Lelang budak di Batavia sekitar 1800. (Foto repro buku "Sejarah Modern Awal Asia Tenggara" karya Anthony Reid)
DALAM rentang sejarah Indonesia, perbudakan pernah menjadi sistem kerja yang absah. Praktik ini berlangsung pada masa kurun niaga (1400-1700). Kala itu terdapat sejumlah orang yang menyerahkan dirinya secara sukarela kepada penguasa untuk jadi budak. Antara lain tersebab utang, ketidakmampuan membayar mas kawin, kegagalan panen, atau malapetaka lain.
“Di Achim (Aceh), setiap orang menjual dirinya sendiri. Sejumlah penguasa penting memiliki tidak kurang dari seribu sahaya, semua pedagang besar, yang juga memiliki budak-budak,” tulis Montesquieu seorang filsuf Prancis, dikutip Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Bagi mereka, lebih baik menjual diri untuk beroleh makanan ketimbang mengemis.
Budak-budak itu bekerja membangun tempat tinggal dan istana para penguasa. Menurut catatan Augustin de Beaulieu, jenderal Prancis yang mengunjungi Aceh pada abad ke-17, dikutip Anthony Reid, “Raja menggunakan mereka untuk membabat hutan, menggali batuan, membuat adukan semen, dan membangun.”
Di tempat lain, Banten misalnya, penguasa mempekerjakan budak untuk menghibur tetamu. Catatan Fryke, seorang pelancong di Banten pada abad ke-17, menyebut, “Ketika orang-orang Belanda tiba di Banten, para bangsawan-saudagar istana sudah memiliki sejumlah budak yang senantiasa menghibur mereka setiap malam dengan menyanyi dan menari,” dikutip Anthony Reid, “Perbudakan dan Perhambaan dalam Sejarah Asia Tenggara”, termuat dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara.
Hubungan mereka bersifat vertikal: budak menempati posisi bawah, penguasa berada di posisi atas. Ikatan ini tipikal masyarakat Asia Tenggara. Kemunculannya tak diketahui sejak kapan. “Semua bukti menunjukkan bahwa ikatan vertikal merupakan hal sangat kuno di Asia Tenggara,” tulis Anthony Reid. Keadaan serupa tersua pula di Batavia dan Sulu.
Khusus di Batavia, bukan cuma penguasa yang mempekerjakan budak, tetapi juga orang merdeka (mantan budak). Budak-budak itu biasa didatangkan dari Sulawesi dan Bali. Kala itu perdagangan budak dikuasai kongsi dagang Hindia Timur (VOC).
Meski begitu, pemilik budak tak bisa berlaku sewenang-wenang terhadap budak. Penguasa butuh budak tak hanya untuk tenaga kerja, tapi juga sebagai simbol status. “Penguasaan tenaga kerja dipandang sebagai petunjuk kekuasaan dan status yang menetukan, sebab tenaga kerjalah, bukan tanah, yang dikenal sebagai sumber daya langka,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga.
Kehilangan budak berarti lenyapnya status. Maka penguasa berusaha merawat budaknya sebaik mungkin. Tapi itu tak jaminan. Ada saja budak yang kabur dari majikannya, bahkan melawan. Musababnya perlakuan sewenang-wenang dan rasa betah mereka terhadap majikan.
Menurut Hendrik E Niemeijer dalam Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII, pernah ada kasus budak yang meracuni dan mencuri harta tuannya karena perlakuan sewenang-wenang sang tuan. Terbukti bersalah, budak-budak itu dihukum. “Para lelaki yang dituduh melakukan peracunan serta pencurian dibakar hidup-hidup,” tulis Hendrik.
Sebaliknya, tuan yang berlaku lancung terhadap budak-budaknya juga bisa kena hukuman. Jenisnya berbeda pada tiap daerah, tergantung hukum setempat. Yang jelas, ada perlindungan untuk para budak.
Perbudakan terus berlangsung meski VOC runtuh pada akhir abad ke-18. Tapi praktik ini tak begitu terang seperti sebelumnya. Apalagi kata “budak” kemudian berasosiasi dengan orang yang ditindas.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email