Pesan Rahbar

Home » » Sekilas Soerabaja (Surabaya)

Sekilas Soerabaja (Surabaya)

Written By Unknown on Sunday, 27 March 2016 | 19:41:00


10 Nobember 1945, bom memborbardir Surabaya. Para pemuda yang keras kepala telah menolak ultimatum Inggris. Berbekal senjata rampasan dari Jepang dan bambu runcing,. Bung Tomo dan para pemuda melawan tentara Inggris dan Gurkha. Sampai sekarang kita mengenangnya sebagai peristiwa heroik dalam buku buku sejarah.

Idrus menulisnya dalam novelnya yang berjudul ‘ Surabaya ‘ yang dicetak Merdeka Press tahun 1947. Ia menjungkir balikan kesakralan peristiwa itu. Ia melukiskan pertempuran Surabaya sebagai pertempuran para bandit. Idrus mencuatkan kontroversi, karena ia mencemooh dan mengejek perjuangan rakyat Surabaya.

Dalam surat kabar Ra’yat, Idrus mengiklankan novelnya sebagai berikut:

Satu satunya roman Indonesia yang berderajat Internasional. Kritis realistis menegakkan bulu roma.
Sinisme yang menyayat, tetapi lepas dari sentimen sentimen chauvanisme.
Harus dipunyai oleh setiap peminat kesusasteraan dan seluruh bangsa Indonesia
Penerbit : Harian Merdeka. Harga R.3

Para pemuda dideskripsikan dengan revolver dan pisau terselip di pinggang, berjalan dengan pongahnya. Sesekali mengarahkan senjata ke atas dan menembak membabi buta tanpa tujuan jelas.
Bung Tomo tampil sebagai kepala pemberontak, dengan rambut gondrong dan mengenakan baju lusuh berbau apek. Mereka yang sebelumnya mabuk kemerdekaan, menjadikan senjata sebagai berhala baru. Demikian Idrus menceritakan kenangan buruk itu.

Tak kalah dasyat, kisah pengungsian setelah Inggris menggempur kota. Di tengah pengungsian, kejahatan merebak. Banyak massa pemuda yang melakukan tindak kriminal seperti menjarah, memperkosa perempuan serta membunuh berdarah dingin kepada orang orang Tionghoa dan Indo yang dicurigai sebagai mata mata musuh.

Pada saat itu disebut jaman ‘ Bersiap ‘, ketika golongan Indo dan Tionghoa banyak menjadi korban kekerasan pemuda. Disebut ‘ bersiap ‘, karena ketika kentongan atau tanda bahaya dibunyikan, mereka harus bersiap menghadapi ancaman penjarahan dan pembunuhan.

Bahkan orang orang Indo sampai mendatangi kamp kamp konsentrasi Jepang, guna menghindari kematian. Seperti dipaparkan Anthony Reid dan Oki Akari dalam “ The Japanesse Experience in Indonesia : Selected memoirs 1942 -1945 “.

Catatan sejarah lain yang menjadi sumber sejarah ‘ bersiap ‘ seperti “ Het Koninkrijkder Nederlanden in de tweede wereldoorlog “ karya sejahrawan terkemuka Belanda, J. De Jong.
Detail kisah dibalik pertempuran Surabaya juga digambarkan oleh Willy Meelhuysen dalan bukunya “ Revolutie in Soerabaja “. Buku ini selain menggambarkan perjuangan kemerdekaan para pemuda, juga menggambarkan detail kekejaman terhadap perempuan dan anak anak Belanda yang tidak dapat dicegah pasukan Inggris.

Ini agak berbeda dengan penilaian Ben Anderson yang melihat pertempuran Surabaya sebagai kisah yang begitu heroic dan romantis tentang revolusi pemuda Indonesia. Ia menganggap rangkaian kekejaman, penjarahan, pemerkosaan sebagai awal dari revolusi sosial yang dapat dimegerti.


Sementara itu di satu sisi, Bung Tomo menggemuruh membangkitkan semangat perjuangan. Pidatonya membangkitkan gelora perjuangan sampai ke telinga rakyat melalui radio di Surabaya. Sayangnya, pidato-pidato Bung Tomo itu sangat tendensius terhadap etnis Tionghoa. Seringkali ia memasukan issue issue rasialis yang membangkitkan sentiment anti-tionghoa di kalangan masyarakat pribumi Jawa Timur.

Karena provokasi ini membuat situasi bertambah genting, Go Gien Tjwan sebagai jurubicara Angkatan Muda Tionghoa pernah memberi penjelasan lewat pidato kalau musuh rakyat Indonesia bukan etnis tionghoa tetapi Belanda. Ia juga menyatakan bahwa etnis Tionghoa juga menjadi bagian korban penjajahan. Bahkan ribuan masyarakat Tionghoa dibantai oleh Belanda di Batavia pada awal awal kekuasaan VOC, sehingga sebagian lari ke Jawa Tengah.

Akhirnya masyarakat Tionghoa mengirim utusan menemui Bung Tomo. Utusan yang terdiri dari 4 pemuda menjelaskan kepada Bung Tomo bahwa mereka bukan pengkhianat sebagaimana yang digembar gemborkan. Tapi Bung Tomo tetap berkeyakinan bahwa sebagian besar etnis Tionghoa adalah kalangan pro-Belanda.

Novel Idroes seakan membenarkan kisah bandit bandit di wilayah tanpa hukum. Jaman ‘ Bersiap ‘ sesungguhnya revolusi yang bersifat anarkis karena kekosongan kekuasaan di bulan bulan terakhir 1945.

Seorang diplomat David Weihl yang berada di Surabaya saat itu menulis dalam bukunya “ The Birth of Indonesia “ – Pertempuran Surabaya merupakan tragedi kebiadaban histerikal, fanatisme serta upaya pengorbanan diri sendiri yang sia sia. Pertempuran ini sendiri berada di luar kendali semua orang. Pemimpin Republik siapapun tak mampu mengendalikan apalagi menghentikannya.

Tak heran, Sukarno dalam biografinya mengatakan.
“Kota itu menjadi kota neraka. Di setiap penjuru jalan terjadi pertempuran hebat satu-lawan-satu. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Tubuh-tubuh yang telah dipenggal dan dicincang bertumpuk-tumpuk, yang satu di atas yang lain. Kematian sedang bersimaharajalela di jalan-jalan. Rakyat Indonesia menembak-nembak, menikam dan membunuh dengan galak “

Suatu malam di bulan April 1954. Idrus diundang diskusi oleh Majalah Konfrontasi di sebuah tempat di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Ia dicecar dan dimaki.
” Apa dasar patriot patriot Indonesia anda sebut sebagai koboi ? “
Mereka tak berhenti dan terus mencecar Idrus.
“ Saya adalah spesialis kejelekan, sebab dengan menceritakan kejelekan kita bisa mengetahui kebaikan “ Kata Idrus akhirnya.

(Blog-Imam-Brotoseno/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: