Tak bisa di sangkal bahwa Ali Bin Abi Thalib adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang mewarisi ilmu kenabian, ini di buktikan dengan adanya hadis " ana madinatul ilmi wa ali babuha".
Nabi adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.maka karena itu jika ingin mengetahui ilmu maka masuklah melalui pintunya. Banyak yang menolak hadis ini dengan berbagai alasan yang tak masuk akal, akan tetapi walau bagaimanapun mereka yang berusaha melenyapkan fakta hadis ini dengan mengerahkan seluruh kekuatannya maka akan di pastikan tak akan bisa sebab apa yang di sebut kebenaran akan tetap menjadi kebenaran selama-lamanya. Dengan hadis ini pulah yang membuktikan akan kebenaran ke intelektualan kaum syi'ah , karena hanya kaum syi'ah lah yang secara konsisten meyakini hadis ini sehingga membuat kaum syi'ah masuk ke kota ilmu dengan melalui pintunya, yaitu Ali. Dan mereka yang menolak untuk masuk ke kota ilmu melalui pintu kota ilmu tersebut sudah di pastikan berda pada kebodohan yang sempurnah. Mari kita lihat dan menyimak tulisan berikut bagaimana tilisan ini mengulasnya.
CIRI CIRI DARI PEMBODOHAN ADALAH PENOLAKAN TERHADAP SYI’AH IMAMIYAH (YANG MENGAJARKAN LOGIKA DAN RASIONALITAS DALAM BERBAGAI CABANG ILMU) , SEHINGGA UMAT SUNNI KEHILANGAN KEMAMPUAN BERKOMPETISI DAN BERSAING DI ERA GLOBALISASI
Seekor beruang menjaga tuannya yang sedang tidur
Lalu muncul lalat
Beruang menghalau lalat
Tetapi si lalat bandel pergi sebentar setiap kali diusir lalu datang lagi..
Beruang jengkel…
Diambilnya batu besar lalu sekuat tenaga dilempar kearah lalat…
Lalat mati, sang tuan yang tertidur juga mati
Para pembaca…
Sebagian besar kitab kitab tauhid yang yang dikaji di Indonesia pada umumnya hanya membahas tentang zat, sifat dan af’al ALLAH saja…
Baik di Indonesia maupun di Timur Tengah calon calon kiai Asy’ariyyah hanya belajar menghapal, mereka hanya mendalami buku buku klasik yang secara berangkai di syarah lagi… Tulisan tulisan jarang menampilkan pemikiran orisinil, tetapi hanya mengulang ulang dari produksi yang sudah ada
Kemerdekaan, otoritas dan keabsahan akal dalam pandangan syi’ah lebih besar ketimbang dalam pandangan mu’tazilah. Dalam fikih syi’ah akal dianggap salah satu sumber hukum yang sah
Asy’ariyyah merugikan dunia islam karena melemahkan semangat berpikir (kekuatan stagnasi) yang suka taklid buta pada kitab kuning dan ustad ustadnya…
Syi’ah tidak bermaksud mendukung akidah mu’tazilah yang banyak kelemahan ! Namun yang patut diapresiasi dari mu’tazilah adalah pendekatan rasional atau kemerdekaan berpikirnya untuk memecahkan masalah.
Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al Farabi dll adalah filosof sekaligus ilmuwan alam yang diakui dunia BARAT… Paham tasawuf imam AL GHAZALi menghancurkan filsafat lalu menyeret umat islam sunni kealam mistik kasyaf… Iran dengan paham syi’ah tetap mengembangkan filsafat sehingga tidak terbelakang seperti sunni
Ciri ciri dari pembodohan adalah penolakan terhadap syi’ah imamiyah (yang mengajarkan logika dan rasionalitas dalam berbagai cabang ilmu) , sehingga umat sunni kehilangan kemampuan berkompetisi dan bersaing di era globalisasi.
Ciri ciri dari pembodohan adalah penolakan terhadap syi’ah imamiyah, karena itu sama saja dengan membuang rasionalitas dari khazanah intelektual muslim
Penafsiran dari pihak ulama sunni perlu ditinjau dan dinilai kembali jika masih berupa hasil olah pikir dan ijtihad. Jangan taklid pada yang bukan kemutlakan karena pintu ijtihad selalu terbuka pada sesuatu hal yang dapat dipertanyakan, missal : tentang imamah dan keadilan sahabat !
Asy’ari mantan mu’tazilah..
Lalu dia dan pengikutnya membabat habis mu’tazilah seolah olah mu’tazilah tidak ada jasa apa apa bagi rasionalisme islam…
Setelah mu’tazilah roboh, mereka gagal memimpin rasionalisme islam !
wow ! memalukan
Patut kita sadari bersama bahwa sejarah merupakan dokumen penting yang dapat kita jadikan sandaran dalam menganalisis fenomena dan persoalan yang datang di hari kemudian. Eksistensi Islam dengan berbagai dinamika budaya, peradaban dan pemikirannya, tidak lepas dari apa yang sering kita sebut dengan sejarah. Mu’tazilah adalah salah satu bagian dari sejarah Islam yang sering mendapat sorotan, baik dari kalangan intelektual Islam maupun umat Islam secara umum. Berbagai keunikan dan kekhasan mazhab ini menjadi bahan perbincangan di tengah khalayak umat Islam. Namun yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sejarah pertumbuhan Mu’tazilah dan Ilmu Kalamnya? Kemudian Apa yang menyebabkan terjadinya tragedi mihna?
Pertumbuhan Ilmu Kalam
Sama halnya dengan disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin-disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan ‘Utsman Ibn ‘Aff’an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Sebelum pembahasan tentang proses pertumbuhan Ilmu Kalam ini dilanjutkan, dirasa perlu menyisipkan sedikit keterangan tentang Ilmu Kalam (‘Ilm al-Kalam), dan akan lebih memperjelas sejarah pertumbuhannya itu sendiri. Secara harfiah, kata-kata Arab kalam, berarti “pembicaraan”. Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti “pembicaraan”, tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq (‘Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab “manthiqi” berarti “logis”.
Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat’h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.
ALIRAN MU’TAZILAH PELOPOR RASIONALISME ISLAM
Mu’tazilah merupakan suatu aliran Rasionalisme Islam. Dilihat dari segi kemunculannya dalam sejarah, terdapat dua versi Mu’tazilah, yaitu Mu’tazilah Pertama dan Mu’tazilah Kedua. Mu’tazilah Peertama muncul pada pertengahan abad ke-7 Masehi, sedangkan Mu’tazilah Kedua lahir satu abad kemudian. Mu’tazilah Pertama bercorak politik, sedangkan Mu’tazilah Kedua, selain bersifat politik juga memasukkan unsur persoalan teologi dan filsafat ke dalam ajaran-ajaran mereka. Aliran Mu’tazilah mengalami kejayaan semasa Kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh al-Ma’mun, al-Mu;tazim dan al-Watsig. Mu’tazilah telah menyumbangkan banyak jasa terhadap dunia Islam, terutama di bidang teologi dan cara-cara berfikir sistematis. Namun, aliran Mu’tazilah akhirnya mengalami keruntuhan, dan tidak ada wujudnya lagi kecuali dalam sejarah. Akhir-akhir ini, muncul kembali di kalangan dunia Islam,. yang disebut Neo-Mu’tazilah.
Jasa kaum Mu’tazilah terhadap filsafat Islam yang datang kemudian juga besar, karena aliran Mu’tazilah adfalah orang-orang Islam yang pertama membuka pintu filsafat, menterjemahkan buku-bukunya serta meratakan jalan bagi orang-orang yang datang kemudian. Adapun pengaruh Mu’tazilah terhadap filsafat dapat dikemukakan sebagai berikut :
Usaha pemaduan agama dan filsafat
Usaha pemaduan agama dengan filsafat dan mengambil jalan tengah merupakan rintisan dan karya pikiran yang penting dari aliran Mu’tazilah, dan yang diwariskan kepada orang-orang yang datang sesudahnya.
Penghargaan terhadap kemampuan akal
Karena orang-orang Mu’tazilah asyik mempelajari filsafat dan banyak pula terpengaruh oleh pikiran-pikirannya, maka mereka percaya akan kekuatan dan kesanggupan otak manusia untuk dapat mengetahui segala sesuatu dan memperbandingkannya satu sama lain.
Teori tentang Metafisika
Dalam bidang Metafisika antara lain :
a. Asal kejadian alam
b. Jauhard fard (Atoom)
Adapun pengaruh Mu’tazilah terhadap bidang politik dan peradaban Islam dapat dikemukakan sebagai berikut :
Sebagai dimaklumi bahwa Mu’tazilah adalah merupakan gerakan keagamaan yang telah banyak membahas prinsip-prinsip keagamaan. Disamping itu juga membahas beberapa peristiwa politik dengan pembahasan yang bersifat keagamaan. Pendapat mereka tentang politik ini menunjukkan corak kebebasan dan keberanian mereka dalam berpikir, menganalisa dan mengeritik. Mereka tidak segan-segan mengeritik sahabat Nabi dan Tabiin, memuji atau mencelanya, membenarkan atau menyalahkan. Keberanian aliran Mu’tazilah mengemukakan pendapat dan tidak menyerang kepada penguasa menyebabkan pendapatnya berkembang meluas, bahkan Khalifah Al Muktasim dan Al Watsik merupakan penyebar aliran ini.
Orang-orang Mu’tazilah terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik. Pemakaian dan kepercayaan kepada rasio ini dibawa oleh Mu’tazilah ke dalam teologi Islam/Ilmu Kalam, dengan demikian teologi mereka mengambil corak liberal, dalam arti bahwa sungguhpun mereka banyak menggunakan rasio, tetapi tidak meninggalkan wahyu.
Teologi mereka yang bersifat rasionil itu begitu menarik bagi kaum intelegensia yang terdapat pada lingkuingan pemerintahan kerajaan Islam Abbasiyah dipermulaan abad ke 9 Masehi. Sehingga Khalifah AL Makmun, putra dari Khalifah Harun Al Rosyid di tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai madzhab yang resmi dianut negara dan masyarakat.
Karena telah menjadi aliran resmi dari pemerintah, kaum Mu’tazilah mulai bersikap dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka secara paksa, terutama faham mereka bahwa Al Qur’an bersifat mahluk dalam arti diciptakan dan bukan bersifat qadim dalam arti kekal dan tidak diciptakan.
Ketika Al Mutawakkil menjadi khalifah (232 H-486M), beliau membatasi persengketaan tentang pecahnya kaum muslimin menjadi dua golongan, yaitu golongan yang memuja akal pikiran dan menundukkan nash-nash agama kepada ketentuannya (kaum Mu’tazilah) dan golongan lain yang masih berpegang teguh kepada bunyi nash-nash Al Qur’an dan Hadits semata dan menganggap tiap yang baru itu bid’ah dan kafir, untuk mengembalikan kekuasaan golongan yang mempercayai keaslian Al Qur’an. Sejak saat itu aliran Mu’tazilah mengalami tekanan berat.
Pada waktu Mahmud Ghaznawi (361-421 H) seorang Sunni pengikut madzhab Syafii berkuasa dan memasuki kota Rai (Iran) pada tahun 393 H, beratus-ratus buku perpustakaan di kota itu dibakarnya. Sejak itulah aliran Mu’tazilah yang dahulunya kuat berangsur-angsur menjadi lemah dan mengalami kemunduran, dan kegiatan orang-orang Mu’tazilah baru hilangsama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongolia atas dunia Islam.[Drs. H. M. Muhaimin, Ilmu Kalam, Sejarah dan Aliran-alirannya, IAIN Walisongo, 1999 hal 87-93]
membawa kaum Mu’tazilah kepada penggunaan bahan-bahan Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma’mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.
Khalifah al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu’tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma’mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara. Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara kaum Hadits (dalam arti Sunnah, dan harap diperhatikan perbedaan antara kata-kata hadits [a dengan topi] dan hadits [i dengan topi]) berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri. Pemenjaraan Ahmad ibn Hanbal adalah karena masalah ini.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma’mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.”
Peristiwa mihna sangat menggoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah al Mutawakkil (memerintah 847-861), menggantikan al Wasiq (memerintahkan 842-847 M). Di masa al Mutawakkil dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan semakin menjadi tidak simpatik di mata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan menggantinya dengaan aliran Asy’ariyah.
Dalam perjalanan selanjutnya, kaum Mu’tazilah muncul kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaih di Bagdad. Akan tetapi kesempatan ini tidak lama karena Bani Buwaih segera digulingkan oleh Bani Saljuk yang memimpinnya cenderung pada Asy’ariyah, terutama sejak pemerintahan Alp Arslan dengan Perdana Menteri Nizam Al Mulk.
Selama berabad-abad kemudian, Mu’tazilah tersisih dari panggung sejarah, tergeser oleh aliran Ahlusunah Wal Jama’ah. Di antara yang mempercepat hilangnya aliran ini ialah buku-buku mereka tidak lagi dibaca dan dipelajari di perguruan-perguruan Islam. Sebaliknya pengetahuan tentang paham-paham mereka hanya di dapati pada buku-buku lawannya, seperti buku yang ditulis Asy’ariah, namun sejak awal abad 20 berbagai karya Mu’tazilah ditemukan kembali dan dipelajari diberbagai perguruan Islam, seperti Al Azhar. Dengan demikian pandangan terhadap Mu’tazilah menjadi lebih jernih dan segi-segi positif dan ajarannya serta sumbangannya terhadap kepentingan Islam mulai diketahui.
Penutup
Kalau kita runut ke belakang pertumbuhan Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar yaitu terbunuhnya khlaifah Utsman bin Afan. Peristiwa tersebut merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan.
Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat’h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi).
Untuk keperluan penalaran logis (rasionalitas) itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula membuat penalaran logis atas orang-orang yang membunuh ‘Utsman -yang dianggap telah melakukan dosa besar- atau menyetujui pembunuhan itu. Perdebatan tentang hokum pelaku dosa besar tersebut terjadi di forum pengajian Hasan al Bashri di mana muridnya Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal mempunyai pandangan lain dengan gurunya itu. Kemudian ia memisahkan diri dari forum itu. Dan dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh ‘Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.
Pada waktu selanjutnya Mu’tazilah menjadi mazhab besar ketia al Ma’mun dari bani Abasiyyah berkuasa. Mu’tazilah penganut paham rasionalitas yang notabene se-ide dengan penguasa waktu itu dijadikan mazhab resmi negara. Pada masa itu terjadi perdebatan yang sengit antara aliran Jabariyah (Asy’ariyah) dan aliran Qadariyah (Mu’tazilah) tentang paham Khalq al Qur’an, al Ma’mun sebagai penganut aliran Qadariyah berpendapat bahwa al Qur’aan adalah makhluk. Mulai dari sinilah tragedi mihna (inquisition) muncul.
Finaly, demikian uraian yang dapat penulis sampaikan, saran kritik yang konstruktif dari semua pihak sangat penulis harapkan. Wallauhua’lam.
Billahittaufiq wal hidayah,
Daftar Pustaka:
1. Asy Syihristani, Al Milal wan Nihal, (Libanon Bairut : Dar al Fikr).
2. Asy Syaikh Shalih al Fauzan, Lamhah ‘Anil Firaq Adh Dhallah, Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta : UI Press, 1986).
3. Imam Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Jakarta : Logos, 1996).
4. Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979).
5. Mudzaffaruddin Nadvi, Pemikiran Muslim dan Sumbernya, (Bandung : Pustaka, 1984).
6. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina , 2000).
7. Ricard C. Martin, dkk, Post Mu’tazilah, (Yogyakarta : Ircisod, 2002).
(Syiahali/Tour-Mazhab/berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email