Pesan Rahbar

Home » , » Ayatullah Jawadi Amuli: Bagaimana Tuhan Meluaskan Hakikat Manusia?

Ayatullah Jawadi Amuli: Bagaimana Tuhan Meluaskan Hakikat Manusia?

Written By Unknown on Wednesday, 15 June 2016 | 10:17:00


Dalam al-Quran diisyaratkan,“Ingatlah Aku sehingga Saya menambahkan kalian,” karena itu Allah Swt berfirman, “Jika kalian bersyukur Aku niscaya menambahkan kalian.” Tuhan tidak berfirman, “Aku niscaya menambahkan nikmat kalian,” melainkan Dia berfirman, “Aku akan menambahkan (meluaskan hakikat dan menyempurnakan zat) kalian,” di sini yang disebut adalah ‘kalian’, bukan ‘nikmat-nikmat kalian’.

KBS melaporkan, Ayatullah Jawadi Amuli di dalam pelajaran tafsirnya ayat 11 hingga 18 surah Zumar mengatakan, “Kewajiban kita dalam mempelajari al-Quran dan hikmah adalah berusaha menguasai prinsip-prinsip dan cabang-cabang Islam, akhlak, dan hukum-hukum Ilahi dengan penuh keihklasan dan berharap penuh terhadap rahmat khusus. Kita tidak diperintahkan menjauhi pelajaran dan penelitian dengan harapan menunggu rahmat gaib. Apa yang diperintahkan kepada kita, “Menuntut ilmu adalah kewajiban”. Sangat mungkin di antara beberapa juta orang, ada satu orang yang mendapatkan rahmat khusus dan gaib Ilahi seperti orang yang hafal seluruh al-Quran dengan tanpa berilmu.”

Dia menambahkan, “Menuntut ilmu sangat ditekankan dan dibutuhkan sedemikian sehingga tidak dikatakan di dalam agama ‘thalabul ‘ilm faridhun’ (menuntut ilmu adalah wajib), melainkan diuangkapkan ‘thalabul ‘ilm faridhatun’ (menuntut ilmu adalah sangat wajib). Faridhatun (kewajiban, keharusan, kemestian) adalah kata yang memiliki tekanan makna yang sangat berlebihan (mubalaghah) dari faridhun. Di dalam hadis juga diuraikan tentang ilmu apa yang dimaksud. Kulaini di dalam satu hadi menukil dari Rasulullah saw dan Imam Shadiq as, “Sesungguhnya ilmu itu terbagi tiga: ayat yang jelas (ayatun muhkamatun), kewajiban yang adil (faridhatun ‘adilatun), dan sunnah yang tegak (sunnatun qaimatun). Dan apa yang selain ini adalah sesuatu yang lebih.” Ilmu-ilmu lain juga berada dalam cakupan tiga prinsip ini.

Penafsir al-Quran ini mengungkapkan, “Tuhan menjelaskan tentang ‘perkataan yang paling baik’ itu di dalam tiga ayat. Di dalam ayat 18 surah Zumar difirmankan, “Dengarkanlah perkataan yang paling baik.” Ayat lain yang mengungkapkan, “Perkataan yang paling baik adalah suatu perkataan yang mengajak dan menyeru manusia kepada tauhid.” Sementara di ayat lain Tuhan menegaskan tentang orang-orang yang memiliki perkataan yang paling baik, Dia berfirman, “Katakan inilah jalanku, ajaklah kepada Allah Swt dengan bashirah, saya dan orang yang mengikutiku.” Perkataan orang-orang yang mengajak dan mengarahkan manusia kepada tauhid adalah perkataan para nabi dan imam suci Ahlulbait. Oleh karena itu, mereka adalah pemilik perkataan yang paling baik.”

Dia menegaskan, “Perkataan bukan lawan perbuatan, dikatakan bahwa perkataan adalah metode, cara, dan sirah. Oleh karena itu, berdasarkan apa yang ada di dalam ayat 18 surah Qaf, “Tiada kata yang terucap melainkan di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” Perkataan termasuk perbuatan, karena jika hanya kata dan ucapan yang ditulis, maka bagaimana dengan perbuatan? Perkataan ini adalah indikator dan petunjuk sirah manusia. Apakah perkataan itu? Perkataan mencakup sirah, sunnah, metode, cara, tabiat, dan watak. Di sini juga meliputi firman-Nya, “Mereka yang mendengar perkataan.” Oleh karena itu, yang dimaksud bukan mengikuti semata perkataan yang baik, melainkan ketika dikatakan, perkataannya baik, berarti ucapan, pikiran, perilaku, sirah, dan wataknya adalah baik.

“Al-Quran menjelaskan tentang perdagangan yang untung dan mengatakan tentang perdagangan sebagian orang, “Mereka berharap perdagangan yang sama sekali tidak rugi.” Dan juga mengatakan tentang perdagangan sebagian yang lain, “Perdagangan mereka tidak merugi.” Terkait dengan perdagangan ini, Imam Hadi as bersabda, “Dunia adalah pasar, sebagian beruntung di dalamnya dan sebagian yang lain merugi.” Manusia niscaya berdagang, merugi yakni modal dan keuntungan jatuh ke pihak lain atau beruntung yakni modal dan keuntungan diperoleh. Jika dia berdagang dengan Allah Swt maka niscaya dia mendapatkan keduanya, karena Dia tidak menginginkan jiwa dan harta kita, melainkan Dia mengambilnya untuk menyempurnakannya dan memberikan kembali kepada manusia. Namun jika dia berdagang dengan setan maka dia akan mengambil seluruh modal dan keuntungannya. Dengan demikian, Iblis akan menunggangi manusia dan memegang kuat kendali manusia serta mengarahkannya sesuai dengan keinginannya,” kata Ayatullah Jawadi Amuli.

Dia menambahkan, “Tentunya rahmat dan keutamaan Ilahi meliputi manusia dan al-Quran mengajak untuk menyempurnakan hakikat kita dan menyerunya untuk memahami teks al-Quran sebatas kemampuan yang dimiliki, “Ingatlah kalian nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepada kalian.” Ingatlah nikmat-nikmat Tuhan dan ketahuilah dari mana berasal serta di mana digunakannya sehingga Dia niscaya menambahkannya. Terkadang Dia berfirman, “Ingatlah Aku sehingga Saya menambahkan hakikat kalian,” karena itu Dia berfirman, “Jika kalian tidak bersyukur maka Aku tidak menambahkan kalian.” Ketika demikian halnya, jika seorang telah berilmu dan yang berilmu menjadi semakin berilmu, dan jika ilmunya adalah hudhuri maka akan diberikan ilmu syuhudi. Jalan ini terbuka, namun kita hanya menunggu ilmu ini sementara itu bukan kewajiban kita. Dengan model perdagangan seperti ini, kita nicaya mendapat keuntungan di dunia ini.

(KBS/Shabestan/Berbagai-Sumber/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: