Ketika Eropa mulai kewalahan membendung banjir imigran dari Suriah, negara-negara Timur Tengah, terutama negara Teluk yang secara geografis dekat dan memiliki perekonomian kuat, seakan tak membuka katup perbatasannya untuk menampung para pengungsi.
Menurut seorang pengamat Timur Tengah dari The Middle East Insitute, Zuhairi Misrawi, salah satu alasan “keringnya” dataran negara-negara Arab dari banjir imigran adalah ketidaksiapan. (Baca: Mengapa Imigran ke Eropa, Bukan ke Timur Tengah?)
“Negara-negara di Arab itu jumlah penduduknya hanya sedikit. Mereka tidak siap menampung jumlah pengungsi hingga jutaan. Itu banyak, lho,” tutur Zuhairi kepada CNN Indonesia, Selasa (8/9).
Ketidaksiapan negara-negara Arab ini, menurut Zuhairi, memiliki sejarah panjang. “Sejak dulu, negara Arab memang tidak punya budaya menerima pengungsi. Dalam sejarah, mereka hanya pernah menerima pengungsi dari Palestina yang sampai jutaan,” kata Zuhairi.
Pengungsi Palestina rujukan Zuhairi adalah imigran yang tersingkir dari tanah mereka akibat pendudukan Israel pada 1948. Negara-negara Timur Tengah pun menjadi tujuan para pengungsi.
Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, 100 ribu warga Palestina mengungsi ke Libanon. Arab Saudi sendiri menampung 240 ribu warga Palestina tanpa hak untuk mengajukan kewarganegaraan. Sementara itu, di Suriah berdiri 10 kamp penampungan PBB berisi 499 ribu orang.
Setelah beranak pinak selama puluhan tahun, kini jumlah pengungsi resmi Palestina mencapai empat juta jiwa. Hanya sekitar 15 persen yang masih menetap di Arab Saudi, sementara sepertiga lainnya berdomisili di Tepi Barat dan Gaza.
Setelah konflik Palestina, salah satu gelombang pengungsi terbesar yang dibendung oleh negara-negara Timur Tengah adalah saat Perang Teluk di awal 1990-an. Kala itu, warga Kuwait lari dari konflik dengan Irak di bawah Saddam Hussein.
Akibat perang tersebut, sekitar tiga juta pengungsi Kuwait mencari tanah baru untuk menjadi rumah mereka. Sekitar 300 ribu pengungsi hijrah ke Yordania. Namun, Arab Saudi hanya menampung 37 ribu orang Kuwait yang mencari tempat berlindung.
Berselang beberapa tahun, perang kembali pecah ketika Amerika Serikat melancarkan serangan udara ke Irak pada Maret 2003.
Saat perang pecah, Yordania menampung sekitar 700 ribu pengungsi dengan perbandingan jumlah penduduk 6 juta. Sementara itu, Suriah membuka pintu negaranya bagi 1,2 juta pengungsi Irak, terhitung pada awal 2007.
Salah satu gelombang pengungsi Syiah Irak juga sampai ke Libanon. Pada 2007, Middle East Report melaporkan bahwa Libanon menampung lebih dari 40 ribu pengungsi dari Irak.
Para pengungsi pun rela menempuh perjalanan jauh menuju Mesir demi lari dari konflik. Peningkatan arus pengungsi pun meningkat drastis di Mesir.
Pada 2003, hanya terdaftar 800 pengungsi Irak di Mesir. Namun, pada 2006, terdapat sekitar 150 ribu pengungsi Irak di tanah Mesir.
Berbeda dengan pengungsi Suriah, kaum Syiah Irak lebih memilih Timur Tengah sebagai rumah kedua mereka. Merujuk pada data UNHCR, sejak 2007, sebanyak 203 ribu warga Irak memasuki Amerika Serikat. Sementara itu, Swedia menampung 18 ribu pengungsi, disusul dengan Australia dengan enam ribu orang.
Kini, saat gelombang pengungsi Suriah tumpah ruah, negara-negara Timur Tengah juga sebenarnya tidak sepenuhnya berdiam diri. Menurut Michael Stephens, analis dari Middle East Studies and Head of Rusi Qatar, aliran dana organisasi maupun sumbangan individu dari negara-negara Arab yang ditujukan bagi krisis Suriah bahkan mencapai angka sekitar US$900 juta.
Dikutip dari CNN, para pejabat Uni Emirat Arab misalnya, membela diri dengan mengatakan bahwa mereka telah menggelontorkan dana bantuan sebesar US$530 juta. UEA juga menekankan bahwa banyak warga Suriah yang masuk ke negara Teluk seperti UEA, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Bahrain, Oman, dengan visa lalu menetap.
Meski begitu, negara Arab tetap dihujani kritik karena tidak secara eksplisit menyatakan bahwa mereka ingin menampung para imigran yang melarikan diri dari kekacauan di negara mereka.
(CNN/Mahdi-News/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email