Pesan Rahbar

Home » » Kritik Buku “Hitam Di Balik Putih”: Al Kulainiy Menyatakan Shahih Seluruh Hadis Al Kafiy? Berikut Penjelasannya Oleh Ustad Kami

Kritik Buku “Hitam Di Balik Putih”: Al Kulainiy Menyatakan Shahih Seluruh Hadis Al Kafiy? Berikut Penjelasannya Oleh Ustad Kami

Written By Unknown on Tuesday 25 August 2015 | 20:07:00

Hitam Di Balik Putih


Pendahuluan

Jauh sebelumnya kami pernah membuat pembahasan bagaimana kedudukan Al Kafiy di sisi Syi’ah dan Shahih Bukhariy di sisi Sunni. Kedudukan Shahih Bukhariy di sisi Sunni [Ahlus Sunnah] adalah mayoritas ulama bersepakat akan keshahihan seluruh hadis di dalamnya [walaupun tetap ada ulama yang mendhaifkan sebagian kecil hadis dalam Shahih Bukhariy].

Sedangkan di sisi Syi’ah kedudukan kitab Al Kafiy tidak seperti Shahih Bukhariy di sisi Ahlus Sunnah, bahkan sebagian ulama Syi’ah telah melakukan penelitian mengenai kedudukan hadis-hadis dalam Al Kafiy dimana mereka mengakui bahwa ada cukup banyak hadis dhaif di dalamnya [berdasarkan ilmu Rijal Syi’ah]. Tetapi tidak dinafikan bahwa sebagian ulama Syi’ah menshahihkan hadis-hadis dalam Al Kafiy dengan alasan Al Kulainiy telah menyatakan shahih seluruh hadis-hadis dalam kitabnya tersebut. Sebagaimana hal ini dikutip oleh Amin Muchtar dalam bukunya Hitam Di Balik Putih.

Sepanjang pembelajaran kami ada tiga pendapat dalam mazhab Syi’ah berkenaan dengan kedudukan kitab Al Kafiy yaitu
1. Pendapat yang menganggap Al Kulainiy menshahihkan seluruh riwayat dalam Al Kafiy kemudian mengikuti atau taklid terhadap Al Kulainiy
2. Pendapat yang menganggap Al Kulainiy menshahihkan seluruh riwayat dalam Al Kafiy tetapi menolak untuk taklid terhadap penilaian Al Kulainiy
3. Pendapat yang menganggap Al Kulainiy tidak menshahihkan seluruh riwayat dalam Al Kafiy

Dalam pembahasan ini penulis akan menganalisis secara objektif pendapat yang rajih dalam mazhab Syi’ah mengenai kedudukan kitab Al Kafiy tersebut di sisi Al Kulainiy.


Pembahasan

Sebagian ulama Syi’ah yang menshahihkan kitab Al Kafiy telah berhujjah dengan perkataan Al Kulainiy dalam kitabnya:

miratul-uquul-juz-1-hal-21

miratul-uquul-juz-1-hal-22

وقلت: إنك تحب أن يكون عندك كتاب كاف يجمع [فيه] من جميع فنون علم الدين، ما يكتفي به المتعلم، ويرجع إليه المسترشد، ويأخذ منه من يريد علم الدين والعمل به بالآثار الصحيحة عن الصادقين عليهم السلام والسنن القائمة التي عليها العمل، وبها يؤدي فرض الله عز وجل وسنة نبيه صلى الله عليه وآله، وقلت: لو كان ذلك رجوت أن يكون ذلك سببا ” يتدارك الله [تعالى] بمعونته وتوفيقه إخواننا وأهل ملتنا ويقبل بهم إلى مراشدهم

[Al Kulainiy] aku berkata “Sesungguhnya engkau menginginkan memiliki kitab yang terkumpul di dalamnya semua ilmu agama yang mencukupi bagi para pelajar, yang menjadi rujukan orang yang mencari petunjuk, yang dapat mengambil darinya orang yang menginginkan ilmu agama dan beramal dengannya melalui atsar shahih dari Ash Shaadiqiin [‘alaihimus salaam], dan [mengandung] sunah yang diamalkan, dan dengannya dapat dilaksanakan segala kewajiban yang ditetapkan Allah dan Sunah Nabi-Nya [shallallahu ‘alaihi wa ‘aalihi]. [Al Kulainiy] aku berkata “Jika memang demikian aku harapkan [kitab] ini menjadi sebab Allah [ta’ala] memberikan pertolongan-Nya dan tauqif-Nya kepada saudara-saudara kita dan penganut ajaran kita serta memberikan petunjuk bagi mereka [Miraatul ‘Uquul 1/21-22].

Apakah perkataan atau lafaz ini menjadi hujjah bahwa semua riwayat dalam kitab Al Kafiy itu shahih di sisi Al Kulainiy?. Jawabannya tidak, silakan perhatikan lafaz yang dijadikan hujjah:

والعمل به بالآثار الصحيحة عن الصادقين عليهم السلام

dan beramal dengannya melalui atsar shahih dari Ash Shaadiqiin [‘alaihimus salaam].

Lafaz ini bisa bermakna keseluruhan dan bisa juga bermakna tidak karena tidak ada keterangan sharih [jelas] dari Al Kulainiy bahwa hal itu mencakup keseluruhan riwayat yang ada dalam Al Kafiy. Untuk memahami lafaz tersebut kita harus memperhatikan manhaj Al Kulainiy dalam kitabnya Al Kaafiy.

Lafaz tersebut tidak bermakna hashr [pembatasan]. Tidaklah yang dimaksudkan dengan lafaz itu bahwa Al Kulainiy hanya memasukkan dalam kitabnya Al Kaafiy riwayat-riwayat shahih dari para imam Ash Shaadiqiin [‘alaihimus salaam] karena faktanya tidak demikian. Dalam kitab Al Kaafiy, Al Kulainiy juga banyak memasukkan riwayat-riwayat yang bukan dari para imam Ash Shaadiqiin [‘alaihimus salaam]. Diantaranya adalah riwayat-riwayat berikut:

Riwayat Hisyam bin Hakam:

Al Kafiy Juz 1 Hal 58 No 12

Riwayat Abu Ayyuub An Nahwiy:

Al Kafiy Juz 1 Hal 188-189 No 13

Riwayat Nadhr bin Suwaid:

Al Kafiy Juz 1 Hal 189 No 14

Riwayat Abu Bakr Al Hadhramiy:

Al Kafiy Juz 1 Hal 293 No 3

Riwayat Idriis bin ‘Abdullah Al Awdiy:
Al Kafiy Juz 1 Hal 296 No 8

Riwayat Fudhail:

Al Kafiy Juz 2 Hal 67 No 5

Dengan fakta ini kita dapat mengetahui bahwa Al Kulainiy dalam kitab Al Kaafiy tidak hanya mengumpulkan riwayat-riwayat dari para imam ahlul bait artinya lafaz tersebut “dan beramal dengannya melalui atsar shahih dari Ash Shaadiqiin [‘alaihimus salaam]” tidaklah bermakna hashr. Al Kulainiy memasukkan dalam kitabnya Al Kaafiy riwayat yang shahih dari para imam ahlul bait dan juga riwayat yang tidak shahih dari para imam ahlul bait serta riwayat dari selain para imam ahlul bait. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Sayyid Al Khu’iy:

mujam-rijal-hadis-juz-1-hal-83

إن السائل إنما سأل محمد بن يعقوب تأليف كتاب مشتمل على الآثار الصحيحة عن الصادقين سلام الله عليهم، ولم يشترط عليه أن لا يذكر فيه غير الرواية الصحيحة، أو ما صح عن غير الصادقين عليهم السلام، ومحمد بن يعقوب قد أعطاه ما سأله، فكتب كتابا مشتملا على الآثار الصحيحة عن الصادقين عليهم السلام في جميع فنون علم الدين، وإن اشتمل كتابه على غير الآثار الصحيحة عنهم عليهم السلام، أو الصحيحة عن غيرهم

Bahwa orang yang meminta tersebut hanyalah meminta kepada Muhammad bin Ya’qub menulis kitab yang di dalamnya terkandung atsar-atsar shahih dari ash shaadiqiin [imam ahlul bait] [‘alaihimus salaam] dan tidak disyaratkan padanya bahwa dia [Al Kulainiy] tidak boleh menyebutkan di dalamnya kecuali riwayat shahih atau tidak boleh menyebutkan riwayat shahih dari selain ash shaadiqiin [imam ahlul bait] [‘alaihimus salaam]. Muhammad bin Ya’qub sungguh telah memberikan kepadanya apa yang diminta, ia menulis kitab yang terkandung di dalamnya atsar-atsar shahih dari ash shaadiqiin [imam ahlul bait] [‘alaihimus salaam] dalam semua bagian ilmu agama dan terkandung pula di dalam kitabnya tersebut yaitu selain atsar yang shahih dari mereka [‘alaihimus salaam] atau riwayat yang shahih dari selain mereka [‘alaihimus salaam]. [Mu’jam Rijal Al Hadiits Sayyid Al Khu’iy 1/82-83].

Berikut contoh sebagian nukilan yang disebutkan Amin Muchtar dalam bukunya Hitam Di Balik Putih. Sengaja tidak kami nukilkan semuanya karena pada intinya bermakna sama:
Hitam Di Balik Putih Hal 212

Hitam Di Balik Putih Hal 260

Hitam Di Balik Putih Hal 261

Bagaimana mungkin lafaz perkataan Al Kulainiy itu ditafsirkan “seluruh riwayat Al Kaafiy” padahal dalam kitab Al Kaafiy, Al Kulainiy banyak memasukkan riwayat-riwayat selain dari para ash shaadiqiin [imam ahlul bait] [‘alaihimus salaam]. Maka tidak diragukan para ulama yang memahami lafaz Al Kulainiy itu dengan makna “seluruh riwayat Al Kaafiy” telah terbukti keliru berdasarkan kesaksian Al Kulainiy sendiri.

Jadi sungguh tidak ada gunanya Amin Muchtar menukil ulama-ulama Syi’ah yang memahami lafaz perkataan Al Kulainiy tersebut sebagai bukti atas keshahihan seluruh riwayat dalam Al Kaafiy karena terdapat ulama lain yang memahami lafaz Al Kulainiy tersebut dengan pemahaman yang berbeda salah satunya yaitu Sayyid Al Khu’iy [sebagaimana kami sebutkan di atas]. Dan apa yang dipahami Sayyid Al Khu’iy itu adalah pemahaman yang benar dan sesuai dengan manhaj Al Kulainiy dalam kitabnya Al Kaafiy.

Adapun hujjah sebagian ulama Syi’ah yang dinukil Amin Muchtar tidak kuat jika dibandingkan hujjah Sayyid Al Khu’iy di atas. Sayyid Al Khu’iy berhujjah dengan perkataan Al Kulainiy dan mencocokkannya dengan fakta yang ada dalam kitab Al Kafiy. Sedangkan sebagian ulama yang dinukil Amin Muchtar ada yang berhujjah dengan nama besar kitab Al Kafiy dan nama besar Al Kulainiy padahal adanya hadis dhaif dalam kitab Al Kafiy tidaklah menodai nama besar Al Kulainiy dan kitab Al Kafiy. Memangnya ketika kitab rujukan Ahlus Sunnah seperti kitab Sunan Ibnu Majah, Sunan Abu Dawud dan Sunan Tirmidzi terbukti mengandung hadis-hadis dhaif apakah hal itu menodai nama besar penulis dan kitab tersebut.

Hitam Di Balik Putih Hal 219

Sebagian lagi berhujjah dengan andai-andai yang belum terbukti misalnya kitab Al Kafiy Al Kulainiy diketahui para wakil imam, seolah hal itu menjadi hujjah yang menguatkan keshahihan seluruh riwayat yang ada di dalamnya. padahal tidak ada satupun bukti riwayat yang menunjukkan bahwa para wakil imam itu membenarkan keshahihan semua yang ada dalam kitab Al Kafiy.

Kalau Amin Muchtar merasa kebingungan dengan penjelasan yang kami sebutkan di atas maka ada baiknya ia memperhatikan perkara serupa yang juga nampak dalam kitab hadis pegangan mazhab Ahlus Sunnah yaitu Sunan Abu Dawud. Diriwayatkan dengan sanad yang jayyid perkataan Abu Dawud mengenai keshahihan riwayat atau menyerupai dan mendekati shahih dalam kitab Sunan Abu Dawud.
muntazham-ibnu-jauzi-juz-12-hal-269-no-1811

أخبرنا عبد الرحمن بن محمد أخبرنا احمد بن علي بن ثابت قال حدثني أبو بكر بن علي بن إبراهيم الدينوري قال سمعت أبا الحسين محمد بن عبد الله بن الحسين الفرضي قال سمعت أبا بكر بن داسة يقول سمعت أبا داود يقول كتبت عن رسول الله صلى الله عليه و سلم خمس مائة ألف حديث إنتخبت منها ما ضمنت هذا الكتاب يعنى كتاب السنن جمعت فيه أربعة آلاف وثمان مائة حديث ذكرت الصحيح وما يشبهه وييقاربه


Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdurrahman bin Muhammad yang berkata telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Aliy bin Tsaabit yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Bakr bin ‘Aliy bin Ibrahim Ad Diinawariy yang berkata aku mendengar Abu Husain Muhammad bin ‘Abdullah bin Hasan yang berkata aku mendengar Abu Bakr bin Daasah yang berkata aku mendengar Abu Dawud mengatakan “aku telah menulis hadis dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] lima ratus ribu hadis kemudian aku pilih darinya apa yang aku kumpulkan dalam kitab ini yaitu kitab Sunan sebanyak empat ribu delapan ratus hadis, aku menyebutkan [di dalamnya] riwayat shahih dan apa yang menyerupainya dan yang mendekatinya. [Al Muntazham Fii Tarikh Ibnul Jauziy 12/269]

Atsar ini sanadnya jayyid sampai Abu Dawud, berikut keterangan mengenai para perawinya
Abdurrahman bin Muhammad Al Qazzaaz adalah seorang syaikh tsiqat [Siyaar A’laam An Nubalaa’ Adz Dzahaabiy 20/69 no 42].
Ahmad bin ‘Aliy bin Tsaabit Al Khaatib seorang Imam allamah mufti hafizh ahli naqd muhaddis [Siyaar A’laam An Nubalaa’ Adz Dzahaabiy 18/270 no 137].
Abu Bakr Muhammad bin ‘Aliy bin Ibrahiim Ad Diinawariy seorang yang shalih wara’ [Tarikh Baghdad 4/178 no 1369].
Muhammad bin ‘Abdullah bin Hasan Abu Husain Al Bashriy yang dikenal Ibnu Labbaan seorang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 3/507 no 1042].
Abu Bakr Muhammad bin Bakr bin Muhammad bin ‘Abdurrazzaaq bin Daasah seorang yang syaikh alim tsiqat [Siyaar A’laam An Nubalaa’ Adz Dzahabiy 15/538 no 317].

Apakah perkataan Abu Dawud itu dipahami bahwa seluruh riwayat dalam kitab Sunan-nya kedudukannya shahih atau mendekati shahih?. Memang bisa dipahami begitu tetapi bisa juga tidak. Pemahaman yang benar terhadap perkataan itu adalah dengan melihat manhaj Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya. Ternyata ditemukan Abu Dawud juga menyebutkan dalam kitab Sunan-nya berbagai riwayat yang dhaif di sisinya.

Sunan Abu Dawud No 248

Sunan Abu Dawud No 1377

Sunan Abu Dawud No 2079

Sunan Abu Dawud No 5271

Sunan Abu Dawud No 5271

Maka pemahaman yang benar adalah lafaz Abu Dawud tersebut tidak bermakna hashr [pembatasan]. Abu Dawud memang memasukkan dalam kitab Sunan-nya riwayat yang shahih atau mendekati shahih tetapi hal itu tidak menafikan bahwa ia juga menyebutkan riwayat yang dhaif dalam kitabnya. Jadi tidak bisa dikatakan kalau Abu Dawud menshahihkan seluruh hadis dalam kitab Sunan-nya.

Selain itu Al Kulainiy dalam kitab Al Kafiy juga menyebutkan kaidah tarjih dalam menerapkan hadis-hadis yang bertentangan, ia berkata:

miratul-uquul-juz-1-hal-22-2

miratul-uquul-juz-1-hal-23

فاعلم يا أخي أرشدك الله أنه لا يسع أحدا ” تمييز شئ مما اختلف الرواية فيه عن العلماء عليهم السلام برأيه، إلا على ما أطلقه العالم بقوله عليه السلام ” اعرضوها على كتاب الله فما وافى كتاب الله عز وجل فخذوه، وما خالف كتاب الله فردوه ” و قوله عليه السلام: ” دعوا ما وافق القوم فإن الرشد في خلافهم ” وقوله عليه السلام ” خذوا بالمجمع عليه، فإن المجمع عليه لا ريب فيه ” ونحن لا نعرف من جميع ذلك إلا أقله ولا نجد شيئا ” أحوط ولا أوسع من رد علم ذلك كله إلى العالم عليه السلام وقبول ما وسع من الأمر فيه بقوله عليه السلام: ” بأيما أخذتم من باب التسليم وسعكم

Maka ketahuilah wahai saudaraku, sesungguhnya tidak boleh bagi seseorang membedakan riwayat-riwayat yang berselisih dari para imam [alaihimus salaam] dengan pendapatnya sendiri kecuali berdasarkan atas apa yang diriwayatkan dari perkataan Imam [‘alaihis salaam] “serahkan riwayat-riwayat itu pada kitab Allah maka yang bersesuaian dengan kitab Allah ambillah dan yang bertentangan dengan kitab Allah maka tolaklah”. Dan perkataan Imam [‘alaihis salaam] “Jauhilah apa yang bersesuaian dengan kaum [awam] karena petunjuk ada pada yang menyelisihi mereka”. Dan perkataan Imam [‘alaihis salaam] “Ambillah yang disepakati karena yang disepakati itu tidak mengandung keraguan”. Kami tidak mengetahui dari semua itu kecuali sedikit. Dan kami tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berhati-hati dan lebih diperbolehkan daripada mengembalikan semua itu kepada para imam [‘alaihimus salaam] dan menerima perkara itu berdasarkan perkataan Imam [‘alaihis salaam] “dengan yang mana saja kalian ambil sebagai bukti kepatuhan maka itu diperbolehkan bagi kalian” [Miraatul ‘Uquul 1/22-23]

Tim penulis Buku Putih Mazhab Syi’ah berhujjah dengan perkataan Al Kulainiy di atas untuk membuktikan bahwa Al Kulainiy tidak menshahihkan seluruh hadis Al Kafiy. Amin Muchtar membantah dengan membawakan penjelasan ulama Syi’ah yang meyakini keshahihan seluruh riwayat Al Kafiy.

Hitam Di Balik Putih Hal 278

Hitam Di Balik Putih Hal 286

Kalau cuma mengutip perkataan ulama Syi’ah maka sebenarnya hujjah Amin Muchtar disini tidak kuat. Mengapa? Karena apa yang dikatakan tim penulis Buku Putih Mazhab Syi’ah tersebut bersumber dari penafsiran ulama Syi’ah juga diantaranya Sayyid Al Khu’iy.

mujam-rijal-hadis-juz-1-hal-25

وهذا الكلام ظاهر في أن محمد بن يعقوب لم يكن يعتقد صدور روايات كتابه عن المعصومين عليهم السلام جزما ، وإلا لم يكن مجال للاستشهاد بالرواية على لزوم الاخذ بالمشهور من الروايتين عند التعارض ، فان هذا لا يجتمع مع الجزم بصدور كلتيهما ، فإن الشهرة إنما تكون مرجحة لتمييز الصادر عن غيره ، ولا مجال للترجيح بها مع الجزم بالصدور

Dan nampak dari perkataan ini bahwa Muhammad bin Ya’qub tidak berkeyakinan bahwa riwayat-riwayat kitabnya pasti benar berasal dari para imam ma’shum [‘alaihis salaam] karena jika memang begitu tidak ada alasan menguatkan riwayat dengan mengambil yang masyhur diantara dua riwayat yang bertentangan. Maka tidak mungkin keduanya sama-sama berasal dari para imam ma’shum karena kemasyhuran adalah hal yang membedakan mana yang memang benar berasal dari para imam ma’shum dan mana yang tidak, tidak mungkin mentarjih dengannya jika kedua riwayat tersebut sama-sama berasal dari para imam ma’shum. [Mu’jam Rijal Al Hadiits Sayyid Al Khu’iy 1/25].

Bagaimana menentukan mana penafsiran yang benar diantara penafsiran para ulama yang bertentangan?. Cara paling tepat ya mengembalikan pada zhahir lafaz yang dimaksud.

Dari lafaz tersebut Al Kulainiy mengakui ada riwayat-riwayat dalam kitab Al Kafiy yang bertentangan. Untuk menghadapi riwayat ini Al Kulainiy menerapkan metode tarjih yang berdasarkan qaul imam ahlul bait yaitu:
1. Menilai dengan Al Qur’an ambil mana yang sesuai kemudian tolak yang menyalahi Al Qur’an
2. Menjauhi apa yang bersesuaian dengan kaum awam karena petunjuk ada pada yang menyelisihi mereka
3. Mengambil yang disepakati karena yang disepakati tidak menimbulkan keraguan.
4. Diperbolehkan mengambil yang mana saja sebagai bukti kepatuhan

Pertanyaannya adalah apakah riwayat-riwayat yang bertentangan itu semuanya shahih di sisi Al Kulainiy?. Shahih disini bermakna memang benar datang dari para imam ahlul bait [‘alaihis salaam] karena begitulah makna shahih yang masyhur di kalangan ulama mutaqaddimin mazhab Syi’ah termasuk Al Kulainiy. Apakah Al Kulainiy itu meyakini bahwa riwayat-riwayat yang bertentangan itu memang benar datang dari para imam ahlul bait [‘alaihis salaam]?. Tidak usah jauh-jauh menganalisis semuanya cukup ambil poin pertama. Perhatikan perkataan Al Kulainiy:

بقوله عليه السلام ” اعرضوها على كتاب الله فما وافى كتاب الله عز وجل فخذوه، وما خالف كتاب الله فردوه

Dengan perkataan Imam [‘alaihis salaam] “serahkan riwayat-riwayat itu pada kitab Allah maka yang bersesuaian dengan kitab Allah ambillah dan yang bertentangan dengan kitab Allah maka tolaklah”

Artinya Al Kulainiy menganggap diantara riwayat-riwayat yang bertentangan itu ada riwayat yang bersesuaian dengan kitab Allah maka diambil dan ada riwayat yang bertentangan dengan kitab Allah maka ditolak. Maka tidak mungkin Al Kulainiy menganggap riwayat-riwayat itu semuanya benar datang dari para imam ahlul bait [‘alaihis salaam] karena itu sama saja menganggap Al Kulainiy meyakini kalau para imam ahlul bait [‘alaihis salaam] bisa mengatakan hal yang menyalahi Al Qur’an dan harus ditolak. Dalam keyakinan mazhab Syi’ah para imam ahlul bait [‘alaihis salaam] diyakini selalu bersama-sama dengan Al Qur’an sebagaimana ditegaskan dalam hadis yang masyhur yaitu hadis Tsaqalain. Jadi mustahil kalau mengatakan Al Kulainiy menganggap shahih riwayat ahlul bait yang bertentangan dengan Al Qur’an.

Hitam Di Balik Putih Hal 289

Amin Muchtar memahami bahwa kaidah tarjih yang disebutkan Al Kulainiy itu sudah diterapkan oleh Al Kulainiy sehingga dalam kitab Al Kafiy tidak ada riwayat yang bertentangan dengan Al Qur’an karena semuanya sudah sesuai dengan Al Qur’an. Hal ini keliru dengan alasan Al Kulainiy menerangkan kaidah tarjih tersebut untuk orang yang meminta dituliskan kitab Al Kaafiy. Artinya kaidah tarjih itu bisa digunakan oleh orang tersebut sebagai panduan dalam mempelajari kitab Al Kafiy. Kalau memang kaidah itu sudah dipakai maka tidak perlu dijelaskan kepada orang tersebut. Untuk apa dikasih alat untuk mentarjih jika semuanya sudah ditarjih.

Bukti paling nyata adalah apa yang tertera dalam kitab Al Kafiy. Dalam kitab Al Kafiy terdapat riwayat-riwayat yang memang bertentangan. Hal ini menunjukkan bahwa kaidah tarjih tersebut belum diterapkan Al Kulainiy pada kitabnya Al Kaafiy. Diantaranya adalah sebagai berikut

al-kafiy-juz-4-hal-50
 
محمد بن يحيى، عن محمد بن الحسين، عن ابن سنان، عن حذيفة بن منصور، عن معاذ بن كثير، عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: شهر رمضان ثلاثون يوما لا ينقص والله أبدا

Muhammad bin Yahya dari Muhammad bin Husain dari Ibnu Sinaan dari Huzaifah bin Manshuur dari Mu’aadz bin Katsiir dari Abi Abdullah [‘alaihis salaam] yang berkata “bulan Ramadhan itu tiga puluh hari, demi Allah tidak akan berkurang selamanya” [Al Kaafiy Al Kulainiy 4/50 no 3].

al-kafiy-juz-4-hal-48

علي بن إبراهيم، عن أبيه; ومحمد بن يحيى، عن أحمد بن محمد جميعا، عن ابن أبي عمير، عن حماد بن عثمان، عن الحلبي، عن أبي عبد الله (عليه السلام) قال: إنه سئل عن الأهلة فقال: هي أهلة الشهور فإذا رأيت الهلال فصم وإذا رأيته فأفطر.

‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dan Muhammad bin Yahya dari Ahmad bin Muhammad, keduanya dari Ibnu Abi ‘Umair dari Hammaad bin ‘Utsman dari Al Halabiy dari Abu Abdullah, [perawi] berkata “bahwasanya ia ditanya tentang bulan sabit, maka ia menjawab itu adalah awal dari bulan, maka jika kamu melihat hilaal berpuasalah dan jika kamu melihatnya maka berbukalah” [Al Kaafiy Al Kulainiy 4/48 no 1]

Kedua riwayat ini dengan jelas bertentangan, ada ulama Syi’ah menguatkan atau menshahihkan riwayat pertama [seperti Syaikh Ash Shaduuq] dan sebagian lagi menshahihkan riwayat yang kedua. Yang jelas sangat tidak mungkin menganggap keduanya shahih karena siapapun yang menerapkan metode ru’yatul hilal pasti tidak akan mengatakan bulan Ramadhan selalu tiga puluh hari dan tidak pernah berkurang.

Syaikh Ash Shaduuq berpandangan bahwa riwayat pertama itu bersesuaian dengan kitab Allah dan menyelisihi mazhab Ahlus Sunnah oleh karena itu ia menshahihkan riwayat tersebut [Al Khishaal Syaikh Ash Shaduuq 2/531-532].

Sedangkan Syaikh Ath Thuusiy justru melemahkan riwayat pertama sebagaimana yang dikatakannya dalam kitab Al Istibshaar:

al-istibshar-thuusiy-juz-2-hal-88

وهذا الخبر لا يصح العمل به من وجوه أحدها أن متن هذا الخبر لا يوجد في شئ من الاصول المصنفة وإنما هو موجود في الشواذ من الاخبار، ومنها أن كتاب حذيفة بن منصور عري عن هذا الحديث، وهو كتاب معروف مشهور فلو كان هذا الخبر صحيحا عنه لضمنه كتابه، ومنها أن هذا الخبر مختلف الالفاظ مضطرب المعاني ألا ترى أن حذيفة تارة يرويه عن معاذ بن كثير عن أبي عبدالله عليه السلام وتارة يرويه عن أبي عبدالله عليه السلام بلا واسطة، وتارة يفتي به من قبل نفسه ولا يسنده إلى أحد، وهذا الضرب من الاختلاف مما يضعف الاعتراض به والتعلق بمثله، ومنها أنه لو سلم من جميع ما ذكرناه لكان خبرا واحدا لا يوجب علما ولا عملا وأخبار الاحاد لا يجوز الاعتراض بها على ظاهر القرآن والاخبار المتواترة التي ذكرناها.

Dan kabar ini tidak shahih beramal dengannya, bahwasanya matan kabar ini tidak ada dalam satupun kitab Ushul, sesungguhnya riwayat itu hanya ditemukan dalam kabar-kabar yang syadz. Dan kitab Huzaifah bin Manshuur tidak ada hadis ini, itu adalah kitab yang ma’ruf dan masyhur maka seandainya kabar ini shahih maka pasti akan ada dalam kitabnya. Selain itu kabar ini terdapat perselisihan pada lafaznya dan mudhtharib pada maknanya. Bukankah dapat dilihat bahwa terkadang Huzaifah meriwayatkan dari Mu’aadz bin Katsiir dari Abu Abdullah [‘alaihis salaam] dan terkadang meriwayatkan dari Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tanpa perantara dan terkadang ia memfatwakan dari dirinya sendiri tanpa menisbatkannya dari siapapun. Dan kegoncangan ini telah melemahkan untuk mengandalkan riwayat tersebut. Seandainyapun riwayat itu selamat dari cacat yang kami sebutkan tetap saja kabar ini adalah kabar ahad yang tidak mewajibkan ilmu dan tidak mewajibkan amal. Dan kabar ahad tidak diperbolehkan menguatkannya di atas zhahir Al Qur’an dan kabar-kabar mutawatir yang kami sebutkan [Al Istibshaar Syaikh Ath Thuusiy 2/88].

Siapapun yang benar disini, apakah itu Syaikh Shaaduq ataupun Syaikh Ath Thuusiy tetap saja menguatkan apa yang kami katakan sebelumnya bahwa kedua riwayat dalam kitab Al Kaafiy tersebut bertentangan dan tidak mungkin dianggap keduanya shahih dari imam ma’shum.

Penjelasan di atas membuktikan bahwa penafsiran Sayyid Al Khu’iy mengenai perkataan Al Kulainiy adalah penafsiran yang benar sedangkan penafsiran ulama yang dikutip oleh Amin Muchtar tersebut keliru. Seperti yang pernah kami katakan sebelumnya Amin Muchtar memang mahir nukil-menukil referensi tetapi kurang mampu menganalisis apa yang ia nukil. Amin Muchtar tidak mampu menilai mana diantara qaul ulama tersebut yang beragumentasi dengan hujjah yang kuat dan mana yang sekedar berandai-andai atau sekedar taklid atau sekedar menampakkan syubhat.

Di kalangan mutaqaddimin ulama mazhab Syi’ah juga terdapat ulama yang tidak meyakini keshahihan seluruh riwayat dalam Al Kafiy. Salah satu contohnya sudah kami sebutkan di atas adalah Syaikh Ath Thuusiy yang melemahkan riwayat bulan Ramadhan selalu tiga puluh hari [yang ada dalam kitab Al Kaafiy]. Contoh yang paling jelas adalah seperti yang ditunjukkan Syaikh Ash Shaduq berikut.

Dalam kitabnya Man La Yahdhuruhu Al Faqiih, Syaikh Ash Shaduuq pernah membawakan riwayat yang dinukil dari kitab Al Kulainiy setelah ia mengutip riwayat lain yang bertentangan dengannya. Syaikh Ash Shaduq merajihkan riwayat yang bertentangan dengan kitab Al Kulainiy tersebut. Ia berkata:

syaikh-shaduuq-dan-al-kafiy

لست أفتى بهذا الحديث بل أفتى بما عندي بخط الحسن بن علي (عليهما السلام)، ولو صح الخبر ان جميعا لكان الواجب الاخذ بقول الأخير كما أمر به الصادق عليه السلام

Aku tidak berfatwa dengan hadis ini bahkan aku berfatwa dengan tulisan tangan Hasan bin ‘Aliy [‘alaihimas salaam]. Dan seandainya shahih kabar ini maka wajib untuk mengambil perkataan [imam ahlul bait] yang paling akhir sebagaimana yang diperintahkan Ash Shaadiq [‘alaihis salaam]. [Man La Yahdhuruhu Al Faqiih Syaikh Ash Shaduuq 4/154].

Lafaz “seandainya shahih” menunjukkan bahwa di sisi Syaikh Ash Shaduq riwayat Al Kulainiy tersebut tidak shahih oleh karena itu ia merajihkan dan berfatwa dengan riwayat sebelumnya. Sayyid Al Khu’iy menegaskan dalam kitabnya Mu’jam Rijal Al Hadiits bahwa Syaikh Ash Shaduuq tidak meyakini keshahihan seluruh riwayat Al Kaafiy.

syaikh-shaduuq-dan-al-kafiy

أنّ الشيخ الصدوق : قدّس سرّه : لم يكن يعتقد صحّة جميع مافي الكافي وكذلك شيخه محمد بن الحسن بن الوليد على ماتقدّم من أنّ الصدوق يتبع شيخه في التصحيح والتضعيف

Bahwasanya Syaikh Ash Shaduuq tidak berkeyakinan shahih seluruh apa yang ada dalam kitab Al Kaafiy, dan begitu pula gurunya Muhammad bin Hasan bin Waliid berdasarkan penjelasan sebelumnya bahwa Syaikh Ash Shaduuq mengikuti gurunya dalam menshahihkan dan mendhaifkan riwayat [Mu’jam Rijal Al Hadiits Sayyid Al Khu’iy 1/85].

Terakhir mengenai syubhat kalau memang Al Kafiy dibuat Al Kulainiy dengan mencantumkan riwayat shahih dan riwayat dhaif di dalamnya maka bukankah itu malah akan membuat bingung penanya yang meminta kitab Al Kafiy tersebut.

Sebenarnya yang bingung disini adalah pembuat syubhat tersebut. Bagaimana ia bisa mengetahui dengan pasti kalau penanya tersebut adalah orang awam yang bodoh bukan seorang penuntut ilmu yang setidaknya memiliki dasar-dasar ilmu dalam mazhab Syi’ah. Apakah ketika Al Kulainiy membuat kitab itu yang katanya selama dua puluh tahun, si penanya yang dimaksud tetap dalam kebodohan atau ketidaktahuan selama dua puluh tahun?. Apa kerjanya si penanya tersebut selama dua puluh tahun, hanya sekedar menunggu di depan teras sambil minum kopi?.

Dalam sudut pandang kami yang berada dalam mazhab Ahlus Sunnah, perkara kitab rujukan yang bercampur di dalamnya hadis shahih dan dhaif adalah perkara yang biasa. Contohnya seperti kitab Sunan Abu Dawud [sebagaimana diisyaratkan di atas] dan Sunan Tirmidzi sebagaimana disyaratkan oleh penulisnya bahwa hadis-hadis di dalamnya diamalkan kecuali dua hadis [padahal ma’ruf Imam Tirmidzi sering mendhaifkan hadis-hadis dalam kitab Sunan-nya]. Jadi tercampurnya hadis shahih dan dhaif tidak membuat kitab tersebut tidak bisa dijadikan rujukan.

Lagipula kalau Al Kulainiy sekedar ingin memuaskan sang penanya maka apa perlunya Al Kulainiy membawakan dalam Al Kafiy riwayat-riwayat dari orang yang bukan para imam ahlul bait. Bukankah cukup dengan riwayat-riwayat dari para imam ahlul bait saja. Tentu kami tidak bisa memastikan alasan Al Kulainiy melakukannya karena berbicara berandai-andai dalam masalah ini jelas tidak ada gunanya.

Intinya syubhat tersebut bisa dijawab dengan berbagai kemungkinan dan maaf saja bagi yang merasa adanya syubhat tersebut bisa membatalkan fakta kitab Al Kafiy yang kami jelaskan di atas [yaitu tercampur hadis shahih dan dhaif di dalamnya] maka logikanya perlu diperiksa. Seseorang mungkin bingung menjelaskan fakta atau fenomena tertentu tetapi hanya orang bodoh yang menolak fakta karena ia bingung bagaimana menjelaskan fakta tersebut.

Hitam Di Balik Putih Hal 290

Perhatikan ucapan Amin Muchtar di atas, dari awal kami membaca buku Hitam Di Balik Putih kami sudah melihat apa yang diinginkan oleh si Amin Muchtar ini. Amin Muchtar ingin membenarkan tuduhannya atas mazhab Syi’ah dengan hanya menukil riwayat yang ada dalam kitab Al Kafiy. Diantaranya adalah riwayat tentang adanya tahrif Al Qur’an. Bukankah sangat lucu Amin Muchtar mengakui ada riwayat tentang tahrif Al Qur’an dalam kitab Al Kafiy bersikeras bahwa Al Kulainiy menshahihkannya kemudian di saat yang sama ia menukil perkataan Al Kulainiy bahwa riwayat yang menyalahi Al Qur’an itu harus ditolak dan yang bersesuai dengan Al Qur’an itu diambil. Apakah mungkin orang yang meyakini Al Qur’an sebagai pemutus bagi riwayat-riwayat yang bertentangan justru meyakini tahrif Al Qur’an.

Asumsi penulis Buku putih mazhab Syi’ah bahwa riwayat dalam Al Kafiy yang menunjukkan tahrif itu bertentangan dengan Al Qur’an menurut kaidah tarjih Al Kulainiy itu lebih masuk akal untuk dipahami. Jadi Al Kulainiy tidak meyakini keshahihan seluruh riwayat dalam kitab Al Kafiy maka tidak ada bukti bahwa riwayat tentang tahrif tersebut shahih di sisi Al Kulainiy kemudian dengan metode tarjih dari Al Kulainiy sendiri agar menjadikan Al Qur’an sebagai pemutus maka riwayat tentang tahrif itu tertolak dan tidak mungkin dikatakan shahih.

Bandingkan dengan sisi Amin Muchtar dimana Al Kulainiy menyatakan shahih semua riwayat dalam kitab Al Kafiy termasuk riwayat tentang tahrif Al Qur’an tetapi di saat yang sama Al Kulainiy menyatakan Al Qur’an sebagai pemutus bagi riwayat-riwayat yang bertentangan. Apa mungkin orang yang meyakini tahrif Al Qur’an malah menjadikan Al Qur’an sebagai pemutus?. Sungguh kacau sekali, apa gunanya Amin Muchtar menukil berbagai pujian terhadap Al Kulainiy jika ia sendiri malah mendudukkan Al Kulainiy seperti orang yang kurang akal. Orang Syi’ah yang berpegang pada Al Qur’an tidak akan mengatakan Al Qur’an mengalami tahrif sama halnya dengan orang Syi’ah yang berpegang pada para imam ahlul bait tidak akan mengatakan para imam ahlul bait tersesat.

Kesimpulan:
Pendapat yang rajih dalam perkara ini adalah Al Kulainiy tidak menshahihkan seluruh riwayat dalam kitab Al Kaafiy tetapi memang Al Kulainiy menegaskan bahwa dalam kitab Al Kaafiy terkandung riwayat-riwayat shahih yang dapat dijadikan pegangan dalam ilmu agama bagi mazhab Syi’ah. Al Kulainiy juga memasukkan dalam Al Kafiy riwayat yang tidak shahih dari para imam ahlul bait dan riwayat dari orang selain para imam ahlul bait. Dalam kitabnya Al Kafiy, Al Kulainiy memberikan kaidah tarjih sebagai panduan dalam menilai riwayat-riwayat yang bertentangan. Hal ini menguatkan fakta bahwa Al Kulainiy memasukkan riwayat shahih dan dhaif ke dalam kitabnya.

(Secondprince/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: