Pesan Rahbar

Home » » Inilah Asal-Usul Freeport di Indonesia Hingga Konflik SS dan SN

Inilah Asal-Usul Freeport di Indonesia Hingga Konflik SS dan SN

Written By Unknown on Wednesday, 9 March 2016 | 20:15:00

Lokasi eksplotasi emas PT. Freeport Indonesia di Papua (Foto: kompasiana.com)

Jumat, 7 April 1967 Perusahaan Freeport Sulphur of Delaware menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport menginvestasikan 75 hingga 100 Juta Dolas AS untuk proyek tersebut. Berawal dari perjanjian kontrak tersebutlah, lahir Freeport Indonesia dan Forbes K. Wilson sebagai Presidennya . Freeport Indonesia mendapat hak konsesi lahan penambangan seluas 10.908 Hektar untuk kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Sejak saat itulah kedaulatan Negara secara resmi telah tergadai.

Poin krusial yang seharusnya mendapat porsi dominan saat ini adalah persoalan divestasi saham Freeport kepada pemerintah Indonesia. Akan tetapi, dalam beberapa hari terakhir kita disuguhi drama yang penuh intrik, debat kusir yang melelahkan, gemuruh pemberitaan yang sama sekali jauh dari hal-hal fundamental.

Bencana ekologis yang harus ditanggung rakyat Papua akibat eksploitasi yang berlebihan serta indikasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan di bumi Cendrawasih yang mengiringi kehadiran Freeport tidak pernah benar-benar disikapi secara serius oleh para pemangku kebijakan. Kedaulatan dalam megelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana termaktub dalam konstitusi Negara yang seharusnya dijadikan pijakan dan landasan dalam menyikapi kontrak karya Freeport tidak begitu dihiraukan.

Bermula dari laporan Sudirman Said (SS) ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, terkuaklah rekaman pembicaraan antara Setya Novanto (SN), Pengusaha Riza Khalid serta Ma’roef Sjamsoedin selaku Direktur Utama Freport Indonesia. Tidak lama setelah itu, satire “papa minta saham” mengelinding menjadi trending topic yang mendapat perhatian banyak pihak. Pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden menjadi pemantik tergelarnya panggung kontestasi politik para ksatria senayan, sedikit dendam yang masih tersimpan dan luka yang belum reda setelah Koalisi Merah Putih (KMP) nyaris memborong semua posisi sentral alat kelengkapan dewan seolah mendapat momentum dan pembenaran untuk dituntaskan. Seiring derasnya pemberitaan media, terjepitlah figur Setya Novanto menjadi sosok antagonis yang menjadi tempat ditumpahkannya amarah, sumpah-serapah, kritikan bahkan kutukan.

Dramapun tergelar, hari-hari penuh sesak dengan episode-episode saling tuduh yang memalukan, aksi-aksi cuci-tangan dan cari amanpun kerap dipertontonkan. Lantas di manakah letak keberpihakan, kedaulatan Negara dalam tata kelola sumber daya alam dan ruang bagi cita-cita berdirinya republik ini sebagai rumah berlindung yang teduh bagi segenap anak bangsa?.


Belajar Dari Kuba

Sejak krisis 2008 dan tekanan manufaktur China begitu masif, AS dinilai masih punya kemampuan bertahan. Penyebabnya adalah karena AS memiliki cadangan emas yang sangat banyak meski cadangan devisanya tidak begitu besar. Dan kita bisa menerka dengan penuh keyakinan dari mana sebagian emas itu berasal. Bahan Lisa Pease pernah memaparkan jika Freeport Sulphur (nama awal perusahaan Freeport) nyaris bangkrut ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba pada 1959. Saat itu di Kuba, Fidel Castro menghancurkan rezim diktator Batista. Seluruh perusahaan asing di negeri itu dinasionalisasikan. Freeport Sulphur yang hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya dari Kuba, terkena imbasnya.


Pertarungan Dua Kubu

Inikah drama yang sengaja digulirkan di tengah kontestasi dua kubu yang menghendaki divestasi saham Freeport dengan dua cara yang berbeda. Kubu pertama menghendaki divestasi melalui pemerintah (BUMN), serta kubu lainnya menginginkan divestasi dilepas melalui pasar bebas?. Gaduh yang belakangan bergulir di ranah publik pada akhirnya hanya menjadi lelucon memaluakan untuk menghibur bos Freeport James Robert Moffet. Masalah Freeport jauh lebih besar dari pada antagonisme Setya Novanto dan jauh lebih berharga dari pada protagonisme Sudirman Said bahkan Jokowi sekalipun.

Teringat satire serang kawan tentang royalti yang dibayar Freeport untuk Indonesia yang sangat kecil jika dibandingkan keuntungan yang diperoeh Freeport: “Mungkin hanya di Indonesia tukang cangkul hasilnya jauh lebih besar dari yang punya tanah”.

(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: