”Suriah juga menerima para pengungsi Palestina dan disediakan kampung Yarmouk untuk para pengungsi, dan Suriah menerima relawan untuk berjihad di Palestina”
Resensi- Buku ini membahas secara khusus bagaimana AS dan Israel menggunakan kebijakannya di Timur Tengah untuk mencapai ambisinya. Konflik yang terjadi di Suriah sebenarnya sudah direncanakan dari dulu sejak masa Bill Clinton kemudian pada masa George W. Bush setelah dia berhasil membumi hanguskan Afganistan dan Irak, maka negara selanjutnya ialah Iran dan Suriah.
AS mulai membenci Iran ketika Washington gagal ketika mereka berupaya mengisolasi Iran, antara lain dengan memberlakukan undang-undang anti Iran dan Libya (ILSA, Iran-Libya Sanction Act) serta meyebarluaskan kampanye disinformasi secara terus menerus bahwa negara Iran itu tergolong pendukung gerakan terorisme internasional.
Tapi, kesediaan para degelasi dari 55 negara termasuk 27 presiden; tiga raja; serta sejumlah perdana menteri, putra mahkota, wakil presiden dan para pejabat tinggi lainnya untuk menghadiri KTT (Konfrensi Tingkat Tinggi) OKI di Teheran, awal Desember 1997 menjadi bukti kegagalan para pengambil kebijakan luar negeri AS yang mengira bahwa dengan berbagai kebijakan disinformasinya gedung putih telah berhasil mengisolasi Iran. Belum lagi dengan membaiknya hubungan Iran-Uni Eropa yang sempat merenggang sejak maret 1997. (Hal: 142-143)
Bisa kita tarik kesimpulan bahwa sejak Imam Khomeini berhasil menurunkan Syah Reza Pahlevi dan berhasil ber-reformasi maka disitulah AS mulai membenci Iran dan menyebarkan fitnah tentang Iran karena kita ketahui bahwa Pahlevi sangat dekat hubungannya dengan AS.
Bisa kita lihat juga kenapa Iran sangat dibenci karena mereka gagal menumbangkan Iran dengan undang-undang anti Iran-Libya. Jika kita hubungkan terbunuhnya Muammar Khadafi tak lain karena sudah direncanakan sejak dahulu untuk membombardir Libya.
Suriah mulai dijadikan target ketika Suriah bertekad akan mendukung Irak jika AS menginvasi Irak. Padahal sebelumnya Suriah terlibat konflik politik dengan Sadam Hussein dan karenanya Damaskus berpihak kepada Iran.
Peranan Hafiz Al-Asad
“No war without Egypt, no peace without Syria” ini ialah salah satu pepatah yang sangat terkenal di Timur Tengah. Maksudnya ialah tak akan ada perang (Arab-Israel) tanpa keterlibatan Mesir, dan tak akan ada perdamaian tanpa keterlibatan Suriah.
Pepatah ini muncul karena kita ketahui bahwa militer yang paling meningkat pesat di Timur Tengah ialah Mesir, bagaimana Mesir mampu menghadapi Israel sehingga bukit Sinai kembali kepangkuan Mesir. Kita juga bisa saksikan bahwa Suriah satu-satunya negara yang tidak pernah tunduk atas kebijakan AS di Timur Tengah apalagi mengenai permasalahan Palestina, Suriah tidak pernah ingin berdamai dengan Israel selagi Israel tidak meninggalkan Timur Tengah dan mengembalikan hak bangsa Palestina.
Suriah juga menerima para pengungsi Palestina dan disediakan kampung Yarmouk untuk para pengungsi, dan Suriah menerima relawan untuk berjihad di Palestina. Suriah ialah tempat strategis untuk menyerang Israel dan tempat para relawan masuk ke Palestina. Itulah sebabnya kendati Israel sudah berdamai dengan Mesir, Yordania, dan Palestina, namun dianggap belum cukup selama belum ada perdamaian dengan Suriah.
Memang selama tiga dekade di bawah Hafiz Al-Asad, Suriah menjadi satu-satunya negara garis depan yang paling sulit diajak kompromi oleh Israel. Oleh sebab itu, proses perdamaian Arab-Israel terlihat mengalami stagnasi. Asad yang dijuluki sebaga “Lion Of Damascus” wafat pada juni 2000. (Hal: 219)
Terhadap gagasan perdamaian Timur Tengah, Asad tidak beranjak dari prinsip lima “Tidak” yang dianut Arab pra 1979, yaitu:
1. Tidak ada perundingan dengan Israel sebelum negara Yahudi ini menarik mundur seluruh pasukannya dari wilayah-wilayah yang diduduki.
2. Tidak ada perundingan langsung (Face To Face) dengan Israel.
3. Tidak ada solusi secara parsial.
4. Tidak ada kesepakatan secara terpisah.
5. dan tidak menerima perjanjian damai secara formal.
Asad kemudian menambah tidak yang keenam yaitu tidak ada pemecahan konflik Suriah-Israel sebelum bangsa Palestina mendapatkan hak-hak sah mereka.
Itulah sebabnya ketika Mesir kemudian meneken perjanjian damai Israel dan AS di Camp David (1979) Asad termasuk yang terdepan menentangnya. Begitu pula ketika tercapainya pedamaian Palestina-Israel (Oslo 1993) dan Yordania-Israel(1994). Asad menuding para pemuka Arab yang berdamai dengan Israel sebagai pengkhianat. (Hal: 220)
Presiden AS Bill Clinton misalnya dalam KTT AS-Suriah Geneva, maret 2000 tidak berhasil melunakkan Asad agar menerima tawaran damai dari Israel. Waktu PM Israel Ehud Barak menawarkan diadakannya negosiasi dengan Asad sebelum Israel mundur dari dataran tinggi Golan dan Lebanon Selatan. Namun, Asad sama sekali tidak bergeming dari tuntutannya agar semua pasukan Israel ditarik dari setiap inci tanah Golan dan Lebanon Selatan, setelah itu baru membahas soal perdamaian. (Hal:221)
Itulah sebabnya Israel tidak akan hidup damai jika Suriah masih ada. Sehingga betul kata TIm MER-C (baca: disini) Indonesia ketika diwawancarai bahwa jika Israel ingin menguasai Palestina maka mereka harus menguasai Suriah, sehingga AS sebagai sekutu Israel mendukung dan mendanai para takfiri di Suriah demi membuat pemerintah boneka AS disana.
Asad sudah tiada, anaknya Bashar Al-Asad muncul sebagai penggantinya. Semula Asad senior berharap adiknya Rifaat yang akan mengantikannya tapi karena Rifaat tidak sabar ia pun tersingkir. Kemudian Asad mencoba mengorbitkan putra sulungnya Basil Al-Asad namun ia keburu tewas akibat kecelakaan pada 1994. (Hal:221)
“Pada 1979 Imam Khomeini mengatakan, “Semua masalah kaum Muslimin berasal dari Amerika. Adalah Amerika yang telah memperkuat Zionisme dan terus melakukan itu, dan yang membunuh saudara-saudara kita, kelompok demi kelompok”
Menurut Imam Khomeini kegagalan pendekatan “nasionalisme Arab” atau “Pan-Arabisme” dalam membebaskan Palestina, disebabkan karena pendekatan itu tidak beradasarkan pada ajaran agama Islam. Oleh sebab itu, perjuangan membebaskan wilayah Palestina yang diduduki rezim Zionis (Israel) hanya akan berhahasil jika dilaksanakan atas dasar persatuan seluruh umat dan negara Islam. (Hal: 372)
Jika pada 2003 Mahathir menyinggung tentang ketidakberdayaan satu milyar umat Islam menghadapi kesombongan kaum Zionis yang jumlahnya tak lebih dari sepersepuluhnya, maka hal serupa sudah dikatakan Imam Khomeini pada 1981: “Tidaklah ini memalukan kaum Muslimin dan negara-negara Islam bahwa Amerika, yang berada di bagian lain bumi ini dapat mengatur nasib mereka dan melalui kaum kafir perampas, Israel, dapat menjerat dan meruntuhkan mereka semua”. (Hal: 372-373)
Pada 1979 Imam Khomeini mengatakan, “Semua masalah kaum Muslimin berasal dari Amerika. Adalah Amerika yang telah memperkuat Zionisme dan terus melakukan itu, dan yang membunuh saudara-saudara kita, kelompok demi kelompok”. (Hal: 373)
Teheran tetap mengharamkan setiap bentuk negosiasi dengan rezim zionis dan menganggap “jalan Islam” sebagai satu-satunya pilihan bagi pemecah masalah Palestina, serta menginginkan berdirinya sebuah republik Islam di Palestina. Bagi Teheran, wilayah yang dicaplok Israel merupakan “tanah suci milik umat Islam”. Oleh sebab itu, ketika presiden Iran waktu itu, Hojjatul Islam Hashem Rafsanjani dalam pidatonya di konfrensi Teheran 1991 menegaskan kesediaan nengaranya untuk mengerahkan pasukan guna membantu para pejuang Islam Palestina melawan Israel, majalah The Economist menganggapnya sebagai bukan sekedar ancaman. (Hal: 375-376)
Republik Islam Iran termasuk yang paling gigih dalam memperjuangkan aspirasi bangsa palestina. Di Teheran, ada sebuah kawasan yang diberi nama “Palestinian Square” (alun-alun Palestina). Di kawasan ini juga ada monumen Masjid Al-Aqsa dalam ukuran cukup besar ada sebuah bioskop bernama “Sinema Palestina”. Di samping itu ada beberapa prangko yang diterbitkan pemerintah Iran yang menggambarkan perjuangan bangsa Palestina, dan dalam peta (atlas) yang diproduksi pemerintah Iran tidak ditemui negara yang bernama Israel, melainkan (hanya) Palestina. (Hal: 376)
Ketegasan sikap Teheran itulah yang membuat gusar AS-Israel, sehingga tak jarang mereka melakukan infiltrasi untuk menggerakan aksi-aksi demonstran menentang pemerintahan republik Islam Iran. Apalagi prestasi industri militer Iran cukup mengejutkan, di mana negeri kaum mullah ini mampu membuat rudal balistik jarak jauh dari darat ke darat Shihab I, Shihab II, dan Shihab III. Rudal Shihab III diperkirakan mampu menjangkau jarak antara 2.000-3.000 km, sehingga mencapai sasaran Israel. Kekuatan militer Iran ini sebenarnya dapat menjadi faktor pendukung dalam menciptakan perimbangan militer yang sangat timpang antara Arab-Israel.
Oleh sebab itu, dalam konteks percaturan regional maupun internasional, Dunia Arab dan Republik Islam Iran jelas lebih banyak memiliki persamaan kepentingan. Apalagi jika mereka sungguh-sungguh hendak memperjuangkan nasib bangsa Palestina. Sayangnya lebih banyak pemuka Arab yang lebih memilih bersekutu dengan AS-Israel ketimbang menjalin persekutuan dengan sesama negara Muslim seperti Iran. Padahal, sebagaimana berulangkali ditegaskan Imam Khomeini, hanya dengan persatuan dikalangan bangsa-bangsa Muslim di dunia inilah, masalah Palestina bisa diselesaikan secara adil. (Hal: 377)
Dikutip dari buku, “Menyandera Timur Tengah”.
Sumber: (Sihbudi, Riza. Menyandera Timur Tengah. Penerbit: Mizan 2007)
Post a Comment
mohon gunakan email