Sebuah Kenangan
Penulis teringat suatu peristiwa yang terjadi di salah satu perguruan tinggi. Salah satu dari anggota komisi ilmiah yang ada di universitas ini mengatakan, ketika kami menganalisa manusia secara cermat, kami menemukan bahwa struktur dan mekanisme tubuh manusia memberikan jawaban sempurna terhadap seluruh pertanyaan kami, yakni melakukan analisa dan telaah terhadap aksi dan reaksi yang terjadi di dalam tubuh, menjadi jelas bagi kami faktor-faktor penyebab munculnya seluruh aktivitas, prilaku, kecenderungan-kecenderungan, instink, dan keadaan lain yang dimiliki oleh manusia. Melalui penelitian ini, kami mampu memahami kenapa manusia bisa marah, bisa menumpahkan kasih sayangnya kepada orang-orang yang dicintainya, bisa gembira, dan bisa bersedih. Bagaimana dia bisa menjadi orang yang jahil atau berilmu, bisa berfikir, dan memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Dan dari sini kamipun mengetahui apa aksi dan reaksi yang bisa diterima di dalam otak setelah manusia memiliki pengetahuan. Ringkasnya, struktur tubuh dan mekanisme alami tubuh manusia, berada dalam kedudukan yang mampu memberikan jawaban untuk seluruh pertanyan-pertanyaan tersebut. Oleh karena itu, tidak diperlukan lagi pembuktian terhadap adanya satu wujud non-materi bernama ruh dan jiwa untuk manusia.
Ketika melihat orang ini yang memiliki pengenalan salah mengenai manusia, tak ada cara lain kecuali harus membuka pembahasan dan saya berkata, "Tuan, apakah benar bahwa seluruh hakikat manusia bisa diketahui hanya dengan mengajukan beberapa pertanyaan saja? Apakah seluruh pertanyaan-pertanyaan yang kemungkinan akan muncul dari manusia hanya terbatas pada beberapa pertanyaan Anda tersebut? Dan tidak ada pertanyaan yang lainnya? Bisa jadi terdapat pertanyaan yang jawabannya tidak bisa kita temukan dari mekanisme natural tubuh manusia. Selain itu, apa yang Anda nyatakan telah Anda temukan dari mekanisme tubuh, apakah benar-benar merupakan jawaban dari pertanyaan Anda ataukah hanya merupakan premis dan pendahuluan untuk sebuah jawaban, dan Anda menyangka bahwa Anda telah menemukan jawabannya. Sekarang saya juga mempunyai beberapa pertanyaan dan hendaklah Anda menjawabnya dengan metode analisa aksi-reaksi atas struktur tubuh manusia sebagaimana yang telah Anda pergunakan.
Pertanyaan pertama, seluruh manusia yang teis dan ateis akan menganggap dirinya sebagai manusia yang ideal dan besar karena merasa mempunyai keseimbangan dalam mengontrol kecenderungan-kecenderungan tubuh, keinginan-keinginan jiwa dan syahwat hewaninya, sementara pada sisi lain terdapat pendosa-pendosa dan penyembah hawa nafsu pada semua tempat. Apabila manusia hanyalah ibarat sebuah badan, maka baginya tidak ada kesempurnaan yang lebih tinggi selain memberikan jawaban positif pada seluruh kecenderungan dan syahwatnya. Jika manusia tidak memiliki dimensi lain selain dimensi materi dan hewaninya, lalu kenapa fitrah seluruh manusia memberi kesaksian bahwa dengan semakin tidak memperhatikan kecenderungan dan syahwat miliknya, dia akan semakin sempurna? Sementara apabila manusia hanya menyimpulkan dirinya dalam tubuh materi dengan seluruh kecenderungannya, berarti manusia yang sempurna dan beruntung adalah mereka yang lebih memperhatikan keinginan-keinginannya tersebut lalu menjaga dan memenuhi tuntutannya hingga batasan yang memungkinkan. Semakin ia bisa memuaskan keinginan hawa nafsunya, seharusnya dia menjadi manusia yang semakin sempurna dan semakin berhasil. Dengan demikian, tidak ada lagi hukuman dan denda untuk pelaku setiap pengkhianatan dan kejahatan, karena dengan melakukan hal tersebut niscaya seorang manusia telah sempurna dan ideal secara mutlak. Sama sekali tidak akan menghindari tuntutan syahwat dan kecenderungan tubuh, karena hal ini akan membahayakannya dan tak menyempurnakannya. Dengan demikian, apabila terdapat orang yang tidak melakukan dosa dan tidak memuaskan keinginan alaminya sebaliknya dia akan mengontrol dirinya dalam hal-hal tersebut, dia malah akan menjadi orang yang tak sempurna, lemah, dan tak memiliki kekuatan. Akan tetapi kita lihat, tidak ada satupun manusia yang meyakini celoteh batil ini, bahkan mereka mengatakan bahwa manusia yang sempurna dan berhasil adalah manusia yang mempunyai kemampuan menyeimbangkan seluruh kecenderungannya dan mampu melawan keinginan hawa nafsunya. Jadi, manusia memiliki hakikat yang lebih tinggi dari tingkatan hewani.
Pertanyaan kedua, kita menyaksikan bahwa begitu manusia melewati usianya yang ke 35, dia akan memiliki mekanisme berfikir dan kontemplasi yang semakin mendalam dan semakin sempurna, padahal dari sini hingga selanjutnya tubuhnya setahap demi setahap akan semakin melemah. Dengan ibarat yang lain, rasionalitasnya akan semakin kuat dan pemahamannya akan semakin cermat, akan tetapi tubuh dan mekanisme sel-sel tubuhnya akan semakin mengarah pada kerapuhan dan kelemahan. Sebagai contoh, semakin lanjut usia seorang filosof, maka perkataan yang diucapkannya akan semakin matang dan mendalam. Di sini akan muncul persoalan berikut, apabila hakikat manusia hanya berupa tubuh ini, dengan semakin melemahnya tubuh, berarti pikiran dan kecerdasannya pun akan semakin melemah dan semakin banyak melakukan kesalahan pula, sementara yang terjadi adalah kebalikannya, ilmuwan dan cendekiawan yang jenius dan cerdas, pada usia separoh bayanya tidak bisa lagi dibandingkan dengan masa mudanya, pada usia ini dia telah muncul sebagai orang yang mampu menuangkan ilmu-ilmunya dengan pengetahuan lebih luas dan pemikiran yang lebih mendalam, dan menjadi orang yang semakin diyakini pendapat, gagasan, konsep, dan pemikirannya.
Pertanyaan ketiga, kita melihat pelajar-pelajar pada tingkat sekolah dasar akan mempelajari persoalan-persoalan matematik yang sederhana. Misalnya, mempelajari bahwa 2x2 = 4, tahun demi tahun terlewati, dan subyek ini tetap ada secara permanen pada diri mereka dan tidak terjadi sedikitpun perubahan, apabila tujuh puluh tahun kemudian ditanyakan dua kali dua berapa hasilnya, maka mereka akan mengatakan jawabannya dengan cepat. Akan tetapi dari sisi lain, kita mengetahui bahwa tubuh pada setiap tujuh tahun akan mengalami perubahan secara total bahkan unsur-unsur pertama yang terdapat pada sel-sel otak pun akan mengalami perubahan. Apabila manusia hanya didefinisikan sebagai mekanisme tubuh natural dan sel-sel material, dengan berlalunya masa dan dengan terjadinya perubahan pada setiap sel-sel yang dimilikinya, maka pasti segala ingatan dan kenangan-kenangannya pun akan mengalami perubahan pula, lalu kenapa yang terjadi tidaklah demikian? Begitu banyak kenangan kanak-kanak dan pengetahuan-pengetahuan awal yang tetap melekat erat hingga akhir hayat seorang manusia.
Jadi, bisa terjelaskan dengan baik bahwa manusia memiliki dimensi non-materi dan metafisika yang akan menjaga seluruh bentuk ilmu, pengetahuan, dan kenangan yang ada di dalam benaknya, sedemikian hingga tidak ditemukan sedikitpun cacat dan kelemahan pada mereka, meskipun terjadi perubahan-perubahan pada sel-sel tubuh. Bahkan kadangkala kita melihat bahwa peristiwa atau kenangan yang telah terlupakan akan kembali teringat dengan mengutarakan konteks-konteks tertentu, hal ini akan menjelaskan dengan baik bahwa sebenarnya persoalan-persoalan yang telah terlupakan tetap terjaga dalam lembaran jiwa manusia dan tidak mengalami sedikitpun perubahan.
Wejangan Alamah Thabathabai
Ketika seseorang bertanya tentang tahapan-tahapan makrifat dan perjalanan spiritual, Alamah Thabathabai ra mengungkapkan tiga pesan pentingnya, yaitu musyarathah[1], muraqabah[2] dan muhasabah[3]. Berkata, pada awal hari kita harus mempersiapkan diri sedemikian rupa supaya senantiasa mampu menjaga diri dari khayalan-khayalan nafsu dan bisikan setan, lalu mensyaratkan diri misalnya hari ini aku harus berusaha sedemikian rupa menjaga diriku supaya tidak melakukan hal-hal yang melawan keridhaan dan perintah-Nya dan harus bertekad untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan aib dan tercela, dan setelah keputusan awal ini, pada awal hari kita harus memegang kuat-kuat apa yang telah kita syaratkan untuk diri kita sendiri selama sehari penuh hingga mampu menyelesaikannya dengan baik. Alamah melanjutkan, yang kedua adalah muraqabah, yakni perbuatan yang senantiasa terjadi antara dua pihak secara timbal balik, yaitu Tuhan akan menjagamu dan kamupun harus menjaga perintah-Nya dan melakukan segala sesuatu sesuai kehendak dan keridhaan-Nya. Setelah melewati kedua tahapan ini, kini sampai pada tahapan ketiga yaitu muhasabah, dengan makna bahwa pada saat-saat terakhir disetiap hari kita mencoba memikirkan kembali segala gerak dan perbuatan yang telah kita lakukan sepanjang hari, memperhatikan sesaat demi sesaat yang telah terlalui, bertanya, dan melihat pada diri sendiri, apa yang telah dihasilkannya hari ini dengan hilangnya aset penting dari tangannya. Pada tahapan ini, dengan ketelitian dan kecermatan penuh dia harus memperhatikan aktivitas, kedatangan, kepergian, duduk, makan, percakapan, tulisan, dan ringkasnya seluruh gerak dan perbuatan yang telah dia lakukan, lalu memisahkan yang baik dari yang buruk. Setiap kali menemukan perbuatan tak pantas, beristighfar dan memohon ampunan dari-Nya, dan bertekad untuk mengubahnya, dan setiap kali melihat keberhasilan senantiasa mengucapkan syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya.
Alamah berkata, orang yang melalui hidupnya dengan cara seperti ini, dia akan bertemu dengan berbagai kesempurnaan yang keberhasilannya jarang ditemukan, dan ketinggian ruhani dan spiritualnya tidak bisa dibandingkan dengan seluruh manusia biasa yang tidak melakukan penghitungan dan hisab atas segala amalan dan prilaku hariannya pada setiap malam hari.
Hubungan Makrifat Diri dan Makrifat Kesempurnaan
Setiap benda secara khusus memiliki kesempurnaannya sendiri. Untuk membedakan kesempurnaan setiap benda maka kita harus mengenal dan mengetahui hakikat benda tersebut. Demikian juga untuk mengetahui kesempurnaan manusia, harus pula dilakukan melalui pengenalan dan makrifat diri manusia secara utuh dan komprehensif. Seseorang bisa menyatakan dirinya mampu mengetahui setiap titik kulminasi dan kesempurnaan manusia dengan baik, ketika dia memiliki makrifat menyeluruh, benar, dan mendetail tentang manusia. Jadi, mengenal manusia secara hakiki berarti mengenal kesempurnaannya secara hakiki pula. Selama manusia belum mengenal dirinya dengan benar berarti dalam menentukan kesempurnaan dirinya pun akan mengalami kesalahan, dan kadangkala dia akan menempatkan ketaksempurnaan dan kekurangan pada posisi kesempurnaan dan kebahagiaan. Orang yang tidak mengenal dirinya, dia tidak akan mengetahui apa-apa tentang kesempurnaannya. Mereka yang sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di luar jasmaninya dan menganggap segala yang berada di bawah kekuasaan kecenderungan-kecenderungan alami dan keinginan syahwatnya sebagai suatu kesempurnaan, maka sebenarnya dia tidak berhasil, dan akibatnya, dia tak lebih dari seekor binatang yang berbulu halus dan memakan rumput-rumputan berkualitas unggul. Orang semacam ini tak lain adalah mereka yang tidak mengenal dirinya dan memilih mengenal selain jiwanya serta meletakkan kecenderungan materi pada tempat dimana seharusnya dia meletakkan keinginan jiwa hakikinya. Oleh karena itu, manusia yang lalai terhadap jiwanya, sama sekali tidak akan pernah menggapai kesempurnaan dan kebahagiaan.
Alienasi Manusia Modern
Manusia pada masa modern ini telah kehilangan jati dirinya. Dia telah meletakkan dirinya pada wilayah yang tak bisa tergapai dan hakikat dirinya tetap tersembunyi di balik tirai kejahilan dan kebodohan. Dikarenakan manusia tidak mengenal dirinya sendiri, maka dia melakukan kesalahan dalam menentukan kesempurnaan hakiki. Mereka hanya mengenal dirinya sebatas tubuh kasar dan menyangka bahwa seluruh kebahagiaannya terletak pada semakin banyaknya dia memperhatikan tubuh dan memenuhi keinginan-keinginan rendah tubuh.
Dengan alasan inilah, banyak yang mendefinisikan kebahagiaan dan kesempurnaan manusia sebagai, tidur yang baik, pola dan menu makanan yang baik, tempat piknik yang sesuai, rumah besar, mobil indah, dan pernik-pernik kehidupan materi lainnya, dimana untuk menggapai ide-idenya ini manusia tidak akan segan-segan untuk mencampakkan kasih sayang, toleransi, rasionalitas dan menggantikannya dengan kekerasan, dan tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya segala perbuatan yang dilakukannya, dia telah membuat jurang yang terjal dan berbahaya bagi jasmani dan jiwanya sendiri, dan sesuatu yang mempunyai nilai penting baginya hanyalah realitas materi yang manfaat.
Sebagai misal, pada zaman perang Irak-Iran, terlihat orang-orang yang bukan warga negara Irak telah menjadi pilot yang disewa oleh Irak. Mereka membombarder kota-kota Iran dengan imbalan uang yang tak terkira banyaknya. Sekarang, jika orang semacam ini membuat istana, membeli mobil, dan vila dengan uang yang dihasilkannya, apakah dia bisa dikatakan sebagai manusia yang berbahagia dan telah sampai pada kesempurnaan? Apakah dia bisa dikatakan sebagai orang yang berhasil dan sukses?
Ya, bisa jadi orang yang tidak mengenal manusia dan kesempurnaannya, menganggap persoalan-persoalan tak berharga seperti ini sebagai sebuah kesempurnaan, dan dia sama sekali tidak akan bertanya kepada pemilik segala kemewahan ini tentang sumber dan asal seluruh harta dan kekayaan yang telah dia hasilkan. Akan tetapi orang yang mengenal hakikat manusia dan kesempurnaannya, dia hanya akan menganggap harta benda dan materi sebagai sebuah kekayaan yang berharga dan bermanfaat ketika mengantarkannya kepada kemuliaan dan kebahagian hakiki dan sesuai dengan martabat suci manusia.
Kelezatan Manusia
Ibnu Sina dalam kitab Isyarat wa Tanbihat, mendeskripsikan kelezatan manusia dalam satu pembagian universal, yaitu syahwat, amarah, imajinasi, dan rasio.
Kelezatan syahwat adalah kelezatan tertentu yang dirasakan oleh salah satu organ tubuh manusia. Sebagai contoh, lidah merasakan manis dan langit-langit mulut akan menikmati kelezatannya. Kelezatan adalah sebuah perolehan dan pencapaian. Kelezatan perolehan ini, kadangkala dihasilkan oleh organ lidah yang melakukan aksi dan reaksinya pada permukaan lahiriah lidah sehingga kemudian manusia memahami rasa tertentu, akan tetapi kadangkala pula rasa tertentu ini dirasakan oleh manusia tanpa perantara organ materi lidah, melainkan dia mampu merasakan kelezatan tanpa berhubungan dan bersentuhan sama sekali dengan indera perasa. Sebagai contoh, ketika dalam tidurnya manusia bermimpi meminum sirup yang sangat lezat, sebenarnya dia telah merasakan kelezatan ini tanpa menggunakan organ perasa lidah.
Kelezatan-kelezatan syahwat muncul dari selera-selera rendah yang bukan hanya tidak penting bagi manusia, bahkan mungkin akan bisa menjadi penghalang dan pengganggu bagi gerak menyempurnanya. Sebagaimana seseorang yang melakukan aktivitas makan, tidur, dan memenuhi syahwat hewaninya secara terus menerus, akan membuatnya tetap berada pada sumbu hewani secara permanen.
Kelezatan kedua yang berhubungan dengan potensi amarah manusia. Sebagaimana kita ketahui, balas dendam dan kemenangan pada pihak tertentu atau tertimpanya musibah yang menyedihkan bagi musuhnya akan menimbulkan semacam ketenangan dan perasaan lezat bagi pelakunya. Memuaskan potensi amarah ini begitu menariknya sehingga kadangkala mengalahkan kelezatan syahwat dan tak jarang manusia akan mengesampingkan kelezatan syahwatnya dengan alasan untuk memperoleh kelezatan amarah ini, dan bisa jadi bahkan dia akan rela mengorbankan nyawanya dan bergerak hingga ke ambang kematian untuk melampiaskan balas dendam dan kemarahannya.
Kelezatan ketiga yang terkait dengan imajinasi dan khayal adalah yang sebagaimana kelezatan-kelezatan yang mengantarkan orang pada lahirnya sifat-sifat sombong, angkuh, merasa tersohor, memegang kepemimpinan, kekuasaan, dan egois, yang keseluruhannya ini merupakan kelezatan-kelezatan yang sama sekali tidak berhubungan dan tidak bersentuhan langsung dengan tubuh manusia, melainkan berhubungan dengan gairah dan gejolak batin. Dan kelezatan ini jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan kelezatan-kelezatan alamiah tubuh. Dan untuk mendapatkan kelezatan imajinasi ini sering kali terlihat sebagian individu menutup diri dari seluruh kelezatan tabiat dan alami. Misalnya untuk memperoleh kekuasaan, seseorang bisa menutup mata dari makan, minum, dan pemenuhan syahwat-syahwat yang lainnya.
Bagian keempat dari kelezatan ialah kelezatan akal atau rasio. Kelezatan ini sebagaimana kecerdasan, memiliki begitu banyak tingkatan dan derajat. Dimulai dari memanfaatkan ilmu, manisnya melakukan ibadah, jihad, hingga pada mengorbankan jiwa. Dalam keadaan seperti ini, dengan meninggalkan begitu banyak kelezatan dan kecintaan yang lainnya, manusia akan bergerak ke arah Tuhan dan fana dalam penghambaan pada Sang Pencipta alam, lalu dia akan menemukan esensi wujudnya sebagai manifestasi Ilahi dan apa yang diperoleh dari kesempurnaan di dalam dirinya ataupun diluar dirinya semuanya berhubungan dengan kesempurnaan wujud Tuhan.
Tingkatan Kelezatan
Antara satu kelezatan dengan kelezatan yang lainnya terdapat perbedaan dan tingkatan. Dan ukuran perbedaan masing-masing setara dengan perbedaan substansinya, yaitu perbedaan kelezatan akal dengan kelezatan inderawi terletak pada ukuran kedekatan diri kepada Tuhan ketika mengecap kelezatan itu. Esensi kelezatan hanya bisa dipahami melalui hakikat jiwa, tentunya aksi dan reaksi yang terdapat dalam anggota tubuh merupakan perantara untuk memindahkan kelezatan tersebut kepada jiwa. Sebagai contoh, apabila kita merasakan manisnya gula di langit-langit mulut lalu kita menyukainya, maka gula yang memiliki rasa manis merupakan perantara awal dan lidah merupakan perantara kedua untuk memahami kelezatan lahiriah tersebut.
Kelezatan-kelezatan manusia dan untuk memperoleh nya harus dilakukan dengan memanfaatkan beberapa perantara dimana masing-masingnya akan bertindak dengan cepat, namun kesibukan jiwa dan perhatian manusia pada dimensi yang lain akan menyebabkan jiwa manusia tidak mampu menggapai kelezatan tanpa melalui perantara. Oleh karena itu, terdapat perantara dan penghalang supaya pesan terkirim ke otak dan akan terjadi aksi dan reaksi yang beragam supaya kelezatan bisa diraih secara maksimal dan sempurna. Perantara-perantara ini akan melemahkan pencapaian kelezatan dan semakin banyak perantara maka akan terdapat hijab dan penghalang perolehan kelezatan yang semakin besar pula, dan sebaliknya apabila perantara semakin berkurang, maka perolehan kelezatan akan yang lebih jelas dan berkualitas. Meskipun tanpa perantara pun sebagian dari kualitas-kualitas tersebut akan bisa ditemukan dan pencapaian kelezatan ini akan menjadi lebih jernih, sebagaimana seseorang yang berada pada alam mimpi, ketika dia meminum sirup atau memakan sesuatu, maka kelezatan yang diperolehnya terasa lebih tinggi dari kelezatan ketika dia makan dan minum sesuatu dalam keadaan sadar, dan baginya perolehan kelezatan tanpa perantara materi jauh lebih kuat dan lebih memikat.
Kelezatan Khayal dalam Pandangan Ibnu Sina
Abu Ali Sina dalam kitab Isyarat wa Tanbihat[4] dalam pembahasannya tentang kelezatan khayal manusia, menganggap kelezatan ini sebagai sebuah pengaruh dari munculnya keinginan, harapan, dan permintaan hawa nafsu manusia, dengan makna bahwa dalam anggapan manusia ini begitu banyak ide dan harapan yang menurutnya berharga, lalu dia menyangka apabila harapan tersebut terwujud di alam luar, maka dia akan mendapatkan begitu banyak kebahagiaan, kesuksesan dan kesempurnaan. Sebagai contoh, seseorang yang menginginkan jabatan, kekuasaan, kehormatan, dan kepribadian yang tinggi, apabila suatu hari harapannya terwujud, maka kelezatan yang dihasilkan oleh kekuasaan dan jabatan tersebut merupakan kelezatan khayalan.
Manusia ini telah terikat dan tertarik pada sesuatu yang tidak benar-benar dia miliki secara hakiki, dengan makna apabila suatu hari kepribadian khayalan tersebut terambil darinya, maka dia akan kembali menjadi individu yang sebelumnya, yang secara pasti telah melewati umurnya tanpa menemukan sedikitpun perkembangan signifikan dalam umur yang telah terlewati tersebut. Dia tak lain adalah orang yang terkena musibah dan malapetaka besar, karena seluruh kekuasaan dan jabatan itu tidak akan memberikan kesempurnaan hakiki dalam dirinya. Hal ini merupakan kebalikan dari kelezatan akal yang akan kami bahas setelah ini.
Akan tetapi kelezatan-kelezatan inderawi, sebagaimana makan, tidur, memuaskan instink alami, apabila pelampiasan ini hanya bertujuan untuk hidup dan bahkan tujuan hidup untuk makan dan minum serta tak ada tujuan lain selain memuaskan keinginan alami, manusia ini meskipun akan menemukan manfaat-manfaat alami tubuh, akan tetapi harus diketahui bahwa kelezatan-kelezatan tersebut merupakan kelezatan-kelezatan hewani yang memiliki tingkatan lebih rendah. Manusia seperti ini tidak akan pernah mengeluarkan kepalanya dari tubuh hewaninya dan tidak memiliki informasi sedikitpun tentang alam insani, dia tetap tinggal dalam batasan kehewanannya, dan seluruh jerih payahnya hanya berada pada batasan-batasan hewan tersebut.
Manusia semacam ini telah meletakkan dirinya untuk berhidmat pada tingkatan hewani dan melupakan atau mengesampingkan tingkatan insaninya sendiri. Jalan yang dia pilih ini sama sekali tidak akan pernah mengantarkan seluruh potensi insaninya untuk menjadi sesuatu yang aktual dan menyempurna, dan pada hari kiamat kelak dia tidak akan dibangkitkan sebagai manusia. Sekarang pertanyaan yang masih tertinggal adalah bahwa apakah kesempurnaan manusia itu? Dalam jawabannya bisa dikatakan bahwa satu-satunya kesempurnaan yang layak bagi manusia adalah sampainya dia pada kelezatan akal dan rasio.
Meskipun telah dikatakan bahwa kelezatan-kelezatan akal memiliki tingkatan dan derajat yang beragam, paling tingginya kedudukan rasionalitas dan bahkan di atas rasionalitas, tak lain adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu Sina, "Kesempurnaan mutlak manusia adalah kesempurnaan akal dan rasionalitas, yaitu cahaya Tuhan memancar ke dalam dirinya dan dia tetap berada dalam kesempurnaan yang mulia dan agung seiring dengan menetapnya pancaran suci Tuhan."[5]
Tujuan tinggi manusia adalah menggapai penegasan Ilahi dan pancaran taufik-Nya dan melangkahkan kakinya pada tingkatan tinggi ini, jika hal ini dicapai berarti ia telah meraih seluruh keberhasilan manusia dan tidak ada satupun martabat atau kedudukan yang sesuai dan lebih tinggi baginya.
Pada tingkatan ketuhanan ini, manusia akan menghadapkan wajahnya ke arah tak terbatas dan sesaat demi sesaat dari umurnya merupakan gerakan menuju kesempurnaan.
Pada ufuk tak terbatas ini, seluruh kekuatan dan potensi manusia secara bersamaan akan menuju ke satu arah yang lebih baik dari khayal dan imajinasi. Ini merupakan tujuan tinggi insani dimana mata harus tertutup dari selain-Nya dan hati tak tertambat pada selain-Nya.
Analisa Batasan Kelezatan Inderawi
Pada pembahasan terdahulu telah kami katakan bahwa kelezatan-kelezatan manusia memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Filosof besar Ibnu Sina pada bab kedelapan kitab Isyarat wa Tanbihat menyinggung khayal dan imajinasi menjadi lima tingkatan dimana kelezatan-kelezatan ini berada di atas kelezatan inderawi. Dan kebanyakan masyarakat meninggalkan kelezatan-kelezatan inderawi karena adanya tarikan-tarikan kelezatan-kelezatan di atas kelezatan inderawi. Dengan hal ini dia hendak membuktikan bahwa kelezatan-kelezatan inderawi memiliki batasan dan bukan kelezatan yang terbaik. Ibnu Sina dalam hal ini menuliskan, "Kalangan awam menganggap bahwa paling tingginya tingkatan kelezatan tak lain adalah kelezatan inderawi, seperti makan, tidur, marah, dan syahwat, sedangkan kelezatan-kelezatan non-inderawi merupakan kelezatan-kelezatan yang rendah."[6]
Kemudian Ibnu Sina menyanggah pernyataan di atas dengan menyebutkan contoh-contoh berikut:
1. Kadangkala sebagian dari individu-individu ini yang hingga batasan tertentu memiliki kemampuan analisa yang benar dan berkata kepada mereka, bukanlah kalian menganggap bahwa kelezatan-kelezatan inderawi yang paling baik adalah kelezatan-kelezatan seksual, makanan, dan sepertinya? Lalu kenapa kadangkala kita melihat pada sebagian individu yang untuk sampai pada satu kelezatan khayal dia bisa mengesampingkan kelezatan-kelezatan inderawi semacam ini? Misalnya seseorang yang tengah asyik bermain catur, kadangkala keasyikannya telah membuatnya tak sadar bahwa dia telah mengesampingkan makanan dan minuman-minuman lezat yang telah dihidangkan untuknya, dan dia tetap asyik bermain dengan khayalannya sendiri hingga berjam-jam lamanya.
2. Demikian juga, bisa jadi media untuk memperoleh sebagian dari kelezatan-kelezatan inderawi seperti makanan dan menikah tersedia di hadapan orang yang menginginkan "kesucian" dan kekuasaan, akan tetapi demi menjaga kebesaran dan keuntungannya, dia akan menjauhi kelezatan-kelezatan inderawi tersebut. Baginya menjaga kedudukan dan keuntungan terasa lebih lezat dan lebih sesuai dari pada meraih kelezatan-kelezatan inderawi.
3. Kadangkala bagi seseorang yang berjiwa pemurah, ketika tiba masa untuk memberi, dia akan lebih memilih kelezatan memberi atas kelezatan sifat hewani, dan dia mendahulukan pihak lain dari dirinya sendiri dalam merasakan kenikmatan. Oleh karena itulah dia bergegas untuk memberi. Jadi, jelas bahwa kelezatan memberi baginya terasa lebih tinggi dari kelezatan-kelezatan inderawi dan keinginan-keinginan hewani.
4. Demikian juga manusia yang berjiwa besar dan mulia, di akan memilih lapar dan haus untuk menjaga harga dirinya, dan pada medan perang, ketika terdengar ajakan untuk menyerang dia akan menganggap ketakutan terhadap kematian dan kebinasaan mendadak merupakan sebuah persoalan yang sangat sepele.
5. Bisa jadi pula, untuk sebagian pasukan perang, karena penghargaan dan pujian telah memberikan kelezatan dan kenikmatan yang tak terkira, hal ini telah menyebabkan mereka menyambut hal-hal yang berbahaya tanpa pikir panjang dan mereka akan segera menyerang ke arah musuh. Mereka mendahulukan kelezatan kebanggaan setelah mati dari pada kehidupan yang rendah.
Contoh-contoh di atas, menunjukkan bahwa kelezatan-kelezatan inderawi bukan merupakan hal yang paling ideal bagi manusia, karena kadangkala manusia menggunakan kelezatan-kelezatan inderawi tersebut sebagai alat untuk mencapai kelezatan-kelezatan yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, apa yang ada di dalam benak masyarakat umum tentang kelebihan kelezatan inderawi merupakan persoalan hakiki manusia yang tidak mereka ketahui, dan mereka hanya menyarikan manusia dalam mekanisme natural dan alam materi saja. Ibnu Sina juga menisbahkan pernyataan yang serupa dalam anggapan keliru masyarakat umum, yaitu metode tafakkur semacam ini beranjak dari khayalan rendah, karena apa yang menguasai mekanisme berpikir masyarakat umum adalah khayalan bukan rasionalitas. Sebagaimana khayalan juga menguasai dunia hewan. Hanya saja, perbedaan yang jelas antara manusia yang terletak pada tingkatan ini dengan hewan adalah manusia memiliki potensi untuk mencapai kesempurnaan dan mereka bisa bergerak ke arah kesempurnaan insani, meskipun selama mereka belum berada pada perjalanan insani dan kesempurnaan insani, hanya khayalanlah yang akan menguasainya, mereka tidak akan mendapat manfaat dari akal teoritis dan kelezatan akal. Kodrat khayalan manusia ini adalah mereka memegang dan mengatur persoalan-persoalan dunia, duduk, bangkit, melakukan transaksi dan lain sebagainya. Dan ringkasnya, manusia ini tak lebih hanya sebagai pemuas potensi-potensi inderawinya. Oleh karena itu, kelezatan inderawi bukan saja tidak lebih kuat dan lebih tinggi dari kelezatan-kelezatan yang lain, bahkan kelezatan ini merupakan kelezatan yang paling rendah jika dibandingkan dengan kelezatan-kelezatan lainnya.
Sebenarnya jika manusia yang mampu melesak dari mekanisme inderawi dan khayalan, melihat dirinya terpenjara dalam kerangka tubuh, maka sebenarnya harus diketahui bahwa tidak saja dia telah dicengkeram oleh kekuatan hewani dan setani dimana cakar dan giginya telah memasuki jantung dan meresap ke dalam jiwanya, bahkan hawa nafsunya pun telah mengikat erat tangan, kaki, mata dan telinganya. Dalam keadaan ini, maka dia harus secepatnya menyelamatkan diri dari perangkap yang melingkupinya dengan cara semakin mendekatkan diri kepada para wali-wali Ilahi dan memberikan perhatian yang penuh pada dirinya sendiri, lalu melepaskan diri dari penjara tubuh untuk terbang ke arah alam insani.
Perubahan dan Kesempurnaan
Insan berada pada lintasan yang terletak di antara dua kutub positif dan negatif. Menghadap ke satu arah artinya membelakangi arah lainnya. Mendekati salah satu kutub akan berarti menjauhi kutub yang lainnya. Dengan perkataan lain, semakin dia mendekati alam tabiat dan jasmani maka sejauh itu pulalah dia telah menjauhi alam spiritual dan Ilahi, persis dengan tolok ukur tersebut, mensucikan diri dari pengaruh alam materi, akan senantiasa diiringi dengan kebersihan ruh, pertumbuhan, dan kesempurnaan spiritual. Menjadi jelas bahwa berkumpulnya dua kutub positif dan negatif adalah mustahil, hal ini sama dengan kemustahilan berkumpulnya dunia dan akhirat secara bersamaan.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah swt berfirman, "Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi."[7]
Sebelum ini kami telah mengatakan bahwa seiring dengan semakin jauh dari satu kutub akan diikuti dengan semakin dekatnya ke kutub yang berlawanan. Tentang masalah ini, saya teringat dengan cerita yang biasa dikatakan oleh sebagian ulama besar kepada murid-muridnya. Suatu hari aku kehilangan sebuah cincin, dan aku menghabiskan beberapa waktu untuk mencarinya. Persis pada saat aku tengah mengkonsentrasikan diriku untuk pekerjaan ini, tiba-tiba muncul pikiran dalam benakku, kenapa aku bisa sedemikian mencintai sesuatu sehingga waktuku terbuang sia-sia untuk itu, sedangkan hal ini tidak layak bagiku. Jadi, aku menghentikan pencarian cincin itu sejak saat itu juga. Lalu aku berwudhu dan menyibukkan diri dengan belajar di perpustakaan.
Hari itu aku merasakan adanya cahaya dalam diriku, aku mampu menyelesaikan sebuah tema ilmiah dengan sangat cepat dan pada waktu yang singkat aku telah mampu mempelajari dan menyelesaikan begitu banyak problem dan tema yang ada di dalam kitab dan jadilah aku mengetahui bahwa dengan meletakkan urusan dunia dan menggantikannya dengan memusatkan perhatian pada pelajaran, Tuhan telah memberikan taufik padaku, dimana dalam waktu yang demikian singkat aku telah berhasil mengambil manfaat terpenting dari sebuah ilmu.
Sebuah Catatan
Apabila mereka menganggap dunia sebagai sebuah hal yang negatif, di saat itulah ketika dunia dianggap sebagai satu-satunya tujuan, hal ini akan menyebabkan jauhnya diri dari Tuhan dan seluruh kesempurnaan manusia, dan menjadi penghambat bagi perkembangan serta kesempurnaan spiritual manusia, akan tetapi apabila dunia yang sama dimanfaatkan dengan cara yang benar dan pemanfaatannya kita letakkan dalam garis perkembangan dan kesempurnaan manusia, bukan saja dunia ini tidak negatif, bahkan dunia bisa menjadi media pertumbuhan dan faktor dasar bagi gerak manusia menuju tujuan penciptaan manusia yaitu Tuhan.
Metode Memanfaatkan Kelezatan
Apabila telah dikatakan bahwa manusia memiliki kelezatan-kelezatan inderawi, instink, dan khayal, sekarang harus dikatakan bahwa larut dalam kelezatan-kelezatan ini akan menjadi penghalang untuk sampai kepada kesempurnaan manusia dan kelezatan akal. Kami harus pula mengingatkan tentang poin berikut bahwa memanfaatkan setiap kelezatan-kelezatan ini, bukan berarti akan menghalangi perkembangan dan kesempurnaan manusia, melainkan mencukupkan diri di dalamnya yang akan menghalangi manusia untuk mencapai kesempurnaan yang seharusnya layak dia peroleh. Jadi manusia bisa mengambil manfaat dari seluruh kelezatan-kelezatan ini, dan pada saat yang sama dia harus melangkah pada lintasan kelezatan yang benar yaitu kelezatan akal dan kesempurnaan manusia.
Tentunya hal ini akan terjadi ketika seluruh potensinya, baik yang berbentuk amarah, syahwat, dan khayalan berada di bawah kontrol dan pengawasan dari potensi akal, yaitu pada saat manusia sampai pada tingkatan akal, seluruh potensinya dia kerahkan untuk berjalan ke arah kesempurnaan manusia, potensi yang sama yang sebelum ini menghalangi jalannya, setelah ini dan selanjutnya akan menyediakan media bagi pertumbuhan menyempurnanya dan akan mendorong munculnya gerakan yang lebih baik baginya. Perjalanan kesempurnaan semacam ini, bukan saja tidak menjadi penghalang, bahkan akan mendorong dan membimbing manusia menuju jalan kesempurnaan. Sebagai contoh, Rasulullah saww menjalani kehidupannya di antara para penduduk dengan membentuk kehidupan berkeluarga, beliau juga melakukkan perdagangan dan bersosialisasi dengan masyarakat, sedemikan sehingga keluhuran akhlak dan budi pekerti beliau menjadi pembicaraan dalam al-Quran, "Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung"[8]. Beliau selain memanfaatkan karunia alam natural ini juga mengarahkan pandangannya pada titik kulminasi kesempurnaan manusia.
Ketika seluruh potensi manusia berada di bawah kekuasaan akal, dengan kepemimpinan akal ini, semua potensi ini akan berubah menjadi bentuk-bentuk yang aktual, akal juga akan merubah perjalanan dan tujuan kehidupan, dan seluruh persoalan besar dan kecil akan terwarnai dengan pandangan Ilahi.
Ibnu Sina pada bab ke sembilan kitab Isyarat, mengatakan bahwa orang arif dalam kehidupannya memiliki kedudukan dan derajat tersendiri, dimana hal ini hanya terjadi pada kalangan mereka dan orang lain tidak akan bisa memahami kedudukan dan derajat tersebut. Mereka seakan mengenakan pakaian ruh dan tinggal di alam materi, mereka terlepas dari seluruh pengaruh alam materi dan terlepas dari seluruh aturan pemerintahan tubuh serta bergerak ke arah alam kudus. Seseorang yang tidak mengetahui derajat semacam ini akan mengingkarinya dan mereka yang mengetahuinya akan mengangapnya sebagai sebuah persoalan yang besar dan agung.
Untuk untuk sampai pada kesempurnaan dan kelezatan-kelezatan akal, manusia harus meletakkan potensi dan kelezatan-kelezatan yang berderajat rendah dalam bimbingan dan riyadhah. Langkah pertama dalah melatih khayal, amarah, dan syahwat, lalu perlahan-lahan menarik mereka di bawah pemerintahan akal dan mengalihkan perhatiannya dari dunia yang menipu ini untuk menuju ke arah alam Ilahi. Dalam keadaan ini, akan terjadi keseimbangan antara potensi instink, amarah, syahwat, dan khayal dimana tidak ada satupun dari mereka yang bertentangan dan mengganggu perjalanan akal. Nantinya, potensi-potensi tersebut bukan saja tidak akan mengganggu akal dan menghalangi manusia untuk sampai pada kesempurnaannya, bahkan karena telah merupakan sahabat yang seia sekata, mereka akan senantiasa menyertai akal dan sebagaimana kendaraan mereka akan menuruti kemauan akal.
Di sinilah kemudian akan muncul pancaran suci Ilahi pada diri orang ini, dimana amarah, syahwat, dan khayalannya telah berhasil dia gunakan untuk menuju ke jalan kesempurnaan insani dan pemerintahan Ilahi. Allah mencintai hamba-Nya yang ikhlas, yaitu yang meletakkan amarah dan syahwatnya dalam mekanisme akal. Kita mengetahui bahwa kodrat khayal manusia mempunyai lingkup yang sangat luas dari kodrat badan dan materi dimana kodrat ini tak akan pernah memiliki kemampuan untuk mewujudkan pengetahuan-pengetahuan khayal tersebut ke alam eksternal.
Perbuatan Manusia
Manusia dalam setiap amal dan perbuatan ikhtiari membutuhkan pendahuluan-pendahuluan dimana selama mukadimah-mukadimah ini atau salah satu dari mukadimah-mukadimah ini ditinggalkan, maka perbuatan dan prilaku tersebut tidak akan bisa terlaksana.
1. Tingkatan pertama adalah tingkatan dzat, dimana seseorang dalam tingkatan ini mencakup seluruh tingkatan yang ada. Tingkatan tersebut seluruhnya tercakup dalam dzat manusia. Seperti seorang ilmuwan yang memiliki keahlian dalam berbagai cabang ilmu, ketika tengah sibuk bercakap dengan anaknya dengan nada kekanak-kanakan, dia akan berbicara sesuai dengan tingkat pemahaman anaknya dengan bahasa kekanak-kanaknya tersebut. Dalam tingkatan ini, tidak ada satupun dari kesempurnaan ilmunya yang tertampakkan, yaitu meskipun dia mengetahui tentang filsafat, fisika, dan perbintangan dia tidak akan memperhatikan hal-hal tersebut.
2. Setelah itu, perhatian dzat kepada kesempurnaan. Dalam tingkatan ini, manusia memiliki perhatian umum kepada kesempurnaan. Sebagai contoh, ilmuwan ini memperhatikan dirinya sebagai seorang yang berilmu, akan tetapi dia tidak memperhatikan keilmuannya secara mendetail.
3. Tingkatan ketiga, perhatian yang mendetail kepada kesempurnaan. Sebagai contoh, ilmuwan ini memperhatikan dirinya yang sebagai seorang insinyur, filosof, atau ahli hukum.
4. Dalam tingkatan keempat, perhatiannya kepada kesempurnaan tertentu. Contoh, perhatian khusus ilmuwan ini kepada ilmu matematikanya dan tingkatan pengetahuannya terhadap ilmu matematika.
5. Tingkatan kelima, ilmuwan ini memusatkan konsentrasinya dalam masalah-masalah khusus, misalnya selain dia memperhatikan ilmu matematikanya dia juga memperhatikan pembahasan aljabar secara khusus.
6. Tingkatan keenam, adalah tingkatan dimana misalnya selain dia memperhatikan ilmu aljabar, dia juga memberikan perhatiannya tentang masalah persamaan atau equivalen.
7. Tingkatan ketujuh, adalah memberikan perhatian kepada masalah khusus dari persamaan, seperti memperhatikan bahwa equivalen dari 2x10 = 5x4.
8. Tingkatan kedelapan yaitu pengungkapan tentang manfaat dan kerugian suatu masalah. Dalam tingkatan ini, seseorang akan berpikir tentang apakah masalah ini perlu diungkapkan, ataukah tidak ada kebaikan untuk mengatakannya dan sementara harus berdiam diri.
9. Pada tingkatan kesembilan, memilih untuk mengungkapkan, yaitu seseorang memastikan bahwa mengungkapkan masalah akan lebih baik.
10. Tingkatan kesepuluh, keinginan untuk menyampaikan atau mengungkapkan.
11. Tingkatan kesebelas, kehendak kuat untuk mengungkapkan.
12. Tingkatan keduabelas, memberikan perintah kepada seluruh indera, yaitu memberikan perintah kepada tangan untuk menulis atau memberi perintah kepada lidah untuk berkata.
13. Tingkatan ketigabelas, terwujudnya perbuatan nyata, misalnya menggerakkan tangan untuk menulis di atas kertas.
Poin yang penting untuk diperhatikan di sini adalah, tidak ada satupun dari perbuatan manusia yang akan terwujud tanpa melewati tingkatan-tingkatan tersebut, meskipun misalnya mereka mampu melewati tahapan itu dengan proses yang sangat cepat. Mungkin Anda tidak percaya, seorang pelari yang mampu berlari dengan sangat cepat dan dalam setiap detiknya mampu berlari dalam beberapa langkah, dalam setiap langkahnya dia telah melewati ketigabelas tingkatan di atas, dan apabila pada salah satu langkahnya dia tidak melakukan salah satu dari pendahuluan-pendahuluan tersebut, maka pelari tersebut akan segera menghentikan langkahnya. Apabila kita misalkan dia mengalami keraguan dalam sesaat dan tidak mengetahui langkah selanjutnya mempunyai manfaat ataukah tidak, pasti dia tidak akan mengambil langkah selanjutnya.
Dalam seluruh perbuatan ikhtiari, setelah memilih dan melakukan, di dalam jiwa manusia akan mengalami aksi dan reaksi semacam ini. Pada amal dan perbuatan yang terpuji, sejak mulai berfikir hingga saat mengamalkan, di dalam jiwa manusia akan muncul gerakan menanjak dari mekanisme alam materi ke arah alam malakuti insani, manusia pada tingkatan amal ini hingga batas keikhlasannya, akan semakin mendekati alam malakut dan inilah makna ayat yang berfirman, "Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya, kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh"[9], sebagaimana yang terjadi dalam perbuatan dan amalan yang tercela, yaitu sejak berfikir hingga saat dia menyentuhkan tangannya untuk melakukan perbuatan yang tercela, di dalam dirinya terdapat badai buruk yang akan menggoncangkan pikirannya ke kanan dan ke kiri hingga dia melakukan perbuatan-perbuatan tercela.
Apabila di dalam diri manusia terdapat suatu keyakinan dan pandangan yang keliru dan sesat, maka akan jatuh ke jurang yang terendah dan akan terwarnai dengan perbuatan-perbuatan yang aib dan tercela, dia akan tetap tinggal pada derajat terendah ini hingga dia meluruskan keyakinannya. Namun ketika hanya melakukan yang perbuatan buruk dan tercela yang tidak disebabkan oleh suatu kepercayaan sesat, maka dalam batasan prilaku tercela itu, akan menjauhkannya dari darajat insani.[]
Catatan Kaki:
[1] . Yakni mensyaratkan diri atas amal dan perbuatan tertentu.
[2] . Yakni amal yang disyaratkan untuk dikerjakan secara rutin dan istiqomah dikontrol secara terus menerus dari sisi kuantitas dan kualitasnya.
[3] . Yakni senantiasa menghisab diri setiap hari sebelum tidur atas segala perbuatan yang dikerjakan sepanjang hari.
[4] . Rujuk, Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, poin ke delapan, hal. 346.
[5] . Al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 345.
[6] . Syarh al-Isyarat, jilid ketiga, hal. 334-335.
[7] . Qs. Al-A'la: 16.
[8] Qs. Al-Qalam: 4.
[9] . Qs. Al-Fathir: 10.
(Al-Hassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email