Setelah diberlakukannya otonomi daerah di sejumlah daerah muncul beragam Peraturan Daerah (Perda) yang bernuansa keagamaan. Dari hanya sebatas mengatur ketentuan tentang santunan kematian sampai peraturan yang terkait dengan pelarangan aliran keagamaan tertentu.
Ada sejumlah masalah dalam Perda-perda tersebut, seperti yang ditemukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) setelah melakukan penelitian kualitatif di 8 kabupaten dalam 3 provinsi. Penelitian ini dilakukan pada November 2014 sampai April 2015.
Masalah pertama, pembuatannya seringkali terkait dengan kepentingan kepala daerah untuk mencari simpati masyarakatnya. Karena pemimpin daerah itu akan mencalonkan kembali pada periode berikutnya.
Kedua, Perda yang dibuat bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi. Ketiga, pemerintah daerah melampaui kewenangannya atau mengatur masalah yang bukan bagian dari wewenangnya. Keempat, banyak Perda itu bersifat diskriminatif. Kelima, Perda yang mereka buat itu tidak efektif. Keenam, di balik pembuatan Perda itu terdapat kecenderungan menguatnya politik identitas.
Terkait hal ini Madina Online mewawancarai Ryaas Rasyid, tokoh yang ikut mendorong lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah pada awal masa reformasi. Pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Ryaas Rasyid dipercaya sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Dan pada periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ia menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
Berikut wawancara Madina Online bersama Ryaas Rasyid seusai mengisi seminar ‘Meninjau Ulang Regulasi dan Perda Bernuansa Agama: Peluang dan Tantangan,’ yang diadakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu (21/10). Ini merupakan wawancara langsung kami yang digabung dengan penuturan beliau pada seminar tersebut.
Setelah otonomi daerah diberlakukan di berbagai daerah, muncul Perda yang bernuansa agama. Komentar Anda?
Secara prinsip, pemerintah daerah tidak berwenang mengatur agama. Agama adalah wewenang pusat. Dalam Undang-undang Otonomi Daerah ada lima hal yang bukan kewenangan daerah. Yaitu: moneter, luar negeri, pertahanan serta keamanan, hukum, dan agama. Jadi secara prinsip, daerah tidak bisa membuat Perda yang mengatasnamakan Kementrian Agama. Kecuali untuk Provinsi Aceh yang memang diberi kewenangan untuk mengurus agama, bidang pendidikan, kewarisan, dan beberapa hal lagi. Di luar Aceh itu tidak ada.
Sekarang yang harus kita pertanyakan, apakah benar ada Perda yang mengatur secara spesifik soal agama atau yang berimplikasi pada soal agama. Kalau kita lihat judul-judulnya, Perda itu tidak pakai istilah-istilah agama. Mereka juga punya alasan membuat itu. Yaitu, untuk kepentingan dan kebaikan masyarakatnya.
Dalam penelitian PPIM ditemukan adanya Perda tentang Wajib Belajar Pendidikan Keagamaan Islam. Bukankah Perda semacam ini bermasalah karena mengatur satu kelompok agama?
Menurut saya tidak masalah. Itu tidak merugikan siapa-siapa. Nanti kalau non-Muslim mau diwajibkan juga tinggal buat lagi Perda-nya. Buat saya, hal itu tidak membawa mudarat buat siapapun. Bagi non-Muslim juga tidak ada mudaratnya. Cuma mungkin dalam Perda itu harus ada pengawasan. Jangan sampai yang tidak ikut dikenakan sanksi. Memang jadi kewajiban, tapi kewajiban yang longgar.
Kita menghalangi yang demikian itu susah juga. Karena mungkin hal itu berangkat dari satu analisis yang objektif dan dibutuhkan masyarakat setempat. Tapi harus ditegaskan bahwa hal itu jangan sampai dipaksakan. Itu yang penting.
Jadi, menurut Anda, Perda semacam itu tidak diskriminatif?
Mengenai apakah suatu Perda itu diskriminatif atau tidak, kita perlu lihat bukan bagaimana dia menguntungkan satu kelompok. Tapi yang lebih penting adalah apakah ada kelompok yang merasa didiskriminasi. Sehingga gerak mereka menjadi terbatas dan mereka dirugikan secara langsung oleh Perda itu.
Sebagai contoh, Perda di Tanggerang yang melarang perempuan beredar di luar rumah setelah jam tertentu. Itu jelas diskriminatif atau merugikan. Itu harus dilawan. Kita sudah merdeka 70 tahun, masa masih ada orang tidak bisa bebas keluar rumah?
Kalau seperti Perda Pendidikan Agama atau Perda Santunan Kematian, menurut saya, itu tidak merugikan siapa-siapa. Kalau pemerintah daerah mau bantu, silakan bantu saja. Yang perlu diawasi bantuan kematian itu harus diberikan kepada siapapun. Jangan hanya berasal dari satu agama. Juga harus berjalan konsisten. Jangan baru tiga bulan sudah berhenti.
Ada anggapan otonomi daerah juga ternyata memunculkan kembali politik identitas. Komentar Anda?
Setelah otonomi daerah ini memang tidak bisa dihindari munculnya politik identitas, karena sekian lama mereka dibungkam. Politik identitas adalah salah satu respons masyarakat lokal terhadap kebebasan dan desentralisasi.
Sebagai contoh, di Papua ada aturan bahwa yang bukan orang Papua asli tidak boleh menjadi calon kepala daerah. Di sini mereka bicara bukan masalah agama, tapi soal ras. Jadi orang selain Papua, apakah orang Jawa, Sunda, Sumatera atau mana pun hanya bisa jadi wakil kepala daerah di Papua. Mutlak selain orang Papua tidak bisa menjadi kepala daerah di seluruh Papua, baik Papua Barat maupun Papua asli.
Ini di luar konteks agama. Itu kenyataan yang kita lihat. Sampai saat ini tidak ada menteri yang berani menegur. Politik identitas itu sangat nyata, apa boleh buat, tapi kita harus bisa mengatur itu.
Saya tambahkan lagi satu contoh. Selain Papua, di Riau, dalam penelitian saya tahun 2000-an setelah otonomi berjalan, semua pengangkatan pegawai negeri baru tidak bisa menerima yang bukan asli Riau. Dan semua jabatan-jabatan strategis di Pemda, kabupaten, dan tingkat kepala bagian saja tidak boleh diduduki mereka yang bukan orang Riau. Alasan mereka, ‘Otonomi ini adalah otonomi kami karena sekian lama mereka tidak punya kesempatan. Perkara kompetensi, nanti bisa kami didik.’
Jadi otonomi ini berdampak pada masuknya orang-orang yang tidak kompeten dalam jabatan-jabatan di Pemda karena kepentingan mengakomodasi politik lokal.
Semua ini disebabkan karena lemahnya pemerintahan nasional. Otonomi daerah ini adalah kebijakan nasional, bukan daerah. Itu kan ada undang-undangnya. Kebijakan nasional itu harus dikawal oleh pemerintah nasional. Harus disupervisi, dimonitor, diawasi, dan dikoreksi. Harusnya begitu. Tapi kenyataannya tidak demikian. Kemampuan pusat untuk mengoreksi itu sangat lemah.
Menurut Anda, Perda seperti apa yang dikategorikan sebagai Perda bermasalah?
Bermasalah jika, pertama, bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi atau konstitusi kita. Kedua, Perda itu menimbulkan mudarat yang besar dalam masyarakat. Ketiga, jika Perda itu menguntungkan sekelompok orang, tapi merugikan sebagian yang lain. Keempat, jika Perda itu memberi beban kepada masyarakat luas.
Terhadap Perda-perda bermasalah seperti itu, apa yang harus dilakukan?
Pemerintah pusat harus berani mencabutnya. Jangan menyerah. Masa harus menyerah kalau ada penyalahgunaan wewenang? Ini dalam rangka menegakkan konstitusi.
Saat Anda menjadi Watimpres sudah banyak Perda-perda yang bermasalah, apa masukan Anda saat itu?
Tetap sama, Mendagri harus mencabut Perda-perda yang bertentangan dengan konstitusi.
Apa yang membuat pemerintahan saat itu tidak berani melakukan saran Anda?
Itu saya tidak tahu sebabnya. Harus tanya sama menterinya
(Madina-Online/Satu-Islam/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email