-Quran dan hadis dan menentang ketidaksetaraan sosial dan budaya terhadap para wanita, yang mengupayakan sebuah ranah untuk kehadiran dan partisipasi sehat para wanita dalam urusan masyarakat.
(IQNA/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email