Oleh: DR. Sabara, M.Fil.I
Pikiran dan Bahasa Ali Syari’ati
Pemikiran Syari’ati bersifat multi
dimensi ? Syari’ati dapat disebut pemikir politik keagamaan -politico
religio thinker- (Azyumardi Azra)[1]
Memahami pemikiran Ali Syariati terkait
dengan berbagai macam hal dan diskursus keilmuan, tentu bukan merupakan
hal yang mudah, mengingat posisinya yang begitu getol dalam menanggapi
segala hal yang dihadapi, bisa dikata bahwa Syariati adalah salah satu
tokoh yang melahirkan berbagai macam diskurus kewacanaan terkait dengan
kompleksnya kehidupan. Ghulam Abbas Tawassuli, memuji Syari’ati sebagai
sosok yang memiliki kesadaran dan intuisi yang tajam, keberanian
berpikir, dan ketinggian jiwa, dan hal tersebut adalah sebagian dari
karakter manusia terpuji yang dimiliki oleh Ali Syari’ati.[2]
Memahami sosok dan pemikiran Syari’ati
adalah memahami sosok seorang perenung yang resah, spiritualis yang
humanis, muslim (Syiah) yang taat, intelektual organik, dan orator yang
propagandis dan puitis. Karena itulah, Memahami pikiran seorang Ali
Syari’ati tidaklah mudah, melihat kompleksitas diri dan pikirannya. Ali
Syari’ati tahu dan sadar betul bahwa ia hidup di tengah-tengah
masyarakat muslim (khususnya bangsa Iran) yang sedang berada dalam
suasana penindasan, kesaliman, keterbelakangan, kebodohan, apatisme. Di
sisi lain, Ali Syari’ati diperhadapkan pada fenomena kaum intelektual
dan ulama yang diam, intelektual yang hanya sibuk berasyik-ma’syuk
dengan keilmuan tapi tak mampu menjadi intelektual yang membawa
pencerahan, atau ulama yang hanya sibuk dengan pengajaran dogama
keagamaan dan abai terhadap spirit pemebbasan dari agama (Islam). Bahkan
yang lebih miris lagi, sebagain intelektual dan ulama tersebut makin
melegitimasi kelanggengan kezaliman dan penindasan. Pada situasi seperti
inilah, Ali Syari’ati hidup dan merenungkan kehidupannya.
Di sisi lain Ali Syari’ati adalah seorang
spiritualis yang humanis, Seerti yang dituturkan oleh Ali Rahmena, pada
tahun 1964, Ali Syari’ati gnostisisme yang telah ia alami sejak masa
kanak-kanak akhirnya menjadi “halilintar” yang mentransformasikan
kehidupannya dan memikatnya kepada sufisme. Tulisan-tulisan Ali
Syari’ati pada masa ini bisa dipandang sebagai bukti pencarian
gnostiknya. Dengan menjelaskan proses pencarian jiwa dan pencapaian
kebenaran, Ali Syari’ati menggambarkan pencariannya terhadap
kesempurnaan tujuan semua sufi.[3]
Sebagai seorang spiritualis, Ali
Syari’ati tidak serta-merta larut dalam keasyikan spiritual dan abai
terhadap dunianya, Ali Syari’ati benar-benar meyakini bahwa
spiritualitas harus berbanding lurus dengan pencerahan dan pembebasan.
Spiritualis sejati adalah seperti sosok imam Ali dan Imam Husein yang
tampil sebagai agen yang memperjuangkan pembebasan umat. Sosok Ali
Syari’ati yang spiritualis-humanis ini tampak pada pemikiran beliau
mengenai haji. Dalam pandangan Syari’ati, haji adalah sebuah ritual yang
membawa kita pada sebuah refleksi evolusi eksistensial dan setiap ritus
haji mengantarkan manusia pada makna pembebasan yang sesungguhnya.[4]
Aspek lain yang tak bisa kita lupakan
dalam memahami sosok Ali Syari’ati adalah bahwa beliau sebagai seorang
penganut Syiah yang fanatik yang percaya bahwa Syiah adalah ideologi
yang revolusioner. Refleksi seorang Ali Syari’ati sebagai sosok muslim
Syiah yang taat dan revolusioner dapat kita lihat dalam berbagai
tulisan-tulisan beliau yang menjadikan beberapa doktrin khas Syiah
seperti imamah, asyura, Mahdiisme,dan lainnya sebagai basis
dari pikiran-pikiran revolusioner beliau. Ali Syari’ati adalah orang
yang percaya betul terhadap doktrin Syiah, hanya saja refleksi beliau
terhadap doktrin-doktrin tersebut menjadikan nuansa yang berbeda dari
pemahaman banyak kalangan Syiah lainnya.
Selain sebagai seorang muslim (Syiah)
yang taat, sosok Syari’ati juga harus dipahami sebagai seorang
intelektual yang tidak eksklusif pada suatu pemikiran tertentu.
Pengalaman beliau kuliah di Sorbone University Paris, membuat Ali
Syari’ati makin dekat dengan pemikiran-pemikiran Barat, sosok pemikir
Barat seperti Franz Fanon, Alexist Carrel, Jean paul Sartre, bahkan Karl
Marx, dan lain-lain banyak menginspirasi konstruksi pemikiran Ali
Syari’ati. Karena begitu banyak terpengaruh oelh pemikiran Barat, Ali
Syari’ati kerap dituduh sebagai agen rahasia Marxisme dan Babisme.[5] Sebagai seorang inteletual yang banyak concernpada
tema-tema sosiologi, Ali Syari’ati sangat tertarik pada hubungan
dialektis antara teori dan praktek, antara ide dan kekuatan sosial, dan
antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Ali Syar’ati memiliki
komitmen yang tinggi untuk peragian (decay) gerakan-gerakan revolusioner, khususnya agama radikal.[6]
Ali Syari’ati juga mesti dpahami sebagai
seorang orator ulung yang tampil sebagai propagandis revolusi Islam
Iran. Beliau tampil sebagai orator yang bersemangat, retoris, dan
artikulatif dan sangat banyak memikat orang, khususnya kaum muda Iran.
Sebagai seorang propagandis, Ali Syari’ati kerap menggunakan
jargon-jargon yang mengkritik tajam institusi-institusi yang sudah
mapan. Karena sebagai seorang propagandis yang berbahaya inilah, Ali
Syari’ati kemudian “dibereskan” oleh agen SAVAK (intelejen Iran di masa
Syah Pahlevi) saat beliau berada di London pada tahun 1977. Sebagai
seorang orator dan propagandis ulung, Ali Syari’ati kerap menggunakan
gaya bahasa yang simbolik dan provokatif yang kerap keseluruhan
maksudnya sangat sulit ditangkap, penggunaan bahasa simbolik inilah yang
membuat sedikit kesulitan dalam melacak maksud dari pemikiran Ali
Syari’ati. Pemilihan bahasa simbolik dilakukan secara sadar oleh
Syari’ati. Ia secara sadar memilih bahasa simbolik dibandingkan bahasa expository yang lugas.
Menurut Syari’ati bahasa simbolik (dan
puitik) yang menyatakan makna lewat simbol-simbol dan imaji adalah bahsa
yang paling indah dan halus dibanding bahasa yang pernah dikembangkan
oleh manusia. Bahasa simbolik jauh lebih universal, lebih mendalam, dan
lebih abadi dibandingkan bahasa eksposisi yang maksud dan kejelasannya
terbatas pada waktu dan tempat.[7]
Rupanya Ali Syari’ati ingin mengabadikan pesan-pesannya untuk semua
waktu dan tempat, meski konsekuensinya menjadi sulit melacak pemikiran
Ali Syari’ati. Pemilihan Ali Syari’ati pada bahasa simbolik dalam
menyampaikan pesan-pesannya, sangat dipengaruhi pula oleh transformasi
spiritual yang ia alami. Menurut Ali Rahmena, Ali Syari’ati menggunakan
seni membuka konsep, sebuah bahsa yang memiliki sebuah makna yang
kelihatan dan superfisila yang sementara menutupi sejumlah teka-teki.[8]
Sosok Ali Syari’ati yang multi-atribut
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya membuat pemikrian Ali
Syari’ati bersifat multi dimensi, dan karenanya multi interpretable. Namun
demikian, kita tetap masih bisa melihat konsistensi pandangan dunia
dalam tulisan-tulisan beliau. Pandangan-pandangan Ali Syari’ati yang
menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik, yang dapat
dikatakan menjadi dasar dalam ideologi pergerakannya. Dalam konteks
inilah, Azyumardi Azra menyebut Ali Syari’ati sebagai pemikir politik
keagamaan (politico religio thinkeri).[9]
Memahami epistemologi atau manhaj
pemikiran Ali Syari’ati tak lepas dari memahami sosok Ali Syari’ati
secara utuh, sosok Ali Syari’ati yang multi atribut dan multi dimensi.
Ali Syari’ati menghadirkan pikirannya melalui dialektika antara idealita
konsep dengan kenyataan serta praktek sosial, Ali Syari’ati adalah
orang yang gemar melakukan refleksi kritis terhadap doktrin-doktrin
(baik teologi maupun ritual) Islam guna menghadirkan muatan ideologi
Islam yang revolusioner. Ali Syari’ati adalah pemikir inklusif yang
sangat terbuka terhadap pemikrian Barat dan menjadikannya sebagai inspiring
dalam memahami ajaran Islam. Dan yang terpenting dari memahami
pemikiran Ali Syari’ati adalah beliau menggunakan bahasa simbolik dalam
mengemas pikiran-pikiran yang beliau sampaikan kepada publik. Ali
Syari’ati lebih tampak sebagai pemikir reflektif dibandingkan pemikir
epistemik. Beliau tidak meninggalkan sistematika atau konstruksi
epistemologis yang jelas (sebagaimana Murtadha Muthahhari), tapi beliau
meninggalkan banyak catatan mengenai refleksi kritis atas doktrin,
teori, dan kenyataan sosial. Hal ini jualah yang membuat kita menjadi
sulit memahami pemikiran Ali Syari’ati secara sistemik, tapi, seperti
apa pun, sosok Ali Syari’ati dan pemikirannya adalah inspring
yang tak pernah kering. Karena Ai Syariati, sebagaiaman diungkapkan oleh
Sayyid Ali Khamene’i (pemimpin spiritual Iran) adalah pelopor
penjelasan masalah-masalah terbaru yang disingkap Islam modern,
masalah-masalah yang sulit dijawab dan dipahami generasi masa itu.[10]
Pandangan Dunia dan Ideologi
Ideologilah yang mampu mengubah masyarakat (Ali Syari’ati)[11]
Pada dasarnya dalam menjalani kehidupan,
manusia sangat bergantung pada pola atau kerangka pikir yang kemudian
disebut sebagai pandangan dunia atau worldview. Secara
sederhana pandangan dunia adalah kerangka yang kita buat untuk melihat
dunia dan berbagai kejadian yang menyertainya. Berbagai kejadian dan
peristiwa kita beri makna dalam kerangka ini.[12]
Menurut Murtadha Muthahhari, pandangan dunia inilah yang kemudian
menjadi dasar dari ideologi yang dianut oleh setiap individu dan
golongan. Perbedaan pada ideologi yang dianut oleh setiap manusia
disebabkan perbedaan dalam hal menyusun kerangka pandangan dunia
Pandangan dunia, adalah bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran, dan
hasil kajian yang ada pada seseorang berkenaan dengan Tuhan, alam
semesta, manusia, dan sejarah.[13]
Gagasan apa pun yang lahir dari seseorang
pasti dipengaruhi oleh mazhab pemikiran yang ia anut. Jika seseorang
percaya pada mazhab pemikiran tertentu, maka kepercayaan, emosi, jalan
hidup, aliran politik, pandangan-pandangan sosial, konsep-konsep
intelektual, keagamaan dan etikanya tidaklah terpisah dengan pandangan
dunianya, dan karenanya pula maka mazhab pemikiran pada akhirnya dapat
menciptakan gerakan, membangun dan melahirkan kekuatan sosial.[14]
Pandangan tentang dunia menurut Ali
Syari’ati adalah pemahaman yang dimiliki seseorang tentang wujud atau
eksistensi. Misalnya, seseorang yang menyakini bahwa dunia ini mempunyai
Pencipta Yang Sadar dan mempunyai kekuatan atau kehendak, dan bahwa
dari catatan dan rekaman akurat yang disimpan, ia akan menerima ganjaran
atas amal perbuatannya atau dia akan dihukum lantaran amal perbuatannya
itu, maka ia adalah orang yang mempunyai pandangan tentang dunia
religius. Berdasarkan pandangan tentang dunia inilah seseorang lalu
mengatakan: “Jalan hidupku mesti begini dan begitu dan aku mesti
mengerjakan ini dan itu”, inilah makna memiliki ideologi agama. Dengan
demikian, idealism Hegel, materialisme dialektik Marx, eksistensialisme
Heiddeger, Taoisme Lao Tsu, wihdatul wujud al-Hallaj, semuanya
adalah pandangan tentang dunia. Setiap pandangan tentang dunia ataupun
mazhab pemikiran pasti akan memperbincangkan konsep manusia sebagai
konsep sentral.[15]
Pandangan tentang dunia seseorang
dipengaruhi oleh aspek-aspek spiritual dan material yang khas dari
masyarakatnya. Menurut Henry Bergson, dunia yang dipandang oleh seorang
individu yang hidup dalam suatu masyarakat tertutup merupakan suatu
dunia yang terkungkung. Begitu juga sebaliknya, seorang individu yang
hidup dalam masyarakat yang terbuka memandang dunia luar sebagai sesuatu
yang tidak terbatas, ekspansif dan senantiasa bergerak. Masyarakat dan
agama selalu menentukan visi manusia tentang dunia yang kemudian
mempengaruhi tindakan-tindakannya. Oleh karena itu, membahas pandangan
tentang dunia pada hakikatnya membahas tentang manusia sebagai subjek.
Karena pandangan tentang dunia mempengaruhi seseorang dalam mengambil
pilihan tindakannya, maka mempelajari pandangan hidup suatu komunitas
sosial atau bangsa berarti mempelajari tipe-tipe dari bentuk-bentuk dan
pola kebudayaan serta berbagai karakteristik yang dikembangkan oleh
komunitas atau bangsa tersebut.[16]
Di tengah dominasi pandangan tentang
dunia yang materialistik sekarang ini, Ali Syari’ati menegaskan dirinya
pada pilihan pandangan dunia religius. Jenis pandangan dunia ini yakin
bahwa jagat raya adalah sesuatu yang datang dari Tuhan, sadar dan
responsif terhadap tuntutan-tuntutan spiritual serta aspirasi manusia.
Hanya saja, kerangka dasar pandangan dunia yang bersifat religius yang
dimaksud adalah cara pandang yang berbasis pada hasil riset ilmiah yang
bersifat saintifik bukan bentuk yang ortodoks atau ekstrim. Ali
Syari’ati mengambil pilihan pandangan hidup sintetik di antara kutub
ekstrim di atas yaitu pandangan hidup religius humanistik yang mensublimasi unsur manusia sebagai makhluk yang progresif, selalu mencari kesempurnaan dan sangat manusiawi.[17]
Ali Syari’ati menawarkan gagasan pandangan tentang dunia religius humanistik untuk
memerangi dualisme kelas antara kelas penguasa dan yang dikuasai,
antara kelas borjuasi dan proletariat, sehingga manusia akan menemukan
keesaan yang orisinil dalam rangka membangun kesadaran manusia pada
misinya sebagai wakil atau khalifah Tuhan di muka bumi. Menurutnya,
manusia adalah makhluk merdeka dan memiliki potensialitas tanpa batas
untuk menentukan nasibnya sendiri dan bukan ditentukan oleh kekuatan
eksternal dengan membangun semangat Tauhid.
Pandangan dunia akhirnya bermetamorfosa
dan membentuk ideologi sebagai keyakinan dan cita-cita yang dianut oleh
kelompok tertentu. Ali Syari’ati melakukan redefenisi tentang pemahaman
ideologi. Dimulai dari pendekatan etimologis, Ali Syari’ati menjelaskan
bahwa ideologi terdiri atas dua kata, idea dan logi. Ideaberati pemikiran, gagasan, keyakinan, cita-cita, dan kata logi yang
berarti logika, ilmu, atau pengetahuan, dengan demikian ideologi adalah
ilmu tentang cita-cita atau keyakinan. Menurut pengertian ini, seorang
ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu.
Dengan demikian, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita
yang dianut oleh suatu kelompok tertentu, kelas sosial tertentu, atau
suatu bangsa.[18]
Menurut Ali Syari’ati, ideologi adalah
fitrah yang paling penting dan bernilai serta merupakan kesadaran diri
yang istimewa dalam diri manusia.[19] Kesadaran ideologis, menurut Ali Syari’ati merupakan kesadaran khusus yang khas bagi manusia tanpa terkecuali.[20]
Hal tersebut dikarenakan, ideologi menjadi “kebutuhan” manusia yang
paling mendasar untuk memberi arah atau petunjuk dalam mengungkap
kebenaran sampai ke tingkat melakukan verifikasi atas tindakan
masyarakat serta kondisi-kondisi sosial yang melingkupinya. Secara
sederhana, ideologi berperan dalam pemberian cara pandang, membentuk
pemahaman, serta mengarahkan prilaku manusia dalam berinteraksi dengan
dunianya.
Berkebalikan dengan pandangan Marx dan
Weber yang berpandangan ideologi dibentuk oleh struktur masyarakat.
Syari’ati justru menyatakan bahwa, dengan kesadaran diri (ideologi)
inilah manusia membentuk masyarakat.[21]
Ideologi menempati posisi yang begitu kuat dalam pikiran dan keyakinan
manusia. Dan ideologi, tetap diperpegangi sebagai penuntun hidup yang
paripurna bagi para penganutnya. Bagi Ali Syari’ati hanya ideologilah
yang mampu merubah masyarakat, karena sifat dan keharusan ideologi yang
meliputi keyakinan, tanggung jawab, dan keterlibatan untuk komitmen.[22]
Pandangan Ali Syari’ati ini, senada dengan pandangan Antonio Gramsci,
yang menyatakan bahwa ideologi, lebih dari sekedar sistem ide. Ideologi
secara historis memiliki keabsahan yang bersifat psikologis (ideologi
memberikan spirit perjuangan). Selain itu, ideologi mengatur dan
memberikan tempat bagi manusia untuk bergerak dan, mendapatkan kesadaran
mengenai posisi mereka maupun perjuangan mereka dalam kehidupannya.[23]
Pandangan Dunia Tauhid: Tauhid yang Membebaskan
Tauhid memiliki esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan.[24]
Pandangan Tauhid dalam pemikiran Ali Syari’ati, dia sebut dengan istilah Tauhid Wujud yang ilmiah dan analitis.[25]
Ali Syari’ati memandang Tauhid lebih dari sekedar teologi, melainkan
memandang Tauhid sebagai pandangan dunia. Ali Syari’ati tidak mendedah
konsep Tauhid dengan pendekatan teoogis, mistis, ataupun filosofis, tapi
merefleksikan Tauhid dalam kerangka pandangan dunia dan ideologi. Basis
ontologis Tauhid Wujud sebagai pandangan dunia adalah memandang semesta
sebagai satu kesatuan, tidak terbagi atas dunia kini dan akhirat nanti,
atas yang alamiah dan yang supra alamiah, atau jiwa dan raga. Tauhid
Wujud memandang seluruh eksistensi sebagai bentuk tunggal, organisme
tunggal yang memilliki kesadaran, cipta, rasa, dan karsa.[26]
Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi
yang mampu dipraksiskan dalam kehidupan dan memberi implikasi yang
positif bagi manusia. Syari’ati menyajikan secara detail tahapan-tahapan
ideologi. Pada tahap pertema, Syari’ati berangkat dari satu pertanyaan
mendasar mengenai kedudukan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan dan
alam semesta. Untuk menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu Syari’ati
meletakkan pandangan dunia Tauhid sebagai pandangan dunia yang mendasar.
Bagi Ali Syari’ati, Tauhid tak sekedar pemahaman, lebih dari itu,
Tauhid adalah ideologi pembebasan. Basis ideologi Ali Syari’ati adalah
Tauhid, sebuah pandangan dunia mistik-filosofis yang memandang jagad
raya sebagai sebuah organisme hidup tanpa dikotomisasi. Sebagaimana
dinyatakan sendiri oleh Ali Syari’ati, bahwa Tauhid meninggalkan
lingkaran diskusi, penafsiran, dan perdebatan filosofis, teologis, dan
ilmiah, Tauhid masuk dalam urusan masyarakat. Di dalam Tauhid tercakup
berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial.[27]
Menurut Syari’ati, pandangan dunia Tauhid mengindikasikan secara langsung bahwa kehidupan adalah suatu bentuk yang tunggal.[28]
Kehidupan adalah kesatuan dalam trinitas tiga hipotesis, yaitu Tuhan,
manusia, dan alam. Tauhid menyatakan bahwa alam adalah sebuah totalitas
kreasi harmoni. Hal ini tentu saja berbeda secara fundamental dengan
pandangan dunia yang membagi realitas dunia ke dalam dua kategori yang
dikotomistik-binerian; materi-non materi, jasmani-ruhani, khalq-makhluk,
alam fisik-alam gaib, serta individu-masyarakat. Dalam pandangan Ali
Syari’ati, hal tersebut adalah syirik atau lawan dari Tauhid karena
menentang pandangan kesatuan antara Tuhan, manusia, dan alam.[29]
Dengan kata lain pandangan dunia Tauhid adalah pandangan dunia yang
melihat kenyataan sebagai realitas yang holistik, universal, integral
dan monistik.
Semua makhluk dan objek di alam semesta
yang merupakan refleksi atas kebesaran Tuhan. Pandangan dunia Tauhid
merupakan pandangan dunia yang integral. Pandangan dunia Tauhid
memberikan “kelonggaran” bagi manusia untuk mengembangkan kebebasannya,
sehiingga manusia bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang
dilakukannya. Pandangan dunia Tauhid juga memandang bahwa manusia
sebagai insan yang memiliki kemerdekaan dan martabat yang sangat tinggi.[30]
Berbeda dengan pandangan kaum
eksistensialisme ateistik, seperti Sartre yang menyatakan dengan tegas
bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.[31]
Sartre, menafikan Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan manusia dalam
eksistensinya. Meenurut Sartre, ada tidaknya Tuhan tidak akan mengubah
penghayatan manusia tentang dirinya sebagai eksistensi.[32]
Penafian Tuhan dalam gerak “mengada” manusia juga dilontarkan oleh
filosof materialis Jerman, Ludwig Van Feurbach, yang menyatakan bahwa
Tuhan tak lebih hanyalah proyeksi akal pikiran manusia semata. Realitas
tuhan yang sejati tak lain hanyalah diri manusia itu sendiri yang
dilemparkan oleh manusia menjadi satu sosok di luar dirinya dan berkuasa
atas dirinya.[33] Kedua filosof tersebut menganggap manusia benar-benar menjadisentrum eksistensi
dari alam semesta ini. Pendapat kedua tokoh tersebut, termasuk juga
para pemikir materialisme ateistik yang lain, dapat digambarkan secara
puitis, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Zuhri, “Ketahuilah, bahwa
bermilyar tahun alam semesta tidak sadar akan dirinya, dan ketika ia
sadar akan dirinya, manusialah wujudnya.”[34]
Dalam pandangan dunia Tauhid, Tuhan
adalah tujuan yang kepadaNyalah seluruh eksistensi dan makhluk bergerak
secara simultan, dan Dia jualah yang menentukan tujuan dari alam semesta
ini. Penyembahan terhadap kekuatan Absolut (Allah Yang Esa) yang
merupakan seruan terbesar dari ajaran Ibrahim as, terdiri atas seruan
kepada semua manusia untuk menyembah Penguasa tunggal di jagad raya ini.
Penyembahan tersebut dimaksudkan untuk mengarahkan perhatian manusia
kepada satu tujuan penciptaan dan untuk mempercayai satu kekuatan yang
paling efektif dari seluruh eksistensi dan sebagai tempat berlindung dan
bergantung manusia sepanjang hayat dan sejarah.[35]
Sebagaimana dikatakan oleh seorang sufi
besar, Farid al-Din al-Athar, “bila kau ingin sempurna, carilah
kesemestaan, pilihlah kesemestaan, dan jadilah kesemestaan.”[36]
Dalam pandangan dunia Tauhid, hakekat kesejatian manusia adalah potensi
Ruh Allah yang telah ditupkan dalam diri manusia. Ruh Allah tersebut
adalah “kesemestaan” sebagaimaana yang dimaksud oleh al-Athar. Ruh Allah
adalah realitas paling sublim dan ultim dalam diri manusia yang menjadi
modus bagi eksistensi manusia dalam kehidupannya.
Tauhid sebagai modus eksistensi manusia,
digambarkan oleh Syari’ati dalam pembahasannya yang sangat romantik,
reflektif, dan revolusioner tentang ibadah haji. Beliau mengatakan,
ibadah haji menggambarkan “kepulangan” manusia kepada Allah yang Mutlak
dan Tidak Terbatas, serta tidak ada yang menyerupaiNya. Perjalanan
“pulang” kembali kepada Allah menunjukkan suatu gerakan yang pasti
menuju kesempurnaan, kebaikan, kebenaran, keindahan, pengetahuan,
kekuatan, nilai-nilai, dan fakta-fakta.[37]
Tauhid sebagai modus eksistensi bermakna, bahwa Allah adalah tempat asal dan tempat kembali manusia. dariNyalah seluruh atribut Ilahiyah
yang dimiliki oleh manusia berasal. Berbeda dengan filsafat
eksistensialisme Jean Paul Sartre, yang menganggap Tuhan sebagai sosok
yang menghalangi kebebasan manusia. Syari’ati memandang, bahwa tuhan
adalah sosok pembebas bagi manusia, dengan melakukan upaya pendekatan
diri kepadaNya, maka manusia akan terbebas dari nilai-nilai lumpur busuk
yang kotor dan melambangkan keadaan manusia yang dehumanis menuju Ruh
Allah yang suci sebagai sumber seluruh nilai-nilai humanisme yang
universal.
Pandangan dunia Tauhid menuntut manusia
hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan, selain Dia adalah
kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan
manusia dan memuliakan hanya semata kepadaNya. Pandangan ini
menggerakkan manusia untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu,
dan kenistaan manusia atas manusia. Tauhid memiliki esensi sebagai
gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan.[38]
Implikasi logis dari pandangan dunia Tauhid adalah bahwa menerima
kondisi masyarakat yang penuh kontradiksi dan diskriminasi sosial, serta
menerima pengkotak-kotakan dalam masyarakat sebagai syirik. Dengan
demikian, dalam pandangan Ali Syari’ati, masyarakat tanpa kelas adalah
sebuah konsekuensi dari Tauhid. (Bersambung)
Referensi:
[1]Azyumardi Azra, “Akar-akar Ideologi Revolusi Iran: Filsafat Pergerakan Ali Syari’ati” dalam M. Deden Ridwan (ed), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Cet, I; Jakarta: Lentera, 1999), h. 51.
[1]Azyumardi Azra, “Akar-akar Ideologi Revolusi Iran: Filsafat Pergerakan Ali Syari’ati” dalam M. Deden Ridwan (ed), Melawan Hegemoni Barat: Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia, (Cet, I; Jakarta: Lentera, 1999), h. 51.
[2]Ghulam Abbas Tawassuli, “Sepintas tentang Ali Syari’ati” dalam Kata Pengantar dalam Buku Ali Syari’ati,al-Islam, al-Insan, wa Madaris al-Gharb, Diterjemahkan oleh Afif Muhamamd dengan Judul Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat, (Cet, II; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 7.
[3]Ali Rahmena, an Islamic Utopian: a Political Biography of Ali Syari’ati, Diterjemahkan oleh Dien Wahid, dkk dengan Judul Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, (Cet, I; Jakarta: Erlangga, 2002), h. 219.
[4]Lihat Ali Syari’ati, Hajj, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dengan Judul Makna Haji (Cet. II ; Jakarta : al-Huda, 2002),
[5]Azyumardi Azra, op. cit., h. 58.
[6]Ibid., h.49.
[7]Lihat Ali Syari’ati, Man and Islam, Diterjemahkan oleh M. Amien Rais dengan Judul Tugas Cendekiawan Muslim, (Cet, II; Jakarta: Srigunting Press, 2001), h. 2.
[8]Ali Rahmena, an Islamic? loc. cit.
[9]Lihat Azyumardi Azra, op. cit., h. 51.
[10]“Syari’ati bukan Orang yang Anti Agamawan: Wawancara dengan Rahbar tentang Ali Syari’ati dalamwww.irib.com. Diakses pada tanggal 3 Mei 2012.
[11]Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, Diterjemahkan oleh Haidar Bagir(Cet, II; Bandung: Mizan, 1989), h. 81.
[12]Musa Kazhim, Belajar Menjadi Sufi, (Cet,, I; Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h. 25.
[13]Murtadha Muthahhari, ?Ma?s’ala-ye Syenokh, Diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih, dengan Judul Mengenal Epistemologi, (Cet, I; Jakarta: Lentera, 2001), h. 17-18.
[14]Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, Diterjemahkan oleh MS. Nasrulloh dan Afif Muhammad, (Cet, I; Bandung: Mizan, 1992), h. 20
[15]Lihat ibid., h. 24-25
[16]Ali Syari’ati Man and Islam, op. cit., h. 22-24
[17]Ibid., h. 35.
[18]Ibid., h. 156-157.
[19]Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, op. cit., h. 54
[21]Ibid., h. 57.
[22]Ibid., h. 81.
[24]Eko Supriyadi, op. cit., h. 166.
[25]Ali Syari’ati, on the Sosicology Islam, Diterjemahkan oleh Saifullah Mahyuddin dengan Judul Paradigma Kaum Tertindas, (Cet, II; Jakarta: al-huda, 2001),h. 76.
[26]Ibid., h. 73.
[27]Eko Supriyadi, op. cit., h. 167.
[28]Muhammad Nafis,”Dari Cengkeraman Penjara Ego Menuju Revolusi: Memahami ?Kemelut’ Tokoh Pemberontak”, dalam M. Deden Ridwan (ed),op, cit., h. 85.
[29]Lihat Eko Supriyadi, op. cit.., h 163-164
[30]Muhammad Nafis, op. cit., h. 87.
[31]Fuad Hassan, Berkenalan dengan Eksistensialisme, (Cet, I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1992),h. 134.
[32]Ibid., h. 138.
[33]Lihat Donny Gahrial Adian, Arus Pemikiran Kontemporer (Cet. I ; Yogyakarta : Jalasutra, 1999), h. 7.
[34]Muhammad Zuhri, Langit-langit Desa : Himpunan Hikmah dari Langit-langit Sekarjalak (Cet. I ; Bandung : Mizan, 1993), h. 34.
[35]Lihat Ali Syari’ati, Religion Versus “Religion”, diterjemahkan oleh Afif Muhammad dan Abdul Syukur dengan Judul Agama Versus “Agama” (Cet. VII ; Jakarta : Pustaka Hidayah, 2000), h. 29.
[36]Eko Prasetyo Darmawan, Agama Bukan Candu (Cet. I ; Yogyakarta : Resist Book, 2005), h. 31.
[37]Ali Syari’ati, Hajj,op. cit., h. 21.
[38]Eko Supriyadi, op. cit., h. 166.
((IRIB-Indonesia/Ahmadsamantho/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email