“Syiah dan Sunni adalah nikmat besar yang harus kita syukuri. Perbedaan diantara kedua mahzab Islam ini terlalu sedikit dibanding dengan persamaan yang ada. Perbedaan dan keberagaman adalah kewajaran, sedangkan perselisihan dan pertengkaran merupakan keburukan”, ungkap Presiden Iran Hasan Rouhani dalam Pidato yang disampaikan dalam suatu kunjungan ke provinsi Sistan-Baluchestan pada tahun 2014.
Pesan Persaudaraan dari Jepara
Seperti halnya tempat lain di Indonesia, Muslim Sunni adalah warga mayoritas di Jepara. Kebanyakan dari mereka juga anggota Organisasi Muslim terbesar negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU). Tetapi di Banjaran juga terdapat Pesantren Darut Taqrib, yang memeluk Islam Syiah. Sekitar 200 keluarga penganut Syiah tinggal di daerah tersebut, mereka merasa aman menjalankan keyakinan mereka.
Menurut Miqdad Turkan, pemimpin Pesantren Darut Taqrib, berbagai faktor membuat umat Sunni dan Syiah hidup dalam kerukunan. Bahkan tidak jarang mereka saling bahu-membahu dalam kegiatan sosial seperti kegiatan donor darah dan penggalangan bantuan untuk bencana kemanusiaan.
Sebagai Kota Pelabuhan yang telah disentuh berbagai pengaruh agama termasuk Kristen, Hindu, Budha, dan tentu saja Islam, Jepara mengakui keragaman sebagai ciri khas wilayah mereka, fenomena ini merupakan potret “tradisi” keragaman di kota pelabuhan yang masih banyak padanannya di wilayah yang lain di Indonesia.
Tidak ada Akar Sejarah Perselisihan Sunni – Syiah di Tanah Kita
Tidak ada akar sejarah perselisihan Sunni – Syiah di Tanah Kita. Ibnu Bathutah, seorang pelaut asal Maroko pernah melancong ke Samudera Pasai pada abad ke-13 silam. Dalam catatan hariannya, ia merekam bahwa pengaruh Persia (yang menjadi pusat peradaban Syiah) begitu banyak dijumpai di Kerajaan Pasai. Wakil Laksamana Kerajaan Pasai disebut bernama Behruz orang Persia. Bahkan, penggunaan kosakata serapan dari bahasa Persia ke bahasa Melayu tampak populer di Pasai. Kanduri (kenduri), astana (istana), bandar (pelabuhan), diwan (dewan), piala, firman, dan sebagainya.
Peringatan kematian Husein di Karbala yang jatuh pada 10 Muharram setiap tahunnya juga diperingati di beberapa wilayah di Nusantara. Di Aceh bulan Muharram disebut “Asan-Usen”, di Sumatera Barat “bulan tabuik”, dan di Jawa “bulan sura”. Belum lagi penamaan gelar raja-raja di berbagai wilayah Nusantara yang menggunakan gelar Sayyid dan Syarif, seperti Sayyid Jamaluddin Agung yang menjadi raja Palembang atau Syarif Hidayatullah di Cirebon, gelar yang ditambatkan untuk keturunan Nabi dalam tradisi Syiah.
Secara kultural kedekatan antara Sunnah-Syiah dalam tradisi dan ritual keagamaan kalangan muslim Indonesia tidak bisa lagi diingkari. Kenyataan bahwa tradisi tahlilan, khaul, diba’an, dan mendoakan arwah yang sudah meninggal yang diamalkan oleh mayoritas muslim di Indonesia memiliki kemiripan dengan praktek para penganut Syiah. Demikian pula dalam tradisi pembacaan maulid diba’ di setiap malam Jumat, selain memiliki kesamaan di dalam bacaan diba’ tersebut juga tertullis nama-nama imam yang diakui oleh Syiah.
Dalam tradisi tarekat . Dua tarekat paling dominan di Indonesia, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, memiliki mata rantai (sanad) kepada Imam Ali Musa al-Ridha (imam ketujuh), Imam Musa al-Qasimi (imam keenam), Imam Ja’far al-Shadiq (imam kelima), Imam Muhammad al-Baqir (imam keempat), Imam Ali Zainal Abidin (imam ketiga), Imam Husein (imam kedua), dan Imam Ali bin Abi Thalib (imam pertama). Itu artinya, tokoh-tokoh spiritual yang diakui oleh Sunni juga diakui oleh Syiah.
Di kalangan Syiah pun, Ayatullah Khomeini juga dikenal sebagai komentator kitab ihya’ ‘Ulumuddin karya al-Ghazali yang menjadi rujukan utama Ahlus-Sunnah. Ali Khemenei anak dari Khomeini yang menjadi pemimpin spiritual tertinggi Syiah di Iran saat ini pun telah menerjemahkan ke dalam bahasa Persia Tafsir fi Dzhilalil Quran karya ulama Sunni bernama Sayyid Qutb yang berkebangsaan Mesir. Bahkan, kitab-kitab hadits andalan pengikut Ahlus-sunnah, seperti karya Bukhari dan Muslim, juga dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan Syiah.
Sampai detik ini, beberapa lembaga Syiah tetap tumbuh mengembang di tengah kalangan muslim yang mayoritas merupakan pengikut Ahlus-Sunnah. Seperti Yayasan Mutahhari di Bandung Jawa Barat, Pesantren Al-Hadi di Pekalongan Jawa Tengah, Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Bangil Jawa Timur, Al-Ishlah di Ujung Pandang Sulawesi Selatan. ICC (Islamic Cultural Center), sebuah lembaga kajian Islam beraliran Syiah di Ibukota.
Mengapa Berkonflik ?
Konflik yang kerap terjadi lebih disebabkan oleh faktor politis daripada faktor teologis keagamaan, seperti ketegangan antara Arab Saudi (serta Negara-negara Arab sekutu mereka) dengan Iran hari ini. Dan konflik Sunni-Syiah tidak memiliki akar sejarah di Indonesia, bahkan perbedaan Sunni-Syiah kerap dihadirkan dalam bentuk kelakar dalam nuansa keintiman dan jauh dari aroma pertikaian, seperti yang sering diungkap Jalaluddin Rahmat bahwa Syiah itu NU plus, begitu pula Gus Dur yang menyebut NU itu Syiah minus Imamah.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email