Pesan Rahbar

Home » » Kata Ali Fauzi, Adik Amrozi: Bom Kampung Melayu Amatir, Tidak Jauh-jauh Dari ISIS

Kata Ali Fauzi, Adik Amrozi: Bom Kampung Melayu Amatir, Tidak Jauh-jauh Dari ISIS

Written By Unknown on Thursday 25 May 2017 | 12:14:00


Manchester, Marawi (Filipina), lalu Jakarta. Tiga aksi terorisme sambung-menyambung dalam dua hari terakhir. Apakah mereka saling terkait? Belum tentu Tapi, minimal, peristiwa yang satu menginspirasi yang lain.

Ali Fauzi, mantan kombatan, mengungkapkan, dulu ketika masih jadi ikhwan jihadi, dirinya selalu terkesima tiap mendengar adanya serangan yang dilakukan orang lain dari golongannya. “Ada perasaan malu yang khusus sehingga bertekad melakukan amaliah secepat mungkin,” kata adik Amrozi dan Ali Imron, dua terpidana mati kasus bom Bali, itu.

Karena itu, lanjut Ali, bom di Manchester dan penyerangan di Marawi bisa jadi merupakan inspirasi bagi pelaku bom Kampung Melayu, Jakarta. Menurut dia, pelaku peledakan bom di Kampung Melayu bisa dikategorikan masih amatir. Sebab, jelas mantan instruktur kamp ikhwan jihadi di Filipina Selatan tersebut, bom yang dihasilkan tidak beda jauh dengan peristiwa lain di Indonesia empat tahun terakhir.

“Berdaya ledak rendah, penyusunan yang tidak benar, dan jelas pelakunya belum mempunyai kemampuan yang baik,” terang pria yang kini menjadi ketua Yayasan Lingkar Perdamaian itu.

Ali Fauzi mengatakan, bom yang meledak di Jakarta tadi malam sangat buruk. “Bahkan, mungkin tidak ada detonatornya itu,” ucapnya. Malah, mungkin saja itu hanya petasan besar yang kemudian dililiti potongan besi kecil-kecil sebagai peluru (shrapnel).

Ketika ditanya siapa yang mungkin jadi pelakunya, Ali hanya mengangkat bahu. Namun, dia menyebut pasti tidak jauh-jauh dari jaringan kelompok Santoso cs atau Bahrun Naim. “Serangan dalam empat tahun terakhir itu nyaris sama semuanya,” kata Ali. Lebih cenderung nekat dan konyol, tapi semangat jihadnya sangat tinggi. “Atau bisa juga lone wolf,” imbuhnya merujuk pada satu individu yang belajar bom sendirian dan kemudian melaksanakan aksi secara sendirian pula.

Meskipun kemampuan secara teknis sangat payah, tutur Ali, hal itu harus sangat diwaspadai. “Yang berbahaya justru semangatnya,” ingat dia. Menurut Ali, semangat beragama yang serampangan merupakan ladang subur bagi terorisme. “Jika kondisi masyarakat seperti ini saat saya masih di dunia ikhwan jihadi, maka sangat enak melakukan perekrutan.”

Kemudian, soal penyerbuan kelompok bersenjata ke Marawi, bagi Ali itu bukan hal yang mengejutkan. Itu menunjukkan se-buah klimaks dari banyak hal. “Yang pertama harus diingat, Mindanao itu penuh dengan kelompok bersenjata,” katanya.

Dari catatan Jawa Pos, setidaknya ada empat kelompok bersenjata yang paling dominan di sana. Yang pertama dan terbesar adalah MILF (Moro Islamic Liberation Front) bentukan almarhum Ustad Hashim Salamat. Yang kedua adalah MNLF (Moro National Liberation Front) yang masih dipimpin jagoan gaek Nur Misuari. MNLF pernah menyandera Kota Zamboanga beberapa tahun lalu dan kini masih bersembunyi di kawasan hutan di Sulu.

Yang ketiga adalah Abu Sayyaf. Kelompok tersebut lebih berkiblat sebagai kelompok jihad global. Yang terakhir dan yang makin kecil adalah NPA (New People’s Army), sayap militer kelompok komunis.

Dalam tujuh tahun terakhir, anggota empat kelompok itu bergerak dinamis. Meski awalnya mesra, lalu pecah dan secara resmi masih berperang, anggota dua kelompok tersebut (MILF dan MNLF) makin cair. “Jadi, di lapangan, yang bawahan ini saling menjalin persahabatan. Terutama jika bertemu dalam kepentingan,” papar pentolan Jamaah Islamiyyah itu.

Dari informasi yang terakhir didengarnya, MILF pun terpecah. Terutama setelah MILF resmi berdamai dengan pemerintah Filipina untuk membentuk otonomi daerah. “Ada sejumlah faksi yang menyatakan perdamaian itu sama saja dengan kekalahan.”

Faksi-faksi itulah yang kemudian bergabung dengan kelompok militan Abu Sayyaf. Gabungan dua kekuatan itulah yang kemudian menjadi pelaku penyerbuan Marawi. “Memang metodenya seperti ISIS. Tapi, jangan cepat-cepat disimpulkan itu ISIS,” tutur Ali Fauzi.

Soal banyaknya bendera hitam-hitam dengan lafaz tauhid, Ali mengatakan bahwa sejak dulu bendera semacam itu sudah ada. “Sejak saya masih di sana lebih dari sepuluh tahun lalu,” ucapnya.

Soal kabar mengenai kelompok Maute, Ali mengatakan, soal nama itu bisa apa saja. “Tapi, kelompok ini mendapat anggota dari mana? Ya dari MILF dan Abu Sayyaf. Sebab, hanya itu yang punya kemampuan kombatan bagus.”

Itulah yang kemudian menjelaskan mengapa peristiwa tersebut terjadi di Marawi, sebuah kota yang sebenarnya merupakan basis MILF. Jawa Pos pada 2009 pernah singgah ke Marawi dan tinggal di sana dua hari. Ketika itu Marawi adalah kota terakhir yang menjadi checkpoint sebelum masuk ke Kamp Bushra, kamp pelatihan militer terbesar MILF yang berada di tengah hutan di puncak gunung. Dibutuhkan waktu lebih dari sepuluh jam untuk menembus hutan dari sebuah jalan kecil di pinggiran Kota Marawi.

Karakter orang Marawi sendiri sebenarnya halus-halus. Juga moderat. Ketika itu hampir tidak pernah terjadi kekerasan bersenjata di kota tersebut. Di sana juga banyak semacam pondok pesantren. Meski banyak warganya yang simpatisan MILF, kota itu tak pernah menjadi ajang pertempuran.

Ali Fauzi menganalisis, justru karena situasi warganya yang seperti itu, Marawi menjadi pilihan strategis untuk diserbu. “Sebenarnya ada daerah yang lebih panas lagi. Seperti di Cotabato City ataupun di Zamboanga. Namun, militer juga ketat di sana,” paparnya.

Apalagi, kata Ali, ada situasi yang memicu militansi kelompok tersebut. “Yang saya dengar, ada konflik antara pemerintah dan tokoh di sana.”

(Jawa-Pos/Gerilya-Politik/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: