Pesan Rahbar

Home » » Perkawinan Revolusi Di Zaman Bung Tomo

Perkawinan Revolusi Di Zaman Bung Tomo

Written By Unknown on Wednesday, 10 December 2014 | 14:00:00

Bung Tomo merasa bersalah menikah di saat revolusi kemerdekaan. Dia dan istrinya harus mematuhi perjanjian.

Pernikahan Soetomo (Bung Tomo) dengan Sulistina pada 19 Juni 1947. (Foto: repro buku "Bung Tomo Suamiku" karya Sulistina Soetomo).

Di masa revolusi, para pemuda menempatkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) di atas kepentingan diri sendiri. Revolusi menuntut pengorbanan segala-galanya, termasuk perkawinan sebagai “kenikmatan” pribadi. Tak heran jika mereka kerap jengkel melihat iklan-iklan perkawinan dan pertunangan di suratkabar.

“Mereka berpendapat bahwa perkawinan dan pertunangan bertentangan dengan sifat revolusi yang menjadi-jadi,” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan.

Sorotan pun dialamatkan kepada Bung Tomo, tokoh pemuda dan penyulut semangat pertempuran Surabaya, ketika hendak menikah di masa revolusi. Muncul pro dan kontra. Ada yang menyayangkan mengapa Bung Tomo tidak konsekuen dengan janjinya untuk tidak menikah sebelum perjuangan selesai.

“Kami dapat menerima kekecewaan ini,” kata Sulistina dalam Bung Tomo Suamiku, “tetapi tak dapat menjelaskan secara pribadi apa yang menjadi pertimbangan pernikahan kami.”

Sejatinya, Bung Tomo juga memiliki perasaan bersalah. Untuk itu, dia meminta izin dan persetujuan dari kelompok pemuda yang dipimpinnya, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).

Dalam iklan perkawinan Bung Tomo dengan Sulistina di harian Boeroeh, 16 Juli 1947, pucuk pimpinan BPRI menyetujui perkawinan itu pada 19 Juni 1947, dengan perjanjian: “Setelah ikatan persahabatan mereka diresmikan, mereka akan lebih memperhebat perjuangan untuk rakyat dan revolusi; meskipun perkawinan telah dilangsungkan, mereka tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan negara dan rakyat dapat dihalaukan.”

Iklan tersebut, menurut Soe Hok Gie, memperlihatkan Bung Tomo merasa berdosa karena perkawinannya dilangsungkan di tengah suasana revolusi. Seolah-olah dia hanya mencari kenikmatan pribadi. Mereka kemudian berjanji tidak akan menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami-istri sampai ancaman terhadap kedaulatan berakhir.

“Kami harus berjanji melaksanakan dengan patuh, syarat ini demi keselamatan negara,” kata Sulistina.

Menurut kepercayaan orang-orang tua, bila pemimpin pasukan atau negara menikah di masa perang, pantang baginya melakukan hubungan suami-istri selama 40 hari. Jika dilanggar akan ada medan perang yang dibobol musuh. “Entah dari mana tradisi itu, namun demi keselamatan negara kami berjanji akan mematuhi,” kata Sulistina.

Bung Tomo pun meyakini kepercayaan tersebut dan meminta kepada istrinya, “kita jalani puasa 40 hari ini ya. Demi keberhasilan perjuangan.” Sulistina mengangguk.

Akhirnya, masa puasa 40 hari itu berlalu. Sehari sebelumnya, Bung Tomo memberikan sebuah buku kepada istrinya: Kamasutra. (baca: Makna Bercinta dalam Kamasutra)

Sir Richard Francis Burton (1821-1890), penerjemah pertama Kamasutra, dengan latarbelakang pahatan-pahatan patung eksotis di kuil Khajuraho, India. (Ilustrasi Foto: Micha Rainer Pali).

Makna Bercinta dalam Kamasutra, Ia bukan sekadar manual bercinta, tapi mengandung kebijaksanaan dari kitab suci Hindu, Veda.

Kuil-kuil di Khajuraho, suatu desa di India bagian Madhya Pradesh, tersohor dengan pahatan-pahatan patungnya yang bermuatan eksotis. Begitu pula relief di candi Hindu dari abad ke-10, Muktesvara Deula di Orissa, India. Indonesia juga punya: Candi Sukuh di Jawa Tengah, juga dari masa Hindu.

Seni pahat ini punya alasan tertentu. Filosofinya, alamiah dan lazim bagi seseorang untuk menjalani kehidupan penuh kama atau gairah cinta. Tapi dia akan jadi objek yang terkekang bila tak dapat mengendalikan nafsu-nafsunya. Mengutip apa yang diutarakan Vatsyayana dalam Kamasutra: "Dapat dilihat bahwa mereka yang terlalu menyerahkan diri pada kehidupan seksual yang berlebih-lebih, sesungguhnya mereka memusnahkan diri mereka sendiri."

"Itulah makna arsitektur dari kuil di Khajuraho, perlambang yang menunjukkan seni eksotis hanya terletak di bagian luar dari kuil, tempat pahatan-pahatan ini jauh dari kuil dalam dan patung-patung dewata suci Hindu," kata L.G. Saraswati Dewi, dosen filsafat Universitas Indonesia dan Sekolah Tinggi Agama Hindu dalam kuliah umum "Erotika dari Timur: Kamasutra" di Komunitas Salihara, Jakarta, 3 Maret 2012.

Melalui struktur kuil itulah manusia harus menghargai kehidupan seksual sebagai babak hidup yang alamiah. Namun, untuk mencapai spiritualitas yang lebih superior, dia harus belajar mengendalikan dan pada akhirnya melepaskan diri dari kepuasaan yang sementara di dunia.

Tak hanya tercermin dari relief candi. Kebudayaan Hindu yang kaya erotisme dan seksualitas juga terdapat dalam teks. Yang terkenal adalah Kamasutra karya Vatsyayana. Sedikit yang diketahui tentang Vatsyayana kecuali dia memulai sebuah tren –beberapa menyebutnya revolusi– ketika memutuskan untuk menulis risalah ilmiah (sutra) tentang keinginan seksual (kama).

Menurut Saraswati, ada kesalahpahaman yang mengganggap Kamasutra hanya menggambarkan secara dangkal nafsu manusia terhadap seks. "Nyatanya bila dipahami lebih mendalam, Kamasutra memberikan ilustrasi yang tidak saja indah tapi juga paparan filosofis yang substansial tentang kondisi alamiah manusia."

Kamasutra dapat diartikan sebagai ajaran-ajaran (sutra) mengenai cinta (kama). Dalam ajaran agama Hindu, Kamasutra dihormati sebagai salah satu dari Veda Smrti. Artinya, di dalamnya memuat kebijaksanaan dari Veda sebagai kitab suci agama Hindu.

Kamasutra dipandang umat Hindu sebagai kitab penting untuk memandu kehidupan etis manusia. Teks ini mendeskripsikan dengan indah proses keintiman sepasang manusia. Mengapa Kamasutra disanjung sebagai pedoman dalam mencapai kebahagiaan? "Garis besar keyakinan dari agama Hindu adalah cinta," tandas Saraswati. "Hinduisme meyakini bahwa proses keintiman mencitrakan eksistensi manusia yang tinggi."

Bagian filosofis dari Kamasutra terletak di bagian pengantar atau bab kedua. Pada bagian ini Vatsyayana mengutip Veda, yaitu dalam hubungannya dengan Catur Purusarthas atau Empat Tujuan Hidup, pandangan hidup umat Hindu yang mengidealkan tahapan hidup yang seimbang. Catur Purusarthas terdiri dari dharma atau kebaikan, artha atau kesejahteraan material, kama atau cinta dan kepuasan indrawi, dan moksha atau pembebasan diri menuju Tuhan. Vatsyayana menulis: "Dharma lebih baik dari artha, sedangkan artha lebih baik dari kama." Vatsyayana menekankan bahwa kebaikan dan kebijaksanaan adalah pencapaian tertinggi bila dibandingkan kekayaan dan cinta.

Kemudian apa substansi aktivitas kama, bila tujuan utama dari manusia adalah dharma? Vatsyayana berargumentasi, dalam realitasnya manusia diberikan kemampuan dan keistimewaan untuk merasakan dan mengkontemplasikan kenikmatan. "Seksualitas adalah esensial dalam keberlangsungan hidup manusia," kata Vatsyayana.

Vatsyayana menggarisbawahi bahwa segala kepuasan itu adalah tahap dalam kehidupan seseorang; kama bukanlah tahap final. Pemahaman ini lahir karena konsep dukkha, bahwa segala kenikmatan dapat menyebabkan kesengsaraan. Kesadaran bahwa kenikmatan itu sementara dan semata-mata satu babak singkat dalam kehidupan manusia akan mencerahkan dan mendorong manusia mencari kebijaksanaan yang lebih tinggi.

Kamasutra dari Vatsyayana dikenal sebagai salah satu saja dari rangkaian Kama Shastra. Di India, dikenal bermacam kitab atau teks yang memuat topik seksualitas dari berbagai penulis. "Kedudukan teks-teks ini Smrti (tafsir) bukan Sruti (wahyu)," kata Saraswati.

Kamasutra Vatsyayana terkenal di dunia karena menggabungkan aturan-aturan relasi intim antara perempuan dan laki-laki dengan bahasa Sanskerta yang sederhana. Berbeda di zamannya ketika aporisme teks-teks sarat akan metafora dan analogi, Vatsayayana menginginkan karyanya jelas dan mampu dicerna siapapun. Kamasutra diduga dikompilasikan Vatsyayana pada abad ke-2 M. Teks ini terdiri dari 1.250 penggalan aporisme, dibagi menjadi 7 bagian besar, dan 7 bab tersebut terdiri atas 36 subbab.

Dalam sejarah Barat, teks Kamasutra baru dikenal pada 1883. Seorang penjelajah dan penulis Sir Richard Francis Burton (1821-1890) tertarik dengan karya-karya bermuatan seksualitas. "Meski dengan keterbatasan penerjemahan,” kata Saraswati, "Burton adalah orang pertama yang menterjemahkan Kama Sutra ke dalam bahasa Inggris."

Sebenarnya Burton hanyalah editor yang melengkapi hasil terjemahan dengan catatan kaki. Penerbitnya, Kama Shastra Society, dia bentuk bersama seorang pegawai negeri India, Forster Fitzgerald Arbuthnot. Sedangkan penerjemahannya dari bahasa Sanskerta dikerjakan oleh perintis arkeologi India Bhagwanlal Indraji, dibantu seorang mahasiswa, Shivaram Parshuram Bhide, di bawah arahan Arbuthnot.

Menurut Saraswati, kecenderungan orang yang tak sungguh-sungguh memahami teks Kamasutra akan mengklasifikasikan buku ini sebagai teks pornografi. "Salah satu yang menyebabkan populernya stigma porno ini disebabkan terjemahan yang tak memadai," tegas Saraswati.

Para peneliti studi Sanskerta menuding Sir Richard Francis Burton tak menjabarkan teks Kamasutra secara koheren. Kebudayaan populer pun lebih kerap mengeksploitasi bagian-bagian dari Kamasutra yang menjelaskan tahap-tahap erotis dari hubungan seksual dibandingkan kebijaksanaan Catur Purusarthas.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: