Pesan Rahbar

Home » » Malari 1974 dan Embrio Reformasi 1998

Malari 1974 dan Embrio Reformasi 1998

Written By Unknown on Sunday, 10 April 2016 | 04:58:00

Foto Peristiwa Malari 1974 (Foto: Majalah Tempo)

Generasi muda Indonesia yang lahir paska 1980-an mungkin agak sulit menyusun imajinasi tentang peristiwa Malari yang terjadi 40 tahun silam. Juga tak banyak cerita tentang peristiwa ini didapatkan di buku-buku sejarah resmi yang dipakai di sekolah-sekolah. Padahal, peristiwa Malari ini sejatinya adalah gerakan koreksi pertama yang dilancarkan golongan menengah Indonesia (baca: mahasiswa) terhadap pemerintahan Orde Baru yang saat itu sudah berkuasa sejak 1967.

Nama Malari sendiri merupakan singkatan dari tanggal peristiwa itu: Malapetaka Lima Belas Januari 1974. Peristiwa yang lebih sering digambarkan sebagai kerusuhan sosial yang dipicu oleh demonstrasi mahasiswa Jakarta itu sendiri tumpas hanya dalam sehari oleh presiden Soeharto dan ABRI-nya. Tokoh-tokohnya baik yang terlibat secara langsung ataupun yang sekadar menginspirasi, ikut ditangkap atau jabatannya dicopot, termasuk Pangkopkamtib, Kabakin hingga Rektor UI saat itu. Namun riwayat Malari rupanya tak berhenti karena diberangus oleh rezim Orde Baru, ia menjelma menjadi bara yang setiap saat memantik pergerakan mahasiswa di tahun 1980an hingga kemudian puncaknya menghasilkan gerakan reformasi tahun 1998.


Malari dan Kapitalisasi Asing

Ada banyak peristiwa yang mendahului Malari. Deklarasi Golput tahun 1972 sebagai protes atas dominannya kekuasaan politik, protes pembangunan TMII 1972, kerusuhan rasialis di Bandung bulan Agustus 1973 hingga kedatangan ketua IGGI JP Pronk bulan November 1973 adalah diantaranya. Puncak peristiwa Malari sendiri terjadi saat PM Jepang Tanaka Kakuei melawat ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa UI yang dipimpin Hariman Siregar, Syahrir dan lain-lain yang sejak lama menentang lubernya modal asing menggunakan momen itu untuk menggerakkan demonstrasi menentang modal asing, yang saat itu direpresentasikan oleh Jepang. Berawal dari long march mahasiswa dari Kampus Universitas Indonesia (UI) di Salemba menuju Kampus Universitas Trisakti di Grogol. Mahasiswa kemudian memaklumatkan Tritura 1974, yang meminta pemerintah menurunkan harga-harga, membubarkan aspri (asisten presiden), dan menggantung koruptor-koruptor. Mahasiswa kemudian membakar patung PM Jepang Kakuei Tanaka sebagai bentuk protes atas modal asing.

Demonstrasi itu kemudian berangsur ricuh dan memicu kerusuhan sosial di seluruh Jakarta. Mobil-mobil Jepang dirusak dan dibakar oleh massa, berikut perusakan dan penjarahan toko-toko yang dianggap representasi asing di Jakarta.

Presiden Soeharto saat itu segera mengambil tindakan tegas dengan mengerahkan pasukan elit ABRI seperti KKO (kini: Marinir), RPKAD (kini: Kopasus), dan Kostrad. Tercatat sebanyak 11 orang meninggal akibat kerusuhan ini, ratusan orang luka berat dan ringan dan sekitar 770 orang ditahan. Kerugian materi berupa 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak atau dibakar, 144 gedung dirusak. Jam malam diberlakukan di Jakarta dan semua universitas diliburkan. Bahkan beberapa Koran dan majalah ikut-ikutan dibredel; harian Nusantara, harian KAMI, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Mahasiswa Indonesia, Pedoman, mingguan Wenang dan Ekspres.

Bertahun-tahun kemudian, para aktifis mahasiswa di berbagai kampus diam-diam memperingatinya. Peristiwa ini dianggap sebagai kebangkitan kedua mahasiswa Indonesia sejak peristiwa 1966. Issue runyam seputar makin dominannya kekuasaan Suharto/militer dan kapitalisasi asing yang menyerbu Indonesia kala itu menjadi bara yang membakar nasionalisme periode modern. Dengan jargon dwifunsgi ABRI, militer juga ikut berbisnis dan menguasai berbagai usaha yang dimodali asing. Beragam produk Jepang di industri otomotif dan merangseknya perusahaan Eropa dan Amerika di industry tambang minyak dan mineral menjadi antitesis dari kebijakan Soekarno yang dimakzulkan oleh Orde Baru beberapa tahun sebelumnya.

Soekarno, dalam beberapa tahun terakhir pemerintahannya, terkenal dengan kebijakan konfrontasinya dengan Barat. Meski tak anti sama sekali terhadap modal asing, tapi Soekarno menolak intervensi politik asing yang memboncengi arus modal tersebut. Terhadap oligopoli modal barat yang dipimpin Amerika, termasuk negara2 emerging industry semisal Jepang, Soekarno punya slogan terkenal yang menohok “Go to Hell with Your Aid”. Kebijakan anti barat ini tak hanya membendung arus modal, pun arus budaya barat dicekoki dengan dilarangnya menyanyikan lagu-lagu Beatles dan semacamnya. Hal ini kemudian berubah 180 derajat kala Soeharto berkuasa.

Kebijakan yang membuka luas penanaman modal asing di Indonesia dimulai dengan pemberlakuan UU Nomor 02/1968. Pemerintah Orde Baru kemudian memperkenalkan banyak jargon berbau pembangunan; Repelita, Trilogi Pembangunan, Tinggal Landas dan semacamnya yang mengingatkan kita kepada teori pertumbuhan Rostow dalam ilmu ekonomi. Umum dikenal bahwa teori pertumbuhan Rostow ini mengedepankan percepatan industrialisasi Negara dengan system ekonomi terbuka yang memungkinkan masuknya arus modal. Alih-alih tinggal landas dan kemerdekaan ekonomi yang dicapai, namun yang terjadi adalah adanya ketergantungan Indonesia terhadap teknologi, industri dan sumber modal dari negara-negara asing. Dengan pengecualian pada industri pesawat terbang yang dimotori BJ Habibie, praktis pengusaha Indonesia di zaman Orde Baru lebih suka berlomba-lomba menjadi pengimpor produk asing daripada pengekspor local content. Kalaupun ada ekspor, yang terbanyak justru bersumber dari bahan mentah alam yang digali dari bumi Indonesia seperti minyak dan mineral.

NKK/BKK dan Pembekuan Dewan Mahasiswa

Selepas Malari 1974, gerakan mahasiswa masih sesekali muncul untuk menggugat rezim. Sepanjang tahun 1977-1978 tercatat beberapakali terjadi demonstrasi yang berujung pendudukan kampus oleh pihak militer. Tercatat ITB pernah diduduki bulan Oktober 1977 dan Januari 1978. Kampus lain seperti ITS dan UI juga mengalami hal yang sama. Tak hanya Jakarta, Bandung dan Surabaya yang menjadi pusat pergerakan, gerakan mahasiswa hingga tahun 1978 ini juga merembet ke kampus-kampus di kota lain Medan, Bogor, Makassar, dan Palembang.

Rupanya, rezim Orde Baru tak cukup dengan menumpas dan memenjarakan aktifis-aktifis Malari. Kehidupan kampus juga tak luput dari sentuhannya. Seperti melupakan peran serta mahasiswa dalam “menaikkan” rezim baru ini di tahun 1966, Soeharto malah berupaya mengekang gerakan mahasiswa pasca peristiwa Malari, dan puncaknya tahun 1978. Melalui Menteri Pendidikan, Daud Yusuf, kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) kemudian diperkenalkan di seluruh kampus di Indonesia. Dewan Mahasiswa, organisasi kampus yang sangat otoritatif dan otonom saat itu dibekukan dan diganti dengan lembaga lain yang lebih mudah dikontrol oleh pemerintah semisal Senat Mahasiswa. Yang perlu dicatat adalah bahwa konsep NKK/BKK ini meberikan wewenang besar kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan semua kegiatan mahasiswa, termasuk tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.

Praktis, pemberlakuan NKK/BKK dan pengebirian lembaga mahasiswa membuat gerakan kemahasiswaan berangsur lumpuh dan menjauhkan mahasiswa dari aktifitas politik. Pemberlakuan UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan makin membuat sulit gerakan mahasiswa. Politik praktis menjadi sangat membosankan bagi mahasiswa. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat. Sebahagian aktifis mahasiswa kemudian berkonsentrasi di organisasi luar kampus semisal HMI, PMII, GMKI, GMNI, dan sebagainya. Selain itu, muncul juga banyak LSM yang menjadi alternative lain perjuangan mahasiswa.

Tak ayal, kuatnya rezim Orde Baru dengan mesin politik dan militernya membuat gerakan kemahasiswaan antara 1978-1998 tak bisa berbuat banyak. Apalagi ABRI yang kala itu masih menganut akidah dwifungsi ; kekuatan hankam dan sospol sangat kuat menggenggam kehidupan masyarakat.

Malari dan Gerakan Reformasi 1998

Butuh waktu hingga seperempat abad hingga Malari kemudian melahirkan gerakan koreksi yang berhasil menurunkan rezim Orde Baru. Gerakan reformasi tahun 1998 banyak terinspirasi dari peristiwa Malari, sebagaimana yang penulis rasakan saat mengikuti pergerakan kampus di ITB tahun 1998-1999. Meski issue-issue utama yang melatari gerakan Reformasi 1998 ini tak lagi berfokus pada dominasi modal asing, namun turunan-turunan kebijakan liberalisme yang dianut oleh rezim Order Baru dianggap ikut merusak perekonomian Indonesia hingga berujung pada krisis ekonomi sepanjang akhir 1990an. Posisi ekonomi Indonesia yang rapuh terhadap larinya modal menunjukkan betapa tak berdayanya bangsa besar ini.

Pemerintahan Soeharto kemudian tumbang, dan pemerintahan reformasi berdiri. Meski masih jauh panggang dari api, tapi setidaknya angin keterbukaan dan kebebasan pers dan gerakan mahasiswa Indonesia kembali diraih. Seperti adagium lazim bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda, maka kegagalan peristiwa Malari sesungguhnya menginspirasi gerakan mahasiswa 25 tahun kemudian. Hari ini, mahasiswa kini mungkin banyak yang melupakan atau malah tak mengenal peristiwa Malari. Namun semoga mahasiswa tak pernah kehilangan kebebasan berekspresi dalam upaya-upaya cerdas untuk mengingatkan pemerintah yang menyimpang, termasuk melakukan koreksi atas gerakan kemahasiswaan itu sendiri.

(Daeng-Rusle/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: