Pesan Rahbar

Home » , » Derajat Imam Lebih Tinggi dari Nabi?

Derajat Imam Lebih Tinggi dari Nabi?

Written By Unknown on Friday, 10 June 2016 | 15:56:00


Di dalam Buku Panduan MUI halaman 76 menyatakan: “Ajaran Syiah menyatakan bahwa para imam mereka memiliki derajat yang lebih tinggi dari para nabi dan rasul. Imam Khumaini menyatakan bahwa, “Se-sungguhnya imam mempunyai kedudukan yang terpuji, derajat yang mulia dan kepemimpinan mendunia, di mana seisi alam ini tunduk di bawah wilayah dan kekuasaannya. Dan termasuk para Imam kita mempunyai kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh malaikat muqarrabin ataupun nabi yang diutus.”

Kemudian dalam halaman 78 Buku Panduan MUI menyatakan: “Imam Al-Nasafi dan Imam Sa’duddin Al-Taftazani berkata dalam kitabnya, “Seorang wali tidak mungkin mencapai derajat para nabi, apalagi melebihi-nya.” (Catatan kaki 99: Lihat Syarah Al-’Aqaid Al-Nasafiyyah, hal. 105). Berdasarkan Al-Qur’an di atas, jelas menunjukkan bahwa Nabi memiliki kedudukan mulia dan memiliki derajat lebih tinggi dibanding manusia yang lain. Berarti Syiah telah menentang keyakinan Umat Islam.


Tanggapan:

Pertama, memang benar bahwa Imam derajatnya lebih tinggi dari Nabi. Karena Nabi Muhammad Saw adalah Imam Al-Anbiya’ dan Imam Al-Aimmah, pemimpin para Nabi dan pemimpin para Imam. Bahkan Syiah meyakini dalam Aqidahnya, bahwa alam ini tercipta karena Muhammad dan yang tidak meyakininya, maka tidak diakui sebagai Syiah. Hal ini juga diakui dan diyakini kalangan Ahlus Sunnah terutama dalam naskah-naskah Tasawuf dan kitab-kitab maulid.

Kedua, Nabi adalah kata sifat yang mengikuti wazan fa’il (pelaku) berarti pewarta. Kata Nabi ini dalam bahasa Arab tidak memerlukan pihak lain. Sedangkan Imam berarti pemimpin bagi ummah yang mengikat pihak lain. Apabila Nabi dan Imam berposisi sama, tentu dua kata itu memiliki arti yang sama. Apabila keduanya memiliki arti yang sama, maka tuduhan di atas menjadi tidak bermakna.

Ketiga, tidak semua Nabi adalah Imam dan tidak semua Imam adalah Nabi. Hanya Nabi tertentu yang berposisi sebagai Imam, seba-gaimana Nabi Ibrahim yang diangkat sebagai Imam setelah ia menjadi Nabi dalam ayat,

وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan bebe-rapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menu-naikannya. Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata, “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.”(QS. Al-Baqarah [2]: 124)

Dari ayat ini dapat menjelaskan poin-poin sebagai berikut:

Ibrahim as dalam ayat ini telah menjadi Nabi kemudian diangkat sebagai Imam. Jika Nabi Ibrahim as tidak menjabat sebagai Nabi saat itu, berarti firman Allah ini menegaskan bahwa Imam bisa menerima wahyu. Tentu penafsiran demikian tidak dapat diterima.

Imam berbeda dengan Nabi. Apabila posisi Imam sama dengan Nabi, maka pelantikan ini tidaklah bermakna, karena mengangkat Nabi yang sudah menjadi Nabi.
Imam lebih mulia dari Nabi. Jika sebaliknya, maka ayat ini mengindikasikan Allah Saw melantik Nabi Ibrahim as dari posisi yang lebih tinggi menjadi posisi yang lebih rendah.

Posisi Imam lebih fundamental dari posisi Nabi. Frase dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Imam harus melalui proses ujian sebelumnya.

Teritori Imam lebih luas dari teritori Nabi. Kalimat “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”menunjukkan posisi keimaman Nabi Ibrahim berlaku bagi seluruh umat manusia, sedangkan saat beliau menjadi seorang Nabi terbatas hanya di Babilonia.

Penggunaan kata inni (sesungguhnya Aku) merupakan sebuah deklarasi yang serius dari Allah Swt.
Penggunaan kata ja’il (‘menjadikan’ dalam bentuk kata pelaku) mengandung makna eksklusif sebagai hak prerogatif Tuhan. Seandainya Allah Swt menggunakan kata aj’al (‘menjadikan’ dalam bentuk kata kerja), maka kata ‘menjadikan’ ini niscaya membuka peluang selain Tuhan untuk melakukannya. Dalam ayat ini, Allah Swt menggunakan kata ja’il (menjadikan) yang bersifat takwini (penciptaan), tidak menggunakan kata nashaba (mengangkat) atau ittakhadza (menunjuk) seperti dalam ayat QS. Al-Nisâ’ [4]: 125.

Ketika Nabi Ibrahim as bertanya kepada Allah Swt kemungkinan Imamah bagi keturunannya, hal ini menunjukkan kesinambungan Imamah pada setiap masa. Lalu Allah Swt mengecualikan Imamah bagi orang-orang yang zhalim. Lebih dari itu, Allah Swt menggunakan kata ‘ahd (perjanjian, ketetapan, kepercayaan, amanah, mandat dan sebagainya) yang menunjukkan makna sebuah proses yang datang dari Allah Swt atas makhluk-Nya yang memiliki potensisebagaimana halnya hidayah. Bukan sebuah proses pencarian dari makhluk kepada Sang Pencipta.

‘Ahd dari Allah Swt ini mendatangi orang-orang yang berpotensi. Potensi ini ialah ketidakzaliman. ‘Ahd ini adalah sesuatu yang suci dari Yang Maha Suci sehingga harus diterima oleh orang-orang yang suci pula. Pembahasan tentang kesucian telah dibahas pada bagian awal buku ini. Kata zalim ini hanyalah predikat yang berlaku pada masa lalu, sekarang dan kemudian. Seseorang yang pernah melakukan kezaliman kemudian bertaubat, tetap dianggap sebagai orang yang zalim, meskipun ia telah dimaafkan. Seseorang yang pernah memukul orang lain, meskipun ia telah dimaafkan, tetap dianggap pernah memukul. Kezaliman terbesar adalah syirik.

(Syiah/Syiah-Menurut-Syiah/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: