Yang menganggap semua sahabat adil adalah sebuah sikap ghuluw karena faktanya tidak semua sahabat adil, antara sahabat yg satu dengan sahabat yg lain tentulah ada perbedaannya tidaklah sama dalam hal ilmu dan keadilannya dan ini bisa kita analogikan sebagai sebuah sikap menentang sunatullah dan didalam sejarah terbukti siapa yang menentang Sunatullah akan binasa dan celaka….pelajari kitab-kitab sejarah dengan seksama dan saudara akan terbelalak melihat fakta yang tak sesuai dengan keinginan saudara !!!!!!
Demi Allah, cerita yang saya sampaikan ini adalah benar adanya. Bukan cerita fiktif atau sesuatu yang mengada-ngada. Tujuannya agar pembaca khususnya para pengemban dakwah dapat semakin istiqomah dan bersemangat dalam memperjuangkan tegaknya mazhab Ahlul Bait.
Ulama Ulama Zindiq membantu Raja Raja Dinasti Umayyah dan Abbasiyah merusak Agama Muhammad !
Islam Hanya Terbagi dua Yakni: Syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyyah.
“Kaum munafikin di zaman Nabi saww sebagaimana penjelasan Al_qur’an sangat keterlaluan dalam kemunafikan mereka. Mereka sangat bersungguh-sungguh menampakkan diri sebagai bagian dari umat Islam. Mereka juga turut shalat di belakang Nabi, mereka juga duduk di setiap majelis-majelis Nabi bahkan mereka juga turut meriwayatkan hadits-hadits Nabi saww. Karenanya sangat memungkinkan bagi orang-orang setelahnya, orang-orang munafik ini juga terkategorikan sebagai sahabat-sahabat Nabi”
“Setelah saya mempelajari sejarah Islam dengan seksama secara esensial umat ini hanya terbagi dua yakni : Syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyyah (Prof.Husein Alatas/Malaysia,Cucu Habib Empang).
Kelompok Wahabi Sangat Membela Muawiyah
Di dalam kitab Durarul Karimah Ibn Hajar al-Asqalani, jilid 1, hal.155, terbitan Darul Jil, tahun 1414 H/1993 M. Beliau mengatakan : Ibn Taimiyah berkata : ” Sesungguhnya (Ali) orang yang tercela dalam segala hal. Dia berusaha terus-menerus mengejar kekhalifahan meskipun tidak ia peroleh, dan berperang untuk kedudukan bukan untuk agama dan sesungguhnya Ali gila kekuasaan.”
Ciri utama Syi’ah Ali yg menonjol adalah gemar akan persatuan sebaliknya Syi’ah Mu’awiyyah gemar akan perpecahan, bersatulah Sunnah dan Syi’ah dan teruslah jalin Ukhuwah agar kita semua setia dalam barisan kebenaran.
Husein bin Hamid Alattas mengakui dirinya tidak menganggap Muawiyah Ra sebagai sahabat Nabi SAW, ia juga mengakui Muawiyah Ra boleh dihujat dan dikritik. Meskipun, dirinya menyatakan bermanhaj sebagai Ahlus Sunnah.
“Secara lughowy (bahasa) Muawiyah termasuk sahabat, tetapi secara syar’i Muawiyah tidak termasuk sahabat,” Kata Husein Hamid Alattas ditengah acara dialog dan mubahalah antara dr.Haidar Abdullah Bawazir dengan Husein bin Hamid Alattas di Radio Silaturahim, Jl. Masjid Silaturahim no.36, Cibubur, Bekasi, Rabu kemarin (27/6).
Husein berpendapat, Muawiyah Ra merupakan pihak yang bertanggung jawab atas terbunuhnya banyak umat Islam dan Amar bin Yasir ketika terjadi perselisihan antara Muawiyah ra dengan Ali bin Abi Tholib Ra yang berujung dengan peperangan, pihak yang melakukan kesalahan dalam merubah sistem kekhilafahan menjadi kerajaan dengan mengangkat anaknya sebagai penerus kekhalifahan, serta yang menyebabkan peristiwa-peristiwa berdarah selanjutnya.
Pendapat bahwa terdapat perbedaan makna sahabat secara bahasa dan syar’i dan ketidak sepakatan ulama dalam menilai sahabat yang membunuh kaum muslimin, menurutnya berdasarkan kitab ulasan orang-orang yang sesuai dengan buku kalangan sunni kontemporer karya Hasan Farhan Al Maliki yang berjudul ‘Assubhu was Shahabah’. “Dalam buku itu tidak terdapat ijma dalam ahlussunnah berkaitan pandangan tersebut (status sahabat bagi orang yang membunuh orang beriman)” ujar Husein.
Penjelasan tersebut diutarakan Husein, setelah menolak definisi sahabat oleh jumhur ulama yang diutarakan Haidar Bawazir yakni, seseorang yang bertemu Nabi SAW dalam keadaan beriman ketika hidup dan beriman hingga ia meninggal dunia.
Padahal Nabi saw bersabda :”Barangsiapa yang mencaci-maki Ali, maka sama dengan halnya ia telah mencaci-maki aku, dan barang siapa yang mencaci-maki aku berarti dia telah mencaci Allah SWT.”.
Muawiyah Dikecam Rasulullah Saw Selamanya Takkan Merasakan Kenyang, Karena Suka Makan
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutsanna Al ‘Anziy dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyaar [dan lafaz ini adalah lafaz Ibnu Mutsanna] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Umayyah bin Khalid yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Hamzah Al Qashaab dari Ibnu Abbas yang berkata “aku bermain bersama anak-anak kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, aku bersembunyi di belakang pintu. Beliau datang dan menepuk pundakku seraya berkata “pergi dan panggilkan Muawiyah kepadaku”. Maka aku kembali dan berkata “ia sedang makan”. Kemudian Beliau berkata “pergi dan panggilkan Muawiyah kepadaku”. Maka aku kembali kepada Beliau dan berkata “ia sedang makan”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya” [Shahih Muslim 4/2010 no 2604].
Muawiyah dilaknat Rasulullah saw Secara Terang-terangan
Terdapat hadis shahih yang menunjukkan kalau Muawiyah bin Abu Sufyan adalah salah seorang yang dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad yang jayyid.
Telah menceritakan kepada kami Khalaf yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah mawla Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk kemudian melintaslah Abu Sufyan di atas hewan tunggangan dan bersamanya ada Muawiyah dan saudaranya, salah satu dari mereka menuntun hewan tunggangan tersebut dan yang lainnya menggiringnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda “laknat Allah bagi yang memikul dan yang dipikul, yang menuntun dan yang menggiring”[Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121].
Dalam hadis di atas tertulis ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Jumhan, ini adalah tashif yang benar adalah ‘Abdul Warits ‘an Sa’id bin Jumhan. Karena telah ma’ruf kalau yang meriwayatkan dari Safinah adalah Sa’id bin Jumhan dan yang meriwayatkan dari Sa’id bin Jumhan adalah ‘Abdul Warits yaitu ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan.
Dalam biografi Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy disebutkan kalau ia meriwayatkan dari Safinah dan telah meriwayatkan darinya ‘Abdul Warits bin Sa’id [Tahdzib Al Kamal 10/376 no 2246].
Dalam biografi ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan disebutkan kalau ia meriwayatkan dari Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy [Tahdzib Al Kamal 18/478 no 3595].
Hadis ‘Abdul Warits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dan Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dengan sanad berikut:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah yang berkata –al hadits- [Sunan Abu Dawud 2/416 no 3932].
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah yang berkata –al hadits- [Sunan Nasa’i 3/190 no 4995].
Al Baladzuri termasuk ulama besar, Adz Dzahabi menuliskan keterangan tentang Al Baladzuri dalam kitabnya As Siyar dan Tadzkirah Al Huffazh. Adz Dzahabi menyebut ia seorang penulis Tarikh yang masyhur satu thabaqat dengan Abu Dawud, seorangHafizh Akhbari Allamah [Tadzkirah Al Huffazh 3/893]. Di sisi Adz Dzahabi penyebutan hafizh termasuk ta’dil yaitu lafaz ta’dil tingkat pertama. Disebutkan Ash Shafadi kalauAl Baladzuri seorang yang alim dan mutqin [Al Wafi bi Al Wafayat 3/104]. Tidak ada alasan untuk menolak atau meragukan Al Baladzuri, Ibnu Hajar telah berhujjah dengan riwayat-riwayat Al Baladzuri dalam kitabnya diantaranya dalam Al Ishabah, Ibnu Hajar pernah berkata “dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi” [Al Ishabah 2/98 no 1767]. Penghukuman sanad la ba’sa bihi oleh Ibnu Hajar berarti ia sendiri berhujjah dan menta’dil Al Baladzuri. Soal kedekatan kepada penguasa itu tidaklah merusak hadisnya karena banyak para ulama yang dikenal dekat dengan penguasa tetapi tetap dijadikan hujjah seperti Az Zuhri dan yang lainnya. Para ulama baik dahulu maupun sekarang tetap menjadikan kitab Al Balazuri sebagai sumber rujukan baik sirah ansab maupun hadis.
Riwayat Al Baladzuri di atas terdiri dari para perawi tsiqat dimulai dari Khalaf syaikh [guru] Al Baladzuri adalah Khalaf bin Hisyam Al Bazzar, ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan dan Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy. Sedangkan Safinah mawla Ummu Salamah yang juga dikenal mawla Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah sahabat Nabi.
1. Khalaf bin Hisyam Al Bazzar adalah perawi Muslim dan Abu Dawud. Disebutkan bahwa diantara yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Yahya bin Jabir Al Baladzuri. Imam Muslim juga meriwayatkan darinya itu artinya ia tsiqat menurut Muslim. Ahmad bin Hanbal dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Daruquthni berkata ahli ibadah yang memiliki keutamaan. Ibnu Hibban berkata “baik, memiliki keutamaan, alim dalam qiraat dan telah menulis darinya Ahmad bin Hanbal” [At Tahdzib juz 3 no 297]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/272]. Al Khalili menyatakan ia disepakati tsiqat [Al Irshad 1/95].
2. ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Ibnu Numair menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim menyatakan ia shaduq. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat hujjah”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “mutqin dalam hadis”. [At Tahdzib juz 6 no 826]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 1/625].
3. Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy adalah perawi Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. Abu Dawud menyatakan ia tsiqat. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. As Saji berkata “tidak diikuti hadisnya” [At Tahdzib juz 4 no 15]. Yaqub bin Sufyan Al Fasawi menyatakan ia tsiqat [Al Ma’rifat Wal Tarikh 2/182]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq dan memiliki riwayat yang menyendiri, tetapi pernyataan ini dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Sa’id bin Jumhan seorang yang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 2279].
Jadi riwayat ini memiliki sanad yang shahih dan menunjukkan kalau Mu’awiyah adalah salah seorang yang dilaknat oleh Allah SWT. Apapun alasannya, kami tidak bisa memastikan tetapi jika melihat bagaimana pribadi Mu’awiyah dan pemerintahan yang dipimpin olehnya maka riwayat ini tidaklah mengherankan. Cukup banyak penyimpangan yang dilakukan Mu’awiyah diketahui oleh mereka yang mengetahuinya dan dibela mati-matian oleh mereka yang mencintai Muawiyah. Bagi yang ingin melihat berbagai penyimpangan Muawiyah, dipersilahkan untuk melihat tulisan kami yang lain tentang Muawiyah. Akhir kata jika ada yang tidak setuju cukuplah sampaikan bantahan dan tidak perlu mencela kami. Kami tidak tertarik main tuduh-menuduh cela mencela, kalau kami keliru silakan dikoreksi tetapi kalau tidak mampu maka cukuplah berdiam diri.
- 2:159. Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati,
- 33:57. Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.
Tipikal penguasa Bani Umayyah yang Khalifahnya yang tidak suka berbasa-basi, tampil apa adanya dan sanggup berbuat apa saja untuk melindungi kekuasaannya dari ancaman. Berbeda nanti dengan Bani Abbasiyah yang tipikal penguasanya penuh dengan hipokrasi dan kemunafikan. Mereka tampil di depan khalayak dengan tampang khusuk dan penuh iman, tak jarang bercucuran air mata ketika dinasihati oleh para ahli ibadah. Namun pada lain waktu, mereka 360 derajat berbeda dengan melakukan hal-hal yang amat memalukan dan membelalakkan mata. Dalam kealfaan dan kegilaannya itu, mereka justru tidak risih disapa sebagai pemimpin kaum beriman (Amirul Mu’minin = Ali) dan Khalifah bagi umat Islam (Khalifah al-Muslimin).
Contoh kevulgaran dan kejujuran Bani Umayyah dapat dilihat dari sikap Abdul Malik bin Marwan.
Dalam Tarikh al-Khulafa, al-Suyuti menceritakan kisah dari Ibnu Abi Aisyah mengatakan, Abdul Malik pernah diminta untuk memutuskan suatu perkara sambil diajukan kepadanya sebongkah mushaf al-Qur’an. Akan tetapi, ia justru mencampakkannya seraya berkata: “Ini adalah persentuhanku yang terakhir denganmu!”. Dan kenyataanya, apa yang ia katakan kemudian ia lakukan. Setelah menyatakan talak dengan al-Qur’an, sang ahli fiqih ini kemudian menjalankan roda pemerintahan dengan instingnya.
Bani Umayyah awalnya didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan (satu kakek buyut dengan Utsman bin Affan R.A.). Ia menjadi Khalifah setelah wafatnya Ali bin Abu Thalib. Orang-orang Madinah saat itu membaiat Hasan bin Ali, namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu yang sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi’ah, dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Namun kemudian Mu’awiyah bin Abu Sufyan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk membai’at anaknya, yaitu Yazid bin Mu’awiyah sebagai Khalifah pengganti dirinya. Sekaligus memperkenalkan suksesi secara putra mahkota, seperti layaknya sistem Monarki (Kerajaan). Memang prosesi pengangkatannya menggunakan bai’at sebagai formalisasi pengangkatan Khalifah, akan tetapi bai’at tersebut kemudian hanya menjadi kamuflase saja, karena bai’at dilakukan secara paksa dan ancaman hukuman mati akan diberikan bagi siapa saja yang menentang keputusan itu atau menolak bai’at.
Mu’awiyah bin Abu Sufyan bahkan memberikan interprestasi sendiri dari kata Khalifah, dimana ia menambahkan kata “Allah” dibelakang kata Khalifah, yang dalam pengertiannya penguasa yang diangkat oleh Allah. Sedangkan Abu Bakar R.A. telah melarang penggunaan kata “Khalifah Allah”, ketika ia dipanggil demikian. Ia berkata, “Aku bukan Khalifah Tuhan, tapi aku adalah Khalifah (pengganti, perwakilan) dari utusan Tuhan. Lagipula, seseorang hanya dapat bertindak sebagai “Khalifah” (pengganti, perwakilan) seseorang yang tidak ada, bukan sesuatu yang ada (karena Tuhan selalu ada).
Tindakan pewarisan tahta ini memicu protes dikalangan umat. Ia di anggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Mu’awiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Keterangan gambar: Makam Muawiyah bin Abu Sofyan di Syria. Digembok rapat karena orang-orang suka membuang kotoran di makam ini. Konon di sekitarnya juga tumbuh pohon berduri yang tidak tumbuh di tempat lain.
Sejarah kemudian mencatatat munculnya Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai Khalifah menggantikan Husain bin Ali yang terbunuh dalam perang Karbala. Terjadi dualisme kepemimpinan dan perpecahan yang hebat di kalangan umat Islam. Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan (Khalifah ke-5 Bani Umayyah yang juga dikenal ahli fiqih), yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Pola pemerintahan tangan besi yang dipraktekkan Dinasti Umayyah berlanjut. Ketika Abdul Malik bin Marwan memimpin, ia menjadikan Hajjaj “si tukang jagal” sebagai tangan kanannya. Kekejaman Hajjaj bin Yusuf begitu terkenal, hingga ada pameo “jika Hajjaj datang, malaikat menyingkir dan setanpun berdansa mendekat”.
Demikian kenyataan sejarahnya, bahwa Dinasti Umayyah dibangun di atas genangan darah sesama Muslim. Pendahulu Abdul Malik bin Marwan seperti Yazid dikenal sebagai monster haus darah dengan tumbal pertamanya Husain bin Ali bin Abu Thalib. Tidak kalah sadisnya, Abdul Malik sang ahli fiqih ini juga telah melakukan pembantaian dengan jubah kebesarannya sekaligus menyatakan talak tiga dengan al-Qur’an, lalu ia memimpin dengan instingnya.
Namun sayangnya, saat itu Ulama-Ulamanya atau sejenis Ulama plat merah saat ini, selalu saja mendoakan Abdul Malik seraya berkata bahwa Abdul Malik sang penjaga amanat umat Islam, dimana saat itu spekulasi hadits bermunculan, salah satunya berbunyi “orang-orang yang sekurang-kurangnya pernah tiga hari memimpin umat Islam akan diampuni dosa-dosanya”. Dan menjelang kematianya, Abdul Malik bin Marwan berwasiat kepada anaknya Walid “Wahai anakku, bertakwalah kepada Allah dengan kekuasaan yang telah diamanatkan padamu dan tetaplah hormati Hajjaj bin Yusuf, serta jangan hiraukan komentar orang tentang Hajaj bin Yusuf”.
Dan ketika anaknya Walid menangis, Abdul Malik berkata “Mental apaan ini, jika aku mati singsingkan lengan bajumu, pakailah sabuk kulit macan dan selipkan pedang, jika ada orang yang berkata lebih berhak atas kekuasaan dari padamu, tebaslah batang lehernya”.
Sejarah mencatat, bahwa kekuasaan Dinasti Bani Umayyah dimarakkan oleh tiga nama orang sebagai sadis, namun merupakan Khalifah yang dikenal populer yakni Yazid bin Muawiyah sang pembantai, Yazid bin Abdul Malik dan Walid bin Yazid. Satu orang yang kemudian dikenal sebagai sangat bijaksana yakni Umar bin Abdul Azis, karena kebijaksanaannya itu ia dijuluki Umar kedua yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi setelah Umar bin Khatab. Namun sayang orang baik ini harus mati terminum racun yang diduga diberikan oleh keluarga dekatnya sendiri karena menginginkan kekuasaannya.
Kezaliman Yazid bin Muawiyah tidak cukup ditandai dengan pembantaian atas Husain bin Ali, yakni ketika Yazid bin Muawiyah bersama pasukannya menaklukan Madinah karena masyarakatnya mencabut bai’at atasnya, Yazid memaklumatkan pembantaian dan anarkisme selama tiga hari dalam kota. Ibnu Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh-nya meriwayatkan, akibat pembantaian itu 4.500 jiwa menjadi tumbal dan sekitar 1.000 perawan muslimah diperkosanya. Dan lebih dahsyatnya Yazid bin Muawiyah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, telah secara ekplisit menyatakan kemurtadan dengan menyebutkan, “Klan Hasyim bermain-main dengan kuasa. Kekuasaan tidak datang wahyupun tidak menjelang”. Disebutkan dalam Tarikh al-Khulafa, Yazid juga dikenal gemar mengumbar nafsu dan minum minuman keras.
Sementara itu Yazid yang lain yakni Yazid bin Abdul Malik, ia adalah Khalifah pengganti Umar bin Abdul Azis. Yazid bin Abdul Malik menjadikan selama kekuasaannya sebagai lautan kebobrokan moral dan kemesuman, namun sebagaimana diriwayatkan oleh al-Suyuti dalam Tarikh al-Khulafa-nya: Ketika Yazid bin Abdul Malik mendapatkan mandat sebagai Khalifah, ia datangkan 40 orang Syeikh (maha guru agama), dan meminta agar 40 Syeikh tersebut berfatwa yang isinya bahwa seorang Khalifah tidak akan dihisab oleh Tuhan, apalagi disiksa.
Keadaan ini menegaskan juga bahwa ternyata kerusakan itu tidak hanya datang dari Khalifah, tetapi juga bisa datang dari Ulama dalam pengertian ahli ilmu agama. Kalau selama kekuasaan Yazid bin Abdul Malik telah menghabiskan masanya dengan bermesum ria dengan perempuan bernama Salamah dan roman cintanya dengan Habbabah. Al-Mas’udi dalam Muruj al-Dzahab-nya meriwayatkan dari jalur Abu Hamzah al-Khariji menyatakan; Yazid mendudukan Hababah di paha kanannya, dan Salamah di sebelah kirinya, lalu secara terbuka dia menyatakan “aku ingin terbang” sambil berkata aku terbang menuju laknat Tuhan dan azabnya yang pedih. Ibnu Katsir juga meriwayatkan, bahwa ia (Yazid bin Abdul Malik) menginginkan agar istana dikosongkan dari manusia, ia menginginkan berdua saja dengan Habbabah untuk mengumbar libidonya, hingga bersenda gurau, yang akhirnya Habbabah harus mati tersedak buah anggur, dan bangkainyapun terus diciumi, dipeluk dengan penuh nafsu, barulah ketika mulai membusuk, mayat Habbabah dikubur dan Yazid bin Abdul Malik menginap dikuburan berhari-hari meratapi kematian kekasihnya.
Cerita lebih gila dari tiga tokoh antik dalam Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya anak Yazid bin Abdul Malik, yakni al-Walid bin Yazid, Ia seorang homoseksual yang “overdosis” dan hobinya menjadikan Mushaf Al-Quran sebagai sasaran memanah sambil membaca ‘auzubillahi, laa hawla walaqwata‘. Ketika beberapa orang ulama menyatakan al-Walid bin Yazid sebagai kafir dan zindiq, seorang ulama besar pula yang bernama Al-Zhahabi membelanya, sambil berkata, tidak benar kalau al-Walid kafir dan zindiq, namun memang ia dikenal sebagai pemabuk dan pelaku homoseksual. Bahkan ketika al-Walid pergi kerumah seorang Ulama bernama al-Muhtadi tentang desas desus tuduhan kafir zindik, al-Muhtadi justru membelanya. Layaknya kebanyakan Ulama sekarang yang membela penguasa sekalipun penguasa sudah berlaku yang zalim. Ketika membaca perilaku homoseksualitas Khalifah ini, anda mungkin tersentak sejenak.
Kita mungkin menyangka bahwa gejala LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transeksual) hanya ada di zaman kita dimana kebebasan individu begitu didewakan. Kenyataannya, gejala seperti ini sudah ada bahkan sejak awal kekhilafahan. Pelakunya pun tidak tanggung-tanggung, sang Khalifah sendiri. Kita mungkin juga mengira bahwa kebiasaan perselingkuhan antara penguasa dan agamawan hanya ada dalam kisah sejarah Eropa.
Mari kita lihat apa yang dilakukan al-Walid ketika membaca ayat “Mereka melakukan penaklukan dan takluklah setiap tiran yang bebal. Dibelakang mereka sudah menguntit neraka jahannam. Mereka akan disiram air yang menggelegak…” Seketika itu pula ia meletakkan mushaf al-Qur’annya untuk dipanah. Namun, ia berubah pikiran, lalu cukup melemparkannya sambil berkata:
Muhammad Ibnu Yazid al-Mubarrad mengatakan: “Sesungguhnya al-Walid sudah ateis dalam syairnya yang menyebut-nyebut soal Nabi dan wahyu Tuhan yang tak datang padanya:”
Al-Walid juga pernah berusaha membuat kubah di atas Ka’bah untuk minum-minum ketika ia melaksanakan haji beserta beberapa kerabatnya. Namun para pemuka sukunya berhasil meyakinkannya untuk mencabut keinginannya. Yang jelas, dari kisah hidupnya ia betul-betul memperturutkan hasratnya. Sampai-sampai kegilaan akan hiburan dan minuman itu mampu menguasai para elit dan masyarakat pada zamannya, sebagaimana diceritakan al-Mas’udi. Karena itu tak heran bila bermunculan bintang-bintang di bidang tarik suara bak American Idol, di antaranya Ibnu Sarih, Ma’bad, al-Gharidh, Ibnu Aisyah, Ibnu Muhriz, Thawis, dan Dahman.
Riwayat al-Walid berakhir dengan pembelotan sepupunya, yaitu Yazid bin al-Walid, yang membunuhnya setelah mencicipi kekuasaan selama satu tahun tiga bulan. Namun, takdir menentukan masa kepemimpinan Yazid pun jauh lebih pendek; tak lebih dari lima bulan. Ia meninggal, lalu digantikan adiknya, Ibrahim, untuk jangka waktu 70 hari saja, karena dikudeta Marwan bin Muhammad sebagai upaya balas dendam terhadap al-Walid bin Yazid. Setelah itu, masa Bani Umayyah berakhir dengan tewasnya Marwan, yang berkuasa sekitar 5 tahun, di tangan orang-orang Abbasiyah.
Terlalu banyak cerita gelap yang dapat diungkap dari Dinasti Bani Umayyah, beberapa kesimpulan yang dapat dipetik adalah pertama, adalah benar bahwa Dinasti ini telah melebarkan wilayah kekuasaan Islam, namun motivasinya lebih banyak untuk kesenangan nafsu sebagai layaknya masyarakat Jahiliyah yang baru berkenalan dengan dunia luar. Kedua, era Umayyah adalah nepostisme ke-Araban yang akut. Ketiga, pada era inilah Ulama-Ulama besar banyak bermunculan, namun seringkali Ulama malah bertindak menjustifikasi kebijakan Khalifah, sekalipun menyimpang dari Islam.
Selanjutnya akan kita dedah pula bagaimana Dinasti Bani Abbasiyah. Yang ternyata tidak kalah sadisnya, sekalipun pada Dinasti ini the Golden Era-nya peradaban Islam tertoreh dalam sejarah. Dinasti ini sebenarnya tidak perlu diperkenalkan lagi, sebab ia telah mempekenalkan diri lewat figur pendirinya yakni Abbul Abbas Al-Saffah (Abbul Abas si tukang jagal). Ada dua dekrit yang dikeluarkan oleh sang tukang jagal ini yakni pertama untuk mencari kuburan dan memburu apa saja yang tersisa dari pimpinan Bani Umayyah, kedua melecut, menyalib, membakar mayatnya dan menghamburkan ke udara abu jenazah para pemimpin Bani Umayyah.
Dinasti Bani Abbasiyah merebut kekuasaan dengan klaim bahwa hak kekuasaannya telah ditentukan dan diberi mandat langsung dari Tuhan. Dalam Musnad-nya, Ibnu Hanbal misalnya menyebutkan hadits berikut: “Akan muncul pemimpin dari sanak keluargaku pada masa terjadinya peralihan zaman dan malapetaka besar. Ia disebut al-Saffah, kedermawanannya sangat melimpah”. Al-Thabari juga menyebutkan: “Rasulullah pernah mewartakan kepada pamannya Abbas, bahwa kepemimpinan Arab kelak akan jatuh ke tangan sanak keluarganya. Sampai-sampai sanak keluarganya itu tidak sabar menantikan kapan saat itu tiba”. Inilah cara Abbasiyah merebut simpati massa untuk membai’at dan loyal terhadap mereka. Bermulalah model kekuasaan berdasarkan klaim palsu agama ini yang didukung dengan ancaman keras bagi mereka yang tidak loyal dan mengancam kekuasaan.
Pasukan tentara Bani Abbas kemudian berhasil menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka “memainkan” pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Memang benar kemudian mereka bongkar kuburan Muawiyah dan Yazid bin Muawiyah dan hanya menemukan sepotong tulang yang sudah mirip dengan arang lalu mereka angkat dan bakar lalu dilambungkan abunya ke udara. Sementara saat membongkar kuburan Abdul Malik bin Marwan, mereka menemukan tengkorangnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing. Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.
Ibnu Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh mengungkapkan bahwa Al-Saffah juga melakukan pengejaran terhadap seluruh sanak keluarga dan pendukung Bani Umayyah. Ia menghabisi mereka semua, kecuali anak-anak yang masih menyusu dan mereka yang telah melarikan diri ke Andalusia.
Al-Mas’udi pula dalam Muruj al-Dzahab mengungkapkan kisahnya secara lebih terperinci. Haitsam bin Uday at-Tha’i meriwayatkan kisah dari Amru bin Hani. “Kami pergi mencari kuburan pemuka Umayyah pada masa Abu Abbas al-Saffah. Hanya mayat Hisyam yang kami temukan masih utuh, kecuali bagian hidungnya. Abdullah bin Ali mengeluarkannya, menyambuknya 80 kali, lalu membakarnya. Jenazah Sulaiman kami keluarkan dari pekuburan Dabiq. Yang tersisa memang hanya tulang belulang, tulang rusuk, dan tengkoraknya. Tapi kami membakarnya. Kami masih melakukan hal serupa terhadap setiap keluarga Umayyah, terutama di komplek pekuburan Qinasrin. Petualangan kami berakhir di Damaskus. Disana kami menemukan kuburan al-Walid bin Abdul Malik. Tapi kami tak menemukan apa-apa secuil pun. Kami juga menggali kuburan Abdul Malik, tapi tidak menemukan hal lain, kecuali sebagian tengkorak kepalanya. Lalu kami lanjutkan dengan penggalian kuburan Yazid bin Muawiyyah, tapi kami hanya menemukan sepotong tulang. Dan di sepanjang liang lahatnya kami menemukan garis hitam seperti di torehkan arang. Kami masih memburu jenazah-jenazah keluarga Umayyah di seantero negeri dan membakar apa yang terjumpa dari jenazah mereka”.
Farag Fauda dalam bukunya Al-Haqiqah al-Ghaybah, yang banyak menginspirasi dan komentarnya banyak saya kutip dalam tulisan ini mengatakan, ketika ia merenungkan kejadian-kejadian sadis ini, akal sehat bertanya, apa alasan dan justifikasi semua tindakan mereka ini. Pembunuhan terhadap para pembesar dalam konteks perebutan kekuasaan, membunuh sanak keluarga demi menjamin masa depan kekuasaan baru dan menghapuskan sisa-sisa kekuasaan masa lalu memang sudah sering terjadi. Akan tetapi, memburu jenazah, membalas dendam, menggantung dan membakarnya, benar-benar perkara yang sangat berlebihan.
Disamping berbuat bengis diluar kemanusiaan, pemimpin Abbasiah tetap saja berpidato dengan gaya layaknya orang yang sangat saleh dan beradab dengan cara memuji-muji Islam dengan kalimat “Segala puji bagi Allah yang telah memilih Islam, yang memuliakan dan mengagungkannya, yang telah memilihkannya untuk kita dan membuatnya tetap kukuh bersama kita, kita menjadi lurus dan lebur di dalamnya, serta menjadi pemenang karenanya”. Pidato tersebut sepintas mirip dengan pernyataan para pejabat saat ini yang menampakan diri seakan sangat suci dan sedikit-sedikit mengutip kalimat-kalimat suci bertabur ayat, namun membiarkan korupsi terus berlangsung, sehingga benar kemudian sepanjang masa Dinasti Bani Abbasiah, umat benar-benar tertipu dengan muslihat sang Khalifah yang berselingkuh dengan sebahagian besar Ulama dengan tampilan seakan muslim yang baik dan berlidung dibalik jubah agama, namun prilakunya sangat tidak beradab.
Dinasti Bani Umayyah kemudian di habisi sampai ke akar-akarnya oleh Bani Abbasiyah. Mereka yang masih tersisa dari Bani Umayyah menetap di Andalusia dan memerintah secara otonom, yang akhirnya musnah jua ditelan zaman sampai tahun 1031 H.
Kembali ke kisah Al-Saffah, Khalifah ini punya kepandaian dalam bersandiwara, bukan hanya bengis di hadapan lawan politik dan penuh iman di hadapan pendukungnya, ia juga pandai bersandiwara ketika mengeksekusi musuh-musuhnya. Ia mengatur skenario pembantaian sisa-sisa kerabat Bani Umayyah layaknya sebuah drama opera sabun, ada plot, kisahnya berlangsung secara alamiah, mengalir kemudian ada klimaks danending-nya yang sudah di set. Kita akan mulai kisah ini dengan babak sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Atsir. Ibnu Atsir menuturkan “Di saat al-Saffah sedang melakukan perjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik, Sudaif sang penyair datang sembari melantunkan syairnya:
Kontan, Sulaiman tertegun seketika, lalu berkata: “Anda benar-benar telah membunuhku, wahai Syekh (Sudaif)!” Al-Saffah pun langsung beranjak masuk ke ruang pribadinya sambil menarik Sulaiman. Ia menghabisi nyawanya.
Suatu ketika Al-Saffah memberikan jaminan keamanan kepada keluarga Umayyah lainnya yang berjumlah 90 orang. Setting peristiwa masih tetap berada di tempat perjamuan makan yang sama. Dan sepanjang pembuat acara adalah Khalifah, kemurahan hati akan dipastikan tetap terjaga. Rasa amanpun tak pantas disangka-sangka. Tapi secara mengejutkan, seorang penyair datang seraya melantunkan syair:
Mendengar syair itu, al-Saffah lalu memerintahkan untuk menghantam kepala mereka semua dengan pentungan besi. Sebagian pecah kepala, tetapi jasadnya tetap bernyawa, dalam kondisi yang mengenaskan. Tatkala al-Saffah menyaksikan sekitar 90 orang yang sedang meregang nyawa, ia meninggikan suara sambil menuturkan titah: ‘Gelar permadaniku untuk bersantap secara lesehan di atas mereka!’ Ia dan orang-orangnya memulaidinner party (santap malam), sementara permadani menari ke kanan dan ke kiri. Tatkala permadani tidak lagi bergerak, mereka pun selesai dari kunyahan mereka sambil mengucap alhamdulillah dan tahniah kepada para tentara dan kerabatnya.
Apabila para Khalifah gemar mendeklarasikan dirinya sebagai “tukang jagal semena-mena” (al-Saffah al-Mubih) untuk menunjukkan kebengisannya, begitu pula tingkah seorang gubernurnya. Dalam Tarikh al-Ya’qubidisebutkan Rayyah bin Utsman selaku gubernur Madinah dimasa al-Mansur menggelari dirinya sebagai “si ular anak si ular”. Kondisi di masa ini menunjukkan pada kita bahwa otoritarianisme yang di balut agama tidak hanya terjadi di barat, dan menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa kita tidak perlu mengusulkan adanya pembagian kekuasaan, menciptakan mekanisme kontrol dan Undang-Undang yang menjamin Negara tidak jatuh pada despotisme.
Abul A’la al-Maududi dalam al-Khilafah wa al-Mulk menceritakan kembali berdasarkan riwayat dari Ibnu Atsir dan al-Thabari; tidak lama kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan al-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan dikalangan rakyat: “Barangsiapa memasuki masjid Jami’, maka ia dijamin keamananya”.
Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.
Seorang ahli fiqih terkenal di Khurasan bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji “akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani (pendiri Negara Khurasan yang kemudian menyerahkannya ke al-Saffah). Namun ketika ia (setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu) menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.
Abu Ja’far al-Mansur, Khalifah kedua Bani Abbasiyah naik tahta. Ia melakukan intrik politik agar Abu Muslim al-Khurasani bersedia membunuh Abdullah bin Ali (paman al-Saffah sekaligus panglima pasukan Abbasiyah di peperangan Zab yang menuntaskan kemenangan mereka terhadap orang-orang Umayyah). Setelah misi tuntas, ia sendiri yang turun tangan menghabisi Abu Muslim al-Khurasani. Abu Ja’far tidak peduli ketika Abu Muslim memohon: “Tidakkah lebih baik engkau biarkan aku hidup untuk menyingkirkan musuh-musuhmu?” Tetapi Abu Ja’far menampik: “Siapakah musuh yang lebih mematikan dari dirimu?!”.
Abu Ja’far al-Mansur bersekutu dengan Pepin dan Charlemagne, yang menguasai sebagian besar daratan Eropa pada abad pertengahan, demi menaklukkan Abdur Rahman bin Mu’awiyah bin Hisyam, Khalifah Umayyah di Andalusia. Namun ia gagal menaklukkannya. Kita mungkin berfikir kalau Khalifah tidak sepantasnya bekerjasama dengan kafir harbi fi’lan (Negara kafir yang secara terang-terangan memerangi umat Islam) karena tindakan seperti ini di haramkan syara’, apalagi bekerjasama untuk membantai umat Islam sendiri. Kita juga mungkin berfikir bahwa situasi seperti ini hanya terjadi di zaman kita. Kekuasaan telah menggelapkan mata mereka. Bagi al-Mansur, prinsip politiknya: “Lakukanlah apapun, tempuh jalan manapun, bersekutulah dengan musuhnya musuhmu, demi mencapai tujuanmu dan menang atas musuhmu”.
Artinya, ia benar-benar telah melupakan Islam, masa bodoh dengan hukum-hukum al-Qur’an dan Sunnah, serta menjauhkan diri sedapat mungkin dari teladan para Khulafa’ al-Rasyidun. Ia hanya mengingat dirinya sebagai “penguasa Tuhan di muka bumi”, tipikal penguasa Arab-Quraisy. Ia mendasarkan kekuasaannya atas hak Bani Abbas terhadap Khalifah, bukan berdasarkan hak rakyat untuk memilih.
Al-Mansur juga terkenal anti kritik. Suatu ketika Ibnu Muqaffa mengirimkan untuk al-Mansur buku yang berjudul Risalah al-Sahaabah (Risalah tentang Para Sahabat). Buku itu berisi nasihat untuk Khalifah agar pandai-pandai memilih para pembantu dan memperbaiki sistem pengelolaan masyarakatnya. Nasihat itu ia sampaikan dengan sangat santun. Boleh jadi, ia sedang mengharap penghargaan materi yang pantas untuk karyanya dengan mengirimkannya kepada Khalifah. Dan mungkin, ia pun tidak mengira bahwa sekedar memberi nasihat kepada penguasa adalah tindak kriminal. Kaki dan tangan Ibnu Muqaffa dicincang satu per satu. Potongan dagingnya di panggang di atas bara api, tepat di hadapannya. Setelah matang, satu per satu pula daging panggang itu dijejalkan ke mulutnya. Ibnu Muqaffa menjalani penderitaan tiada tara sampai ajal pun menjemputnya.
Mungkin Ibnu Muqaffa pun bertanya tatkala harus mengunyah jasadnya sendiri atas perintah “pemimpin kaum beriman”: pemimpin apa dan beriman seperti apa??? Ia mungkin bertanya, inikah hakikatnya kekuasaan Khilafah yang disebut “Islamiyah” itu? Islamiyah apanya??? Mungkin saat itu ia juga menyadari apa yang sekarang mesti pula disadari oleh para pejuang Khilafah dan sistem syariah, dan mereka yang memandang remeh usulan pembatasan dan pembagian kekuasaan, yang berfantasi tentang nikmatnya Negara despotik yang mengatasnamakan agama.
Namun demikian, walaupun al-Mansur masuk sejarah dari aspek yang paling bejatnya, ia tetaplah tercatat sebagai seorang negarawan besar yang berhasil mengukuhkan kekuasaannya dan mewariskannya kepada keturunan-keturunannya, meskipun dibangun di atas genangan darah. Dan kenyataan bahwa ia semena-mena, sebetulnya juga tidak lepas dari fatwa para fuqaha, ketakutan sebagian, dan bungkamnya sebagian yang lain. Juga yang terpenting tidak jalannya fungsi-fungsi pemerintahan, tidak adanya pembagian kekuasaan dan check and balance.
Era Abbasiyah adalah era pemerintahan paling bergairah dalam kebangkitan akal dan peradaban. Dan paling maju dalam soal fiqih. Dan untuk melengkapi gambarnya, kita dapat pula menyebutnya paling maju dalam soal kenikmatan hidup dan durjananya, ini ditandai dengan maraknya dunia hiburan dan kemaksiatan. Farag Fauda mengatakan, kondisi ini didorong oleh banyak faktor, namun barangkali faktor utamanya adalah apa yang di masa sekarang disebut sebagai “iklim kondusif” yang membuka peluang untuk kemaksiatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di masa lalu minuman keras, musik dan tarik suara menjadi kegemaran para Khalifah-Arab dalam pesta-fora mereka. Ini karena Ulama juga membolehkannya. Saat itu para fuqaha Irak yang terdiri dari murid-murid Abu Hanifah mempunyai fatwa yang membolehkan minuman keras. Sementara itu ulama Hijaz membolehkan musik dan nyanyian. Itulah iklim atau suasana umum yang mendorong maraknya musik dan minuman keras serta konsekuensi-konsekuensi lain seperti maraknya dunia hiburan, perempuan penghibur, dan penyimpangan perilaku seksual. Dunia hiburan sudah menjadi bagian dari kenikmatan masyarakat kala itu. Untuk soal menikmati perempuan penghibur, al-Mahdi dan putranya, Harun al-Rasyid adalah jagonya. Untuk soal penyimpangan seksual, al-Watsiq adalah bintangnya.
Mengenai maraknya minuman keras itu, “iklim kondusif” bukan hanya datang dari Khalifah, tapi pendapat fuqaha kala itu yang merupakan murid-murid Abu Hanifah yang merujukkan pendapatnya dari Abdullah bin Mas’ud yang kemudian mengambil kesimpulan bahwa kata khamar dalam al-Qur’an adalah air sari buah anggur berdasarkan makna kebahasaan dan dari hadits-hadits nabi lainnya. Pemahaman inilah yang membuat Abu Hanifah berijtihad menyangkut halalnya beberapa jenih khamar seperti sari buah kurma dan kismis.
Dengan catatan, bahan-bahan itu diolah sewajarnya dan diminum dengan kadar tidak memabukkan.
Masa Abbasiyah ini diramaikan pula dengan maraknya perbudakan dan pergundikan. Perbudakan dan pergundikan bersumber dari sistem perdagangan budak yang masih ramai di masa itu, dan hasil pampasan perang. Asal mereka pun bermacam-macam, ada gundik Romawi, Persia dan Ethiopia. Terjadinya surplus budak ini menimbulkan fenomena saling menghadiahi selir, yang menjadi kebiasaan umum. Jumlah gundik-gundik yang dimiliki para petinggi Negara semakin berkembang dalam sejarah imperium Islam. Dari belasan di masa sahabat, menjadi puluhan pada masa Umayyah, mencapai ratusan pada masa Yazid bin Abdul Malik, dan menembus angka ribuan pada masa Abbasiyah. Bilangan ini bahkan mencapai angka 4000 (empat ribu) orang di masa al-Mutawakkil. DalamTarikh al-Khulafa, al-Suyuti menceritakan Khalifah yang gemar minum-minuman keras ini konon telah meniduri seluruh empat ribu gundiknya selama seperempat abad masa kepemimpinannya. Tentu ini merupakan rekor tertinggi kepemilikan gundik yang pernah tercatatkan dalam sejarah umat manusia yang seharusnya masuk ke dalam catatan Book of Record.
Membaca sejarah kehidupaan Khalifah di masa itu, pembaca mungkin terheran-heran, mengapa masyarakat Islam di masa itu jauh dari kehidupan Islam, padahal masa itu adalah masa kekhilafahan. Kita mungkin berimajinasi bahwa masyarakat Islam dan pemimpin-pemimpinnya di masa kekhilafahan adalah masyarakat yang dekat dengan agama, dan syariat diterapkan secara total dalam semua aspek kehidupan. Namun anggapan itu salah, masyarakat Islam kala itu tidak lebih baik dari masyarakat kita saat ini yang sebagian dari Anda menganggapnya sebagai “masyarakat jahiliah modern” atau jauh dari agama (ideologi) Islam yang sebenarnya. Saat itu, syariat memang diterapkan, tapi diterapkan secara “kreatif” dan tebang pilih.
Pembacaan sejarah akan dilanjutkan pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang sangat terkenal itu, terlepas dari kekurangan dan kelebihan, tentunya orang sudah kenal dengan siapa Harun al-Rasyid, atau paling tidak dengan al-Ma’mum dan al-Mu’tasim.
Pasca Harun al-Rasyid, putranya al-Amin (Shalih bin Harun) naik tahta. Al-Amin telah dinobatkan sebagai pengganti Harun semasa ia masih anak-anak. Harun al-Rasyid mewasiatkan bahwa setelah al-Amin naik tahta, jabatan Khalifah akan di lanjutkan oleh saudara al-Amin, yakni al-Ma’mun. Sementara al-Amin menjadi Khalifah, al-Ma’mun menjadi gubernur Khurasan di Persia Timur. Namun kemudian, Khalifah al-Amin membatalkan hak Khalifah al-Makmun, dan menggantinya dengan putranya sendiri, Musa bin Muhammad al-Amin. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan perang saudara yang berujung pada dipenggalnya kepala al-Amin oleh panglima Tahir bin Husain yang di utus oleh saudaranya sendiri al-Ma’mun, setelah bala tentaranya berhasil menaklukkan tentara al-Amin dan memasuki Baghdad.
Al-Amin sebagai Khalifah ternyata juga dikenal abnormal dalam perilaku seksualnya. Dia sangat menyukai teman kencan seranjang sejenis dengan meninggalkan istri-istri dan gundik-gundiknya. Pacar yang sangat digandrungi oleh al-Amin bernama Kautsar, sementara Kautsar adalah seorang laki-laki tampan yang dibeli oleh Harun al-Rasyid sebagai hadiah buat al-Amin, karena dia mengetahui prilaku seksual anaknya. Satu peristiwa mencolok yang dilakukan oleh al-Amin terhadap kekasihnya Kautsar, yakni mengangkut dirham sebanyak tiga keledai untuk penyembuhan Kautsar karena cidera ringan, sementara dana tersebut sudah dialokasikan untuk biaya perang. Dan akhirnya al-Amin dihancurkan oleh para menteri dan gubernurnya sendiri karena ia lebih banyak berhura-hura, menghamburkan kas Negara dan asyik bermesraan dengan sesama jenis bernama Kautsar.
Satu Khalifah lagi yang kurang dikenal yang sangat piawai membuka babak baru sejarah dinasti keturunan Abbas bin Abdul Muthalib ini. Dia adalah al-Watsiq. Al-Watsiq adalah Khalifah terakhir Dinasti Abbasiah periode awal. Ia memerintah selama 6 tahun, ia seorang Transeks namun cenderung berperilaku homoseks, selama 6 tahun, nyaris waktunya digunakan dengan berpindah-pindah pelukan dari satu pria ke pria lainnya.
Satu pacar yang paling disukai oleh al-Watsiq adalah Muhaj, cowok keren dan sangat pandai memainkan perasaan al-Watsiq, sebuah pameo menceritakan, bila al-Watsiq sedang nyaman dalam pelukan Muhaj, maka stabilitas pemerintahan akan baik, namun jika al-Watsiq sedang cemburu buta dengan si Muhaj, maka dia akan mencari lawan-lawan politiknya untuk dibunuh. Prilaku homoseksual dua insan sesama jenis ini teruntai dalam syair ala dangdut:
Al-Watsiq selama hidupnya tercatat telah menyusun lebih dari 100 syair lagu. Satu riwayat menceritakan, ketika al-Watsiq sedang mengadakan rapat bersama para pembesar istana, kemudian Muhaj yang memang menyadari akan posisinya, tiba-tiba muncul dengan melenggak-lenggokan badanya kemudian mengerlingkan mata kepada al-Watsiq dan membawakannya sekuntum bakung, sehingga al-Watsiq tanpa banyak bicara kemudian dari mulutnya meluncur syair-syair penuh birahi dan menyebabkan rapat penting tentang posisinya sebagai Khalifah menjadi runyam.
Al-Watsiq selain memiliki perilaku seks yang menyimpang, dia juga mempunyai sejarah inkuisisi seperti halnya ayahnya al-Ma’mum, kalau al-Ma’mum meninkuisisi Imam Ahmad bin Hambal dan beberapa ulama lainnya, sementara al-Watsiq melakukan hal yang serupa terhadap Ahmad bin Nasr al-Khaza’i seorang ahli haditst, al-Khaza’i dijemput paksa dan dihadapkan kepada al-Watsiq bersama Ulama-Ulama pelat merah saat itu, dan terjadilah dialog tentang kemahlukan al-Qur’an, namun karena al-Khaza’i tetap teguh dengan pendapatnya, akhirnya al-Watsiq meminta sebilah pedang sambil berkata, jika aku bergerak jangan ada yang ikut bergerak, aku akan menghitung langkahku menuju si kafir yang tidak menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan kita. Lalu ia meminta dibentangkan permadani tempat al-Khaza’i bersimpuh, lalu dipancungnyalah sang ahli hadits itu.
Sampai disini dululah pembacaan sejarah Bani Abbasiyah.
(Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Demi Allah, cerita yang saya sampaikan ini adalah benar adanya. Bukan cerita fiktif atau sesuatu yang mengada-ngada. Tujuannya agar pembaca khususnya para pengemban dakwah dapat semakin istiqomah dan bersemangat dalam memperjuangkan tegaknya mazhab Ahlul Bait.
Ulama Ulama Zindiq membantu Raja Raja Dinasti Umayyah dan Abbasiyah merusak Agama Muhammad !
Islam Hanya Terbagi dua Yakni: Syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyyah.
“Kaum munafikin di zaman Nabi saww sebagaimana penjelasan Al_qur’an sangat keterlaluan dalam kemunafikan mereka. Mereka sangat bersungguh-sungguh menampakkan diri sebagai bagian dari umat Islam. Mereka juga turut shalat di belakang Nabi, mereka juga duduk di setiap majelis-majelis Nabi bahkan mereka juga turut meriwayatkan hadits-hadits Nabi saww. Karenanya sangat memungkinkan bagi orang-orang setelahnya, orang-orang munafik ini juga terkategorikan sebagai sahabat-sahabat Nabi”
“Setelah saya mempelajari sejarah Islam dengan seksama secara esensial umat ini hanya terbagi dua yakni : Syi’ah Ali dan Syi’ah Muawiyyah (Prof.Husein Alatas/Malaysia,Cucu Habib Empang).
Kelompok Wahabi Sangat Membela Muawiyah
Di dalam kitab Durarul Karimah Ibn Hajar al-Asqalani, jilid 1, hal.155, terbitan Darul Jil, tahun 1414 H/1993 M. Beliau mengatakan : Ibn Taimiyah berkata : ” Sesungguhnya (Ali) orang yang tercela dalam segala hal. Dia berusaha terus-menerus mengejar kekhalifahan meskipun tidak ia peroleh, dan berperang untuk kedudukan bukan untuk agama dan sesungguhnya Ali gila kekuasaan.”
Ciri utama Syi’ah Ali yg menonjol adalah gemar akan persatuan sebaliknya Syi’ah Mu’awiyyah gemar akan perpecahan, bersatulah Sunnah dan Syi’ah dan teruslah jalin Ukhuwah agar kita semua setia dalam barisan kebenaran.
Husein bin Hamid Alattas mengakui dirinya tidak menganggap Muawiyah Ra sebagai sahabat Nabi SAW, ia juga mengakui Muawiyah Ra boleh dihujat dan dikritik. Meskipun, dirinya menyatakan bermanhaj sebagai Ahlus Sunnah.
“Secara lughowy (bahasa) Muawiyah termasuk sahabat, tetapi secara syar’i Muawiyah tidak termasuk sahabat,” Kata Husein Hamid Alattas ditengah acara dialog dan mubahalah antara dr.Haidar Abdullah Bawazir dengan Husein bin Hamid Alattas di Radio Silaturahim, Jl. Masjid Silaturahim no.36, Cibubur, Bekasi, Rabu kemarin (27/6).
Husein berpendapat, Muawiyah Ra merupakan pihak yang bertanggung jawab atas terbunuhnya banyak umat Islam dan Amar bin Yasir ketika terjadi perselisihan antara Muawiyah ra dengan Ali bin Abi Tholib Ra yang berujung dengan peperangan, pihak yang melakukan kesalahan dalam merubah sistem kekhilafahan menjadi kerajaan dengan mengangkat anaknya sebagai penerus kekhalifahan, serta yang menyebabkan peristiwa-peristiwa berdarah selanjutnya.
Pendapat bahwa terdapat perbedaan makna sahabat secara bahasa dan syar’i dan ketidak sepakatan ulama dalam menilai sahabat yang membunuh kaum muslimin, menurutnya berdasarkan kitab ulasan orang-orang yang sesuai dengan buku kalangan sunni kontemporer karya Hasan Farhan Al Maliki yang berjudul ‘Assubhu was Shahabah’. “Dalam buku itu tidak terdapat ijma dalam ahlussunnah berkaitan pandangan tersebut (status sahabat bagi orang yang membunuh orang beriman)” ujar Husein.
Penjelasan tersebut diutarakan Husein, setelah menolak definisi sahabat oleh jumhur ulama yang diutarakan Haidar Bawazir yakni, seseorang yang bertemu Nabi SAW dalam keadaan beriman ketika hidup dan beriman hingga ia meninggal dunia.
Padahal Nabi saw bersabda :”Barangsiapa yang mencaci-maki Ali, maka sama dengan halnya ia telah mencaci-maki aku, dan barang siapa yang mencaci-maki aku berarti dia telah mencaci Allah SWT.”.
Muawiyah Dikecam Rasulullah Saw Selamanya Takkan Merasakan Kenyang, Karena Suka Makan
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutsanna Al ‘Anziy dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Basyaar [dan lafaz ini adalah lafaz Ibnu Mutsanna] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Umayyah bin Khalid yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abu Hamzah Al Qashaab dari Ibnu Abbas yang berkata “aku bermain bersama anak-anak kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang, aku bersembunyi di belakang pintu. Beliau datang dan menepuk pundakku seraya berkata “pergi dan panggilkan Muawiyah kepadaku”. Maka aku kembali dan berkata “ia sedang makan”. Kemudian Beliau berkata “pergi dan panggilkan Muawiyah kepadaku”. Maka aku kembali kepada Beliau dan berkata “ia sedang makan”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya” [Shahih Muslim 4/2010 no 2604].
Muawiyah dilaknat Rasulullah saw Secara Terang-terangan
Terdapat hadis shahih yang menunjukkan kalau Muawiyah bin Abu Sufyan adalah salah seorang yang dilaknat oleh Allah SWT. Hal ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sanad yang jayyid.
Telah menceritakan kepada kami Khalaf yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah mawla Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk kemudian melintaslah Abu Sufyan di atas hewan tunggangan dan bersamanya ada Muawiyah dan saudaranya, salah satu dari mereka menuntun hewan tunggangan tersebut dan yang lainnya menggiringnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam bersabda “laknat Allah bagi yang memikul dan yang dipikul, yang menuntun dan yang menggiring”[Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 2/121].
Dalam hadis di atas tertulis ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Jumhan, ini adalah tashif yang benar adalah ‘Abdul Warits ‘an Sa’id bin Jumhan. Karena telah ma’ruf kalau yang meriwayatkan dari Safinah adalah Sa’id bin Jumhan dan yang meriwayatkan dari Sa’id bin Jumhan adalah ‘Abdul Warits yaitu ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan.
Dalam biografi Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy disebutkan kalau ia meriwayatkan dari Safinah dan telah meriwayatkan darinya ‘Abdul Warits bin Sa’id [Tahdzib Al Kamal 10/376 no 2246].
Dalam biografi ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan disebutkan kalau ia meriwayatkan dari Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy [Tahdzib Al Kamal 18/478 no 3595].
Hadis ‘Abdul Warits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dan Nasa’i dalam kitab Sunan-nya dengan sanad berikut:
Telah menceritakan kepada kami Musaddad bin Musarhad yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah yang berkata –al hadits- [Sunan Abu Dawud 2/416 no 3932].
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah yang berkata –al hadits- [Sunan Nasa’i 3/190 no 4995].
Al Baladzuri termasuk ulama besar, Adz Dzahabi menuliskan keterangan tentang Al Baladzuri dalam kitabnya As Siyar dan Tadzkirah Al Huffazh. Adz Dzahabi menyebut ia seorang penulis Tarikh yang masyhur satu thabaqat dengan Abu Dawud, seorangHafizh Akhbari Allamah [Tadzkirah Al Huffazh 3/893]. Di sisi Adz Dzahabi penyebutan hafizh termasuk ta’dil yaitu lafaz ta’dil tingkat pertama. Disebutkan Ash Shafadi kalauAl Baladzuri seorang yang alim dan mutqin [Al Wafi bi Al Wafayat 3/104]. Tidak ada alasan untuk menolak atau meragukan Al Baladzuri, Ibnu Hajar telah berhujjah dengan riwayat-riwayat Al Baladzuri dalam kitabnya diantaranya dalam Al Ishabah, Ibnu Hajar pernah berkata “dan diriwayatkan oleh Al Baladzuri dengan sanad yang la ba’sa bihi” [Al Ishabah 2/98 no 1767]. Penghukuman sanad la ba’sa bihi oleh Ibnu Hajar berarti ia sendiri berhujjah dan menta’dil Al Baladzuri. Soal kedekatan kepada penguasa itu tidaklah merusak hadisnya karena banyak para ulama yang dikenal dekat dengan penguasa tetapi tetap dijadikan hujjah seperti Az Zuhri dan yang lainnya. Para ulama baik dahulu maupun sekarang tetap menjadikan kitab Al Balazuri sebagai sumber rujukan baik sirah ansab maupun hadis.
Riwayat Al Baladzuri di atas terdiri dari para perawi tsiqat dimulai dari Khalaf syaikh [guru] Al Baladzuri adalah Khalaf bin Hisyam Al Bazzar, ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan dan Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy. Sedangkan Safinah mawla Ummu Salamah yang juga dikenal mawla Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam adalah sahabat Nabi.
1. Khalaf bin Hisyam Al Bazzar adalah perawi Muslim dan Abu Dawud. Disebutkan bahwa diantara yang meriwayatkan darinya adalah Ahmad bin Yahya bin Jabir Al Baladzuri. Imam Muslim juga meriwayatkan darinya itu artinya ia tsiqat menurut Muslim. Ahmad bin Hanbal dan Nasa’i menyatakan tsiqat. Daruquthni berkata ahli ibadah yang memiliki keutamaan. Ibnu Hibban berkata “baik, memiliki keutamaan, alim dalam qiraat dan telah menulis darinya Ahmad bin Hanbal” [At Tahdzib juz 3 no 297]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/272]. Al Khalili menyatakan ia disepakati tsiqat [Al Irshad 1/95].
2. ‘Abdul Warits bin Sa’id bin Dzakwan adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Abu Zur’ah, Ibnu Ma’in, Al Ijli dan Ibnu Numair menyatakan ia tsiqat. Abu Hatim menyatakan ia shaduq. Nasa’i berkata “tsiqat tsabit”. Ibnu Sa’ad berkata “tsiqat hujjah”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan berkata “mutqin dalam hadis”. [At Tahdzib juz 6 no 826]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 1/625].
3. Sa’id bin Jumhan Al Aslamiy adalah perawi Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in berkata “tsiqat”. Abu Hatim berkata “ditulis hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. Abu Dawud menyatakan ia tsiqat. Ahmad bin Hanbal menyatakan ia tsiqat. Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. As Saji berkata “tidak diikuti hadisnya” [At Tahdzib juz 4 no 15]. Yaqub bin Sufyan Al Fasawi menyatakan ia tsiqat [Al Ma’rifat Wal Tarikh 2/182]. Ibnu Hajar menyatakan ia shaduq dan memiliki riwayat yang menyendiri, tetapi pernyataan ini dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Sa’id bin Jumhan seorang yang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 2279].
Jadi riwayat ini memiliki sanad yang shahih dan menunjukkan kalau Mu’awiyah adalah salah seorang yang dilaknat oleh Allah SWT. Apapun alasannya, kami tidak bisa memastikan tetapi jika melihat bagaimana pribadi Mu’awiyah dan pemerintahan yang dipimpin olehnya maka riwayat ini tidaklah mengherankan. Cukup banyak penyimpangan yang dilakukan Mu’awiyah diketahui oleh mereka yang mengetahuinya dan dibela mati-matian oleh mereka yang mencintai Muawiyah. Bagi yang ingin melihat berbagai penyimpangan Muawiyah, dipersilahkan untuk melihat tulisan kami yang lain tentang Muawiyah. Akhir kata jika ada yang tidak setuju cukuplah sampaikan bantahan dan tidak perlu mencela kami. Kami tidak tertarik main tuduh-menuduh cela mencela, kalau kami keliru silakan dikoreksi tetapi kalau tidak mampu maka cukuplah berdiam diri.
- 2:159. Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati,
- 33:57. Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.
Tipikal penguasa Bani Umayyah yang Khalifahnya yang tidak suka berbasa-basi, tampil apa adanya dan sanggup berbuat apa saja untuk melindungi kekuasaannya dari ancaman. Berbeda nanti dengan Bani Abbasiyah yang tipikal penguasanya penuh dengan hipokrasi dan kemunafikan. Mereka tampil di depan khalayak dengan tampang khusuk dan penuh iman, tak jarang bercucuran air mata ketika dinasihati oleh para ahli ibadah. Namun pada lain waktu, mereka 360 derajat berbeda dengan melakukan hal-hal yang amat memalukan dan membelalakkan mata. Dalam kealfaan dan kegilaannya itu, mereka justru tidak risih disapa sebagai pemimpin kaum beriman (Amirul Mu’minin = Ali) dan Khalifah bagi umat Islam (Khalifah al-Muslimin).
Contoh kevulgaran dan kejujuran Bani Umayyah dapat dilihat dari sikap Abdul Malik bin Marwan.
Dalam Tarikh al-Khulafa, al-Suyuti menceritakan kisah dari Ibnu Abi Aisyah mengatakan, Abdul Malik pernah diminta untuk memutuskan suatu perkara sambil diajukan kepadanya sebongkah mushaf al-Qur’an. Akan tetapi, ia justru mencampakkannya seraya berkata: “Ini adalah persentuhanku yang terakhir denganmu!”. Dan kenyataanya, apa yang ia katakan kemudian ia lakukan. Setelah menyatakan talak dengan al-Qur’an, sang ahli fiqih ini kemudian menjalankan roda pemerintahan dengan instingnya.
Bani Umayyah awalnya didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan (satu kakek buyut dengan Utsman bin Affan R.A.). Ia menjadi Khalifah setelah wafatnya Ali bin Abu Thalib. Orang-orang Madinah saat itu membaiat Hasan bin Ali, namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang pada masa itu yang sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi’ah, dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Namun kemudian Mu’awiyah bin Abu Sufyan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk membai’at anaknya, yaitu Yazid bin Mu’awiyah sebagai Khalifah pengganti dirinya. Sekaligus memperkenalkan suksesi secara putra mahkota, seperti layaknya sistem Monarki (Kerajaan). Memang prosesi pengangkatannya menggunakan bai’at sebagai formalisasi pengangkatan Khalifah, akan tetapi bai’at tersebut kemudian hanya menjadi kamuflase saja, karena bai’at dilakukan secara paksa dan ancaman hukuman mati akan diberikan bagi siapa saja yang menentang keputusan itu atau menolak bai’at.
Mu’awiyah bin Abu Sufyan bahkan memberikan interprestasi sendiri dari kata Khalifah, dimana ia menambahkan kata “Allah” dibelakang kata Khalifah, yang dalam pengertiannya penguasa yang diangkat oleh Allah. Sedangkan Abu Bakar R.A. telah melarang penggunaan kata “Khalifah Allah”, ketika ia dipanggil demikian. Ia berkata, “Aku bukan Khalifah Tuhan, tapi aku adalah Khalifah (pengganti, perwakilan) dari utusan Tuhan. Lagipula, seseorang hanya dapat bertindak sebagai “Khalifah” (pengganti, perwakilan) seseorang yang tidak ada, bukan sesuatu yang ada (karena Tuhan selalu ada).
Tindakan pewarisan tahta ini memicu protes dikalangan umat. Ia di anggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian kepemimpinan diserahkan kepada pilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid bin Mu’awiyah sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.
Keterangan gambar: Makam Muawiyah bin Abu Sofyan di Syria. Digembok rapat karena orang-orang suka membuang kotoran di makam ini. Konon di sekitarnya juga tumbuh pohon berduri yang tidak tumbuh di tempat lain.
Kubur Muawiyah Laknatullah (Foto: Syiah Ali)
Sejarah kemudian mencatatat munculnya Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai Khalifah menggantikan Husain bin Ali yang terbunuh dalam perang Karbala. Terjadi dualisme kepemimpinan dan perpecahan yang hebat di kalangan umat Islam. Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan (Khalifah ke-5 Bani Umayyah yang juga dikenal ahli fiqih), yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Pola pemerintahan tangan besi yang dipraktekkan Dinasti Umayyah berlanjut. Ketika Abdul Malik bin Marwan memimpin, ia menjadikan Hajjaj “si tukang jagal” sebagai tangan kanannya. Kekejaman Hajjaj bin Yusuf begitu terkenal, hingga ada pameo “jika Hajjaj datang, malaikat menyingkir dan setanpun berdansa mendekat”.
Demikian kenyataan sejarahnya, bahwa Dinasti Umayyah dibangun di atas genangan darah sesama Muslim. Pendahulu Abdul Malik bin Marwan seperti Yazid dikenal sebagai monster haus darah dengan tumbal pertamanya Husain bin Ali bin Abu Thalib. Tidak kalah sadisnya, Abdul Malik sang ahli fiqih ini juga telah melakukan pembantaian dengan jubah kebesarannya sekaligus menyatakan talak tiga dengan al-Qur’an, lalu ia memimpin dengan instingnya.
Namun sayangnya, saat itu Ulama-Ulamanya atau sejenis Ulama plat merah saat ini, selalu saja mendoakan Abdul Malik seraya berkata bahwa Abdul Malik sang penjaga amanat umat Islam, dimana saat itu spekulasi hadits bermunculan, salah satunya berbunyi “orang-orang yang sekurang-kurangnya pernah tiga hari memimpin umat Islam akan diampuni dosa-dosanya”. Dan menjelang kematianya, Abdul Malik bin Marwan berwasiat kepada anaknya Walid “Wahai anakku, bertakwalah kepada Allah dengan kekuasaan yang telah diamanatkan padamu dan tetaplah hormati Hajjaj bin Yusuf, serta jangan hiraukan komentar orang tentang Hajaj bin Yusuf”.
Dan ketika anaknya Walid menangis, Abdul Malik berkata “Mental apaan ini, jika aku mati singsingkan lengan bajumu, pakailah sabuk kulit macan dan selipkan pedang, jika ada orang yang berkata lebih berhak atas kekuasaan dari padamu, tebaslah batang lehernya”.
Sejarah mencatat, bahwa kekuasaan Dinasti Bani Umayyah dimarakkan oleh tiga nama orang sebagai sadis, namun merupakan Khalifah yang dikenal populer yakni Yazid bin Muawiyah sang pembantai, Yazid bin Abdul Malik dan Walid bin Yazid. Satu orang yang kemudian dikenal sebagai sangat bijaksana yakni Umar bin Abdul Azis, karena kebijaksanaannya itu ia dijuluki Umar kedua yang memiliki kebijaksanaan yang tinggi setelah Umar bin Khatab. Namun sayang orang baik ini harus mati terminum racun yang diduga diberikan oleh keluarga dekatnya sendiri karena menginginkan kekuasaannya.
Kezaliman Yazid bin Muawiyah tidak cukup ditandai dengan pembantaian atas Husain bin Ali, yakni ketika Yazid bin Muawiyah bersama pasukannya menaklukan Madinah karena masyarakatnya mencabut bai’at atasnya, Yazid memaklumatkan pembantaian dan anarkisme selama tiga hari dalam kota. Ibnu Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh-nya meriwayatkan, akibat pembantaian itu 4.500 jiwa menjadi tumbal dan sekitar 1.000 perawan muslimah diperkosanya. Dan lebih dahsyatnya Yazid bin Muawiyah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, telah secara ekplisit menyatakan kemurtadan dengan menyebutkan, “Klan Hasyim bermain-main dengan kuasa. Kekuasaan tidak datang wahyupun tidak menjelang”. Disebutkan dalam Tarikh al-Khulafa, Yazid juga dikenal gemar mengumbar nafsu dan minum minuman keras.
Sementara itu Yazid yang lain yakni Yazid bin Abdul Malik, ia adalah Khalifah pengganti Umar bin Abdul Azis. Yazid bin Abdul Malik menjadikan selama kekuasaannya sebagai lautan kebobrokan moral dan kemesuman, namun sebagaimana diriwayatkan oleh al-Suyuti dalam Tarikh al-Khulafa-nya: Ketika Yazid bin Abdul Malik mendapatkan mandat sebagai Khalifah, ia datangkan 40 orang Syeikh (maha guru agama), dan meminta agar 40 Syeikh tersebut berfatwa yang isinya bahwa seorang Khalifah tidak akan dihisab oleh Tuhan, apalagi disiksa.
Keadaan ini menegaskan juga bahwa ternyata kerusakan itu tidak hanya datang dari Khalifah, tetapi juga bisa datang dari Ulama dalam pengertian ahli ilmu agama. Kalau selama kekuasaan Yazid bin Abdul Malik telah menghabiskan masanya dengan bermesum ria dengan perempuan bernama Salamah dan roman cintanya dengan Habbabah. Al-Mas’udi dalam Muruj al-Dzahab-nya meriwayatkan dari jalur Abu Hamzah al-Khariji menyatakan; Yazid mendudukan Hababah di paha kanannya, dan Salamah di sebelah kirinya, lalu secara terbuka dia menyatakan “aku ingin terbang” sambil berkata aku terbang menuju laknat Tuhan dan azabnya yang pedih. Ibnu Katsir juga meriwayatkan, bahwa ia (Yazid bin Abdul Malik) menginginkan agar istana dikosongkan dari manusia, ia menginginkan berdua saja dengan Habbabah untuk mengumbar libidonya, hingga bersenda gurau, yang akhirnya Habbabah harus mati tersedak buah anggur, dan bangkainyapun terus diciumi, dipeluk dengan penuh nafsu, barulah ketika mulai membusuk, mayat Habbabah dikubur dan Yazid bin Abdul Malik menginap dikuburan berhari-hari meratapi kematian kekasihnya.
Cerita lebih gila dari tiga tokoh antik dalam Dinasti Bani Umayyah adalah munculnya anak Yazid bin Abdul Malik, yakni al-Walid bin Yazid, Ia seorang homoseksual yang “overdosis” dan hobinya menjadikan Mushaf Al-Quran sebagai sasaran memanah sambil membaca ‘auzubillahi, laa hawla walaqwata‘. Ketika beberapa orang ulama menyatakan al-Walid bin Yazid sebagai kafir dan zindiq, seorang ulama besar pula yang bernama Al-Zhahabi membelanya, sambil berkata, tidak benar kalau al-Walid kafir dan zindiq, namun memang ia dikenal sebagai pemabuk dan pelaku homoseksual. Bahkan ketika al-Walid pergi kerumah seorang Ulama bernama al-Muhtadi tentang desas desus tuduhan kafir zindik, al-Muhtadi justru membelanya. Layaknya kebanyakan Ulama sekarang yang membela penguasa sekalipun penguasa sudah berlaku yang zalim. Ketika membaca perilaku homoseksualitas Khalifah ini, anda mungkin tersentak sejenak.
Kita mungkin menyangka bahwa gejala LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transeksual) hanya ada di zaman kita dimana kebebasan individu begitu didewakan. Kenyataannya, gejala seperti ini sudah ada bahkan sejak awal kekhilafahan. Pelakunya pun tidak tanggung-tanggung, sang Khalifah sendiri. Kita mungkin juga mengira bahwa kebiasaan perselingkuhan antara penguasa dan agamawan hanya ada dalam kisah sejarah Eropa.
Mari kita lihat apa yang dilakukan al-Walid ketika membaca ayat “Mereka melakukan penaklukan dan takluklah setiap tiran yang bebal. Dibelakang mereka sudah menguntit neraka jahannam. Mereka akan disiram air yang menggelegak…” Seketika itu pula ia meletakkan mushaf al-Qur’annya untuk dipanah. Namun, ia berubah pikiran, lalu cukup melemparkannya sambil berkata:
Aku menantang semua tiran yang bebal,
Ini, akulah sang tiran bebal,
Kalau tuhanku datang di hari kebangkitan,
Katakan, Tuhan, aku telah ditaklukkan al-Walid.
Muhammad Ibnu Yazid al-Mubarrad mengatakan: “Sesungguhnya al-Walid sudah ateis dalam syairnya yang menyebut-nyebut soal Nabi dan wahyu Tuhan yang tak datang padanya:”
Seorang Hasyimi bermain-main dengan kuasa,
Tanpa wahyu turun, tanpa Kitab,
Titahkan Tuhan melarangku makan,
Suruh Tuhan menghalangiku minum.
Al-Walid juga pernah berusaha membuat kubah di atas Ka’bah untuk minum-minum ketika ia melaksanakan haji beserta beberapa kerabatnya. Namun para pemuka sukunya berhasil meyakinkannya untuk mencabut keinginannya. Yang jelas, dari kisah hidupnya ia betul-betul memperturutkan hasratnya. Sampai-sampai kegilaan akan hiburan dan minuman itu mampu menguasai para elit dan masyarakat pada zamannya, sebagaimana diceritakan al-Mas’udi. Karena itu tak heran bila bermunculan bintang-bintang di bidang tarik suara bak American Idol, di antaranya Ibnu Sarih, Ma’bad, al-Gharidh, Ibnu Aisyah, Ibnu Muhriz, Thawis, dan Dahman.
Riwayat al-Walid berakhir dengan pembelotan sepupunya, yaitu Yazid bin al-Walid, yang membunuhnya setelah mencicipi kekuasaan selama satu tahun tiga bulan. Namun, takdir menentukan masa kepemimpinan Yazid pun jauh lebih pendek; tak lebih dari lima bulan. Ia meninggal, lalu digantikan adiknya, Ibrahim, untuk jangka waktu 70 hari saja, karena dikudeta Marwan bin Muhammad sebagai upaya balas dendam terhadap al-Walid bin Yazid. Setelah itu, masa Bani Umayyah berakhir dengan tewasnya Marwan, yang berkuasa sekitar 5 tahun, di tangan orang-orang Abbasiyah.
Terlalu banyak cerita gelap yang dapat diungkap dari Dinasti Bani Umayyah, beberapa kesimpulan yang dapat dipetik adalah pertama, adalah benar bahwa Dinasti ini telah melebarkan wilayah kekuasaan Islam, namun motivasinya lebih banyak untuk kesenangan nafsu sebagai layaknya masyarakat Jahiliyah yang baru berkenalan dengan dunia luar. Kedua, era Umayyah adalah nepostisme ke-Araban yang akut. Ketiga, pada era inilah Ulama-Ulama besar banyak bermunculan, namun seringkali Ulama malah bertindak menjustifikasi kebijakan Khalifah, sekalipun menyimpang dari Islam.
Selanjutnya akan kita dedah pula bagaimana Dinasti Bani Abbasiyah. Yang ternyata tidak kalah sadisnya, sekalipun pada Dinasti ini the Golden Era-nya peradaban Islam tertoreh dalam sejarah. Dinasti ini sebenarnya tidak perlu diperkenalkan lagi, sebab ia telah mempekenalkan diri lewat figur pendirinya yakni Abbul Abbas Al-Saffah (Abbul Abas si tukang jagal). Ada dua dekrit yang dikeluarkan oleh sang tukang jagal ini yakni pertama untuk mencari kuburan dan memburu apa saja yang tersisa dari pimpinan Bani Umayyah, kedua melecut, menyalib, membakar mayatnya dan menghamburkan ke udara abu jenazah para pemimpin Bani Umayyah.
Dinasti Bani Abbasiyah merebut kekuasaan dengan klaim bahwa hak kekuasaannya telah ditentukan dan diberi mandat langsung dari Tuhan. Dalam Musnad-nya, Ibnu Hanbal misalnya menyebutkan hadits berikut: “Akan muncul pemimpin dari sanak keluargaku pada masa terjadinya peralihan zaman dan malapetaka besar. Ia disebut al-Saffah, kedermawanannya sangat melimpah”. Al-Thabari juga menyebutkan: “Rasulullah pernah mewartakan kepada pamannya Abbas, bahwa kepemimpinan Arab kelak akan jatuh ke tangan sanak keluarganya. Sampai-sampai sanak keluarganya itu tidak sabar menantikan kapan saat itu tiba”. Inilah cara Abbasiyah merebut simpati massa untuk membai’at dan loyal terhadap mereka. Bermulalah model kekuasaan berdasarkan klaim palsu agama ini yang didukung dengan ancaman keras bagi mereka yang tidak loyal dan mengancam kekuasaan.
Pasukan tentara Bani Abbas kemudian berhasil menaklukkan kota Damsyik, ibukota Bani Umayyah, dan mereka “memainkan” pedangnya di kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang. Masjid Jami’ milik Bani Umayyah, mereka jadikan kandang kuda-kuda mereka selama tujuh puluh hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya. Memang benar kemudian mereka bongkar kuburan Muawiyah dan Yazid bin Muawiyah dan hanya menemukan sepotong tulang yang sudah mirip dengan arang lalu mereka angkat dan bakar lalu dilambungkan abunya ke udara. Sementara saat membongkar kuburan Abdul Malik bin Marwan, mereka menemukan tengkorangnya. Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk dan menggantungkannya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari, kemudian membakarnya dan menaburkan abunya. Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka di jalan-jalan kota itu untuk makanan anjing-anjing. Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Bani Umayyah di Makkah dan Madinah.
Ibnu Atsir dalam al-Kamil fi al-Tarikh mengungkapkan bahwa Al-Saffah juga melakukan pengejaran terhadap seluruh sanak keluarga dan pendukung Bani Umayyah. Ia menghabisi mereka semua, kecuali anak-anak yang masih menyusu dan mereka yang telah melarikan diri ke Andalusia.
Al-Mas’udi pula dalam Muruj al-Dzahab mengungkapkan kisahnya secara lebih terperinci. Haitsam bin Uday at-Tha’i meriwayatkan kisah dari Amru bin Hani. “Kami pergi mencari kuburan pemuka Umayyah pada masa Abu Abbas al-Saffah. Hanya mayat Hisyam yang kami temukan masih utuh, kecuali bagian hidungnya. Abdullah bin Ali mengeluarkannya, menyambuknya 80 kali, lalu membakarnya. Jenazah Sulaiman kami keluarkan dari pekuburan Dabiq. Yang tersisa memang hanya tulang belulang, tulang rusuk, dan tengkoraknya. Tapi kami membakarnya. Kami masih melakukan hal serupa terhadap setiap keluarga Umayyah, terutama di komplek pekuburan Qinasrin. Petualangan kami berakhir di Damaskus. Disana kami menemukan kuburan al-Walid bin Abdul Malik. Tapi kami tak menemukan apa-apa secuil pun. Kami juga menggali kuburan Abdul Malik, tapi tidak menemukan hal lain, kecuali sebagian tengkorak kepalanya. Lalu kami lanjutkan dengan penggalian kuburan Yazid bin Muawiyyah, tapi kami hanya menemukan sepotong tulang. Dan di sepanjang liang lahatnya kami menemukan garis hitam seperti di torehkan arang. Kami masih memburu jenazah-jenazah keluarga Umayyah di seantero negeri dan membakar apa yang terjumpa dari jenazah mereka”.
Farag Fauda dalam bukunya Al-Haqiqah al-Ghaybah, yang banyak menginspirasi dan komentarnya banyak saya kutip dalam tulisan ini mengatakan, ketika ia merenungkan kejadian-kejadian sadis ini, akal sehat bertanya, apa alasan dan justifikasi semua tindakan mereka ini. Pembunuhan terhadap para pembesar dalam konteks perebutan kekuasaan, membunuh sanak keluarga demi menjamin masa depan kekuasaan baru dan menghapuskan sisa-sisa kekuasaan masa lalu memang sudah sering terjadi. Akan tetapi, memburu jenazah, membalas dendam, menggantung dan membakarnya, benar-benar perkara yang sangat berlebihan.
Disamping berbuat bengis diluar kemanusiaan, pemimpin Abbasiah tetap saja berpidato dengan gaya layaknya orang yang sangat saleh dan beradab dengan cara memuji-muji Islam dengan kalimat “Segala puji bagi Allah yang telah memilih Islam, yang memuliakan dan mengagungkannya, yang telah memilihkannya untuk kita dan membuatnya tetap kukuh bersama kita, kita menjadi lurus dan lebur di dalamnya, serta menjadi pemenang karenanya”. Pidato tersebut sepintas mirip dengan pernyataan para pejabat saat ini yang menampakan diri seakan sangat suci dan sedikit-sedikit mengutip kalimat-kalimat suci bertabur ayat, namun membiarkan korupsi terus berlangsung, sehingga benar kemudian sepanjang masa Dinasti Bani Abbasiah, umat benar-benar tertipu dengan muslihat sang Khalifah yang berselingkuh dengan sebahagian besar Ulama dengan tampilan seakan muslim yang baik dan berlidung dibalik jubah agama, namun prilakunya sangat tidak beradab.
Dinasti Bani Umayyah kemudian di habisi sampai ke akar-akarnya oleh Bani Abbasiyah. Mereka yang masih tersisa dari Bani Umayyah menetap di Andalusia dan memerintah secara otonom, yang akhirnya musnah jua ditelan zaman sampai tahun 1031 H.
Kembali ke kisah Al-Saffah, Khalifah ini punya kepandaian dalam bersandiwara, bukan hanya bengis di hadapan lawan politik dan penuh iman di hadapan pendukungnya, ia juga pandai bersandiwara ketika mengeksekusi musuh-musuhnya. Ia mengatur skenario pembantaian sisa-sisa kerabat Bani Umayyah layaknya sebuah drama opera sabun, ada plot, kisahnya berlangsung secara alamiah, mengalir kemudian ada klimaks danending-nya yang sudah di set. Kita akan mulai kisah ini dengan babak sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Atsir. Ibnu Atsir menuturkan “Di saat al-Saffah sedang melakukan perjamuan yang ramah terhadap Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik, Sudaif sang penyair datang sembari melantunkan syairnya:
Jangan silau akan tampilan seseorang,
Jika sumsum simpan penyakit mematikan,
Hunuskan pedang, sediakan lecutan,
Sampai tak tersisa keluarga Umayyah pun seorang.
Kontan, Sulaiman tertegun seketika, lalu berkata: “Anda benar-benar telah membunuhku, wahai Syekh (Sudaif)!” Al-Saffah pun langsung beranjak masuk ke ruang pribadinya sambil menarik Sulaiman. Ia menghabisi nyawanya.
Suatu ketika Al-Saffah memberikan jaminan keamanan kepada keluarga Umayyah lainnya yang berjumlah 90 orang. Setting peristiwa masih tetap berada di tempat perjamuan makan yang sama. Dan sepanjang pembuat acara adalah Khalifah, kemurahan hati akan dipastikan tetap terjaga. Rasa amanpun tak pantas disangka-sangka. Tapi secara mengejutkan, seorang penyair datang seraya melantunkan syair:
Kekuasaan tidak akan goyah,
Di tangan Badut-Badut Bani Abbas,
Atas Bani Hasyim ia menuntut balas,
Setelah lama terbuang tabah,
Jangan lagi tergelincir oleh Abdus Syam,
Penggallah tiap tunas yang sedang mengembang.
Mendengar syair itu, al-Saffah lalu memerintahkan untuk menghantam kepala mereka semua dengan pentungan besi. Sebagian pecah kepala, tetapi jasadnya tetap bernyawa, dalam kondisi yang mengenaskan. Tatkala al-Saffah menyaksikan sekitar 90 orang yang sedang meregang nyawa, ia meninggikan suara sambil menuturkan titah: ‘Gelar permadaniku untuk bersantap secara lesehan di atas mereka!’ Ia dan orang-orangnya memulaidinner party (santap malam), sementara permadani menari ke kanan dan ke kiri. Tatkala permadani tidak lagi bergerak, mereka pun selesai dari kunyahan mereka sambil mengucap alhamdulillah dan tahniah kepada para tentara dan kerabatnya.
Apabila para Khalifah gemar mendeklarasikan dirinya sebagai “tukang jagal semena-mena” (al-Saffah al-Mubih) untuk menunjukkan kebengisannya, begitu pula tingkah seorang gubernurnya. Dalam Tarikh al-Ya’qubidisebutkan Rayyah bin Utsman selaku gubernur Madinah dimasa al-Mansur menggelari dirinya sebagai “si ular anak si ular”. Kondisi di masa ini menunjukkan pada kita bahwa otoritarianisme yang di balut agama tidak hanya terjadi di barat, dan menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa kita tidak perlu mengusulkan adanya pembagian kekuasaan, menciptakan mekanisme kontrol dan Undang-Undang yang menjamin Negara tidak jatuh pada despotisme.
Abul A’la al-Maududi dalam al-Khilafah wa al-Mulk menceritakan kembali berdasarkan riwayat dari Ibnu Atsir dan al-Thabari; tidak lama kemudian timbul pemberontakan di kota Musil melawan al-Saffah yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan dikalangan rakyat: “Barangsiapa memasuki masjid Jami’, maka ia dijamin keamananya”.
Beribu-ribu orang secara berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu Masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan itu. Sebanyak sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu, lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya dan berlangsunglah selama itu penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.
Seorang ahli fiqih terkenal di Khurasan bernama Ibrahim bin Maimum percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji “akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Atas dasar itu ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka, dan selama pemberontakan itu berlangsung, ia adalah tangan kanan Abu Muslim al-Khurasani (pendiri Negara Khurasan yang kemudian menyerahkannya ke al-Saffah). Namun ketika ia (setelah berhasilnya gerakan kaum Abbasiyin itu) menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, segera ia dihukum mati oleh Abu Muslim.
Abu Ja’far al-Mansur, Khalifah kedua Bani Abbasiyah naik tahta. Ia melakukan intrik politik agar Abu Muslim al-Khurasani bersedia membunuh Abdullah bin Ali (paman al-Saffah sekaligus panglima pasukan Abbasiyah di peperangan Zab yang menuntaskan kemenangan mereka terhadap orang-orang Umayyah). Setelah misi tuntas, ia sendiri yang turun tangan menghabisi Abu Muslim al-Khurasani. Abu Ja’far tidak peduli ketika Abu Muslim memohon: “Tidakkah lebih baik engkau biarkan aku hidup untuk menyingkirkan musuh-musuhmu?” Tetapi Abu Ja’far menampik: “Siapakah musuh yang lebih mematikan dari dirimu?!”.
Abu Ja’far al-Mansur bersekutu dengan Pepin dan Charlemagne, yang menguasai sebagian besar daratan Eropa pada abad pertengahan, demi menaklukkan Abdur Rahman bin Mu’awiyah bin Hisyam, Khalifah Umayyah di Andalusia. Namun ia gagal menaklukkannya. Kita mungkin berfikir kalau Khalifah tidak sepantasnya bekerjasama dengan kafir harbi fi’lan (Negara kafir yang secara terang-terangan memerangi umat Islam) karena tindakan seperti ini di haramkan syara’, apalagi bekerjasama untuk membantai umat Islam sendiri. Kita juga mungkin berfikir bahwa situasi seperti ini hanya terjadi di zaman kita. Kekuasaan telah menggelapkan mata mereka. Bagi al-Mansur, prinsip politiknya: “Lakukanlah apapun, tempuh jalan manapun, bersekutulah dengan musuhnya musuhmu, demi mencapai tujuanmu dan menang atas musuhmu”.
Artinya, ia benar-benar telah melupakan Islam, masa bodoh dengan hukum-hukum al-Qur’an dan Sunnah, serta menjauhkan diri sedapat mungkin dari teladan para Khulafa’ al-Rasyidun. Ia hanya mengingat dirinya sebagai “penguasa Tuhan di muka bumi”, tipikal penguasa Arab-Quraisy. Ia mendasarkan kekuasaannya atas hak Bani Abbas terhadap Khalifah, bukan berdasarkan hak rakyat untuk memilih.
Al-Mansur juga terkenal anti kritik. Suatu ketika Ibnu Muqaffa mengirimkan untuk al-Mansur buku yang berjudul Risalah al-Sahaabah (Risalah tentang Para Sahabat). Buku itu berisi nasihat untuk Khalifah agar pandai-pandai memilih para pembantu dan memperbaiki sistem pengelolaan masyarakatnya. Nasihat itu ia sampaikan dengan sangat santun. Boleh jadi, ia sedang mengharap penghargaan materi yang pantas untuk karyanya dengan mengirimkannya kepada Khalifah. Dan mungkin, ia pun tidak mengira bahwa sekedar memberi nasihat kepada penguasa adalah tindak kriminal. Kaki dan tangan Ibnu Muqaffa dicincang satu per satu. Potongan dagingnya di panggang di atas bara api, tepat di hadapannya. Setelah matang, satu per satu pula daging panggang itu dijejalkan ke mulutnya. Ibnu Muqaffa menjalani penderitaan tiada tara sampai ajal pun menjemputnya.
Mungkin Ibnu Muqaffa pun bertanya tatkala harus mengunyah jasadnya sendiri atas perintah “pemimpin kaum beriman”: pemimpin apa dan beriman seperti apa??? Ia mungkin bertanya, inikah hakikatnya kekuasaan Khilafah yang disebut “Islamiyah” itu? Islamiyah apanya??? Mungkin saat itu ia juga menyadari apa yang sekarang mesti pula disadari oleh para pejuang Khilafah dan sistem syariah, dan mereka yang memandang remeh usulan pembatasan dan pembagian kekuasaan, yang berfantasi tentang nikmatnya Negara despotik yang mengatasnamakan agama.
Namun demikian, walaupun al-Mansur masuk sejarah dari aspek yang paling bejatnya, ia tetaplah tercatat sebagai seorang negarawan besar yang berhasil mengukuhkan kekuasaannya dan mewariskannya kepada keturunan-keturunannya, meskipun dibangun di atas genangan darah. Dan kenyataan bahwa ia semena-mena, sebetulnya juga tidak lepas dari fatwa para fuqaha, ketakutan sebagian, dan bungkamnya sebagian yang lain. Juga yang terpenting tidak jalannya fungsi-fungsi pemerintahan, tidak adanya pembagian kekuasaan dan check and balance.
Era Abbasiyah adalah era pemerintahan paling bergairah dalam kebangkitan akal dan peradaban. Dan paling maju dalam soal fiqih. Dan untuk melengkapi gambarnya, kita dapat pula menyebutnya paling maju dalam soal kenikmatan hidup dan durjananya, ini ditandai dengan maraknya dunia hiburan dan kemaksiatan. Farag Fauda mengatakan, kondisi ini didorong oleh banyak faktor, namun barangkali faktor utamanya adalah apa yang di masa sekarang disebut sebagai “iklim kondusif” yang membuka peluang untuk kemaksiatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di masa lalu minuman keras, musik dan tarik suara menjadi kegemaran para Khalifah-Arab dalam pesta-fora mereka. Ini karena Ulama juga membolehkannya. Saat itu para fuqaha Irak yang terdiri dari murid-murid Abu Hanifah mempunyai fatwa yang membolehkan minuman keras. Sementara itu ulama Hijaz membolehkan musik dan nyanyian. Itulah iklim atau suasana umum yang mendorong maraknya musik dan minuman keras serta konsekuensi-konsekuensi lain seperti maraknya dunia hiburan, perempuan penghibur, dan penyimpangan perilaku seksual. Dunia hiburan sudah menjadi bagian dari kenikmatan masyarakat kala itu. Untuk soal menikmati perempuan penghibur, al-Mahdi dan putranya, Harun al-Rasyid adalah jagonya. Untuk soal penyimpangan seksual, al-Watsiq adalah bintangnya.
Mengenai maraknya minuman keras itu, “iklim kondusif” bukan hanya datang dari Khalifah, tapi pendapat fuqaha kala itu yang merupakan murid-murid Abu Hanifah yang merujukkan pendapatnya dari Abdullah bin Mas’ud yang kemudian mengambil kesimpulan bahwa kata khamar dalam al-Qur’an adalah air sari buah anggur berdasarkan makna kebahasaan dan dari hadits-hadits nabi lainnya. Pemahaman inilah yang membuat Abu Hanifah berijtihad menyangkut halalnya beberapa jenih khamar seperti sari buah kurma dan kismis.
Dengan catatan, bahan-bahan itu diolah sewajarnya dan diminum dengan kadar tidak memabukkan.
Masa Abbasiyah ini diramaikan pula dengan maraknya perbudakan dan pergundikan. Perbudakan dan pergundikan bersumber dari sistem perdagangan budak yang masih ramai di masa itu, dan hasil pampasan perang. Asal mereka pun bermacam-macam, ada gundik Romawi, Persia dan Ethiopia. Terjadinya surplus budak ini menimbulkan fenomena saling menghadiahi selir, yang menjadi kebiasaan umum. Jumlah gundik-gundik yang dimiliki para petinggi Negara semakin berkembang dalam sejarah imperium Islam. Dari belasan di masa sahabat, menjadi puluhan pada masa Umayyah, mencapai ratusan pada masa Yazid bin Abdul Malik, dan menembus angka ribuan pada masa Abbasiyah. Bilangan ini bahkan mencapai angka 4000 (empat ribu) orang di masa al-Mutawakkil. DalamTarikh al-Khulafa, al-Suyuti menceritakan Khalifah yang gemar minum-minuman keras ini konon telah meniduri seluruh empat ribu gundiknya selama seperempat abad masa kepemimpinannya. Tentu ini merupakan rekor tertinggi kepemilikan gundik yang pernah tercatatkan dalam sejarah umat manusia yang seharusnya masuk ke dalam catatan Book of Record.
Membaca sejarah kehidupaan Khalifah di masa itu, pembaca mungkin terheran-heran, mengapa masyarakat Islam di masa itu jauh dari kehidupan Islam, padahal masa itu adalah masa kekhilafahan. Kita mungkin berimajinasi bahwa masyarakat Islam dan pemimpin-pemimpinnya di masa kekhilafahan adalah masyarakat yang dekat dengan agama, dan syariat diterapkan secara total dalam semua aspek kehidupan. Namun anggapan itu salah, masyarakat Islam kala itu tidak lebih baik dari masyarakat kita saat ini yang sebagian dari Anda menganggapnya sebagai “masyarakat jahiliah modern” atau jauh dari agama (ideologi) Islam yang sebenarnya. Saat itu, syariat memang diterapkan, tapi diterapkan secara “kreatif” dan tebang pilih.
Pembacaan sejarah akan dilanjutkan pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid yang sangat terkenal itu, terlepas dari kekurangan dan kelebihan, tentunya orang sudah kenal dengan siapa Harun al-Rasyid, atau paling tidak dengan al-Ma’mum dan al-Mu’tasim.
Pasca Harun al-Rasyid, putranya al-Amin (Shalih bin Harun) naik tahta. Al-Amin telah dinobatkan sebagai pengganti Harun semasa ia masih anak-anak. Harun al-Rasyid mewasiatkan bahwa setelah al-Amin naik tahta, jabatan Khalifah akan di lanjutkan oleh saudara al-Amin, yakni al-Ma’mun. Sementara al-Amin menjadi Khalifah, al-Ma’mun menjadi gubernur Khurasan di Persia Timur. Namun kemudian, Khalifah al-Amin membatalkan hak Khalifah al-Makmun, dan menggantinya dengan putranya sendiri, Musa bin Muhammad al-Amin. Perebutan kekuasaan ini mengakibatkan perang saudara yang berujung pada dipenggalnya kepala al-Amin oleh panglima Tahir bin Husain yang di utus oleh saudaranya sendiri al-Ma’mun, setelah bala tentaranya berhasil menaklukkan tentara al-Amin dan memasuki Baghdad.
Al-Amin sebagai Khalifah ternyata juga dikenal abnormal dalam perilaku seksualnya. Dia sangat menyukai teman kencan seranjang sejenis dengan meninggalkan istri-istri dan gundik-gundiknya. Pacar yang sangat digandrungi oleh al-Amin bernama Kautsar, sementara Kautsar adalah seorang laki-laki tampan yang dibeli oleh Harun al-Rasyid sebagai hadiah buat al-Amin, karena dia mengetahui prilaku seksual anaknya. Satu peristiwa mencolok yang dilakukan oleh al-Amin terhadap kekasihnya Kautsar, yakni mengangkut dirham sebanyak tiga keledai untuk penyembuhan Kautsar karena cidera ringan, sementara dana tersebut sudah dialokasikan untuk biaya perang. Dan akhirnya al-Amin dihancurkan oleh para menteri dan gubernurnya sendiri karena ia lebih banyak berhura-hura, menghamburkan kas Negara dan asyik bermesraan dengan sesama jenis bernama Kautsar.
Satu Khalifah lagi yang kurang dikenal yang sangat piawai membuka babak baru sejarah dinasti keturunan Abbas bin Abdul Muthalib ini. Dia adalah al-Watsiq. Al-Watsiq adalah Khalifah terakhir Dinasti Abbasiah periode awal. Ia memerintah selama 6 tahun, ia seorang Transeks namun cenderung berperilaku homoseks, selama 6 tahun, nyaris waktunya digunakan dengan berpindah-pindah pelukan dari satu pria ke pria lainnya.
Satu pacar yang paling disukai oleh al-Watsiq adalah Muhaj, cowok keren dan sangat pandai memainkan perasaan al-Watsiq, sebuah pameo menceritakan, bila al-Watsiq sedang nyaman dalam pelukan Muhaj, maka stabilitas pemerintahan akan baik, namun jika al-Watsiq sedang cemburu buta dengan si Muhaj, maka dia akan mencari lawan-lawan politiknya untuk dibunuh. Prilaku homoseksual dua insan sesama jenis ini teruntai dalam syair ala dangdut:
Muhaj menguasai jiwa ini,
Lewat kerlingan mata yang sungguh menawan,
Tubuhnya indah mempesona,
Amboi manjanya dan penuh gairah,
Jika mata tertuju padanya,
Ia tak lagi mampu berpindah.
Al-Watsiq selama hidupnya tercatat telah menyusun lebih dari 100 syair lagu. Satu riwayat menceritakan, ketika al-Watsiq sedang mengadakan rapat bersama para pembesar istana, kemudian Muhaj yang memang menyadari akan posisinya, tiba-tiba muncul dengan melenggak-lenggokan badanya kemudian mengerlingkan mata kepada al-Watsiq dan membawakannya sekuntum bakung, sehingga al-Watsiq tanpa banyak bicara kemudian dari mulutnya meluncur syair-syair penuh birahi dan menyebabkan rapat penting tentang posisinya sebagai Khalifah menjadi runyam.
Al-Watsiq selain memiliki perilaku seks yang menyimpang, dia juga mempunyai sejarah inkuisisi seperti halnya ayahnya al-Ma’mum, kalau al-Ma’mum meninkuisisi Imam Ahmad bin Hambal dan beberapa ulama lainnya, sementara al-Watsiq melakukan hal yang serupa terhadap Ahmad bin Nasr al-Khaza’i seorang ahli haditst, al-Khaza’i dijemput paksa dan dihadapkan kepada al-Watsiq bersama Ulama-Ulama pelat merah saat itu, dan terjadilah dialog tentang kemahlukan al-Qur’an, namun karena al-Khaza’i tetap teguh dengan pendapatnya, akhirnya al-Watsiq meminta sebilah pedang sambil berkata, jika aku bergerak jangan ada yang ikut bergerak, aku akan menghitung langkahku menuju si kafir yang tidak menyembah Tuhan yang sama dengan Tuhan kita. Lalu ia meminta dibentangkan permadani tempat al-Khaza’i bersimpuh, lalu dipancungnyalah sang ahli hadits itu.
Sampai disini dululah pembacaan sejarah Bani Abbasiyah.
(Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email