Pesan Rahbar

Home » » Kebodohan FPI Saat Datangi Kompas

Kebodohan FPI Saat Datangi Kompas

Written By Unknown on Monday 17 October 2016 | 02:56:00


Sejak semalam, ada beberapa orang yang mention dan kirim link soal kedatangan FPI ke kantor Kompas di Palmerah.

Pada intinya diskusi antara FPI dan Kompas berlangsung tertib. Hanya sharing pendapat dan masukan. FPI memberikan pendapat bahwa Kompas terlalu menyakiti perasaan umat muslim karena begitu gencar memberitakan soal Bu Saeni atas nama kemanusiaan, namun menutup mata pada Perda dan bulan ramadhan.

“Kompas ini beritanya 10-15 berita perhari tentang Perda Serang. Menggempur dengan segala macam angle beritanya lah. Dengan menggunakan framing humanisme kemanusiaan. Dari 11 sampai 15 juni ini kami hitung mencapai 350 berita Kompas dan kebanyakannya menyinggung soal peraturan, kok kayaknya Kompas ini tidak suka sekali dengan peraturan,” kata Munarman perwakilan FPI.

Selanjutnya Munarman membandingkan soal berita kenapa Kompas tidak memberitakan larangan berjualan di hari Minggu di Papua. Kompas tidak pernah memberitaka pecalang di Bali yang melempari rumah penduduk dan melarang shalat Jumat. “Ga pernah ada kritik dari Kompas,” lanjut Munarman.

Itulah kira-kira pembukaan awal dari FPI saat bertandang ke kantor Kompas. Jujur saya tidak tau kebenaran soal Papua dan Bali seperti yang dibeberkan oleh FPI. Tapi yang absurd adalah angka-angka matematis. Jika rata-rata perharinya Kompas menurunkan 15 berita tentang Bu Saeni, bagaimana bisa mendapat angka 350 berita hanya dalam 5 hari?

Inilah awal dari kelucuan, atau kalau menurut saya kebodohan, saat FPI datang ke kantor Kompas.

Dari rekaman video yang cukup panjang, ada beberapa catatan menarik yang menurut saya sangat memalukan. FPI mengatasnamakan Islam namun datang dengan cara yang jujur harus saya katakan sangat memalukan.

Pertama, FPI memprotes Kompas yang tidak seimbang dalam pemberitaan.

“Akibat gencarnya pemberitaan di Serang, muncul tuh spanduk ‘hormati orang yang tidak berpuasa.’ Ditambah lagi pemerintah lagi gencar-gencarnya mencabut Perda. Dan semuanya Perda syariah. Jadi pas ada pemberitaan di Serang, ada indikasi tuh, oh jadi ke sana arahnya?” Komentar Awit Mashuri, FPI.

Terus terang saya tidak perduli dengan siapa pemilik Kompas, kristen atau muslim, terserah. Tapi secara konten, yang diberitakan Kompas sangat kredibel. Terlepas dari angle atau framing yang dikeluhkan FPI. Menjadi sangat bodoh sekali ketika FPI datang ke kantor Kompas memprotes konten yang menurut mereka negatif serta tidak seimbang, tapi mereka datang dengan materi HOAX dengan angle provokasi.

Pemerintah tidak mencabut Perda syariah. Potongan koran yang disebarkan oleh media-media sapi sinting adalah berita yang sangat membodohi masyarakat. Sebab ada 2 judul, pertama Jokowi mencabut 3,143 Perda dan kedua adalah Perda kontroversial (bernuansa Islam). Nah, media sapi sinting ini kemudian menyimpulkan bahwa Jokowi mencabut Perda bernuansa Islam. Kan sapi? Iya sapi. Yang protes dan menyebut saya tidak beradab, silahkan, tapi saya tetap akan menyebutnya sapi sinting. Jelas ya ting?

Dan FPI datang dengan materi HOAX seperti itu. Sampai di sini paham ya kenapa saya sebut ini kebodohan? Kalau ada yang menyebut ini kecerdikan, mungkin mereka juga sama sapinya.

Kedua, FPI mengancam Kompas dengan keributan yang lebih besar dari tahun 98. Menurut Munarman, apa yang dilakukan Kompas sudah berhasil membuat kemarahan. “FPI ini sebagai alarm publik lah, daripada diem-diem kan bahaya, seperti di bawah bara api. Kalau 98 hanya soal etnik, keributannya bisa lebih besar jika diarahkan ke SARA, agama. Apa mau seperti itu? Kompas kalau mau dipersepsi komando pastur, jadi sasaran dog,” kata Munarman.

Dua hal ini bagi saya sangat fatal sekali. Pertama materi HOAX dan kedua ancaman publik. Yang namanya berita salah dan dipercayai sebagai kebenaran, pasti salah. Sementara mengancam keributan, ini jelas bukan bagian dari agama Islam yang damai. Sampai di sini saya tersinggung kalau FPI mengaku mewakili ummat Islam.


Benarkah Bu Saeni memilik 4 warung?

Berita yang belakangan juga gencar disebarkan oleh media tetangga sebelah dan yang sesapian dengannya adalah soal Bu Saeni memiliki 4 warung. Sumber beritanya adalah Radar Banten, masih member Jawa Pos. Harusnya kredibel dan terdaftar di dewan pers.

Hal ini juga disampaikan dengan nada sinis oleh Munarman. “Itu kalau istilah KFC, outletnya ada 3 di Serang itu. Diblow up sedemikian rupa. Yang ujung-ujungnya narasumber yang ditampilkan itu Sofia Latjuba lah, tau apa dia tentang hukum dan syariat islam?”

Kisah Bu Saeni ini menarik. Bagaimanapun saya tidak setuju dengan donasi yang dilakukan netizen, terlepas apakah Bu Saeni miskin atau kaya. Tapi belakangan berita Bu Saeni yang memiliki 4 warteg ini kemudian mencuat sehingga dipersepsikan beliau ini bukan orang miskin sebenarnya.

Sejenak kita lupakan FPI dulu, mari saya ajak teman-teman pembaca seword.com untuk melihat dengan pikiran terbuka, setelahnya silahkan simpulkan sendiri.

Beberapa hari lalu Bu Saeni tampil di Kompastv didampingi kuasa hukumnya, luar biasa. Saat ada pertanyaan apakah benar Bu Saeni memiliki 4 warung, baru hendak dijawab oleh Bu Saeni, kuasa hukumnya yang memotong dan menjelaskan.

“Warung yang diberitakan itu punya anaknya dan sudah menikah. Jadi tidak ada hubungannya, bukan punya Bu Saeni.”

Pernyataan kuasa hukum Bu Saeni ini setidaknya mengkonfirmasi bahwa Bu Saeni memiliki usaha keluarga, berupa warteg, seperti yang dimilikinya dan terkena grebek Satpol PP. Kalau kemudian disimpulkan bahwa yang lain itu warteg anaknya dan tidak ada hubungannya dengan Bu Saeni karena sudah menikah, ini agak titik-titik (silahkan isi sendiri). Saya pribadi menyimpulkannya sebagai usaha keluarga.


Lucunya FPI dan referensinya

Setelah pertemuan dengan Kompas, FPI lewat Munarman masih sempat memberi komentar yang sangat salah kaprah.

“Media itu jangan dikira netral, media selalu memiliki misi. Saya menghimbau jangan ditelan mentah-mentah, utamanya dari media sekuler. Karena mereka tidak bekerja untuk membangun kebenaran, tetapi untuk sebuah misi,” ucapnya di luar ruangan.

Saya jujur tertawa dengan pernyataan ini. Mungkin maksudnya supaya kita tidak membaca media mainstream seperti Kompas, lalu bacalah berita di media sapi seperti piyungan dan embel-embel islam, supaya percaya bahwa Perda syariah akan dihapus oleh pemerintah, persis seperti otaknya FPI. hahahaha

Jika Munarman berani mengklaim bahwa setiap media itu ada misi, sekarang pertanyaannya apa misi media-media sapi yang mengaku mewakili ummat islam tersebut? Saya pribadi tidak menemukan jawaban lain kecuali provokasi dan menimbulkan keributan di kalangan masyarakat.


Belajar dari Kompas

Orang-orang Kompas tentu saja orang yang sangat cakap dalam menyampaikan pendapat. Ada satu pernyataan dan pelajaran menarik yang saya dapat dari Pak Widi Krastawan.

“Hampir dari semua kita di sini kan dibesarkan oleh buku-buki gramedia, koran Kompas juga. Dan sebenarnya tau sikap dasar Kompas. Meskipun pada perjalanannya kok ada geser-geser. Tapi pada dasarnya yang ingin saya sampaikan adalah, dalam perjalanan kami menerbitkan koran dan buku, janganlah kami dibiarkan sendirian, kami butub ditemani. Teman itu bisa memuji kami, memberi masukan kemungkinan melencengnya kami. Justru di situ sikap dasar pendiri kami, harus berteman kepada siapapun.

Jadi pertemuan ini persis seperti Pak Munarman yang tadi bilang bahwa ini komunikasi, silaturrahmi, dimana kami melenceng. Jadi terima kasih atas apa yang disampaikan Pak Munarman.

Lalu tentu Pak Munarman dan teman-teman tau lah bahwa kami di sini memiliki idealisme dan bisnis. Janganlah karena bisnis kami meninggalkan idealisme yang tidak adil tadi, yang menyakiti sebelah pihak. Itu bukan mau kami tentu.

Dalam konteks kasusnya Bu Saeni dirazia, saya kira ada berita ada efek berita. Mudah-mudahan grafiknya Pak Munarman tadi masih mencampurkan antara efek gaung berita masih bercampur dengan berita itu sendiri.

Jadi Pak Munarman dan teman-teman bisa mengenal kami lebih dekat, bahwa benar kami tidak punya niat jahat tu keliahatanlah lah, terasa bahwa kami nggak punya niat jahat. Kayaknya iya ga punya niat jahat.”

Sengaja saya tulis semua, karena menurut saya menarik melihat cara beliau memberikan jawaban. Namun poin pentingnya adalah berita dan efek berita.

Soal Bu Saeni ini berita cuplikan pendek. Namun kemudian dikembang-kembangkan yang kemudian memang di luar kendali Kompas. Salah satu efek berita yang membuat hal ini menjadi negatif tentu saja donasi salah sasaran. Karena dengan donasi ini kemudian berkembang ke mana-mana. Yang bahkan membuat Bu Saeni sendiri tertekan, karena beliau tidak hanya menerima dana, tapi juga tekanan emosional dari kubu yang berseberangan.

Pelajarannya adalah, mungkin ada baiknya jika kita tidak bersikap terlalu emosional menanggapi berita. Bahwa anda peduli, manusiawi, silahkan thats your right. Hanya saja silahkan dipikirkan “efek berita” yang akan diterima, dalam hal ini Bu Saeni.

Tidak semua masalah bisa kita selesaikan dengan uang. Kalian memprotes Perda silahkan, melakukan donasi dan berpikir itu benar? Monggo. Tapi semoga kalian sudah memikirkan “efek berita” yang kalian lakukan.

Saat Bu Saeni diundang ke Kompastv, beliau mengucapkan permitaan maaf lebih dari 10 kali kepada rakyat Indonesia dan ummat muslim. Lebih dari 10 kali. Dan saat ditanya kenapa minta maaf? Jawabnya ya karena takut salah dan kita tidak tau kapan ajal akan menjemput.

Saya pribadi lebih kasihan melihat Bu Saeni tertekan, dibanding hanya dagangannya disita oleh Satpol PP.

Begitulah kura-kura.

(Seword/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: