Pesan Rahbar

Home » , » Sarinah ; Peran dan Posisi Perempuan dalam Revolusi Indonesia Menurut Bung Karno

Sarinah ; Peran dan Posisi Perempuan dalam Revolusi Indonesia Menurut Bung Karno

Written By Unknown on Thursday, 3 March 2016 | 02:27:00


Ketika mendengar “Sarinah” mungkin yang pertama kali teringat dibenak pembaca adalah sebuah nama Mall di Jakarta. Padahal, di balik nama itu ada sejarah yang terlupakan. Tidak banyak yang mengetahui siapakah sosok Sarinah dan apa perannya sehingga nama tersebut tidak hanya dijadikan sebagai nama Mall di Jakarta tapi juga judul buku karya Presiden Soekarno pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Di pendahuluan buku tersebut, Soekarno memperkenalkan pada pembaca bahwa Sarinah merupakan pengasuh yang mengisi hidupnya semasa kecil, dia-lah yang telah mengajarkan Soekarno tentang keharusan mencintai rakyat kecil. Bung Karno juga mendapat pelajaran budi pekerti tentang hidup dan tentang cinta kasih, maka tak heran jika buku karangan Soekarno tentang Wanita Indonesia yang berjudul “Sarinah-Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia” pun diilhami dari sosok sarinah sebagai tanda terimakasih atas jasa-jasanya.

Berikut ini poin-poin penting pemikiran Sang Proklamator terkait peran dan posisi perempuan Indonesia dalam kancah perjuangan revolusi Indonesia, yang tertuang dalam karya monumentalnya “Sarinah”. Dimulai dari :

Mengenal Berbagai Masalah Perempuan


Masalah Perempuan

Dalam memandang masalah perempuan, Soekarno mengadopsi pemikiran seorang penulis sekaligus aktivis sosial perempuan dari Belanda, Henriette Roland Holst (1869-1952). Ia menyatakan bahwa perempuan di alam kapitalis mengalami keretakan jiwa yang terbelah akibat keharusan bekerja di luar rumah sekaligus mengabdi pada keluarga. Sistem Kapitalis mengakibatkan kaum perempuan memikul beban ganda. Di satu sisi mereka bertugas mengemban amanah mulia menjadi benteng keluarga; menjaga anak-anak sekaligus mengurus rumah tangga. Di sisi lain mereka dituntut untuk membantu menyelamatkan kondisi ekonomi keluarga.

Salah satu contoh nyata, karena faktor himpitan ekonomi tidak sedikit dari mereka yang meninggalkan suami dan anaknya untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri. Berdasarkan data statistik yang diperoleh dari BNP2TKI tahun 2015 (s.d. 30 November) jumlah TKW sebanyak 152.099 orang. Meskipun mengalami penurunan jumlah TWK, namun masih ada 60% lebih besar jumlah TKW dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja laki-laki yang berada di luar negeri. Belum lagi kasus-kasus kekerasan yang menimpa para TKW yang terbilang banyak.

Masalah perempuan ibarat gunung es yang nampak kecil dipermukaan namun sangat besar di dalamnya.


Pemikiran Soekarno terhadap Pergerakan Perempuan

Sejak awal, Soekarno mengerti bahwa kedudukan perempuan Indonesia tidak hanya sekedar berperan sebagai pendamping laki-laki. Ia resah karena persoalan perempuan belum pernah dipelajari dengan mendalam oleh pergerakan-pergerakan di Indonesia. Pemikiran Bung Karno yang tercakup di dalam buku Sarinah layak dinilai progresif, apalagi buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1947.

Analisisnya mencoba mengaitkan kepada perkembangan negara. Ada tiga tingkatan pergerakan perempuan dalam tahapan perkembangan suatu bangsa dan negara jika dilihat dari kondisi masyarakat serta ideologi, tingkatan pergerakan itu ialah;

Tingkat pertama, Pergerakan menyempurnakan “keperempuanan” yang identik dengan pekerjaan domestik seperti memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya.

Tingkat kedua, Pergerakan Feminisme, yang arahnya memperjuangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki, persamaan hak untuk melakukan pekerjaan dan hak pemilihan. Pergerakan ini sering disebut sebagai “emansipasi perempuan” dan seiring berjalannya waktu pergerakan tersebut mengalamai pergeseran makna karena cenderung menentang kepada kaum laki-laki.

Tingkat ketiga, Pergerakan Sosialisme, perempuan dan laki-laki bersama-sama berjuang untuk mendatangkan masyarakat yang sosialis. Pergerakan sosialisme ini merupakan cita-cita Soekarno yang ditujukan kepada pergerakan perempuan maupun negara.

Soekarno menyerukan kepada perempuan-perempuan Indonesia untuk menjadi seorang revolusioner, karena menurutnya tiada kemenangan revolusioner, jika tiada perempuan revolusioner, dan tiada perempuan revolusioner, jika tiada pedoman revolusioner.

Revolusi yang ia cita-citakan bukanlah suatu revolusi kelas tetapi revolusi suatu bangsa, karena hanya dengan revolusi yang didukung oleh semua elemen bangsa, yang dapat mewujudkan masyarakat sosialis.

Hal ini senada dengan apa yang diucapkan oleh Gandhi bahwa banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas ditengah jalan, oleh karena keadaan kaum perempuan kita. Perempuan adalah syarat mutlak bagi pembangunan masyarakat vertikal dan horisontal.

Amanah penting dari Soekarno untuk perempuan Indonesia dalam buku Sarinah ialah, “Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Jangan ketinggalan di dalam revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti di dalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi perempuan yang bahagia, perempuan yang merdeka”.


Relevansi

Pemikiran Soekarno yang tercakup dalam buku Sarinah mengangkat nilai-nilai tanggung jawab perempuan sebagai dasar perubahan masyarakat dan negara untuk menuju kemanusian yang lebih bermartabat dan menuju keadilan sosial. Tentunya dalam hal ini pergerakan perempuan bukan hanya milik kaum perempuan saja tapi juga kaum laki-laki. Secara garis besar masalah perempuan Indonesia tidak hanya menimpa kelompok buruh dan tani, perempuan kelas menengah perkotaan pun ikut mengalaminya. Permasalahan tersebut harus dicari solusi menyeluruh melalui kebijakan tentang gaji, jam kerja, pemukiman, kesehatan, keamanan, dan lain sebagainya. Perubahan ini dapat berjalan bila perempuan Indonesia aktif berjuang mengorganisasikan diri untuk mendorong kebijakan-kebijakan yang berkeadilan sosial.

(Empat-Pilar-MPRS/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI