Duhai Tuhanku, duhai Pemeliharaku, duhai Tuanku, urusan apalagi kiranya yang akan aku adukan kepada-Mu. Mestikah aku menangis, menjerit, lantaran kepedihan dan beratnya siksaan atau lantaran lamanya cobaan? Sekiranya Engkau siksa aku beserta musuh-musuh-Mu dan Engkau himpunkan aku bersama penerima bencana-Mu, dan Engkau pisahkan aku dari para kekasih dan pencinta-Mu, maka berilah aku (ampunan-Mu). Duhai Tuhanku, Tuanku, Pemeliharaku, aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu, tetapi mana mungkin aku mampu bersabar berpisah dari-Mu, dan berilah aku (ampunan-Mu). Duhai Ilahi, aku dapat bersabar menahan panas api-Mu, tetapi mana mungkin aku dapat bersabar tidak melihat kemuliaan-Mu, mana mungkin aku tinggal di neraka padahal harapanku hanyalah maaf-Mu.
Penafsiran Etimologis
Kata dhajîj memiliki arti jeritan dan merupakan jawaban dari kalimat bersyarat dari ungkapan beliau yang berbunyi, “Sekiranya Engkau...” Demikian pula, dapat dikatakan bahwa kalimat bersyarat dari kalimat tersebut adalah dikira-kirakan (muqaddar) dan tersembunyi (pada awal kalimat) yang berbunyi, “Celakalah aku, celakalah aku,” yang digantikan dengan kalimat, “Maka berilah aku (ampunan-Mu).”
Syarah dan Penafsiran
Berbagai kalimat ini adalah untuk menjelaskan pengaduan; seorang peinta (‘âsyiq) mengadukan kekasih (ma’syûq) kepada sang kekasih (ma’syûq) itu sendiri. Dengan demikian, maka yang mengadu di sini adalah pecinta dan yang diadukan adalah Sang Kekasih, Sesembahan, Tuan, dan Pemelihara. Sementara, tempat ia mengadu adalah Sang Kekasih itu sendiri dan masalah yang diadukan adalah siksaan yang pedih dan dikumpulkannya (ia) bersama para musuh dalam satu tempat.
Pengaduan lainnya adalah perpisahan antara dirinya dengan para kekasih-Nya dan pengaduan atas jauhnya dirinya dari Sang Kekasih. Juga, pengaduan atas harapan agar (ia) dapat melihat kemuliaan dan memperoleh pengampunan dari Sang Kekasih. Berbagai ungkapan dan kata-kata nan lembut ini merupakan ungkapan tobat dan pengakuan atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Ini juga menjelaskan bahwa pengaduan tersebut bukanlah semacam pengaduan dari (seorang) penuntut terhadap (seorang) terdakwa, tetapi pengaduan si pecinta yang telah berbuat salah kepada Sang Kekasih yang Berhati lembut, Pengasih, dan Penyayang.
Berbagai ungkapan doa ini, dari sudut pandang irfani, dipenuhi dengan poin penting seperti berikut:
1. Orang yang mengadu adalah seseorang yang tidak memiliki tempat berlindung selain Zat yang ia adukan.
Seseorang bertanya kepada salah seorang ulama, “Bagaimanakah ‘ârif itu?” Ulama tersebut menjawab, “Allah Swt, dalam menjelaskan kondisi mereka itu, berfirman:
...hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. (al-Taubah: 118)
2. Pabila Sang Kekasih tidak menghiraukan keluhan dan pengaduan sang pecinta, maka itu akan merupakan siksaan yang amat pedih baginya.
Siksaan itu jauh lebih pedih ketimbang dijauhkan dari-Nya, dan dijauhkan dari-Nya jauh lebih pedih ketimbang dipisahkan dari para kekasih dan pecinta-Nya.
3. Ungkapan tobat, inabah, dan pernyataan bersalah serta salah satu ungkapan yang amat indah (di sini) adalah ungkapan habnî’, “Maka berilah aku (ampunan-Mu),” yang diulang sebanyak dua kali pada pertengahan kalimat, sekalipun sudah cukup jelas. Oleh karena itu, mesti diakui bahwa ungkapan ini merupakan puncak kefasihan dan keindahan kata-kata. Dalam ungkapan ini benar-benar terjaga tatakrama dan sopan santun pecintayang dipenuhi kesalahandalam memohon dan berdoa kepada Sang Kekasih yang Maha Mengetahui akan kesalahannya.
Yang dapat disimpulkan dari (ayat-ayat) al-Quran adalah bahwa keberadaan teman yang buruk dalam nerakabahkan bagi orang biasamerupakan sebuah siksaan yang lebih pedih ketimbang siksa api neraka, apalagi bagi seorang ‘ârif yang berdampingan dengan musuh Allah. Dalam al-Quran, Allah Swt berfirman:
Barangsiapa yang berpaling dari ajaran Tuhan yang Maha Pemurah, Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi ternan setianya. Dan sesungguhnya setan-setan itu menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa, mereka mendapat petunjuk. Sehingga apabila orang yang berpaling itu datang kepada Kami (di hari kiamat) ia berkata, “Aduhai, semoga (jarak) antaraku dan kamu seperti jarak antara masyriq (timur) dan maghrib (barat), maka setan itu adalah sejahat-jahat teman. (Harapan itu) sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu di hari itu karena kamu telah menganiaya (dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu bersekutu dalam azab itu. (al-Zukhruf: 36-39)
Ya, di dunia ini, teman yang buruk akan menyebabkan seseorang merasa tersiksa; apalagi teman buruk di akhirat. Seorang ‘ârif (tak disebutkan namanyapeny.) telah meninggalkan rumahnya dan tinggal di suatu kawasan lain. Ia mengatakan bahwa alasan ia meninggalkan rumahnya adalah lantaran di sana dirinya tidak memiliki teman yang sepadan. Oleh karena itu, dirinya melarikan diri dari teman-teman(nya) yang tidak sepadan itu. Betapa indah ungkapan seorang penyair ini:
Ruh berteman dengan yang tidak sepadan merupakan siksaan yang pedih
Alkisah, Bozorg Mehr (seorang filosof) dijebloskan ke dalam penjara. Tak lama kemudian, datanglah utusan kepadanya dan mengatakan bahwa apapun yang ia inginkan akan dipenuhi. Bozorg Mehr menjawab, “Seorang yang awam ada bersamaku. Adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa pabila aku dapat dipisahkan darinya.”
Sa’di bercerita bahwa seorang yang sudah tua telah menikahi seorang wanita muda dan ia senantisa menyanjung dan memuji wanita tersebut, seraya berkata:
Aku berusaha meraih hatimu
Sekalipun engkau menyakitiku
Aku tidak akan sakit hati
Orang tua ini juga selalu bersenandung di telinga kekasihnya:
Para pemuda, yang tampan bak bulan purnama
Tetapi tak dapat diharapkan kesetiaannya
Janganlah kau berharap kesetiaan dari burung bul-bul
Setiap saat berpindah dari satu bunga ke bunga lainnya
Kata-kata ini diucapkan berulang-kali, sehingga ia menyangka bahwa hati si wanita telah terpikat kepadanya. Namun tiba-tiba, si wanita menarik nafas panjang dan melantunkan syair:
Wanita muda takkan tertembus anak panah
Yang dilontarkan dari busur seorang yang tua
Isteri jika tidak merasa senang dengan suami
Akan timbul kekacauan dan peperangan dari dalam rumah
Akhirnya wanita muda itu diceraikannya. Si wanita kemudian menikah dengan seorang laki-laki muda yang berperangai kasar. Ia pun berkata, “Alhamdulillâh, kini aku terbebas dari siksaan yang pedih dan merasakan kenikmatan yang besar ini.”
Alhasil, bagi seorang ‘ârif, siksaan yang paling pedih adalah ketika berteman dan berkumpul dengan musuh-musuh Allah. Dan yang lebih pedih lagi dari itu adalah tatkala ia dijauhkan dari para kekasih Allah. Sekarang, apakah Anda dapat merasakan beratnya siksaan lantaran dijauhkan dari Rasulullah saww dan Ahlul Baitnya? Allah Swt berfirman:
Mereka berada di atas dipan yang bertahtakan emas dan permata, seraya bertelekan di atasnya berhadap-hadapan. (al-Wâqi’ah: 16)
Mungkin, semua ini merupakan sebuah isyarat bahwa para penghuni surga akan, bersandar pada rahmat Ilahi dari merasakan kebahagiaan dengan bersanding betsama orang-orang yang yang bajik. Alhasil, Anda dapat menyaksikan bahwa kenikmatan pertama yang disebutkan oleh al-Quran bagi para penghuni surga adalah teman yang menemaninya di surga. Allah Swt berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan yang Mahakuasa. (al-Qamar: 54-55)
Pada ayat ini, kata nahar (dengah fat-hah pada huruf ha’) mernpakan bentuk jamak dari nahr (sungai). Di sini maksudnya adalah cahaya yang luas dan keagungan. Sementara, kata maq’adi shidqin adalah maqâm mereka yang senantiasa tetap, pasti, dan tidak mungkin hilang. Kedekatan yang tidak akan diiringi rasa berjauhan, keberhubungan tanpa saling berpisah, kegembiraan tanpa diiringi kesedihan, dan kekekalan tanpa kemusnahan dan kebinasaan.
Dalam peristiwa Mi’râj, Allah Swt berfirman kepada Rasul mulia saww: Wahai Ahmad! Sesungguhnya di surga itu ada sebuah istana yang terbuat dari mutiara di atas mutiara yang tidak akan (mengalami) kehancuran dan kemusnahan. Dan, yang tinggal di dalamnya adalah hamba-hamba-Ku yang khusus. Selama sehari, Aku memandangi mereka sebanyak 70 (tujuh puluh) kali dan Aku berbicara dengan mereka. Setiap Aku memandangi mereka, Aku melipatgandakan kedudukan dan kerajaannya sebanyak 70 (tujuh puluh) kali. Dan, kalau para penghuni surga merasa nikmat dengan menyantap makanan dan minuman yang ada di dalamnya, namun mereka (justru) merasakan kenikmatan dengan mengingat (menyebut) firman dan pembicaraan-Ku.
Rasul saww bertanya, “Ya Tuhanku! Apakah tanda-tanda mereka (itu)?” Allah menjawab: Mereka adalah orang-orang yang terpenjara; mereka telah memenjarakan lisannya dari perkataan yang berlebihan dan (memenjarakan) perut mereka dari makanan yang berlebihan. [19]
Ringkasnya, salah satu di antara kenikmatan terbesar yang diberikan Allah kepada para penghuni surga adalah keberadaan mereka di sisi-Nya dan di sisi parakekasih-Nya. Sementara, siksaan paling pedih yahg diberikan Allah kepada penghuni neraka adalah menjauhkan mereka dari sisi-Nya dan dari sisi para kekasih-Nya. Allah Swt berfirman:
Dan (ingatlah) hari (ketika) orang yang zalim itu menggigit dua tangannya seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan (yang lurus) bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan jadi teman akrab(ku). Sesungguhnya ia telah menyesatkan aku dari al-Quran ketika al-Quran telah datang kepadaku.” Dan setan itu tidak akan menolong manusia. (al-Furqân: 27-29)
Perpisahan (seperti) itu merupakan siksaan yang berat dan yang dapat merasakannya adalah mereka yang memiliki kecintaan dan hubungan dekat dengan Allah. Sementara, mereka yang tidak memiliki rasa cinta kepada Allah, tidak akan dapat merasakannya, sebagaimana yang dirasakan oleh mereka yang memiliki kecintaan itu. Allah Swt berfirman:
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman mereka sangat cinta kepada Allah. (al-Baqarah: 165)
Alkisah, tatkala Rabi’ah berada di ambang kematiannya beberapa orang sufi datang menghampirinya. Sufi pertama berkata, “Barangsiapa tidak bersabar dan bertahan dalam menghadapi musibah maka ia bukanlah seorang sufi (arif).” Sufi kedua berkata, “Barangsiapa tidak bersyukur atas musibah yang menimpanya, maka kesufiannya tidaklah benar.” Sufi ketiga berkata, “Barangsiapa tidak merasakan kenikmatan atas musibah yang ditanggungnya, maka pengakuannya (sebagai sufi) itu tidaklah benar.” Rabi’ah berkata, “Seseorang yang musibah menjadi penghalang pertemuan dengan Tuannya, bukanlah seorang ‘ârif.”
Ya, betapa indah jawaban yang ia (Rabi’ah) berikan. Dan al-Quran menceritakan kisah yang dialami pada para wanita Mesir berikut ini:
Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundanglah wanita-wanita itu dan disediakan bagi mereka tempat duduk, dan diberikan kepada masing-masing mereka sebah pisau (untuk memotong jamuan), keluarlah ia berkata (kepada Yusuf), “Keluarlah, (nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)nya, dan berkata, “Mahasempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia.” Wanita itu (Zulaikha) berkata, “Itulah orang yang kamu cela aku karena tertarik kepadanya...” (Yusuf: 31-2)
Itulah kisah isteri Aziz dan para Wanita Mesir tersebut beserta rasa cinta mereka kepada Yusuf as. Namun, dengarkanlah bagaimanakah ucapan Yusuf tentang kecintaannya kepada Allah, yang (menggambarkan bagaimana ia) sama sekali tidak terpengaruh oleh godaan para wanita itu. Ketika itu, ia berkata:
Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. (Yusuf: 33)
Inti pembicaran di sini adalah bahwa pabila seseorang hendak mengetahui maqâm kecintaan Ilahi, ia harus mampu merasakan penderitaan dalam perpisahan dengan-Nya. Dan seseorang yang tidak memiliki hati yang peka, tak mungkin mengetahui maqâm dan kedudukan yang mulia tersebut. Allah Swt berfirman:
Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya. (al-Kahfi: 110)
Sekaitan dengan ini, Matsnawi (karya Rumi) juga menukil sebuah kisah yang amat menarika yang masih ada hubungannya dengan pembahasan kita.
Qais bin Dharih telah jatuh cinta kepada seorang wanita muda, Kemudian, ia pun menikah dengan wanita tersebut (dikisahkan bahwa Imam Husainlah yang meminangkan wanita itu untuknya [Qais]): Namun, selang beberapa waktu, ibu Qais merasakan bahwa kecintaan anaknya (Qais) hanya tercurah kepada isterinya itu dan tidak lagi memperhatikan dirinya. Tumbuhlah perasaan dengki dalam hati sang ibu terhadap menantunya dan ia pun mengadukah hal itu kepada ayah Qais. Kebetulan, sang menantu adalah seorang wanita mandul. Dengan alasan itu sang ayah memaksa Qais menceraikan isterinya. Namun Qais enggan melakukannya. Hingga akhirnya sang ayah bersumpah bahwa bilamana Qais belum menceraikan isterinya, ia akan terus berada di bawah terik matahari.
Setiap hari, sang ayah pergi ke tengah padang pasir dan diam. Di situ. Qais pun tiap hari menghampirinya serta melindunginya dari sengatan sinar matahari. Dikarenakan sang ayah dan sang ibu terus memaksanya untuk menceraikan isterinya, Qais pun kemudian mengabulkannya. Alkisah, tatkala Imam Husain mendengar peristiwa tersebut, beliau memprotes keras sikap Dharih (sang ayah), seraya berkata, “Saya mendengar dari ayah saya bahwasannya ia berkata, ‘Barangsiapa yang memisahkan suami-isteri maka ia sama seperti memisahkan antara anggota tubuh dengan pedang.’”
Setelah menceraikan isterinya, Qais hendak dibawa ke tengah kabilahnya. Suami-isteri itu pun menangis keras, hingga Qais akhirnya jatuh pingsan. Tatkala tersadar, ia mendapati isterinya telah tiada. Kemudian, ia pun menciumi jejak kaki unta yang membawa isterinya. Perpisahan ini membuatnya sangat terpukul, sehingga tingkah lakunya menjadi seperti orang gila, setiap kali ia hendak bertemu dengan mantan isterinya itu, baik kabilahnya maupun kabilah mantan iserinya selalu menghalangi pertemuan tersebut. Meskipun, adakalanya Qais berhasil menyelinap di malam hari dan pergi memuinya.
Suatu malam, ketika ia hendak menemui kekasihnya itu, ia menunggang unta betina yang memiliki anak. Bila sebentar saja Qais tidak mengendalikan unta itu, maka hewan itu pun berbalik arah demi menemui anaknya. Peristiwa ini terjadi berulang kali, hingga akhirnya ia pun melantunkan syair:
Kekasih untaku ada di belakangku
Sementara kekasihku ada di depan
Sungguh aku dan untaku bertolak belakang
Alhasil, ia meninggalkan sang unta bersama kekasihnya (anaknya), sementara ia sendiri berjalan kaki untuk menemui sang kekasih.
Dari kisah itu, dapat kita pahami dengan jelas bahwa api cinta mampu membakar jiwa dan mengubah adah (hidup seseorang), Allah Swt berfirman:
Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya (celupannya) ketimbang Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah. (al-Baqarah: 138)
Setiap hati yang tidak terbakar bukanlah hati
Hati yang keras tidak lain hanyalah segenggam tanah liat
Ilahi anugerahi aku dada dengan api yang berkobar
Di dalamnya hanya sebuah hati dan seluruhnya terbakar
Oleh karena itu, pecinta (‘âsyiq) adalah seseorang yang mengetahui bahwa pedihnya perpisahan jauh lebih perih ketimbang terbakar api.
Perpisahan dengan-Nya adalah sifat dari api neraka
Salah yang kuucapkan, neraka itu adalah sifat dari perpisahan
Ya, orang semacam itu akan bersedia merasakan berbagai musibah dan bencana, namun tidak akan sanggup menahan beratnya beban perpisahan. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sanggup menahan siksa api neraka, namun beliau tidak mampu bersabar untuk jauh dari-Nya. Orang seperti mereka, didunia ini, tidak akan pernah melakukan dosa, sebab, mereka benar-benar merasakan bahwa perbuatan dosa menjauhkan mereka dari Allah.
Dalam kehidupan dunia ini, mereka mengalami dua keadaan. Pertama, suatu keadaan dimana para malaikat yang paling dekat dengan Allah tidak mampu mendekati maqâm mereka, sebagaimana yang tercantum dalam hadis nabawi, “Aku bersama Allah dalam beberapa keadaan yang tidak dapat diraih oleh malaikat yang dekat (dengan Allah) dan tidak pula nabi yang mursal (diutus untuk menyampaikan risalah).” Kedua, suatu keadaan di mana beliau bersabda, “Berbincanglah kepadaku, wahai Humairâ’ (Aisyah).”
Oleh karena itu, kebaikan orang-orang yang berbuat baik adalah keburukan bagi orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah. Dengan demikian, menyibukkan diri dengan perkara yang halal sekalipun, bagi mereka, adalah keterpisahan dengan Allah; dan mereka menganggap keterasingan tersebut sebagai perbuatan maksiat dan dosa.
Teman yang lebih dekat dariku dan denganku
Sungguh mengherankan tatkala aku jauh dari-Nya
Apa yang dapat kuperbuat, apa yang dapat kukatakan?
Dia ada di sisiku dan aku membiarkan-Nya
Namun, yang lebih menyakitkan ketimbang perpisahan adalah adanya sebuah harapan yang pasti. Penjelasannya adalah bahwa (penganut) syiah memiliki berbagai harapan, yang semuanya itu adalah janji Ilahi.
1. Rahmat Allah yang luas.
Sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah:
Mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Baqarah: 218)
(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (al- Zumar: 9)
2. Allah menutupi kesalahan.
Diriwayatkan dari Rasulullah saww bahwa pada hari kiamat nanti beliau akan memohon kepada Allah, “Wahai Tuhanku! Janganlah Engkau menghitung amal perbuatan umatku di hadapan manusia dan janganlah Engkau permalukan di tengah mereka.” Kemudian Allah Swt akan menjawab: Aku lebih mengasihi dan lebih menutupi darimu. Aku akan menghitung mereka dan kamu sekalipun tidak akan mengetahuinya.
3. Ampunan dan anugerahnya-Nya yang sangat banyak.
Dalam al-Quran, berulang kali disebutkan bahwa Allah Swt “sejak dahulu kala” adalah Zat yang Maha Pemberi lagi Maha Pengampun. Dan, Zat yang Mahasuci ini juga memerintahkan kita untuk sudi memaafkan kesalahan. Oleh karena itu, Dia lebih layak mendapatkan sifat ini (pengampun) ketimbang yang lain. Allah Swt berfirman:
Jadilah engkau seorang pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan makruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (al-A’râf: 199)
Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Nûr: 22)
4. Surga disiapkan untuk orang-orang beriman dan neraka untuk orang-orang kafir.
Allah Swt berfirman:
Dan peliharalah dirimu dari api neraka yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Âli ‘Imrân: 131-133)
5. Perintah untuk memohon ampun.
Allah adalah Maha Menerima tobat dan Dia sangat menyukai orang-orang yang bertobat. Dan, bertobat merupakan sifat orang-orang yang bertakwa. Allah Swt berfirman:
Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa merekadan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (Âli ‘Imrân: 136)
6. Tidak berputus asa dan berbaik sangka kepada-Nya.
Allah Swt berfirman:
Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Zumar: 53)
Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesunggunya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir. (Yusuf: 87)
Allah Swt telah berfirman dalam hadis qudsi dan ini telah diriwayatkan oleh Rasulullah saww serta para imam suci,
“Sesungguhnya Aku ada pada prasangka hamba-Ku terhadap-Ku.”
Imam Ali bin Musa al-Ridha, setelah menukil firman Ilahi tersebut, bersabda, “Jika ia berprasangka baik, maka akan mendatangkan kebaikan, dan jika berprasangka buruk, maka akan mendatangkan keburukan.”
Imam Muhammad al-Baqir bersabda, “Aku dapati dalam kitab kakekku, Ali bin Abi Thalib, bahwasannya Rasulullah saww bersabda, sementara beliau berada di atas mimbarnya, ‘Demi yang tiada Tuhan selain Dia, tidak ada sesuatu yang dikaruniakan kepada seorang mukmin yang lebih baik, dari apa-apa yang ada di dunia dan akhirat, melebihi dari berakhlak baik dan tidak menggunjing kaum mukmin. Demi yang tiada Tuhan selain Dia, Allah tidak akan menyiksa seorang mukmin setelah ia bertobat dan memohon ampunan, melainkan dikarenakan perasaan buruk sangkanya kepada Allah dan (lantaran) tidak adanya pengharapan, akhlak (perangai)nya yang buruk, dan perbuatannya (yang) menggunjing kaum mukmin. Demi yang tiada Tuhan selain Dia, jika seorang hamba mukmin berprasangka baik kepada Allah, maka Allah pun akan bersikap sebagaimana prasangka hamba mukmin itu. Sebab, Allah yang di tangan-Nya berbagai kebaikan, merasa malu jika seorang hamba mukmin telah berprasangka baik lantas Dia tidak memenuhi prasangka dun pengharapannya itu. Maka hendaklah kalian berprasangka baik kepada Allah dan cenderunglah kepada-Nya.’”
7. Iman dan wilâyah, mencegah (seseorang) masuk ke dalam neraka.
Ini merupakan sebuah perkara yang telah dijelaskan dalam berbagai riwayat yang mutawâtir.
Dalam hal ini, baik kalangan Syi’ah maupun Ahlusunah, dalam menafsirkan firman Allah yang berbunyi: Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada keluargaku,” [20] mereka mengutip sabda Rasulullah saww yang berbunyi, “Ketahuilah! Barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, maka ia mati syahid. Ketahuilah! Barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, maka ia mati dalam keadaan terampuni. Ketahuilah! Barangsiapa yang mati dalam kecintaan kepada keluarga Muhammad, maka ia mati dalam dalam kesempurnaan iman. Ketahuilah! Barangsiapa yang mati dalam kebencian kepada keluarga Muhammad, maka ia mati dalam kekafiran. Ketahuilah! Barangsiapa yang mati dalam kebencian kepada keluarga Muhammad, maka ia tidak akan mencium bau surga.”
8. Syafaat. Bahwasannya Ahlul Bait akan memberikan syafaatnya kepada orang-orang yang berdosa.
Dan Rasulullah saww juga bersabda, “Syafaatku disimpan untuk mereka yang melakukan dosa besar.”
Selain itu, ketika seseorang di ambang kematian, di dalam kubur, dan pada hari kiamat, ia akan didatangi oleh Rasulullah dan para imam Ahlul Bait yang suci. Pada hari kiamat, masing-masing (orang) akan berteriak, “Duhai diriku!” Namun, pada saat itu, Rasulullah saww akan menyeru, “Duhai umatku, Duhai umatku!”
Dan, tatkala api neraka mulai membakar orang-orang yang berdosa, Rasul saww akan mendatangi neraka. Api yang menjilat-jilat itu akan menjauh dari umatnya. Alhasil, ayat yang merupakan harapan besar kita kepada Allah Swt adalah:
Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas. (al-Dhuha: 5)
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib meriwayatkan bahwa Rasulullah saww bersabda, “Aku akan memberi syafaat kepada umatku sampai Allah menyeru kepadaku, ‘Apakah engkau telah ridha wahai muhammad?’ Lalu aku mejawab, ‘Ya, wahai Tuhanku, aku telah ridha.’”
Diriwayatkan, bahwa Imam Muhamad al-Baqir bersabda kepada Harb bin Syarih Iraqi, “Kalian mengatakan bahwa suatu ayat yang ada dalam kitab Allah dan yang paling diharapkan adalah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” [21] Ia (Harb bin Syarih) menjawab, “Benar, semacam itu.” Imam Muhammad al-Baqir berkata, “Kita semua Ahlul Bait mengatakan bahwa ayat dalam kitab Allah yang paling diharapkan adalah: Dan kelak Tuhanmu pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” [22]
Itu merupakan pengharapan penting yang dimiliki oleh para pengikut Ahlul Bait. Dan yang merupakan musiba serta bencana yang lebih berat dari siksa neraka adalah manakala seseorang telah mengetahui berbagai rahmat dan kemurahan Ilahi, lantas ia masih merasa putus asa sehingga ketika mati ia tidak dapat bertemu dengan Imam Husain, (malah) menyaksikan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dalam keadan marah (na’uzubillah), saat berada di kubur tidak (dapat) menyaksikan Imam Ridha, amal parbuatannya tidak bersinar-sinar, memperoleh teman yang jahat, dan di hari kiamat dikumpulkan dalam satu barisan yang di situ dirinya tidak dapat menyaksikan Ahlul Bait.
Selain itu, tatkala ia menghadapi kesulitan pada saat penimbangan amal perbuatan, ia juga tidak (dapat) menyaksikan Ahlul Bait. Alhasil, ia akan digiring menuju neraka. Di sana, ia tidak memiliki tempat berlindung selain ular, kalajengking, serta tidak akan mendapatkan rahmat, ampunan, dan karunia Ilahi.
Beratnya siksaan ini sungguh tidak dapat dibayangkan oleh akal.
Itulah arti ungkapan Amirul Mukminin, “Dan, berilah aku (ampunan-Mu). Duhai Ilahi, aku dapat bersabar menahan panas api-Mu, tetapi mana mungkin aku dapat bersabar tidak melihat kemuliaan-Mu. Mana mungkin aku tinggal dineraka padahal harapanku hanyalah maaf-Mu.”
Referensi:
19. Irsyad al-Qulûb, Dailami, bagian akhir juz I.
20. Al-Syûra : 23
21. Al-Zumar : 53.
22. Al-Dhuhâ : 5.
(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email