Setelah terpilihnya Donald Trump di AS, dunia seolah memasuki era baru. Sebenarnya tidak baru, karena tidak ada yang benar-benar baru di kolong langit ini. Tapi inilah era yang kalut, karut marut dan sangat sulit ditebak. Terpilihnya Trump di luar prediksi hampir semua elit AS, termasuk Presiden Barack Obama dan ketua DPR Nancy Pelosi. Bahkan elit Partai Republik juga banyak sekali yang meremehkan Trump–tidak sedikit yang bekerja menggagalkan pencalonannya. Berbagai lembaga jajak pendapat tak ketinggalan memprediksi kemenangan Hillary Clinton.
Dunia memang memasuki era yang serba sulit diprediksi. Masyarakat dunia kini tidak lagi menjadi konsumen informasi tapi juga produsen yang aktif. Kehadiran media sosial membuat monopoli ide dan informasi yang semula digenggam segelintir korporasi jadi hancur lebur. Ratusan juta orang kini bisa memproduksi sendiri informasi, pesan dan data melalui media yang murah meriah dan selalu tersedia di tangannya.
Mungkin kenyataan inilah yang belum sempat secara serius diteliti oleh para sarjana ilmu sosial dan budaya. Mereka mungkin berkutat memakai teori-teori lama yang landasan realitasnya pelan-pelan telah punah. Mereka masih berbicara ihwal faktor-faktor yang kini sudah tidak lagi penting, bahkan tak mustahil pelan-pelan sirna.
Beberapa futurologis seperti Alvin Toffler dan John Naisbitt memang pernah memprediksi datangnya era kesemrawutan ini. Pakar-pakar komunikasi seperti Marshall McLuhan juga telah membayangkan zaman serba rumit ini. Tapi agaknya mereka tidak sampai menyelisik ihwal dampak kemampuan ratusan juta individu—yang terlatih maupun tidak—mengendalikan senjata media ini untuk diri masing-masing.
Hari ini kita sudah memasuki era itu. Sedemikian rupa kacau dan acaknya keadaan sehingga lembaga-lembaga media dan jajak pendapat paling kredibel di dunia pun kelimpungan memprediksi apa yang akan terjadi. Inilah dunia kacau balau di mana konsumen sudah menjadi produsen dan produsen tidak lagi mengerti selera konsumen.
Di dunia inilah Donald Trump tampil ke panggung politik Amerika dengan segenap sumpah serapah dan umpatannya terhadap elit yang selama ini berkuasa. Tidak terkecuali terhadap para petinggi Partai Republik yang memberinya tiket menuju Gedung Putih. Dengan politik caci maki dan sumpah serapah itu Trump tak pelak harus menghadapi perlawanan sengit dari dalam partainya. Modal nol di dunia politik, karena dia tak pernah memegang jabatan publik, rupanya justru membuatnya keluar dari apa yang disebut sebagai political correctness (budaya politik).
Di Amerika yang sudah sedemikian lama berdemokrasi dengan sedemikian banyak pakar dan lembaga yang memantaunya, sebagian besar salah menebak arah Pilpres AS. Puluhan tokoh politik dan selebriti AS meramalkan Trump tak bakal menang. Sebagian besar menyatakannya dengan penuh olok-olok. Sebagai bahan rujukan, Anda bisa menonton dokumentasi audiovisual yang diunggah ke Youtube berikut ini: Best Compilation- People Who Laughed at TRUMP…and said he would never be President
Tidak hanya elit AS yang salah menebak. Berbagai media dan lembaga jajak pendapat juga salah memprediksi soal pemilihan presiden AS 8 November lalu. Kecuali Los Angeles Times, semua menyebut Clinton yang bakal melaju ke Gedung Putih. Lihat tautan berikut ini: http://www.realclearpolitics.com/epolls/2016/president/us/general_election_trump_vs_clinton-5491.html. Media The Telegraph sampai menulis artikel khusus menyangkut kekeliruan berbagai lembaga jajak pendapat yang terhormat itu dengan judul How wrong were the polls in predicting the US election and why did they fail to see Trump’s win?
Pernak-pernik dan analisis teknis ihwal munculnya berbagai kekeliruan itu sebenarnya tidak terlalu penting buat kita di Indonesia. Tapi yang terpenting adalah ini: 90 persen masyarakat dunia sedang benar-benar jenuh. Mereka kian menyadari bahwa karunia Tuhan di alam raya ini kian dicengkram oleh 1-2 persen orang tanpa rasa malu dan dengan kerakusan tanpa batas. Ada ketimpangan yang luarbiasa mengerikan.
Mayoritas warga dunia itu kini mengharapkan perubahan. Bukan sekedar janji dan retorika yang sudah jadi politically correct (sesuai budaya politik belaka), tapi mereka ingin sesuatu yang benar-benar dapat mendobrak kemapanan. Tidak masalah jika dobrakan itu harus membangkitkan kebencian, caci-maki, umpatan, permusuhan, pertikaian, perpecahan dan sebagainya. Mayoritas itu sudah tidak tahan harus hidup rukun dan toleran tetapi harta kekayaan negerinya dirampok habis oleh 1-2 persen orang.
Trump mampu mengeksploitir gairah perubahan itu. Minimal karena dia dipandang sebagai bukan bagian dari struktur politik yang ada. Dia adalah satu dari sangat sedikit politisi yang membiayai dana kampanye dari koceknya sendiri. Walhasil dia bukan bagian dari apa yang lazim disebut sebagai elit yang berkuasa. Dia menjanjikan dan mengesankan diri sebagai pendobrak kebuntuan bagi mayoritas yang dilupakan dan terpinggirkan. Dalam kasus AS, mereka adalah kelas pekerja kulit putih.
Berbeda dengan Trump yang mengeksploitir gairah perubahan itu secara serampangan dengan memanfaatkan kekacauan media sosial yang sedang terjadi, Bernie Sanders sebenarnya lebih bertanggungjawab. Hanya saja, lagi-lagi karena era yang sedang semrawut, pilihan politik kebanyakan yang haus perubahan itu jatuh kepada Trump yang dianggap lebih menggebrak dan mendobrak. (Untuk renungan yang menarik dalam konteks ini, baca tulisan Giles Fraser di The Guardian berikut ini: Diversity can distract us from economic inequality)
Mungkin banyak kalangan kelas menengah atas di Indonesia tidak menyadari situasi ini. Bukan saja tidak menyadari betapa pengap dan timpangnya keadaan ekonomi yang terjadi, tapi lebih dari itu kelas menengah atas itu tidak jarang berupaya setengah mati menutup aspirasi kebanyakan orang tersebut. Mereka merasa tidak berkewajiban mengubah apapun untuk meringankan beban mayoritas yang terus terhimpit. Inilah basis sosial dan tulang punggung yang mendukung Trump, dan mereka itu pula yang bakal mendukung para pendobrak di era kebuntuan dan kesumpekan ini. (Untuk suatu studi yang menarik ihwal ketimpangan ekonomi dunia termasuk di Indonesia, baca: Indonesia among world’s most unequal countries as richest 1% owns 49.3% of nation’s wealth: study).
Dengan modal sendiri, kalangan mayoritas marjinal itu akan menuntut perubahan. Mereka tak lagi mau diam dan menerima “rayuan” elit dan kelas menengah yang sudah terlalu lama memonopoli aspirasi dan selera, menawarkan janji perbaikan nasib sementara dalam kenyataannya ketimpangan kian mencekik. Dengan modal media sosial seadanya, mereka kini ingin menyuarakan sendiri pesan dan aspirasi mereka. Bila pesan mereka tak didengar atau diremehkan atau bahkan diolok-olok, maka mereka tidak mustahil akan memperkeras ekspresi dan menyampaikannya dengan cara yang lebih jelas dan lugas.
Oleh karena itu, elit penguasa yang dulu merasa mampu mengendalikan pikiran masyarakat dengan memonopoli lembaga jajak pendapat, media, pengamat, pakar dan data statistik kini harus lebih berhati-hati, lebih peka terhadap situasi mayoritas warga dan rakyatnya. Jangan-jangan konsolidasi kaum mayoritas marjinal itu sudah sampai titik kulminasi. Jangan sampai pengabaian itu terlalu lama hingga keadaan jadi kian tak terkendali dan meledak sekonyong-konyong.
Mayoritas rakyat Indonesia tak semestinya terpaksa memilih pemimpin seperti Trump yang jauh dari etika bangsa. Tetapi, pengabaian situasi ketimpangan yang ada, di tengah kesemrawutan media sosial saat ini, tak mustahil akan membawa eskpresi yang lebih radikal. Sebelum keadaan itu menjadi lebih tidak terkendali, elit dan kelas menengah perlu menyalurkan kehendak perubahan itu secara bijak dan arif. Jangan meremehkan kehendak yang terkesan aneh itu sehingga yang semula terlihat aneh tersebut–semoga saja tidak–berubah menjadi buas dan liar.
Beberapa waktu lalu budayawan kondang Emha Ainun Nadjib yang akrab disapa Cak Nun pernah berbicara gentingnya situasi arus bawah ini. Dia mengingatkan besarnya kegelisahan di kalangan akar rumput umat Islam yang merasa terpinggirkan oleh roda pembangunan. Sambil menirukan lagu Balonku Ada Lima, pria berambut gondrong ini berdendang: “Meletus balon hijau…DOR! Hatiku sangat kacau.”
Semoga Allah merahmati bangsa kita dan menjaga negara ini.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email