Oleh: Ustadz Jalaluddin Rakhmat
"Sesungguhnya kebohongan mengenai Rasulullah saw. telah berkembang pesat pada zaman tabi'in, karena munculnya firqah-firqah Islam. Ke dalam Islam masuklah orang-orang yang tidak menyenangi kemuliaan Islam dan tidak menyukai para pemeluknya. . . .
Tetapi hal ini tidak berakibat negatif pada zaman tabi'in, karena adanya para imam yang dijadikan rujukan dan tempat pengambilan keputusan," tulis Abu Zahrah dalam Tarikh al-Madzahib Al-Islamiyyah.[1]
Boleh saja kita mempertanyakan kesimpulan Abu Zahrah ini. Misalnya, betulkah kebohongan mengenai Rasulullah "“ maksudnya hadis-hadis palsu itu "“ tidak berakibat negatif karena ada imam-imam tabi'in?
Benarkah sumber-sumber ilmu mereka itu bersih dan tidak tercemar?
Atau, apakah kebohongan itu sudah dimulai justru pada sumber ilmu mereka; yakni, para sahabat Nabi?
Yang terakhir ini mungkin pertanyaan yang nakal dan mengundang kecurigaan; tetapi jelas bukan pertanyaan yang mengada-ada. Pertanyaan ini mengungkapkan salah satu problematik fiqih tabi'in dalam bidang ushul. Sejak zaman sahabat "“ dan ini diakui oleh para sahabat sendiri "“ telah terjadi perubahan-perubahan dalam syariat Islam.
Suatu ketika seorang tabi'in, Al-Musayyab, memuji Al-Barra bin 'Azib: "Beruntung benar Anda ini. Anda menjadi sahabat Rasulullah saw. dan berbai'at kepadanya di bawah pohon."
Al-Barra menjawab: "Hai anak saudaraku, engkau tidak tahu hal-hal baru (bid'ah-bid'ah) yang kami adakan sepeninggal Rasulullah saw."[2]
Kata "Ma ahdatsna" (apa-apa yang kami ada-adakan) menunjuk kepada perbuatan bid'ah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw.
Diriwayatkan bahwa kelak pada Hari Kiamat, ada serombongan manusia yang pernah menyertai Nabi diusir dari Al-Haudh (Telaga). Nabi saw. berkata: "Ya Rabbi, mereka sahabatku."
Lalu dikatakan kepada Nabi: "Engkau tidak tabu bahwa mereka sudah mengada-adakan (membuat bid'ah) sepeninggal kamu."[3]
Bid'ah-bid'ah ini telah mengubah sunnah Rasulullah saw. Sebagian sahabat yang mulia mengeluhkan terjadinya perubahan ini. Imam Malik meriwayatkan dari pamannya, Abu Suhail bin Malik, dari bapaknya yang merupakan seorang sahabat. Bapaknya berkata: "Aku tidak mengenal lagi apa-apa yang aku lihat dilakukan orang kecuali panggilan shalat."
Al-Zarqani mengomentari hadis ini demikian: "Yang ia maksud adalah para sahabat. Adzan memang tetap seperti dahulu. Tidak berubah tidak berganti. Adapun shalat, waktunya telah diakhirkan, dan cara-caranya sudah diganti."[4]
Imam Syafi'i meriwayatkan dari Wahab bin Kaysan. Wahab melihat Ibnu Zubair memulai shalatnya sebelum khutbah, kemudian berkata: "Semua sunnah Rasulullah saw. sudah diubah, sampai-sampai shalat pun diubah."[5]
Al-Zuhri berkata: Aku menemui Anas bin Malik di Damaskus. Ia sedang menangis. "Mengapa Anda menangis," tanyaku. Anas menjawab, "Aku sudah tidak mengenal lagi apa yang diamalkan orang kecuali shalat. Dan shalat itu sendiri pun sudah dilalaikan orang."[6]
Al-Hasan Al-Bashr. (tokoh tasawuf) menegaskan, "Seandainya sahabat-sahabat Rasulullah saw. lewat dan menjumpai kamu, maka mereka tidak mengenal kamu (yaitu apa yang kamu amalkan) kecuali kiblat kamu."[7]
'Umran bin Al-Hushain pernah shalat di belakang 'Ali. Ia memegang tangan Muthrif bin 'Abdullah dan berkata: "Ia telah shalat seperti shalatnya Muhammad saw. Ia mengingatkan aku pada shalat Muhammad saw."[8]
Jadi, pada zaman sahabat pun, sunnah Nabi sudah banyak diubah. Salah satu sebab perubahan ini "“ dan merupakan sebab paling utama "“ adalah campur tangan penguasa. Karena pertimbangan politik, Bani Umayyah telah mengubah sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan secara setia oleh 'Ali dan para pengikutnya. Berkaitan dengan ini, "Abbas berdoa: "Ya Allah, laknatlah mereka. Mereka telah meninggal- kan sunnahhanya karena kebencian mereka kepada 'Ali."[9]
Sebagai contoh hal di atas adalah perihal menjaharkan basmalah. Kata Al-Nisaburi: "Ali k.w. mengeraskan bacaan basmalah. Pada zaman Bani Umayyah, mereka berusaha keras untuk melarang menjaharkan basmalah, sebagai upaya untuk menghapus jejak 'Ali."[10]
Contoh lain adalah sujud di atas tanah, yang telah menjadi tradisi Rasulullah saw., para sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Umar, Jabir bin 'Abdullah, 'Ali, dan lain-lain. Dalam perkembangannya kemudian, sujud di atas kain menjadi syiar Ahlu-Sunnah dan sujud di atas tanah menjadi syiar Syiah. Akibatnya, "sujud di atas tanah dianggap musyrik dan dihitung sebagai perbuatan zindiq."[11]
Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana campur tangan kekuasaan politik membentuk fiqih. Karena fiqih lebih banyak didasarkan pada al-hadits, maka kekuasaan politik kemudian telah melakukan manipulasi hadis. Tulisan ini akan membahas bukti-bukti manipulasi hadis dikarenakan motif politik. Fiqb Tabi'in, selain mengambil hadis sebagai sumber hukum, juga mengambil ijtihad para sahabat. Karena itu, kita juga akan mengupas kemusykilan ijtihad para sahabat. Akhirnya, karena pendapat-pendapat sahabat itu paling tidak terbagi dua "“ yang berpusat pada hadis dan yang berpusat pada al-ra'y "“ kita akan membicarrakan juga rradisi fiqh al-atsar dan fiqh al-ra'y. Secara keseluruhan, kita lebih banyak menelaah ushul-nya, ketimbang fiqih. Katakanlah, ini merupakan studi tentang pemahaman pokok-pokok yang dijadikan sandaran para tabi'in; dan secara singkat, dapat disebut sebagai fiqh al-ushul.
Sebelum itu semua, marilah kita melihat sedikit latar belakang fiqh tabi'in.
Apa yang Dimaksud dengan Fiqih Tabi'in
Setelah Nabi Muhammad saw. meninggal dunia, orang-orang Islam bertanya kepada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak bertanya kepada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali memberikan fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehati-hatian, atau "“ lagi-lagi "“ pertimbangan politis. Sebagian sahabat banyak memberikan fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau karena posisi mereka memungkinkan untuk itu.
Menarik untuk dicatat bahwa "“ dalam khazanah fiqih ahlu-sunnah "“ para khalifah sedikit sekali memberikan fatwa atau meriwayatkan al-hadits. Abu Bakar meriwayatkan hanya 142 hadis, 'Umar 537 hadis, 'Utsman 146 hadis, dan 'Ali 586 hadis. Jika semua hadis mereka disatukan (yaitu berjumlah 1.411 hadis), maka hadis mereka hanyalah kurang dari 27% dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah (Abu Hurairah mereiwayatkan 5.374 hadis).
Karena itu, para tabi'in, yakni mereka yang berguru kepada sahabat, umumnya bukanlah murid al-khulafa' al-rasyidun. Dalam pada itu, ketika kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para sahabat yang meninggalkan Madinah.
Abu Zahrah menulis:[12]
Sebenarnya, sebelum Dinasti Umayyah berkuasa, tidaklah banyak sahabat yang keluar dari Madinah. Bahkan dapat dikatakan sedikit sekali. 'Umar bin Khaththab menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang mereka meninggalkan Madinah. Pertama, 'Umar ingin mengambil manfaat dari pendapat mereka. Kedua, ia mempertimbangkan alasan-alasan yang berkaitan dengan pertimbangan politik yang baik dan administrasi pemerintahan yang sempurna. Ketika sampai pada pemerintahan'Utsman, mereka diizinkan keluar. Sebagian keluar. Yang keluar kebanyakan bukan fuqaha'. Juga bukan sahabat senior, kecuali yang memang boleh keluar sejak zaman 'Umar atas izinnya, seperti 'Abdullah bin Mas'ud, Abu Musa Al-Asy'ari, dan lain-lain. Sahabat yang terkenal mempunyai banyak murid adalah Ibnu Mas'ud di Irak, 'Abdullah bin'Umar dan ayahnya, Al-Faruq, dan Zaid bin Tsabit, dan lain-lain, di Madinah.
"Kebanyakan," menurut Abu Zahrah selanjutnya, "murid-murid sahabat itu merupakan para mawali (yang non-Arab). Oleh karena itu, fiqh tabi'in umumnya fiqh mawali. Dari sahabat, para tabi'in mengumpulkan dua hal: hadis-hadis Nabi saw. dan pendapat-pendapat para sahabat (aqwal al-shahabah). Bila ada masalah baru yang tidak terdapat pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad seperti "“ atau dengan metode yang dilakukan oleh"“ para sahabat.
Banyak di antara para tabi"in yang mencapai faqahah (ke-faqih- an) begiru rupa sehingga sahabat (sic!) berguru kepada mereka. Menge nai hal ini, Qabus bin Abi Zhabiyan berkata: "Aku bertanya kepada ayahku, mengapa Anda tinggalkan sahabat dan mendatangi'Alqamah."
Ayahku menjawab: "Aku menemukan sahabat-sahabat Nabi bertanya kepada 'Alqamah dan meminta fatwanya."
Ka'b Al-Ahbar sering dimintai fatwa oleh Ibnu 'Abbas, Abu Hurairah, dan 'Abdullah bin 'Amr. Seperti kita ketahui bahwa 'Alqamah dan Ka'ab keduanya adalah tabi'in.
Ada tujuh orang faqih tabi'in yang terkenal (Al-fuqaha Al-sab'ah): Sa'id bin Musayyab (wafat 93 H), 'Urwah bin Al-Zubayr (wafat 94 H), Abu Bakar bin 'Abid (wafat 94 H), Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar (wafat 108 H), 'Abdullah bin 'Abdillah (wafat 99 H), Sulayman bin Yasar (wafat 100 H), dan Kharijah bin Zaid bin Tsabit (wafat ?). Di samping mereka ada 'Atha bin Abi Rabah, Ibrahim Al-Nakh'i, Al- Syu'bi, Hamad bin Abu Sulayman, Salim mawla Ibnu 'Umar , dan Ikrimah mawla Ibnu 'Abbas .
Bukti-Bukti Manipulasi Hadis
Di sini tidak akan ditunjukkan manipulasi hadis selain yang tampak pada kitab-kitab hadis yang ada sekarang. Dari situ paling tidak kita dapat melihat petunjuk (indikator) manipulasi hadis pada zaman tabi'in. Contoh-contoh yang diberikan di sini difokuskan pada soal manipulasi yang diduga beralasan politis. Ada sepuluh cara manipulasi hadis.
Pertama, membuang sebagian isi hadis dan menggantinya dengan kata-kata yang tidak jelas.
Ketika Marwan menjadi gubernur di bawah kekuasaan Mu'awiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid, 'Abdurrahman bin Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata, "Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan Heraclius!"
Marwan marah dan menyuruh orang menangkap 'Abdurrahman. Ia lari ke kamar 'Aisyah r.a., saudaranya. Kemudian Marwan berkata: "Ayat Al-Quran ini "“ alladzi qala liwalidihi uffin lakum"“ turun tentang 'Abdurrahman."
'Aisyah menolak asbab al-nuzul ayat ini. Shahih Bukhari menghilangkan ucapan 'Abdurrahman dengan mengatakan, ('Abdurrahman mengatakan sesuatu).[13]
Dengan cara itu, kecaman kepada Mu'awiyah dan Marwan tidak diketahui. Kehormatan khalifah dan gubernurnya terpelihara. Dalam tarikh-nya, Al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi saw. tentang 'Ali: "Inilah washiy-ku dan khalifah-ku untuk kamu."
Kata-kata ini dalam Tafsir Al-Thabari dan Ibn Katsir diganti dengan: (demikianlah, demikianlah). Tentu saja kata "washiy" dan "khalifah" mempunyai konotasi politik yang sangat jelas.[14]
Kedua, membuang seluruh berita tentang sahabat dengan petunjuk adanya penghilangan itu.
Muhammad bin Abu Bakar menulis surat kepada Mu'awiyah untuk menjelaskan keutamaan 'Ali sebagai washiy Nabi saw. Mu'awiyah pun mengakuinya. Isi surat ini secara lengkap dimuat dalam Kitab Shiffin karya Nashr bin Mazahim (wafat 212 H) dan Muruj Al-Dzahab tulisan Al-Mas'udi (wafat 246 H). Al-Thabari (wafat 310 H) melaporkan peristiwa itu dengan menunjuk kedua kitab di atas sebagai sumber. Tetapi ia membuang semua isi surat itu dengan alasan "supaya orang banyak tidak resah mendengarnya". Ibn Atsir dalam Al-Bidayah wa Al-Nihayah juga menghilangkan kedua surat itu dengan mengemukakan alasan yang sama.[15]
Ketiga, memberi makna lain ta'wil pada hadis.
Al-Dzahabi ketika meriwayatkan biografi Al-Nasai menulis: Ketika Al-Nasai diminta untuk meriwayatkan keqtamaan Mu'awiyah, ia berkata, "Hadis apa yang harus aku keluarkan kecuali ucapan Nabi. "
Semoga Allah tidak mengenyangkan perut Mu'awiyah."
Kata Al-Dzahabi: "Barangkali yang dimaksud dengan keutamaan Mu'awiyah ini adalah ucapan Nabi saw.: Ya Allah, siapa yang aku laknat atau aku kecam, jadikanlah laknat dan kecaman itu kesucian dan rahmat baginya."[16]
Bagaimana mungkin laknat Nabi menjadi kesucian dan rahmat? Tetapi Bukhari dan Muslim memang meriwayatkan hadis ini.[17]
Al-Thabari dalam Majma Al-Zawaid meriwayatkan ucapan Rasulullah saw. kepada Salman bahwa 'Ali adalah washiy-nya. Al-Thabari memberi komentar: "œIa menjadikan washiy untuk keluarganya, bukan untuk jabatan khalifah."
Keempat, membuang sebagian isi badis tanpa menyebutkan petunjuk ke situ atau alasan.
Ibn Hisyam mendasarkan tarikh-nya pada tarikh Ibn Ishaq. "Tetapi aku tinggalkan sebagian riwayat Ibn Ishaq yang jelek bila disebut orang," kata Ibn Hisyam dalam pengantarnya. Di antara yang dibuang itu adalah kisah "Wa Andzir "Asyirataka al-aqrabin".
Dalam tarikh Ibn Ishaq diriwayatkan Nabi saw. berkata: "Inilah saudaraku, washiy-ku, dan khalifah-ku untuk kamu."[18]
Belakangan ini Muhammad Husayn Haykal, dalam Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Dalam bukunya, Cetakan Pertama, ia mengutip ucapan Nabi: "Siapa yang akan membantuku dalam urusan ini supaya menjadi saudaraku, washiy-ku, dan khalifah-ku untuk kamu."
Dalam Hayat Muhammad, Cetakan Kedua (tahun 1354 H), ucapan Nabi saw. ini dihilangkan sama sekali.
Keenam, mendhaifkan hadis-hadis yang mengurangi kehormatan penguasa atau yang menunjang keutamaan lawan.
Ibn Katsir mendhaifkan riwayat Nabi tentang 'Ali sebagai washiy. Ia menganggap riwayat itu sebagai dusta yang dibuat-buat oleh orang Syiah, atau orang-orang yang bodoh dalam ilmu hadis.[19]
Ia lupa bahwa hadis ini diiiwayatkan dari banyak sahabat Nabi oleh Imam Ahmad, Al-Thabari, Al-Thabrani, Abu Nu'aim Al-Isfahani, Ibn 'Asakir, dan lain-lain. Al-Syu'bi meriwayatkan hadis tersebut dari Al-Harits Al-Hamdani. Ia berkata: "Al-Harits, salah seorang pendusta, menyampaikannya kepadaku."
Ibn 'Abdul-Barr, mengomentari ucapan Al-Syu'bi: "Ia tidak menjelaskan apa alasan dusta untuk Al-Harits. Ia membenci Al-Harits karena kecintaannya yang berlebihan kepada 'Ali di atas sahabat yang lain. Karena itu, wallahu 'alam, Al-Syu'bi mendustakan Al-Harits; Al-Syu'bi mengutamakan Abu Bakar, dan bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam. (Insya Allah, bersambung).
Referensi:
1. Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahih Al-Islamiyah, Dar Al-Fikr Al-Arabiy, t.t., hal. 267.
2. Shahih Bukhari, "Bab Ghazwat Al-Hudaibiyyah", Kitab Al-Maghazi, hadis ke-4170; Fath Al-Bari, 7:449-450; 2:401.
3. Shahih Bukhari, "Bab I: Al-Hawah", Kitab Al-Riqaq. Lihat Fath Al-Bari, 11:463-476; Shahih Muslim, "Bab Itsbat", Kitab Al-Fadha'il.
4. Syarh Al-Muwatha', 1:221; Tanwir Al-Hawlik, 1:93-94.
5. Al-Imam Al-Syafi'i, Al-Umm, 1:208.
6. Jami' Bayan Al-'Ilm, 2:244; lihat juga Dhuha Al-Islam, 1:365; Turmudzi, 3:302.
7. Jami' Bayan Al-'Ilm, 2:244.
8. Ansab Al-Asyraf, 2:180; lihat juga Sunan Al-Baihaqi, 2:68; Kanz Al-'Ummal, 8:143.
9. Catatan kaki pada hamisy kitab Sunan Al-Nasa'i, 5, 253.
10. Tafsir Al-Nisabury, pada hamisy kitab Tafsir Al-Thabariy, 1, 79.
11. Lihat Ali Al-Ahmady, Al-Sujud 'ala Al-Ardh, Dar Al-Taqrib, 1978, hal. 14. Kitab ini menunjukkan, berdasarkan hadis-hadis yang diriwayatkan Ahl Al-Sunnah, bahwa di samping Rasulullah saw., sahabat-sahabat seperti Abu Bakar, 'Ali bin Abi Thalib, 'Abdullah bin Mas'ud, Jabir bin'Abdillah, dan lain-lain, melarang sujud selain di atas tanah. Tidak mungkin kita menurunkan semua hadis itu di sini. Cukuplah kita kutip hadis Muslim dari Khabbab bin Al-Arat, "Kami mengeluh kepada Rasulullah tentang udara yang sangat panas, sehingga tanah menjadi sangat panas pada dahi-dahi kami. Tetapi Nabi saw. tidak mengizinkan kami (sujud selain di atas tanah)."
Ibn Al-Atsir, ketika menjelaskan hadis ini, dalam Al-Nihayah, berkata,"Para fuqaha'" menyebut peristiwa ini berkenaan dengan sujud. Waktu itu para sababat meletakkan ujung baju mereka di bawab dahi mereka ketika akan sujud untuk menghindarkan panas yang sangat; tetapi mereka dilarang berbuat begitu. Ketika mereka mengadukan apa yang mereka alami, Nabi saw. tidak mengizinkan mereka sujud di atas ujung pakaian mereka itu."
12. Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyyah, hal. 257.
13. Shahih Al-Bukhariy, 3:124, "Bab Walladzi Qala li Walidayhi", Fat-h Al-Bari, 10:197-198. Lihat juga biografi Al-Haban bin Al-'Ash pada Al-'Isti'ab, Usud Al-Ghabah, Al-Ishabah, Mustadrak Al-Hakim, 4:481, Tarikh Ibn Katsir, 8:89; lihat juga biografi 'Abdurrahman bin Abi Bakr dalam Ibn Asakir, Tarikh Dimasyq.
14. Tafsir Al-Thabariy, 19: 72-75; Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 3:40.
15. Ibn Katsir, ibid., 7:214.
16. Kata Al-Dzahabiy dalam Tadzkirat Al-Huffah, 698-701.
17. Shahih Muslim, bab "Man La Ha'arahun Nabiy", Kitab Al-Birr wa Al-Shilah.
18. Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Beirut, Dar Ihya' Al-Turats Al-'Arabiy, juz I.
19. Ibn Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 7:224.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email