Meski tempat ibadahnya disegel oleh pemerintah kota setempat, Jemaah Ahmadiyah di Depok, Jawa Barat, tetap menjalankan salat Jumat di pelataran masjid (24/2). Walikota Depok mengatakan, penyegelan ini merupakan yang ketujuh kalinya setelah tahun 2012 dua kali, tahun 2014 dua kali, tahun 2015 dan 2016 masing-masing satu kali.
“Mereka selalu membongkar segel sebelumnya, yang sebetulnya merupakan tindak pelanggaran, namun tidak diambil tindakan,” kata Wali Kota Depok, Mohammad Idris seperti dirilis bbc.com
Melalui Satpol PP, pada Kamis lalu (23/3), Pemkot Depok kembali menyegel atau menutup masjid itu menyusul adanya protes dari sebagian masyarakat atas kegiatan Ahmadiyah di tempat yang sebenarnya sudah terlarang untuk digunakan.
Sang walikota menjelaskan, pihaknya hanya menjalankan ketetapan walikota sebelumnya, yang dibuat berdasarkan ketetapan gubernur Jawa Barat. Adapun soal perlindungan terhadap warga Ahmadiyah dalam menjalankan ibadah, wali kota menjawab, “Urusan saya hanya menjalankan ketetapan itu.”
“Kalau tentang status Ahmadiyah, dan hak-hak keagamaan mereka, itu ada yang lebih berwenang seperti MUI,” tandasnya.
Farid Mahfud dari Ahmadiyah Depok, tidak membantah, bahwa mereka berkali-kali membuka ‘segel’ terhadap masjid mereka.
“Tetapi itu bukan penyegelan yang sesuai hukum. Itu penutupan paksa,” katanya.
“Penyegelan hanya bisa dilakukan melalui izin pengadilan. Ini tidak ada. Jadi ini penutupan paksa, makanya kami tidak patuhi,” kata Mubaligh yang tinggal di rumah yang persis berhadapan dengan Masjid Al Hidayah itu.
Ia juga mempertanyakan, mengapa penyegelan itu dilakukan bukan hanya pada bangunannya, tapi untuk kegiatan mereka juga.
Dalam kasus kali ini, ia sudah mendapat undangan dari wali kota untuk melakukan pertemuan pada hari Rabu (22/2), namun mendadak dibatalkan. Mereka kemudian mendapat lagi undangan pertemuan mendadak pada hari Kamis, yang ternyata berujung penyegelan.
“Kemudian Jumat pagi, saya dihubungi Kapolres, yang meminta kami untuk meninggalkan Sawangan untuk sementara, karena katanya akan ada massa besar, 5.000 orang yang akan berunjuk rasa. Tapi kami tak mau pergi, karena tak ada jaminan, bahwa nanti rumah dan masjid kami tidak akan mereka duduki,” kata Farid.
Dan menurutnya, seharusnya justru polisi melindungi mereka.
Di pihak lain, Kapolres Depok Herry Heryawan mengatakan, mereka justru menjalankan tugas untuk melindungi para jemaah Ahmadiyah.
Disebutkannya, sekitar 500 orang pengunjuk rasa yang bermaksud mendatangi Masjid Al Hidayah, Jumat menjelang salat Jumat itu, dicegah oleh polisi.
“Mereka, terutama dari FPI, asalnya bersikeras untuk berunjuk rasa ke depan masjid Ahmadiyah, tapi kami tegaskan, mereka hanya boleh melakukannya 500 meter dari masjid Ahmadiyah,” kata Herry.
“Ketika mereka bersikeras, saya katakan, mereka juga tidak punya izin dan pemberitahuan untuk melakukan kegiatan itu. Jadi mereka juga sebetulnya melakukan pelanggaran.”
Kapolres mengulangi pernyataannya, bahwa mereka tak pernah melarang para jemaah Ahmadiyah untuk melakukan salat jumat siang itu, dan hanya memastikan bahwa mereka tak menggunakan masjid, karena telah disegel.
Sebelumnya, Peneliti Setara Institute Halili Hasan pernah mengungkap hasil penelitian selama 2007-2015 yang menunjukkan Jawa Barat selalu menjadi juara umum dalam intoleransi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Menurut Setara Institut, tujuh daerah di Jabar masuk dalam 10 besar kota toleran terbawah di Indonesia. Yaitu Bogor, Bekasi, Depok, Bandung, Sukabumi, Banjar, dan Tasikmalaya. Mulai dari rumah ibadah, beasiswa dengan syarat diskriminatif, hingga layanan pendidikan keagamaan.
Sementara itu, Tokoh Nadhatul Ulama KH.Dr. Marzuki Wahid menyebut, mayoritas kepala daerah di Jawa Barat tidak serius cegah gerakan radikalisme atau antitoleransi yang mengatasnamakan agama, kata
“Kecuali Bupati Purwakarta (Dedi Mulyadi – red), kepala daerah seperti Aher, Deddy Mizwar, Ridwan Kamil, Bima Arya, tidak pernah secara tegas melakukan inovasi pencegahan gerakan Islam radikal”, kata Marzuki, Jumat (5/2), seperti dilansir SHNet.
Gubernur Ahmad Heryawan, tambahnya, “tampak lebih memilih merangkul kelompok islam radikal.”
Marzuki menyarankan pada Aher untuk mengikuti seruan presiden yang secara khusus menyampaikan agar kepala daerah menjadi pelindung kebinekaan dan menjadi pelopor toleransi.
Dalam pandangan Marzuki, pemerintah harus memiliki prioritas di Provinsi Jawa Barat dalam menanggulangi radikalisme, selain Jakarta dan Solo. Alasannya, katanya, Jawa Barat merupakan “sarang” kelompok radikalisme.
“Isu-isu gerakan Anti Syiah oleh ANNAS (Aliansi Nasional Anti Syiah) atau isu penyesatan dan tuduhan syirik dengan gaya-gaya politis adalah contoh luar dari gerakan radikal,” katanya. “Di balik itu ada kelompok-kelompok lain yang lebih ekstrem. Itu harus diamputasi segera atau negara kita ini diacak-acak oleh mereka.”
(SHNet/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email