Pesan Rahbar

Home » » Wasiat Sufi

Wasiat Sufi

Written By Unknown on Friday, 28 October 2016 | 21:13:00


Oleh: Haidar Baqir (Yamani)

Bismillahirrahmanirrahim

Karya sederhana ini aku persembahkan kepada anak-anakku tercinta: MI, MK, AR, dan SR sebagai bagian wasiatku untuk kalian baca ketika kalian dewasa kelak karena aku tak akan bisa menulis wasiat sebaik ini. Lihatlah ini sebagai wujud tanggung-jawab dan kecintaanku sebagai seorang ayah, meski aku sadar bahwa tanggung-jawab seorang ayah jauh lebih besar daripada menyiapkan sebuah wasiat yang baik. Semoga hidayah Allah swt. selalu menyinari jalanmu, bimbingan serta syafaat Rasulullah dan para Imam menjadi petunjuk dan payung-perlindunganmu di dunia dan di akhirat.
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa alii Muhammad

(Penyunting)


Daftar Isi:
1. Pengantar Penerbit
2. Pengantar Penyunting
3. Pendahuluan: Ayatullah Khomeini, Sang 'Arif
4. Masa Muda
5. Pendidikan
6. Sebagai Guru Dan Penulis
7. Ayatullah Khomeini dan 'Irfan
8. Kepribadian dan Akhlaknya
9. Terjemahan Wasiat: Manusia dan Alam Semesta
10. Pengantar dari Imam Khomeini
11. Ketergantungan Manusia kepada Allah
12. Alam Semesta sebagai Penampakan Allah
13. Al-Quran, Rasul, dan Para Imam
14. Catatan Kaki
15. Kecintaan Manusia pada Kesempurnaan
16. Cinta-diri sebagai Hijab antara Manusia dan Allah
17. Kecintaan Rasul kepada Makhluk Allah
18. Kecintaan Fitri Manusia kepada Allah
19. Antara Filsafat dan 'Irfan
20. Tobat dan Masa Muda
21. Syafaat Nabi dan Para Imam
22. Hubungan dengan Manusia, Allah, dan Kaum Papa
23. Masalah Pribadi dan Keluarga
24. Halaman Persembahan bagi Buku Adab Al-Shalat
25. Persembahan Buku Adab Al-Shalat bagi Sayyid Ahmad Khomeini
26. Persembahan bagi Fathimah Thabathabâ’i
27. Puisi-Puisi Imam Khomeini
28. Puisi-Puisi Imam Khomeini
29. Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini I
30. Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini II
31. Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini III
32. Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini IV
33. Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini V
34. Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini VI
35. Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini VII
36. Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini VIII


Pengantar Penerbit

Dunia betul-betul dilanda perubahan yang begitu cepat belakangan ini. Heraklitus, seorang filsuf Yunani, benar ketika mengatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri. Yang tak ia bayangkan ketika ia hidup di abad 5 SM adalah bahwa perubahan itu sedahsyat dan secepat yang kita alami akhir-akhir ini. Teknologi telekomunikasi dan informatika (biasa disingkat telematika) kini menjadi roket utama pendorong melesatnya perubahan-perubahan itu. Internet, sebuah kata yang hampir-hampir tak dikenal sepuluh tahun lalu, misalnya, kini membius dunia dengan kemampuannya menjadi semacam "otak bumi" dengan menghubungkan jaringan-jaringan komputer di seluruh penjuru angin. Bumi telah menjadi "desa global", lebih cepat dan lebih merasuk ketimbang yang dibayangkan oleh Marshall McLuhan -seorang ahli media massa termashyur- ketika menciptakan istilah global village itu.

Seperti yang lain-lain, dunia penerbitan pun tak kebal dari serbuan perubahan itu. E-publishing, e-book, e-commerce, teknologi multimedia dan hal-hal baru sejenis bisa saja akan mendefinisi ulang dunia penerbitan buku secara total—lain sama sekali dengan apa yang kita kenal sekarang ini. Sampai saat ini belum jelas benar bagaimana sosok baru dunia penerbitan ini, tidak saja di Indonesia tapi juga bahkan di negara-negara dengan industri perbukuan termaju sekalipun (seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, dan Jepang).

Meskipun begitu, agar tak terlindas perubahan zaman, kita sangat perlu untuk "mencicipi" hal-hal baru tersebut. Penerbit Mizan, tentu saja, tidak ketinggalan dalam upaya-upaya seperti itu. Ketika meluncurkan Mizan Online pada Mei 1996, Penerbit Mizan adalah penerbit pertama di Indonesia yang memiliki situs di Internet dengan updating yang teratur. Lalu ketika Mizan Online menawarkan fasilitas pembelian buku secara online dengan menggunakan kartu kredit pada September 1999, itu adalah situs penerbit pertama di Indonesia yang masuk ke dunia e-commerce. Dan kini, dengan meluncurnya e-book yang sedang Anda, pembaca yang budiman, baca ini, maka Penerbit Mizan adalah penerbit pertama di Indonesia yang menerbitkan e-book.

Seperti halnya segala sesuatu yang pertama, e-book pertama ini tentu tak lepas dari kekurangan-kekurangan. Tapi bukankah perjalanan ribuan kilometer harus dimulai dengan langkah kaki pertama? Penerbit Mizan, setelah langkah kaki pertama ini, serta memperhatikan masukan-masukan dari pembaca, tentu saja akan menyempurnakan untuk produk e-book berikutnya. Selain itu untuk sementara e-book ini diedarkan secara cuma-cuma, dan bisa di-download dari www.mizan.com dan www.ekuator.com.

Penerbit Mizan merasa harus melakukan semua upaya ini —serta upaya-upaya apa pun yang pernah dilakukan sebelumnya— untuk tetap dapat memberikan layanan terbaik kepada khalayak pembaca di Indonesia. Semoga langkah pertama yang tak bisa disebut sempurna ini menjadi pondasi langkah-langkah berikutnya yang lebih baik. Dengan izin Allah.

Putut Widjanarko

Januari 2001.


Pengantar Penyunting

Assalamu’alaikum.

Saya mungkin bukan pemalas. Tapi pasti bukan orang yang berdisiplin tinggi. Tidak mudah bagi saya untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut ketekunan, kesabaran, dan ketelatenan. Sebagai akibatnya, saya sangat memerlukan momentum untuk bisa mengerjakan hal-hal yang menuntut sifat-sifat seperti itu.

Nah, momentum apa lagi yang lebih baik ketimbang Ramadhan, suatu bulan yang di dalamnya semua karya kita mendapatkan balasan berlipatganda?

Maka, beberapa hari sebelum Ramadhan tahun ini tiba, saya berpikir keras untuk bisa mengisi bulan penuh berkah ini dengan suatu karya yang signifikan. Menulis sesuatu adalah pekerjaan yang segera terpikir dalam diri saya. Mengapa? Pertama, saya saat ini sedang merantau untuk suatu pekerjaan tulis-menulis, alias menyusun disertasi. Kedua, dengan fasilitas Internet gratis selama 24 jam penuh setiap hari yang saya peroleh di sini, maka pekerjaan mengumpulkan bahan—kunci bagi keberhasilan suatu proyek menulis—menjadi amat handy. Ketiga, saya "memiliki" medium dan audience yang bisa mendorong saya untuk berdisiplin dalam menyelesaikan tulisan-tulisan saya dan, jika saya bernasib baik, memberikan umpan-balik terhadapnya. Audience ini menjadi faktor yang krusial mengingat saya bermaksud menyelesaikan seporsi tertentu tulisan saya setiap harinya agar, akhirnya, semua tulisan itu selesai di akhir Ramadhan. Nah, dalam kaitan ini, saya ingin ada yang "memaksa" saya untuk menyelesaikan target penulisan saya, setiap harinya—suatu kunci lain lagi bagi selesainya sebuah karya penulisan dalam suatu periode yang diharapkan, khususnya bagi seseorang yang tak punya disiplin tinggi seperti saya.

Nah, siapa orang-orang yang mau berbaik hati memaksa saya menyelesaikan tulisan saya selama bulan Ramadhan ini? Sebelum itu, baiklah saya sampaikan kepada para pembaca bahwa medium yang saya maksud itu adalah ... Internet, persisnya sebuah mailing list alias milis. Maka audience yang saya maksud itu, otomatis, adalah para anggota milis yang saya ikuti itu. Saya beruntung menjadi anggota sebuah milis yang sangat aktif—sehari dalam milis ini bisa ter-posting tak kurang dari puluhan posting, sebagian besarnya membahas masalah-masalah yang serius—terutama yang berkaitan dengan isu-isu ke-Islaman— dengan cara pembahasan yang serius pula.

Agar efektif, sejak beberapa hari sebelum Ramadhan saya sudah ber-"halo-halo" untuk memberi mereka "hadiah" Ramadhan. Ya berupa tulisan berseri itulah. Bahkan, saya sampaikan juga bahwa mail box mereka sudah akan bisa menerima e-mail saya pada selambat-lambatnya jam 08.00 malam WIB setiap harinya (maklum, sebagian besar anggota milis ini tinggal di Indonesia). Sepintas, hal ini akan terkesan sebagai wujud profesionalisme dan disiplin-tinggi saya. Padahal kenyataannya adalah sebaliknya. Sebenarnya dengan itu semua saya hanya akan menjebak diri saya agar bisa memenuhi target harian yang sudah saya tetapkan.

Mudah-mudahan mereka tak merasa saya manfaatkan untuk suatu pekerjaan pribadi saya. Nah, untuk menjamin bahwa para anggota milis ini mendapatkan manfaat juga dari pekerjaan saya, maka saya harus memastikan bahwa tulisan saya itu benar-benar berkualitas dan relevan dengan kebutuhan mereka. Tinggallah saya selama beberapa hari sebelum lebaran itu untuk berpikir keras mencari sebuah topik yang memenuhi beberapa syarat sekaligus. Pertama, volume pekerjaannya haruslah sekadar waktu-waktu luang saya dalam melakukan riset untuk disertasi saya dan, tak kalah pentingnya, membantu istri mengurusi 4 orang anak, tanpa pembantu, di perantauan (kelak kenyataannya berbeda dengan perencanaan saya. Persiapan buku ini ternyata memakan waktu yang cukup banyak juga, jauh lebih banyak dari yang saya duga). Kedua, masih berhubungan dengan yang pertama, pekerjaan ini harus bisa diselesaikan dalam 29 atau 30 hari bulan Ramadhan. (Karena, jika lewat bulan "seribu bulan" ini, maka harapan untuk bisa segera menyelesaikannya akan pupus sudah.)

Tak berapa lama saja saya pun sudah yakin bahwa karya tulis saya itu pasti bukan hasil karya saya sendiri. Pekerjaan seperti ini pastilah berada di luar semua keterbatasan yang saya sebutkan tadi. Maka, perenungan saya pun beralih ke pencarian karya tulis orang lain yang bisa saya terjemahkan dan sunting. Berbagai judul buku-kecil lewat di benak saya. Yang sempat menjadi nominasi terkuat adalah Letters to My Son: A Father’s Wisdom on Manhood, Women, Life and Love karya Kent Neburn. Inilah sebuah buku pendidikan bagi remaja, sekaligus orang tua, yang banyak mendapatkan pujian. Memang saya, disamping banyak belajar masalah-masalah keislaman, juga amat tertarik dan banyak berurusan dengan pendidikan anak. Kebetulan buku itu terdiri dari 30 bab yang masing-masingnya tak terlalu panjang. Lagi pula, ketika saya minta anak-anak saya yang di kelas 3 dan 1 SMP untuk membaca buku ini, keduanya mengalami kesulitan karena bahasa Inggris penulisnya yang lumayan sulit. Maklum, penulisnya memang seorang seniman. Saya pun tertarik untuk menerjemahkannya.

Bab demi bab buku itu saya baca. Memang amat bagus, beberapa di antaranya malah luar biasa (termasuk wisdomnya tentang filantropisme dan kematian sebagai kehidupan sejati). Hanya saja, selesai membacanya, ada satu keberatan yang menghalangi saya untuk memutuskan buku itu sebagai karya yang akan saya terjemahkan. Beberapa bab dalam buku itu, meski juga amat menarik, berbicara masalah perempuan, perkawinan dan seks, yang saya anggap kurang appropriate untuk anak-anak saya, maupun pembaca Indonesia pada umumnya.

Dalam keadaan bimbang, tiba-tiba terlintas dibenak saya suatu tulisan pendek yang luar biasa, yang sebelumnya saya memang sudah amat tertarik untuk menerjemahkan dan menyuntingnya. Tanpa banyak waktu dan pikir, semua persoalan pemilihan bahan pekerjaan penerjemahan ini seperti sirna. Saya sama sekali tak lagi memiliki keraguan bahwa tulisan pendek ini adalah bahan terbaik yang mungkin saya pilih. Semua syarat terpenuhi, tanpa kekurangan sedikit pun! Kadarnya cukup, kualitasnya luar biasa, penulisnya adalah salah seorang tokoh yang saya kagumi, dan topik yang dibahasnya pun amat sejalan dengan nuansa Ramadhan. Lebih dari itu, ia menyangkut sekaligus tiga hal yang paling menarik perhatian saya (dan, saya harapkan, juga para anggota milis yang saya ikuti itu serta para pembaca pada umumnya setelah buku ini, insya Allah, saya terbitkan): isu ke-Islaman dan, lebih khusus lagi, tasawuf, serta pendidikan. Tulisan mana lagi yang bisa memenuhi sedemikian banyak syarat itu dengan sebegitu baik.

"Wasiat Ayatullah Khomeini kepada Putranya, Ahmad” adalah tulisan yang saya maksud. Sebagai sebuah wasiat, tentu saja ia tak terlalu panjang dan mungkin bisa saya selesaikan dalam 20 hari. Isinya luar biasa mendalam karena kandungan tasawufnya. Pada saat yang sama, ia menyimpan emosi mendalam yang ada di hati penulisnya ketika menuangkan baris-baris tulisannya itu. Lebih dari itu, pilih an kata-katanya tak kurang puitis. Memang, hampir berkebalikan dengan kesan yang dimiliki banyak orang tentang tokoh ini, dia dikenal sejak mudanya sebagai seorang sufi—atau, seorang 'arif, sebuah istilah bermakna hampir sama yang dipakai di Iran, tempat kelahiran dan kiprah sang tokoh (lebih jauh mengenai soal ini, silakan baca Bab Pendahuluan buku ini). Bahkan, jauh sebelum namanya dikenal—dalam makna baik maupun buruk—sebagai seorang mullah-faqih (ahli fiqih) dan seorang pemimpin revolusi—dia adalah seorang murid dan penulis buku-buku sufi yang amat serius. Beberapa orang orientalis telah secara khusus dan mendalam mendedikasikan penelitian untuk mengeksplorasi sisi yang tak banyak dikenal dari tokoh kita ini.

Segera setelah tibanya "ilham" ini, saya pun mulai mengumpulkan bah an di sekitar Ayatullah Khomeini serta karya-karyanya. Bukan suatu pekerjaan yang terlalu mudah, memang. Tapi, fasilitas Internet, serta kekaguman dan keakraban saya dengan tokoh ini sejak awal meletusnya Revolusi Islam di Iran—ditambah dengan pekerjaan menulis buku yang juga masih terkait dengan pemikiran tokoh ini—membuat pekerjaan persiapan ini bisa saya selesaikan dalam waktu tak terlalu lama.

Alhamdulillah. Lagi pula, ini bukan sebuah pekerjaan besar. Karya yang saya pilih boleh jadi amat penting, tetapi bukankah yang saya lakukan tak lebih dari penerjemah an dan penyuntingan?

Selain menambahkan sebuah pendahuluan tentang sisi pribadi Ayatullah Khomeini sebagai sufi atau 'arif, terjemahan wasiatnya ini akan saya lengkapi dengan tujuh puisi karyanya—yang, lagi-lagi, kental bernuansa tasawuf—dan akan saya tutup dengan kenangan para sahabat dan keluarganya mengenai sisi human interest tokoh ini. Dalam bentuk buku nantinya, risalah ini akan diupayakan dilengkapi dengan galeri foto bernuansa sama yang diharapkan akan mendukung penampilan sisi khas sang tokoh.

Dengan risalah kecil ini, saya berharap, pengenalan kita terhadap tokoh yang sering diidentikkan dengan fundamentalisme, kekerasan, dan autoritarianisme ini akan berubah—setidaknya menjadi lebih lengkap. Penampilan sisi kesufian Ayatullah Khomeini ini sekaligus bisa menjadi contoh yang amat pas bagi suatu jenis tasawuf yang saya bersama beberapa orang rekan sedang mempromosikannya, yakni tasawuf positif. Seperti saya singgung di awal pendahuluan yang saya tulis, tasawuf Imam Khomeini, sebaliknya dari menyebabkan penyangkalan dunia, justru menjadi basis bagi kegiatan-kegiatan keduniaannya. Cinta Allah sebagai sentral kehidupan seorang sufi, dalam tasawuf Imam Khomeini, mengambil wujud kecintaan kepada semua makhluk Allah. Dari sinilah kemudian terbentuk secara kuat keprihatinan Imam Khomeini terhadap kaum papa dan tertindas. Lebih dari itu, tasawufnya juga menekankan pada keluhuran akhlak dalam berhubungan dengan sesama. Meski tetap menekankan pada proses penyucian hati, sebagai satu-satunya bejana yang dapat menampung kebenaran-puncak, ciri penting lain tasawuf Imam Khomeini—bertentangan dengan kesan irasionalitas yang biasanya menempel pada disiplin ruhaniah ini—adalah terpeliharanya apresiasi terhadap ilmu-ilmu rasional. Kenyataannya, meski amat dipengaruhi oleh Ibn 'Araby, tasawuf Imam Khomeini lebih dekat kepada 'irfan (secara literal berarti ilmu ketuhanan) dan Hikmah. Yang disebut belakangan ini adalah suatu aliran dalam filsafat Islam yang percaya bahwa kebenaran harus diperoleh lewat pengalaman spiritual (sufistik), tetapi, pada saat yang sama, harus bisa diungkapkan dan dipertanggung-jawabkan secara rasional.

Akhirnya, betapapun sederhananya, mudah-mudahan karya penerjemahan dan penyuntingan ini bisa membawa pembacanya untuk berkelana di dunia ruhaniah, menembus hijab berlapis-lapis yang menyelubungi eksistensinya, menuju Sumber segala sumber dan Muara segala muara kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kalaupun tak sampai sejauh itu, jika saja risalah kecil ini mampu menarik minat pembacanya untuk mempersiapkan diri melakukan perjalanan spiritual seperti itu—baik dengan mendalami karya-karya lain dan lebih masif dari penulis yang sama, ataupun dari penulis-penulis yang lain—saya anggap kerja sederhana saya ini sudah berhasil.

Bi 'awnika ya Lathif

Yamani.


Pendahuluan: Ayatullah Khomeini, Sang 'Arif

Ilahii, anugerahilah daku kepasrahan-total kepada-Mu, dan sinari mata-mata-hatiku dengan pancaran penglihatan kepada-Mu, hingga mata-mata-hati itu mengorak hijab-hijab (yang menutupi) cahaya itu dan mencapai sumber Keagungan-(Mu), dan (jadikan) ruh-ruh kami terpancang dalam ambang kesucian-Mu. Ilahi, jadikan aku termasuk yang menyahut tatkala Kau memanggil mereka, dan yang ketika Kau menatap mereka, maka mereka pingsan (akibat terpana) oleh kedahsyatan-Mu.”

Cuplikan Munajat-i Sya’ban yang sering dikutip Ayatullah Khomeini dalam berbagai kesempatan disepanjang masa hidupnya).

Mulanya adalah seorang filosof-'arif Iran abad ketujuh belas. Namanya Shadr Al-Din Al-Syirazi bin Muhammad bin Ibrahim bin Zakaria Al-Razi (m.1640). Dia biasa dipanggil Mulla Shadra saja. Filosof ini dikenal luas lewat teorinya tentang empat perjalanan (al-ashfar al-arba'ah)—yang menjadi topik masterpiece-nya berjudul sama. Menurut teori ini, perjalanan manusia paripurna dalam kehidupan ini terdiri dari empat tahap.

Pertama, perjalanan dari alam ciptaan menuju Allah (al-safar min al-khalq ila al-Haq). Kedua, perjalanan dalam Allah (al-safar fi al-Haq). Ketiga, perjalanan kembali dari Allah menuju ciptaan, kali ini bersama Allah (al-safar min al-Haq ila al-khalq bi al-Haq). Akhirnya, yang keempat, sebagai penyempurna semuanya, adalah perjalanan dalam ciptaan bersama Allah (al-safar fi al-khalq bi al-Haq).

Teori Mulla Shadra ini, betapapun menempatkan dunia ciptaan sebagai perjalanan terakhir, sepenuhnya bersifat intelektual dan spiritual. Tapi, di tangan “murid” seperti Ayatullah Khomeini, ia mendapatkan penafsiran yang jauh lebih luas, untuk tak menyebutnya sama sekali berbeda. Inilah, setidaknya, pandangan Hamid Algar, seorang peneliti Iran kelahiran Inggris. Dalam pandangan Algar, Ayatullah Khomeini boleh saja—bahkan memang mesti— dipandang sebagai seorang sufi sejati. Tapi, kiprahnya dalam dunia sosial-politik—yang lazimnya dipahami sebagai bersifat profan—tak pernah bisa dilepaskan dari ideal spiritual seperti ini. Bagi Ayatullah Khomeini, seorang 'arif tak akan benar-benar mencapai maqam spiritual tertinggi jika tidak memanifestasikan keimanan-puncak, yang telah diraihnya lewat dua perjalanan pertama, dalam bentuk concern sosial politik untuk mereformasi masyarakat dan membebaskan kaum tertindas dari rantai penindasannya.

Baiklah. Kiprah sang Ayatullah di dunia politik sudah merupakan suatu fakta yang established. Tapi, Khomeini sebagai seorang sufi?

Sebenarnya pertanyaan seperti di atas tak perlu muncul kalau saja kita mempelajari sedikit saja riwayat hidup Ayatullah Khomeini. Malah, sejatinya, sebagian besar masa-hidup sang Ayatullah dihabiskannya untuk “karier” sebagai pelajar, guru, dan penulis karya-karya tasawuf kelas tinggi. Mari kita lacak serbaringkas.


Masa Muda

Ruhullah, nama kecil Ayatullah Khomeini, terlahir pada 20 Jumada Al-Tsaniyah 1320/24 September 1902—bersamaan dengan ulang tahun kelahiran Sitti Fathimah Al-Zahra bint Muhammad Saw.—di lingkungan sebuah keluarga cukup berada yang amat religius. Konon, rumah dua tingkat tempat Ruhullah dilahirkan, terbangun di atas kebun cukup luas ditengah wilayah agak kering Khomein, sekitar 200 km dari Isfahan. Dikelilingi halaman di tiga sisinya, rumah ini memiliki balkon yang sejuk dan dua menara-pengawas: yang satu mengarah ke sungai yang mengairi sesawahan, dan yang lain ke jalan-jalan dan kebun-kebun.

Silsilah keluarganya, yang bermuara pada Imam Musa Al-Kadhim bin Ja'far Al-Shadiq ibn Muhammad Al-Baqir ibn 'Ali Zainal 'Abidin ibn Husin ibn 'Ali bin Abi Thalib radhiyal-Lahu 'anhum, memuat nama ayahnya sebagai ulama terpandang di lingkungannya. Sayyid Mustafa, sang ayah, adalah murid Muhammad Taqi Mudarrisi, sebelum akhirnya belajar di bawah Mirza Hasan Shirazi—ulama Syi’ah terkemuka di masanya. Selain sebagai ulama terpandang, Sayyid Mustafa memiliki dalam dirinya kombinasi sifat-sifat yang belakangan terbukti menurun kepada Ruhullah: concern kepada dhu'afâ’ serta keberanian dan sikap konsekuen pada hal yang diperjuangkannya. Sebagai akibatnya, sang ayah harus terbunuh di tangan seorang tuan tanah kaya—Ja'far-quli Khan—yang tak senang dengan upaya qadhi Khomein ini dalam membela para petani kecil.

Tinggallah Ruhullah, yang waktu itu masih bayi, di bawah asuhan Hajar (Agha Khanum), ibunya, dan Sahiba, bibinya. Keluarganya mengingatnya sebagai anak yang bersemangat dan energik. Konon, ia tak jarang pulang dengan baju berdebu dan sobek, bahkan terkadang dengan goresan luka dari permainan dengan sesamanya. Secara fisik memang dia adalah anak yang kuat. Sejalan dengan pertumbuhannya, dia makin dikenal sebagai jagoan di beberapa jenis olahraga. Dia sanggup mengalahkan anak-anak lainnya dalam pertandingan gulat, meski kesukaannya adalah lompat jauh. Dalam jenis olahraga yang satu ini, diriwayatkan bahwa dialah juara dilingkungannya. Riwayat yang lainnya menggambarkan Ruhullah sebagai seorang yatim yang senang menyendiri dan merenung di padang pasir dekat rumahnya. Mungkin tak ada fakta yang bertentangan dalam kedua riwayat itu. Keduanya boleh jadi hanya merujuk kepada dua periode berbeda dalam hidup Khomeini muda. Yang disebut pertama boleh jadi bercerita tentang masa kanak-kanaknya. Sementara yang disebut belakangan merujuk kepada masa remaja Ruhullah—yakni setelah berbagai peristiwa menimpa kehidupannya.

Sifat energik dan keberanian Ruhullah sebagiannya mungkin merupakan hasil pengaruh bibinya. Sahiba memang dikenal sebagai perempuan pemberani dan tegas. Sedemikian sehingga, konon, akibat kematian Sayyid Ahmad, Sahiba sempat mengambil-alih beberapa pekerjaan yang ditinggalkan saudaranya itu untuk beberapa hari. Bahkan, Sahiba pernah diceritakan melerai dengan penuh keberanian dua kelompok bertikai yang saling menembak, dengan berdiri di tengah-tengah mereka sambil memerintahkan keduanya untuk berhenti menembak.

Kekacauan akibat tak-tegaknya hukum di Khomein dan kesewenang-wenangan suku-suku tertentu di wilayah itu bahkan telah mengajari Ruhullah lebih jauh tentang keperwiraan, yakni ketika ia terpaksa angkat senjata untuk membela diri dan keluarganya. Kelak, ketika mengenang peristiwa ini bertahun-tahun kemudian, Ayatullah Khomeini berkata, “Saya sudah berada dalam peperangan sejak masa kanak-kanak.”

Pendidikannya dimulai dari sebuah maktab dikotanya. Hingga, ketika ia berumur tujuh tahun—pada saat ini ia sudah hafal Al-Quran—Ruhullah memasuki sebuah sekolah yang didirikan oleh pemerintah dalam rangka upaya modernisasi Iran. Di sini ia mendapatkan pelajaran aritmetika, sejarah, geografi, dan beberapa ilmu dasar lainnya. Pendidikannya berlanjut ketika, di bawah beberapa orang guru dan juga Sayyid Murtaza (kakaknya sendiri yang kelak terkenal dengan nama Ayatullah Pasandideh), Ruhullah belajar bahasa Arab. Ia juga belajar logika dari iparnya sendiri, Mirza Riza Najafi.

Kematian ibu dan bibi yang mengasuhnya secara beruntun pada saat ia berusia 16 tahun telah makin menempa kepribadiannya. Ia pun kini tinggal bersama Sayyid Murtaza. Yang pasti, ketika akhirnya dalam usia 18 tahun ia meninggalkan Khomein untuk menuntut ilmu lebih jauh ke Arak, Ruhullah telah menjelma menjadi seorang remaja yang penuh tekad, tegas, dan serius. Dari sinilah kisah kesufian Ruhullah bermula.


Pendidikan

Kota Arak pada waktu itu dikenal memiliki banyak ulama terkemuka. Tapi, tujuan Sayyid Murtaza mengirim adiknya ke kota ini tentu terutama karena keberadaan Ayatullah 'Abdul Karim Hâ’iri (w. 1936), salah seorang ulama terkemuka masa itu. Pada waktu itu kelihatannya studi Ruhullah belum cukup jauh untuk bisa langsung belajar dari Ayatullah Hâ’iri. Ia pun belajar di bawah bimbingan beberapa ulama ahli di berbagai bidang, seperti logika, fiqh, dan bahasa Arab. Setahun setelah kedatangan Ruhullah ke Arak, Ayatullah Hâ’iri mendapatkan undangan untuk mengembangkan lebih jauh kota Qum sebagai pusat pengajaran agama.

Kedatangan Hâ’iri ke kota ini memang terbukti berhasil mewujudkan harapan para pengundangnya. Kelak, posisi Qum sebagai pusat keagamaan di Iran menjadi makin mantap dengan dijadikannya kota ini sebagai basis Ayatullah Ruhullah Khomeini untuk melancarkan Revolusi-Islamnya.

Empat bulan setelah kepindahan Hâ’iri, Ruhullah Khomeini pun mengikutinya. Di Qum inilah ia menerima pendidikan tahap lanjut di bidang intelektual dan spiritual. Begitu besarnya peran Qum dalam kehidupannya sehingga kelak, di tahun 1980, Ayatullah Khomeini menyatakan, “Di mana pun saya berada, saya adalah penduduk Qum, dan saya bangga akan hal ini. Hati saya selalu bersama Qum dan penduduknya.”

Meski ia memang kemudian belajar fiqh dari Ayatullah Hâ’iri, dan benar-benar menjadi seorang faqih—bahkan marja' taqlid di bidang ini pada tahun 1962—di Qum inilah ia mengembangkan minatnya pada 'irfan. Ini bukan hal yang lazim, karena umumnya ulama pada masa itu memandang disiplin ini dengan penuh kecurigaan. Diantara murid Hâ’iri, nama Ruhullah menjulang di berbagai bidang pelajaran, bahkan juga di bidang filsafat dan 'irfan.

Guru pertamanya di bidang 'irfan ini adalah Mirza Ali Akbar Yazdi (w. 1926), murid Husain Sabzavari yang belajar langsung dari Mulla Hadi Sabzavari (w. 1872)—penulis Sharh-i Manzhumah, salah satu teks dasar 'irfan yang paling luas dipakai sekarang. Dengan demikian, Ruhullah seolah-olah memang sudah disiapkan untuk menjadi penerus mata rantai 'irfan. Beberapa guru lain menjadi sumber pelajaran 'irfan Ruhullah, termasuk Sayyid Abu'l-Hasan Rafi'i Qazvini (w. 1975), sebelum akhirnya ia menemukan guru-utamanya di bidang ini.

Sang guru, Ayatullah Muhammad 'Ali Shahabadi (w.1950) adalah orang yang paling dihormatinya dan disebutnya sebagai “guru kami di bidang hikmah”. Ruhullah bertemu Shah abadi tak lama setelah kedatangan yang disebut belakangan ke Qum (mungkin di akhir tahun '20-an). Jawaban yang diberikan Shahabadi terhadap pertanyaan yang diajukannya membuatnya yakin bahwa ia telah bertemu dengan seorang guru sejati. Setelah pada awalnya menolak keinginan Ruhullah untuk belajar dengannya, Shahabadi pun setuju untuk mengajarinya filsafat. Tapi, adalah 'irfan yang menjadi keinginan Ruhullah. Ia pun terus berkeras hingga akhirnya Shahabadi setuju untuk mengajar disiplin yang satu ini. Setiap Kamis dan Jumat, kadang sendiri dan pada waktu berbeda bersama beberapa murid yang lain, Ruhullah pun menyimak pelajaran-pelajaran yang diberikan Shahabadi. Materi pelajaran adalah komentar Daud Qusyairi (w. 1350) atas Fushush Al-Hikam Ibn 'Arabi, dan juga Miftah Al-Ghayb Shadr Al-Din Al-Qunawi (w. 1274)—murid Ibn 'Arabi dan Nashr Al-Din Al-Thusi sekaligus—serta Manazil Al-Sa’irin Khwajah 'Abdullah Anshari (w. 1089).

Pengaruh Shahabadi atas Ayatullah Khomeini belakangan terbukti tidak hanya terbatas pada 'irfan. Shahabadilah yang mengajarkan kepadanya kaitan antara 'irfan dan concern sosial politik. Memang, Shahabadi adalah satu di antara sedikit ulama pada masa itu yang secara teratur mengecam kelakuan Shah. Lebih dari itu, sikapnya ini terungkap dalam salah satu bukunya yang berjudul Shadzarat Al-Ma'arif—sebuah buku yang disebut-sebut sebagai bernuansa sosial-politik di samping 'irfan. Di dalamnya, setelah menganalisis kondisi menyedihkan masyarakat Islam dan cara-cara mengatasinya, Shahabadi mengemukakan pentingnya kaum Muslim mengurusi politik karena “Islam jelas sekali adalah agama politik”.


Sebagai Guru Dan Penulis

Ruhullah Khomeini, sekarang seorang mullah, memulai kariernya sebagai guru pada umur dua puluh tujuh tahun dengan mengajarkan hikmah, sebuah disiplin yang sangat dekat dengan 'irfan. Tak lama setelah itu, ia pun menyelenggarakan pengajian-pengajian tertutup mengenai 'irfan. Dalam pertemuan-pertemuan inilah Mullah Ruhullah Khomeini mendidik dan mengilhami beberapa di antara rekan terdekatnya, termasuk Murtadha Muthahhari. Teks-teks yang diajarkan termasuk Bab Jiwa dari Al-Asfar Al-'Arba'ah dan Sharh-i Manzhumah. Banyak di antara rekan Ruhullah, yang belakangan menjadi tokoh Revolusi, mengenang bahwa mereka pertama kali tertarik kepada Ruhullah Khomeini adalah karena kefasihannya dalam bidang akhlak, 'irfan, dan filsafat. Pelajaran-pelajaran yang diberikannya sebanyak dua kali seminggu di Qum dihadiri oleh ratusan orang.

Masalah-masalah 'irfan juga merupakan tema tulisan-tulisan Mullah Ruhullah Khomeini. Pada tahun 1928, ia menulis komentar (syarh) atas Du’a Al-Sahar karya Imam Muhammad Al-Baqir. Karya ini kemudian, pada tahun 1931, disusul dengan terbitnya Misbah Al-Hidayah, suatu ulasan ringkas tapi mendalam tentang hakikat Nabi Saw. dan para Imam. Pada tahun 1937, mullah muda ini menyelesaikan serangkaian catatan-pinggir atas komentar Qaysari atas Fushush Al-Hikam dan Misbah Al-Uns—komentar Hamzah ibn Fanari atas Miftah Al-Ghayb Al-Qunawi sehingga beberapa gurunya merasa perlu menulis ulasan atas buku-buku itu. Dua tahun kemudian ia menyelesaikan karya-pertamanya dalam bahasa Persia, yakni Syarh-i Chihil Hadits (syarh atas 40 hadits), edisi Indonesia telah diterbitkan Penerbit Mizan, berjudul 40 hadits Telaah Imam Khomeini (buku kesatu sampai dengan buku keempat). Pada tahun itu juga, Mullah Khomeini menerbitkan karyanya yang berjudul Mi'raj Al-Salikin wa Shalat Al-'Arifin (dikenal juga dengan Asrar Al-Shalat), sebuah risalah dalam bahasa Persia yang memerinci makna-batin setiap bagian shalat, mulai wudhu hingga takbir penutup shalat. Sedikit lebih populer ketimbang bukunya yang agak berat dan rumit ini adalah bukunya berjudul Adab Al-Shalat, yang diselesaikannya pada tahun 1942. Akhirnya, perlu disebutkan pula karyanya yang terbit pada tahun 1944 berjudul Syarh-i Hadith-i Junud-i Aql va Jahl yang sampai sekarang belum diterbitkan(?). Buku ini disebut-sebut sebagai uraian paling sistematik dan menyeluruh tentang pandangan Ayatullah Khomeini mengenai akhlak dan 'irfan.

Yang perlu disadari adalah bahwa tulisan-tulisan Ayatullah Khomeini sama sekali bukanlah sekadar pengungkapan kembali atau pengembangan dari pendapat-pendapat orang lain. Bukan pula ia merupakan pengalaman masa muda yang kemudian diabaikan dalam sisa hidupnya. Sebaliknya, kesemuanya itu merupakan buah dari sebuah visi yang orisinal dan lestari. Seperti diungkapkan oleh Sayyid Ahmad Fihri—yang menghadiri kuliah-kuliah Ayatullah Khomeini di tahun 30-an dan kelak menjadi pengumpul buah-pikiran gurunya itu—“tampak nyata bahwa dia memang memiliki ilmu dzawqi (berdasar pengalaman, nglakoni) mengenai hal yang ditulisnya”. Meminjam ungkapan Hamid Algar, “karya-karyanya mengenai 'irfan hanyalah ungkapan awal dan tertulis tentang suatu proses suluk, suatu gerakan maju terus-menerus menuju Sumber Keagungan, yang dengannya sang salik terus berhubungan.”


Ayatullah Khomeini dan 'Irfan

Kenyataannya, kecenderungan Ruhullah kepada hikmah dan 'irfan bahkan tetap tampak nyata dalam berbagai upaya politiknya. Dalam Kasyf Al-Asrar, buku yang ditulisnya pada tahun 1945 untuk menjawab tuduhan-tuduhan kepada Syiah, ia tak hanya menghimpun ayat-ayat, hadits-hadits, dan argumentasi rasional, tetapi juga merujuk kepada para ahli hikmah dan 'irfan, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla Shadra. (Di buku yang sama ia mulai pula memperkenalkan pemikirannya yang belakangan termasyhur sebagai sistem wilayah al-faqih).

Pada Mei 1944, Ruhullah Musawi menerbitkan proklamasi-politiknya yang pertama. Ia memulainya dengan mengutip Al-Quran (QS Saba [34]:46), Katakan: “Aku memerintahkan kepadamu satu hal saja—yakni engkau bangkit demi Allah, berpasangan atau sendiri, kemudian berpikirlah.” Ayat yang sama jugalah yang membuka kitab Manazil Al-Sa’irin karya Anshari— suatu buku pegangan pelancongan spiritual yang amat disukai Ruhullah Khomeini sejak masa-masa belajarnya dengan Shahabadi. “Bangkit demi Allah” dalam buku itu oleh Anshari didefinisikan sebagai “Bangun dari tidur yang melenakan dan bangkit dari jurang ketakberdayaan”. Sejalan dengan itu, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa dengan ayat ini “Allah 'Azza wa Jalla telah menetapkan kebebasan umat manusia dari sifat kegelapan alam menuju titik terjauh kemanusiaan sejati”, sedemikian sehingga perintah yang terkandung di dalamnya menjadi “jalan satu- satunya untuk reformasi di dunia ini”. Selanjutnya, Ruhullah Khomeini menyatakan bahwa terciptanya kondisi-menyedihkan kaum Muslim merupakan akibat “bangkitnya mereka demi jiwa syahwaniyah” (sebuah istilah teknis dalam filsafat—Ym), dan bahwa hanya dengan “kebangkitan demi Allah”-lah persoalan-persoalan itu bisa diatasi.

Di bidang fiqih pun, ajaran-ajarannya diwarnai dengan 'irfan. Mengutip Sayyid Ahmad Fihri lagi, Imam Khomeini “cakap dalam mendemonstrasikan keselarasan syariah dengan logika 'irfan sebagaimana juga keselarasan 'irfan dengan logika syariat”.

Ketika masih tinggal di pengasingannya di Najaf, pada tahun 1972, Ayatullah Khomeini menjalankan tugasnya untuk mendidik murid-muridnya dalam hal akhlak dan keruhanian dengan memberikan kuliah tentang “jihad besar”, yakni perang melawan hawa nafsu. Penting untuk diketahui bahwa kuliah-kuliah mengenai masalah ini disampaikannya setelah ia menyelesaikan serangkaian kuliah lain mengenai sistem politik wilayah al-faqih, dan bahwa risalah Jihad Al-Akbar ini dianggapnya sebagai pelengkap bagi rangkaian kuliahnya yang terdahulu itu. Bagi Ayatullah Khomeini, pendirian pemerintahan Islam tergantung dan ditujukan pada penyucian spiritual masyarakat Muslim dan para pemimpinnya, yakni para ulama. Kejayaan dalam jihad kecil—yakni perang atau revolusi yang sesungguhnya—sepenuhnya terkait dengan upaya-upaya jihad akbar ini.

Sejumlah besar proklamasi dan pengarahan Ayatullah Khomeini mengenai berbagai masalah dan krisis aktual masa-masa itu yang diungkapkannya sebelum dan setelah Revolusi, yang dikumpulkan dalam 22 jilid buku berjudul Shahifa-yi Nur, juga mengandung banyak rujukan kepada concern-concern 'irfani dan akhlaki. Indeks tematik Shahifa-yi Nur mendaftar tak kurang dari 700 paragraf panjang-pendek yang berhubungan dengan 'irfan.

Misalnya, pada 22 Desember 1979, ketika berpidato di depan masyarakat Qum, Ayatullah Khomeini menyatakan bahwa sukses Revolusi adalah berkat “orientasi rakyat Iran kepada kehadiran Ilahi”. Belakangan, pada masa agresi Irak, sang Ayatullah berulang-ulang menyebut para syuhada sebagai telah pergi menuju “pertemuan dengan Allah” (liqa’ Allah). Hal ini penting jika dilihat kaitannya dengan risalah kecil yang pernah ditulisnya—mengenai salah satu tema penting 'irfan ini—di sekitar tahun 1930. Risalah ini diterbitkan sebagai suplemen bagi risalah lebih panjang karya gurunya pada waktu itu, Aqa Javad Maliki Tabrizi, mengenai masalah yang sama. Dalam 40 hadits ia membahas soal ini secara lebih panjang lebar dengan menerangkan pertemuan dengan Allah sebagai bukan (bagian) pengetahuan rasional tentang esensi Ilahi, melainkan “suatu penyaksian (syuhud) 'irfani yang menyeluruh yang dicapai lewat penglihatan batin (bashirah)”. Dia mengaitkannya dengan bagian dari Munajat Sya’baniyah—yang membuka kata Pendahuluan ini. Artinya, Ayatullah Khomeini menganggap bahwa dengan kematian mereka, para syuhada itu telah mengorak “hijab-hijab (yang menutupi) cahaya demi mencapai sumber Keagungan (Allah Swt.)”.

Di atas semuanya itu, bukti paling kuat keterkaitan Ayatullah Khomeini terhadap 'irfan di masa-masa pasca-Revolusi adalah kuliah-umumnya di depan televisi mengenai tafsir Surah Al-Fatihah pada tahun 1979, edisi Indonesia telah diterbitkan oleh Penerbit Mizan berjudul Rahasia Basmalah dan Hamdalah, 1994. Meski pada saat itu Republik Islam Iran yang baru berdiri masih menghadapi masalah-masalah politik yang amat serius, Ayatullah Khomeini—lewat acara televisinya itu—masih merasa perlu untuk menguraikan topik-topik kunci dalam 'irfan, khususnya mengenai modus-modus tajalliyat (penampakan) Allah dan makna Asma-Nya.

Bahkan Ayatullah Khomeini merasa perlu membawa-bawa persoalan 'irfan ini dalam persoalan politik luar negeri. Dalam suratnya kepada Mikhail Gorbachev, pemimpin Uni Soviet, bertanggal 4 Januari 1988, ia tidak saja meramalkan keruntuhan komunisme. Lebih jauh ia memperingatkan Gorbachev mengenai kejatuhan negerinya ke dalam kekacauan spiritual dan etis. Untuk mengatasi persoalan negerinya, Khomeini mengundang para pakar Soviet ke Qum untuk mempelajari pemikiran para hukama Islam, seperti Ibn Sina, Suhrawardi, Mulla Shadra, dan Ibn 'Arabi.

Akhirnya, kiranya perlu disinggung serbasedikit beberapa dokumen yang ditulis Ayatullah Khomeini menjelang wafatnya. Pertama adalah wasiatnya untuk rakyat Iran, yang diterbitkan pada 3 Juni 1989. Secara umum wasiat ini berisi nasihat sang Imam kepada berbagai kelompok rakyat Iran dan peringatan mengenai masalah-masalah yang mungkin mereka hadapi sepeninggalnya. Yang menarik, di samping mengutip hadits al-tsaqalayn, dalam pembukaan wasiatnya itu Ayatullah Khomeini merujuk kepada istilah “nama yang terpelihara” (al-ism al-musta’tsar) Allah. Makna istilah ini, yang aslinya terdapat dalam salah satu munajat Nabi Muhammad Saw., dapat diringkaskan sebagai nama (atau rangkuman nama-nama) Tuhan yang terkait dengan sifat-sifat-Nya dan tak akan pernah terungkap karena “ditahan” dalam khazanah pengetahuan-tersembunyi Allah mengenai Dirinya Sendiri. Seperti dinyatakan oleh Ayatullah Muhammadi Gilani, rujukan Ayatullah Khomeini kepada “nama-nama yang terpelihara” ini bermakna bahwa ia ingin mendorong penanaman 'irfan dikalangan bangsa Iran sebagai bagian tak terpisahkan dari warisannya. Bahwa, dengan merujuk kepadanya dan juga kepada asma-Nya yang lain, ia seolah ingin menunjukkan bahwa bahkan perjuangan sosial-politik—yang menjadi kandungan-utama wasiatnya itu—selalu harus diidentikkan dengan aktus-aktus (tindakan-tindakan) Ilahi dan ditumbuhkan atas akar 'irfani sedemikian.

Di atas semuanya itu, yang nyata-nyata bersifat 'irfani adalah wasiatnya kepada menantu perempuannya, Fathimah Thabathabâ’i, dan putranya, Sayyid Ahmad Khomeini, serta puisi-puisi yang ditulisnya. Yang disebut terakhir ini seolah merupakan ungkapan untuk menyambut tibanya persatuan antara dirinya dengan Tuhan kekasihnya, sesuatu yang selalu didambakannya.


Kepribadian dan Akhlaknya

Sekarang, orang mengenang Ayatullah Khomeini sebagai pemimpin sebuah revolusi paling spektakuler di abad kedua puluh, yang hidup sebagai zahid (asket) sejati. Orang-orang dekatnya mengenang sang Ayatullah sebagai seseorang yang hidup amat sederhana. Rumahnya di suatu desa kecil (Jamaran) di pinggir Teheran begitu kecil dan sederhana sehingga jutaan orang yang belakangan berkunjung ke sana—termasuk ribuan jurnalis—seperti tak dapat mempercayai penglihatan mereka. Seorang ulama dari Indonesia yang berkesempatan memasukinya mengatakan bahwa rumah sang Imam tak ubahnya jedhing—kamar mandi sederhana, dalam bahasa Jawa. Podium tempatnya menerima ratusan demi ratusan rakyat Iran yang mengunjunginya tak lebih dari basement sebuah apartemen, di sana-sini di bagian atapnya berseliweran saluran pembuangan air sistem AC. Di antara wasiatnya, Ayatullah Khomeini menyebutkan daftar harta-benda yang dimilikinya. Dari daftar itu terungkap bahwa satu-satunya milik berharga yang dipunyai sang pemimpin Revolusi adalah rumah-kecilnya di Jamaran yang—secara khusus disebutkannya—berdiri di atas tanah milik istrinya.

Hari-harinya penuh diisi upaya membimbing bangsa Iran menuju hal yang diyakininya sebagai cita-cita Islam. Jika tidak sedang menerima tamu, sang Imam biasanya membaca buku atau berbagai laporan yang masuk kepadanya. Kadang juga menulis. Selebihnya, seluruh hidupnya sejak muda diisinya dengan beribadah kepada Allah, dengan shalat dan mengaji Al-Quran. Pembantu terdekat dan para anggota keluarganya mengatakan bahwa tak ada malam-malam, sejauh ingatan mereka, yang tidak diisinya dengan shalat tah ajud. Bahkan ketika dalam perjalanan pulang ke negerinya dari pengasingan di Prancis, Imam Khomeini melakukan shalat tahajudnya di pesawat terbang. Tak pernah lupa pula ia setiap harinya berolahraga jalan kaki sambil bibirnya berkomat-kamit membaca berbagai doa dan wirid.

Istrinya bercerita bahwa sehari-harinya hingga sebelum datang masa uzurnya, sang Imam berupaya sebisa-bisanya untuk membantu pekerjaan rumah tangga. Kadang membersihkan rumah, di kali lain mencuci piring dan pakaian kotor. Sang istri pun tak ingat bahwa suaminya pernah memarahinya. Sebaliknya, ia selalu lemah-lembut, sejak malam pengantin hingga wafatnya. Ia tak ingat pernah disuruh-suruh oleh suaminya. Bahkan, jika sudah membutuhkan sesuatu, biasanya sang suami akan mengungkapkan kebutuhannya dengan sindiran halus.

Suatu kali, misalnya, Imam Khomeini membutuhkan gamis baru karena yang lama sudah tak layak dipakai lagi. Maka katanya, “Adakah gamis berlebih di rumah ini yang bisa saya pakai?” Demikian pula kepada anak-anaknya. Ketegasannya dalam mendidik mereka tak pernah mengurangi kelemah-lembutannya kepada mereka. Ketegasan yang dikombinasikan dengan kelemah-lembutan memang selalu merupakan kesan yang ditangkap oleh siapa saja yang pernah bertemu dengan tokoh ini. Zahra Mustafavi, anak perempuannya yang kini profesor filsafat Islam di Universitas Teheran, mengingat bahwa ayahnya amat mempercayai anak-anaknya. Bahkan, sejak sebagai seorang anak perempuan remaja, ayahnya tak pernah banyak bertanya jika ia meminta izin keluar.

Melihat terkumpulnya berbagai sifat keutamaan dalam diri Imam Khomeini—kapan akan berlalu khususnya, kepribadian ke-'irfan-an kebijaksanaan, ketegasan, keprihatinan, dan terhadap nasib kaum papa dan tertindas—ini, salah seorang muridnya, Ayatullah Murtadha Muthahhari, menyatakan bahwa pribadi gurunya ini mengingatkan orang kepada Imam 'Ali ibn Abi Thalib, khalifah keempat dan imam, Pertama dalam tradisi Syi’ah Imamiyah.


Terjemahan Wasiat: Manusia dan Alam Semesta

Catatan Penyunting

Sayyid Ahmad Khomeini adalah satu dari 8 anak—tiga di antaranya meninggal ketika masih kanak-kanak—Ayatullah Khomeini. Satu-satunya kakak laki-lakinya yang berumur panjang adalah Hujjatul-Islam Sayyid Mustafa Khomeini. Tapi, seolah ditakdirkan sebagai pendamping ayahnya melewati berbagai tahap Revolusi, kakak laki-laki satu-satunya ini pun harus mati syahid akibat keterlibatannya mendukung perjuangan ayahnya. Memang, hingga sebelum syahadah-nya, Sayyid Mustafa adalah, di samping putra, salah seorang pembantu terdekat Ayatullah Khomeini. Begitu besarnya peran Sayyid Mustafa sehingga—seperti ayahnya—dia diasingkan ke Turki dan Irak oleh Syah Iran. Aktivitasnya yang seperti tak terbendung akhirnya mengantarnya kepada syahadah pada tahun 1977.

Hingga kematian kakaknya itu, Sayyid Ahmad masih seorang pelajar di madrasah. Meskipun demikian, ia bukannya tak mempunyai peran dalam perjuangan ayahnya. Meskipun demikian pula, kematian Sayyid Mustafa telah semua beban mendampingi Ayatullah Khomeini ke pundaknya. Di mana pun ada kegiatan yang terkait dengan perjuangan menentang Syah, di situ ada Sayyid Ahmad. Menurut riwayat, Sayyid Ahmad adalah seorang penasihat yang cakap, penjaga yang andal, seorang confidant (yang menjadi tempat mencurahkan perasaan dan rahasia), dan seorang murid pengikut yang penuh dedikasi kepada ayahnya.

Sepeninggal ayah yang amat dicintainya itu, Sayyid Ahmad memusatkan perhatian pada pelestarian pikiran-pikiran dan warisan-warisan keagamaan ayahnya, seraya tetap menjadi seorang partisipan dalam perjalanan Republik Islam Iran. Dia sempat memegang beberapa jabatan, baik formal maupun informal, termasuk menjadi salah satu anggota Dewan Penasihat (Syura-yi Maslahat) Republik Islam Iran.

Wasiat Ayatullah Khomeini yang diterjemahkan dibawah ini bertanggal 28 April 1982, dan diterbitkan pertama kali pada musim panas tahun 1992 oleh Mu’awenat-e Farhangi Hunariye Bunyad-e Shahid-e Inqilab-e Islami (Direktorat Kesenian dan Kebudayaan Yayasan Syuhada Revolusi), Teheran.


Pengantar dari Imam Khomeini

Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam. Semoga Salawat dan Salam tercurah kepada Muhammad dan Keluarga-Sucinya. Dan semoga laknat Allah menimpa musuh-musuh mereka.

Saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, Yang Satu, dan tak ada sekutu baginya. Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah abdi dan rasul-Nya; dan bahwa 'Ali, amir al-mu'minin, dan anak-keturunannya yang ma'shum ('alayhimus-salam) adalah para penerusnya; dan bahwa apa pun yang dibawa oleh Rasulullah adalah kebenaran; dan bahwa kubur, Kebangkitan, Surga, dan Neraka adalah benar; dan bahwa Allah akan membangkitkan siapa yang ada di dalam kubur.

Inilah wasiat dari seorang ayah yang telah tua, yang telah menyia-nyiakan hidupnya dalam kecongkakan tanpa mempersiapkan bekal bagi kehidupan yang kekal, tak pula mengambil langkah yang tulus di jalan menuju Rabb yang Penyayang. Tak jua ia terbebaskan dari perangkap godaan setan dan keburukan nafsu badani. Begitupun, ia tak berputus-asa dari keridhaan dan keagungan Rabb Yang Agung, dan menancapkan harapannya atas ampunan dan berkah-Nya, sebagai satu-satunya bekal perjalanannya. Wasiat ini ditujukan kepada seorang anak-lelaki yang menikmati anugerah kemudaan dan berada dalam posisi yang lebih baik untuk menyucikan dirinya dan mempersembahkan pelayanan kepada para makhluk-Nya. Diharapkan, seperti ayahnya ridha kepadanya, Allah juga akan ridha dengannya dan membantunya untuk mempersembahkan pelayanan kepada orang-orang papa dan tertindas—yang (sesungguhnya) adalah bagian bangsa yang paling mulia—seperti dianjurkan oleh Islam.


Ketergantungan Manusia kepada Allah

Ahmad Khomeini, Anakku! Semoga Allah menganugerahkan hidayah-Nya kepadamu. Entah dunia ini kekal dalam waktu atau tidak, dan entah rantai kemaujudan dan berujung atau tidak, semua kemaujudan itu faqir (bergantung kepada sesuatu yang lain) karena mereka bukannya ada dengan sendirinya.Jika kau amati segenap rantai-tak-berujung kemaujudan dengan cahaya akal, kamu akan mendengar jeritan kebutuhan dan kebergantungan (esensial)—untuk adanya mereka maupun penyempurnaan mereka. Mereka mengakui kebergantungan (mereka) kepada Yang Ada Dengan Sendirinya (dan) Yang Kesempurnaan-Nya adalah Milik-Nya Sendiri. Jika dengan suara akal engkau berbicara kepada rantai kemaujudan yang (secara esensial) bergantung itu, dan bertanya kepada mereka: “Wahai kemaujudan yang faqir, siapakah gerangan yang mampu memuasi kebutuhanmu?” maka mereka seluruhnya akan secara serempak menjerit dengan lisan fitrah mereka, “Kami butuh akan suatu Wujud yang tak bersifat faqir seperti kami, dalam hal keberadaannya maupun kesempurnaannya.”

Bahkan, lebih dari itu, fitrah mereka pun (sebenarnya) bukan milik mereka: Fitrah Allah yang atasnya Dia menciptakan manusia. Tak sekali-kali ada perubahan dalam (alam) ciptaan Allah. (QS Al-Rum [30]: 30).

Fitrah tauhid adalah dari Allah, dan apa saja yang dalam-dirinya bersifat bergantung (al-faqir bi al-dzat) tak akan bisa menjadi serba mencukupi-diri (ghani bi al-dhat). Perubahan seperti itu adalah sesuatu yang mustahil. Dan, karena mereka (secara esensial) bergantung dan membutuhkan, tak ada—kecuali Dia Yang Mencukupi-Diri—yang dapat mengatasi kebutuhan dan kepapaan mereka. Karena kepapaan ini bersifat esensial bagi mereka dan tak akan pernah bisa di atasi—entah rantai (kemaujudan) ini memiliki awal (abadi) dan kekal atau tidak. Dan, tak ada sesuatu pun selain-Nya yang dapat memuasi kebutuhan mereka. (Karenanya) apa pun yang memiliki keindahan dan kesempurnaan, kedua sifat itu bukanlah miliknya, melainkan pengejawantahan Kesempurnaan dan Keindahan-Nya. ...dan kalian tidak melempar ketika kalian melempar, tetapi Allahlah yang melempar. (QS Al-Anfal [8]: 17)

Hal ini benar berkenaan dengan semua tindakan, ucapan, dan perbuatan. Seseorang yang menangkap fakta ini dan memahami (secara intuitif) kebenaran ini tak akan terikat dengan siapa pun kecuali Dia dan tak akan meminta apa-apa dari siapa pun kecuali Dia. Cobalah menyelam ke dalam kilatan Ilahi ini dalam kesendirianmu dan bisikkan ke dalam telinga sang bayi yang ada di hatimu. Ulang-ulangilah hingga dia membuka lisannya untuk berbicara serta sinarnya menerangi wilayah jasadi (mulki) dan nirbendawi (malakut) kemaujudanmu. Ikatkan dirimu kepada Yang Mencukupi-Diri Secara Mutlak agar engkau dapat mencampakkan apa-apa yang selain-Nya. Kejarlah kemenangan persatuan (wushul) dengan-Nya agar Ia membebaskanmu dari apa saja termasuk dirimu sendiri, (dan kemudian Ia) menerimamu dalam hadirat-Nya, serta mengizinkanmu untuk masuk (ke dalamnya).


Alam Semesta sebagai Penampakan Allah

Anakku yang kukasihi, Dia, Subhanahu wa Ta'ala (Yang Mahasuci dan Tinggi), adalah Yang Pertama dan Terakhir, Yang Lahir (Tampak) dan Batin (Tersembunyi). (Persis seperti firmanNya): Dia Yang Pertama dan Terakhir, Yang Lahir dan Yang Batin. (QS Al-Hadid [57]: 3)

(Dalam sebuah doa diungkapkan):

“Adakah mungkin bagi yang selain-Mu memiliki penampakan yang Kau tak miliki sehingga ia dapat menampakkan-Mu. Kapan kiranya Kau telah tersembunyi sedemikian sehingga Kau mungkin memerlukan sesuatu untuk mengungkapkan-Mu? Dan kapan Kau pernah menjauh sehingga menjadi mungkin untuk mencapai-Mu lewat jejak-jejak-Mu (yakni, ciptaan-ciptaan-Mu)? Butalah mata yang tak menampak-Mu sebagai (bersifat) mengawasi-diri.”

(Atau seperti kata Furuqi Busthami):

“Kau tak pernah tak hadir sehingga aku perlu mau bertemu dengan-Mu. Tak pula Kau tersembunyi sehingga kuharus mencari-Mu.”

Dialah Yang Menampakkan-Diri dan apa saja yang menampakkan-diri adalah penampakan-Nya. (Sesungguhnya) diri kita sendirilah (yang menjadi) hijab, egoisme, dan ego kitalah yang mengalangi pandangan kita.

(Inilah keluhan Hafiz):

“Kaulah hijab-mu sendiri, wahai Hafiz, singkirkan dirimu.”

Aku memohon pertolongan kepada Allah, Subhanahu wa Ta'ala, dan memohon kepada-Nya dengan sungguh dan penuh seluruh untuk membebaskanku dari penutup-penutup-mataku ini.

(Seperti terungkap dalam sebuah doa yang lain):

“Ilahi, anugerahilah daku kepasrahan-total kepada-Mu, dan sinari mata-mata-hatiku dengan pancaran penglihatan kepada-Mu, hingga mata-mata-hati itu mengorak hijab-hijab (yang menutupi) cahaya itu dan mencapai sumber Keagungan-(Mu), dan (jadikan) ruh-ruh kami terpancang dalam ambang Kesucian-Mu. Ilahi, jadikan aku termasuk yang menyahut tatkala Kau memanggil mereka, dan yang ketika Kau menatap mereka, mereka pingsan (akibat terpana) oleh Kedahsyatan-Mu.”

Anakku, kita masih (terjebak) dalam perangkap hijab-hijab (yang menutupi) kegelapan, dan di baliknya adalah hijab-hijab (yang menutupi) cahaya. Dan kita, yang matanya masih tertutup, terperangkap di dinding jurang!


Al-Quran, Rasul, dan Para Imam

Anakku, jika kau bukan seorang pengembara di dunia ruhani, setidaknya berupayalah untuk tak menyangkali maqam-maqam keruhanian dan 'irfani. Karena, salah satu dari tipuan terbesar setan dan diri-badani, yang mengalangi manusia dari meraih berbagai maqam kemanusiaan dan keruhanian adalah mendorong-dorong manusia untuk menyangkali atau bah kan melecehkan pelancongan ruhaniah menuju Allah. Hal ini akan menyeret manusia untuk menafikannya. Sebagai akibatnya, matilah (potensi keruhanian kita) sebelum ia sempat tumbuh dan berkembang. Padahal, inilah tujuan semua nabi-besar ('alayhimus-salam), para wali yang mulia, dan semua kitab samawi, khususnya Al-Quran yang abadi.

Al-Quran, kitab (mengenai) ma’rifat (kepada) Allah dan pelancongan spiritual menuju-Nya, telah jatuh dalam pengabaian dan disalahtafsiri oleh sahabat-sahabat yang jahil akan arah (yang dituju)-nya. Ia menjadi korban pandangan-pandangan yang menyesatkan dan pendapat-pendapat subjektif—yang sesungguhnya dengan tegas dilarang oleh para Imam ('alayhimus-salam)—sedemikian rupa sehingga setiap orang menafsirkannya secara semaunya sendiri. Kitab yang agung ini diturunkan dalam suatu lingkungan yang paling gelap dan pada suatu masa yang didalamnya hidup orang-orang yang paling terbelakang. (Akan tetapi) Ia diwahyukan pada hati-ilahi milik seseorang yang hidup dalam masyarakat yang sama. Di dalamnya, terdapat kebenaran-kebenaran dan ajaran-ajaran yang tak pernah didapati sebelumnya di dunia pada masa itu, apalagi di lingkungan tempatnya diturunkan. Inilah mukjizat terbesar dan terluhur. Ia mengandung perkara-perkara 'irfani yang tak pernah didapati dalam karya-karya Plato dan Aristoteles—yang dianggap sebagai filosof-filosof terbesar masa itu.

Bahkan, para filosof Muslim, yang belajar dalam buaian Al-Quran suci dan (merasa) mengambil darinya, cenderung mengabaikan ayat-ayat yang secara tersurat menegaskan sifat-hidup seluruh kemaujudan di dunia. Dan, para 'arif besar Islam, yang meneguhkan pernyataan-pernyataan seperti ini, mereka-(lah) yang telah menyerap dari Al-Quran. Tak ada kitab lain yang mengandung jenis perkara-perkara mistikal seperti yang terkandung dalam Al-Quran.

Inilah mukjizat-mukjizat Rasul yang mulia, yang menghubungkan-diri dengan Sumber Wahyu sehingga sumber menyampaikan kepadanya rahasia-rahasia kemaujudan. Dia jugalah yang, tegak di puncak kesempurnaan manusia, menampakkan hakikat-hakikat itu dengan terang-benderang tanpa hijab yang mengalangi. Pada saat yang sama, Ia hadir di seluruh dimensi kemanusiaan dan tahap-tahap kemaujudan, dan merupakan pengejawantahan tertinggi dari: “Dia Yang Pertama dan Terakhir, Yang Lahir dan Yang Batin.”

Dengan demikian, ia (Rasul) menginginkan semua manusia untuk mencapai kesempurnaan. (Oleh karena itu) sungguh menyakitkan baginya untuk melihat bahwa mereka gagal mencapai kesempurnaan itu. Maka, boleh jadi ayat: Thaahaa. Tak Kami turunkan Al-Quran kepadamu agar kamu tertekan. (QS Th_ H_ [20]:1-2) secara tak langsung merujuk pada kenyataan ini. Dan boleh jadi, hadits Nabi berikut ini juga merujuk padanya: “Tak ada nabi yang dibuat untuk menderita siksaan (batin) sepertiku”.

Orang-orang yang mencapai maqam seperti itu, atau yang mirip dengannya, tak akan pernah menarik-diri dari orang-orang (masyarakat). Malah, sebaliknya, mereka dibebani (tugas) untuk membimbing orang-orang yang tersesat dan mengakrabkan serta menyelaraskan mereka dengan penampakan-penampakan (Allah) itu meski (mungkin) mereka tak berhasil. Orang-orang yang mencapai maqam-maqam tertentu—yang sehirup (minuman dari gelas 'irfan) telah membuat mereka lupa diri dan pingsan—meski mereka mencapai kesempurnaan-kesempurnaan tertentu, mereka tak dapat menggapai pengetahuan yang paling puncak. Musa, 'alayhis-salam, jatuh pingsan oleh penglihatan akan penampakan Allah, tetapi kemudian pulih berkat kemurahan hati dan (kemudian) ditugaskan melayani (orang-orang). (Tapi), sang Nabi penutup, dengan mencapai maqam tertinggi (yang biasa dicapai oleh) manusia dan berada di luar khayalan siapa pun, menjadi penampakan asma-asma Ilahi yang Mahabesar dan Mencakup. Lalu, ia ditugaskan membimbing (orang-orang) dengan kata-kata ini, Wahai orang yang berselimut, bangun dan sampaikan peringatanmu. (QS Al-Muddatstsir [74]: 1-2)

Anakku yang kukasihi, itu semua aku sampaikan—meski aku bukan apa-apa, bahkan lebih rendah dari itu—agar engkau tak sampai ke mana-mana (dalam perjalanan spiritualmu), setidaknya jangan menyangkali (hakikat) maqam-maqam spiritual dan ajaran-ajaran Ilahi. Cobalah untuk menjadi salah satu di antara orang-orang yang bersahabat dengan orang-orang saleh dan 'arif—meski kamu bukan salah seorang dari mereka. Dan jangan meninggalkan dunia ini dengan perasaan bermusuhan dengan teman-teman Allah Ta'ala.

Anakku, akrabkan dirimu dengan Al-Quran, kitab-agung pengetahuan ini, meski hanya dalam bentuk membacanya (tanpa mempelajarinya). Dengan demikian, engkau telah membangun hubungan dengan Yang Terkasih. Jangan berpikir bahwa membaca saja tanpa pemahaman (ma’rifah) adalah tak ada gunanya. Kesan seperti itu adalah hasutan setan. Bukankah ini adalah kitab yang datang dari Yang Terkasih untuk semua orang, termasuk untukmu Anakku! Surat dari Yang Terkasih amatlah indah meski si pencinta tak tahu maknanya. Dengan hasrat seperti itu, cinta Yang Terkasih, yang adalah kebaikan tertinggi, akan menyapamu dan, siapa tahu, Ia mungkin mengulurkan tangannya. Bahkan, jika kita harus bersujud sepanjang umur kita sebagai tanda terima kasih karena memiliki Al-Quran sebagai kitab-suci kita, itu masih tak mencukupi.

Anakku, doa-doa dan wirid-wirid yang telah sampai kepada kita lewat para Imam yang ma'shum adalah petunjuk-petunjuk bagi (upaya kita untuk) mengenal-Nya, 'Azza wa Jalla. Inilah cara yang paling luhur untuk menggapai kehambaan ('ubudiyah) dan hubungan antara Allah dan ciptaannya. Doa-doa dan wirid-wirid itu mengandung ajaran-ajaran Ilahi dan cara-cara untuk mencapai keintiman dengan-Nya. Malah, semuanya itu merupakan buah-tangan dari rumah tangga-kenabian (ahl bait al-nubuwwah) dan mencerminkan keadaan (hal-hal) orang-orang yang memiliki (mata)-hati dan para pelancong (di jalan menuju Allah). Jangan sampai hasutan orang-orang yang lalai menjauhkanmu dari mendapatkan manfaat dari semuanya itu dan—kalau engkau memang memiliki kemampuan untuk itu—dari menjadikannya bagian dari hidupmu. Kalaupun kita membaktikan seluruh hidup kita untuk menyampaikan terima kasih kepada para Imam—yakni orang-orang yang jiwanya telah terbebaskan itu—sebagai pembimbing kita, itu semua tak cukup.

Pada tahap ini, berdiri di ambang kematian dan menarik napas terakhir kehidupanku, nasihatku bagimu yang menikmati anugerah kemudaan adalah pilihlah sebagai teman dan sahabat orang-orang yang jiwanya telah terbebas, setia pada Islam, dan cenderung pada keruhanian. Yakni orang-orang yang tak memiliki kecenderungan pada dunia dan kemilaunya, yang tak mengejar harta duniawi melebihi yang biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya, yang pertemuan-pertemuan dan pesta-pestanya tak terkotori oleh dosa dan (orang-orang) yang memiliki akhlak luhur. Akibat dari pertemanan dan persahabatan adalah, satu di antara dua, baik atau buruk. Berupayalah untuk menjauh dari pertemuan-pertemuan yang bisa membuat seseorang lalai dari Allah. Menjadi akrab dengan pesta-pesta seperti itu akan menyeret seseorang untuk menyia-nyiakan kapasitas (potensi) peluang pertumbuhan ruhaniah—suatu kerusakan yang tak dapat dipulihkan.


Catatan Kaki

Seluruh penerjemahan dalam buku ini dilakukan oleh Penyunting. Mengingat panjangnya kalimat-kalimat yang digunakan oleh Imam Khomeini, di tempat-tempat yang mungkin, penyunting melakukan pemotongan. Selain itu, untuk memperlancar struktur kalimat bahasa Indonesia, kadang-kadang penyunting merasa perlu menambahkan kata-kata di dalam kurung. Semuanya itu dilakukan, tentu saja, dengan tetap memelihara makna --bahkan gaya-- yang hendak disampaikan oleh penulisnya.

Selain subbab terakhir yang merupakan hasil bacaan penyunting, sub-subbab lainnya dari Pendahuluan ini disarikan oleh penyunting dari beberapa tulisan Hamid Algar --seorang profesor di Berkeley University, California, serta peneliti tentang Iran dan Republik Islam Iran-- yang dilengkapi dengan bahan-bahan yang diperoleh dari berbagai sumber.

Perhatikan ungkapan yang digunakan Imam Khomeini ini dalam menunjukkan kepada kita betapa kita berada dalam hijab yang berlapis-lapis. Sudah tertutup mata kita, mata kita --yang tertutup itu-- masih terhalang dinding jurang, masih pula diantarai dengan hijab, yang di sebaliknya (masih) ada kegelapan, sedangkan disebaliknya lagi ada lagi hijab, yang menutupi cahaya yang seharusnya kita dambakan itu.

Beberapa paragraf paling belakang dari wasiat ini mencakup dua hal yang berkaitan:

Pertama, Imam Khomeini menegaskan posisi-sentral tasawuf 'irfan dalam Islam, menentang keberatan sementara kelompok kepadanya. Perlu diingat bahwa, di kalangan Syi'ah sendiri, banyak ulama yang menentang 'irfan. Pernah mereka memperdebatkan tentang boleh-tidaknya salah seorang guru Imam Khomeini --Shahabadi?-- dishalatkan jenazahnya karena keimanannya diragukan. Apa alasannya? Karena dia memujikan 'irfan! Imam Khomeini sendiri diriwayatkan pernah dilempari batu oleh sekelompok anak, yang disuruh oleh sekelompok orang, ketika dia pulang dari mengajar murid-muridnya tentang 'irfan --waktu itu, karya-karya Ibn 'Araby. Padahal, menurut Imam, Al-Quran jelas memujikan dan mengandung perkara-perkara 'irfani yang amat subtil/lembut.

Kedua, sentral dalam ajaran 'irfan Al-Quran adalah --seperti diajarkan dalam wahdah wujud Ibn 'Araby-- bahwa seluruh alam semesta adalah penampakan (tajalliy) Allah. Allah menampakkan-diri di mana-mana karena, pada hakikatnya, hanya Allah-lah Yang Tampak --seperti ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Quran. Hubungan keduanya adalah seperti hubungan matahari dan pancaran-sinarnya. Dengan demikian, semua kemaujudan pada hakikatnya bersifat hidup --meski kehidupannya sepenuhnya bergantung kepada-Nya. Dalam kaitan ini, Muhammad Saw. adalah penampakan paling sempurna dari Allah Swt. Dialah sang Insan Kamil. Pada saat yang sama, nur-Muhammad juga ada di mana-mana. Wallahu a'lam.

Maksud penulisnya, pembahasan ini sedikit banyak menyederhanakan masalah yang sebenarnya rumit. Lagi-lagi, ini adalah bagian pandangan wahdah al-wujud, yakni bahwa yang buruk itu mengambil "wujud" ketidakberadaan. Dan, sebagai demikian, dia bukanlah Allah karena Allah haruslah ada. Bahkan yang ada hanyalah Allah. Catatan ringkas ini setidaknya menjelaskan apa yang dimaksud penulisnya dalam kalimat terakhir di atas, yakni bahwa masalahnya tak sesederhana itu.


Kecintaan Manusia pada Kesempurnaan

Anakku, ketahuilah bahwa dalam diri manusia --kalau bukan dalam semua kemaujudan-- terdapat suatu kecintaan bawaan dan tak dapat disangkal akan kesempurnaan mutlak, dan kecintaan akan persatuan dengan Allah. Adalah mustahil bagi kesempurnaan mutlak berjumlah dua atau lebih. Kesempurnaan mutlak itu adalah Allah, 'Azza wa Jalla, yang kepada-Nya semua orang mengejar dan mencintai-Nya sepenuh hati, meski orang itu boleh jadi tak mengetahui (bahwa dia mencintai-Nya) akibat keberadaannya dalam perangkap hijab-hijab kegelapan dan cahaya.

Anakku, dalam keadaan mata tertutup, mereka membayangkan bahwa mereka mencari sesuatu yang lain. Akan tetapi, jika meraih suatu kesempurnaan, keindahan, atau maqam, mereka tak terpuasi dengan pencapaian mereka dan tak mendapatkan yang mereka cari. Suatu kekuasaan, bahkan kekuasaan adidaya, seberapa pun besarnya derajat kekuasaan yang mereka raih, (selalu) mencari kekuasaan yang lebih besar dari itu. (Demikian pula), ketika pencari ilmu telah mencapai suatu derajat tertentu pengetahuan, mereka (akan) terus mengejar derajat lebih tinggi karena (merasa) tidak menemukan tujuan yang dikejarnya dalam (derajat yang sudah dicapainya itu), yang tak mereka sadari. Jika sang pencari kekuasaan diberi kekuatan untuk menguasai seluruh dunia bendawi, termasuk benua-benua, tata surya, dan galaksi-galaksi, atau apa pun yang ada disebaliknya, kemudian ditanya; "(Sebenarnya) masih ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka ini dan ada pula dunia-dunia di sebalik yang ini; maukah kamu juga memiliki kekuasaan-kekuasaan dan dunia-dunia itu?"

Adalah mustahil bagi mereka untuk tidak memiliki keinginan itu. Sebagai gantinya, dengan suara fitrah, mereka akan berkata, "Wahai, betapa senangnya jika aku bisa menaklukkannya juga." Seperti ini pula halnya orang-orang yang mengejar pengetahuan. Jika mereka menengarai adanya suatu derajat pengetahuan yang lebih tinggi dibanding dengan yang telah mereka miliki, sifat mencari-mutlak mereka akan berkata, "Aku berharap (derajat yang lebih tinggi) itu ada, dan aku memiliki kemampuan untuk meraihnya, atau pengetahuanku bisa mencakupnya." Yang bisa memuaskan semua orang dan memadamkan api-api jiwa pemberontak dan tak-terpuasi yang menyala-nyala itu adalah untuk sampai kepada-Nya, 'Azza wa Jalla, dan mengingatnya dalam makna yang sebenarnya. Inilah yang akan menciptakan ketenteraman dan kepuasan karena sesungguhnya ia (hati?-Ym) adalah penampakan-Nya. "(Hanya) dengan mengingat Allahlah hati akan menjadi tenteram." (QS Al-Ra'd [13]: 28)

Dengan itu, Anakku, seolah-olah (Allah SWT) berkata, "Perhatian! Perhatian! Benamkan dirimu dalam ingat (dzikr) kepada-Nya agar hatimu yang terus berkelana dan galau, yang terbang dari satu dahan ke dahan lain, dapat menemukan kedamaian."


Cinta-diri sebagai Hijab antara Manusia dan Allah

Maka, Anakku yang kukasihi --semoga Allah membantumu dalam memperoleh kedamaian lewat mengingat-Nya-- dengarkanlah wasiat dan nasih at dari seorang ayah yang kebingungan dan galau ini. Jangan sekali-kali mencoba untuk melakukan berbagai upaya untuk meraih jabatan, ketenaran, atau memuaskan nafsu badani apa saja. Sebab jika meraih suatu jabatan, engkau akan merasa menyesal karena tak meraih (jabatan) yang lebih tinggi lagi. Hal itu akan membuatmu serakah akan sesuatu yang melebihinya dan, (pada gilirannya), akan membawa kekecewaan dan melipatgandakan kegusaranmu. Jika engkau bertanya kepadaku, "Mengapa engkau tak menasihati dirimu sendiri?" Maka jawabannya adalah, "Lihatlah pada apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan." Semua ini adalah kata-kata yang benar meski keluar dari mulut seorang gila.

Dalam Al-Quran yang mulia, setelah menyatakan, "Tak ada musibah yang menimpa di atas bumi ini atau dalam hatimu kecuali ia telah tercatat di dalam sebuah Kitab sebelum Kami menciptakan (musibah) itu." (QS Al-Hadiid [57]: 22)

Allah SWT. menyambung, "... agar engkau tak menjadi kecewa mengenai apa-apa yang lepas darimu, dan engkau tak bergembira atas apa-apa yang telah datang kepadamu. Allah tak menyukai orang-orang yang congkak dan omong-besar." (QS Al-Hadiid [57]: 23)

Anakku, manusia terbuka terhadap kemungkinan (mengalami) pancaroba dalam dunia ini. Kadang-kadang nasib buruk menimpanya dan, pada saat yang lain, dunia berbaik-hati kepadanya, yang berkat itu ia boleh jadi meraih kekayaan dan prestise sosial, kekuasaan, dan rezeki. Tak satu pun di antara keduanya yang lestari. Jangan biarkan kekurangan-kekurangan dan kesusahan-kesusahan hidup membuatmu bersedih sehingga menghabiskan kesabaranmu. Engkau harus selalu ingat bahwa, kadang-kadang, nasib buruk dan kekurangan membawa-bersamanya apa-apa yang baik dan bermanfaat bagimu, "Boleh jadi, engkau tak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu." (QS Al-Baqarah [2]: 216)

Jangan pula biarkan kesuksesan dan prestasi duniawi, yang dielu-elukan oleh nafsu-badani, membuatmu kehilangan kendali atas dirimu, dan mendorongmu untuk memperlakukan ciptaan Allah dengan kecongkakan. Bisa saja apa yang kamu anggap baik akan ternyata buruk bagimu.

Anakku, yang tercela dan merupakan sumber seluruh kerusakan, kejahatan, dan kehancuran serta merupakan akar seluruh kesalahan adalah kecintaan pada dunia, yang tumbuh dari cinta-diri. Dunia material (mulk) ini pada dirinya sendiri tidak tercela karena ia merupakan penampakan Allah dan Kerajaan-Nya, tempat turunnya para malaikat, seperti juga tempat para nabi, 'alayhimus-salam, dididik dan sujud kepada Allah. Dunia ini adalah kenisah (tempat ibadah) bagi orang-orang saleh dan suatu tempat yang di dalamnya Kebenaran diwahyukan ke dalam hati-hati para pencinta Kekasih-Hakiki.

Sejalan dengan itu, jika kecintaan pada (dunia material) ini bersumber dari kecintaan kepada Allah, dan dunia ini dipandang sebagai penampakan-Nya 'Azza wa Jalla, cinta seperti itu akan menjadi sesuatu yang terpuji dan sesuai dengan kesempurnaan. Sebaliknya, jika cinta-diri merupakan sebab kecintaan pada dunia, cinta seperti itu akan menjadi sumber segala kesalahan. Jadi, dunia yang tercela ada dalam dirimu. Seluruh keterikatan hati kepada yang selain dari Pemilik hati itu akan menjadi penghalang. Cinta-diri adalah sebab seluruh penentangan kepada Allah dan pengumbaran dalam dosa, kejahatan, dan pengkhianatan. Segala macam cinta dunia dan kemilaunya, termasuk kecintaan pada status sosial, reputasi, kekayaan, kekuasaan, dan sebagainya, tumbuh dalam cinta-diri.

Anakku, meski secara alami tak ada hati yang dapat mengembangkan keterikatan kepada yang selain dari Rabb-sejatinya, layar-layar (yang menutupi) kegelapan dan cahaya, yang menjadikan kita lalai kepada Rabb-sejati dan membuat kita menyangka yang lain sebagai Sang Kekasih. Itulah kegelapan atas kegelapan. Kita dan yang sesama kita sejauh ini belum lagi mencapai layar-layar (yang menutupi) cahaya dan masih berada dalam perangkap layar-layar (yang menutupi) kegelapan. Orang-orang yang meninggalkan layar-layar kegelapan bersenandung:

"Ilahii, anugerahilah daku kepasrahan-total kepada-Mu, dan sinari mata-mata-hatiku dengan pancaran penglihatan kepadamu hingga mata-mata-hati itu mengoyak hijab-hijab (yang menutupi) cahaya itu dan mencapai sumber Keagungan-(Mu), dan (jadikan) ruh-ruh kami terpancang dalam ambang kesucian-Mu. Ilahii, jadikan aku termasuk yang menyahut tatkala Kau memanggil mereka, dan yang ketika Kau menatap mereka maka mereka pingsan (akibat terpana) oleh kedahsyatan-Mu."

Iblis, Setan yang membangkang kepada Allah dengan menolak bersujud kepada Adam, pada kenyataannya, adalah tawanan dalam hijab gelap (yang menutupi) kecongkakannya. Yakni ketika ia mengatakan, "Saya lebih baik daripada dia: Kau menciptakanku dari api, dan dia dari lempung." Dia diusir dari hadirat Ilahi. Mirip dengan itu, selama kita masih tetap tinggal ter-hijab oleh cinta-diri, egoisme, dan pemuasan-diri, kita juga bersifat setani dan terusir dari hadirat yang Maha Pengasih, tetapi, wahai, betapa sulitnya upaya untuk menghancurkan berhala besar ini, ibu dari segala berhala. Selama menaatinya, kita tak akan menaati Allah dan pasrah kepada-Nya, 'Azza wa Jalla. Selama berhala ini tak dihancurkan, hijab-hijab gelap itu tak akan pernah terangkat dan tercampakkan.

Pertama, Anakku, kita mesti tahu apa itu hijab. Jika tak tahu apakah ia itu, kita tak akan mampu untuk mencampakkannya sepenuhnya, bahkan sebagiannya pun. Menurut salah sebuah hadits, suatu ketika para sahabat berkumpul bersama Nabi SAWW. Mereka mendengar suara yang amat keras. Para sahabat pun bertanya kepadanya Saw. Sang Nabi menjawab, "Itu tadi adalah (suara) batu, yang telah mulai menggelinding dari tubir neraka tujuh puluh tahun yang lalu, dan sekarang ia telah mencapai dasar neraka." Tak lama setelah itu, mereka mendengar bahwa seorang kafir yang berumur tujuh puluh tahun baru meninggal dunia. Jika hadits ini sahih, para sahabat yang mendengar suara itu sesungguhnya telah sampai pada suatu maqam ruhaniah, atau mereka telah dibuat mendengar suara itu lewat perantaraan Rasulullah Saw., sebagai peringatan bagi yang lalai dan pelajaran bagi yang jahil. Bahkan, jika hadits tadi tidak sahih --saya tak ingat redaksi-persisnya-- ia (tetap) merujuk pada suatu fakta bahwa (sesungguhnya) kita terus berjalan menuju neraka selama hidup kita.

Sepanjang hidup, kita melaksanakan shalat, yang merupakan zikir terbesar kepada Allah Ta'ala dengan punggung kita mengarah kepada Tuhan, 'Azza wa Jalla, dan Rumah-Nya seraya mengarah pada kenisah (tempat ibadah) ego kita. Sungguh patut disesali bahwa shalat kita, bukannya menjadi (wahana) mi'raj yang mengantar kita kepada-Nya dan pada surga tempat pertemuan dengan-Nya, ia justru membawa kita ke pengasingan-neraka.

Anakku, perumpamaan ini (aku buat) bukanlah untuk tujuan (menjadikan) orang-orang seperti aku dan engkau meraih pengetahuan tentang Allah dan menyembah-Nya sebagaimana ia layak disembah. Karena, (bahkan) makhluk yang paling kenal Allah dan hak-hak-Nya untuk disembah dan dilayani telah menyatakan, "Kami tak mengenal-Mu sebagaimana Engkau layak dikenal, dan kami tak menyembah-Mu sebagaimana Engkau layak disembah." Pernyataan ini harus membuat kita menyadari ketakmampuan kita dan menangkap ketakbernilaian diri kita. Ia mesti membuat kita segera (berupaya) menyangkal egoisme dan egotisme kita, dan menjadikan kita (siap) menaklukkan raksasa yang keras-kepala ini. Mudah-mudahan, kita dapat berjaya untuk mengendalikannya dan menyingkirkan suatu bahaya besar --yang pikiran tentangnya saja menyiksajiwa kita.

Sungguh, Anakku, bahaya cinta-diri dan cinta dunia dengan segala konsekuensinya dapat menimpa seseorang dalam momen-momen terakhir ketika ia meninggalkan dunia ini menuju tempat tinggal yang kekal. Pada saat itu, di ambang kematian, ketika fakta-fakta tertentu terungkap baginya, ia akan mendapati (malaikat) pesuruh Allah siap memisahkannya dari kecintaannya, dunia ini. Dalam keadaan seperti itu, ia akan meninggalkan dunia ini dengan kebencian dan kemarahan kepada Allah, 'Azza wa Jalla. Inilah akibat cinta-diri dan cinta dunia. Masalah ini juga telah dirujuk dalam hadits-hadits.

Seorang saleh dan bisa dipercaya suatu kali pernah meriwayatkan kepadaku suatu kejadian. Katanya, "Suatu kali, aku berada di sisi pembaringan seseorang yang sedang berada di ambang kematiannya. Si orang yang sedang sekarat itu berkata, 'Tak ada yang telah begitu banyak menganiayaku seperti Allah yang kini sedang akan memisahkanku dari anak-anakku yang telah aku besarkan dengan amat susah-payah.' Aku pun bangkit dan meninggalkan tempat itu tak lama setelahnya." Mungkin kata-kata yang aku pergunakan agak berbeda dari persisnya kata-kata yang digunakan oleh si pembawa cerita yang saleh dan terpelajar itu. Betapapun, jika yang saya ceritakan itu memiliki kemungkinan benar, perkara ini amatlah penting sehingga kita harus dapat mencari jalan keluar dari persoalan ini.

Anakku, jika sesaat kita renungkan kemaujudan-kemaujudan yang ada di dunia ini, termasuk diri-diri kita, kita akan tahu bahwa tak ada kemaujudan yang memiliki sesuatu yang (benar-benar) miliknya sendiri. Apa saja yang kita punyai (sesungguhnya) adalah anugerah dan nikmat Ilahi yang diberikan Allah entah sebelum kita hadir di dunia ini atau selama jangka waktu kehidupan kita sejak bayi hingga kematian, bahkan setelah kematian. Lewat para pembimbing yang (oleh Allah) telah ditugasikan membimbing kita, boleh jadi secercah cinta Allah, yang mungkin sekarang kita hampa darinya, dapat hadir dalam diri kita dan memungkinkan kita untuk memahami ketakbernilaian dan kemiskinan kita serta menemukan jalan menuju-Nya, 'Azza wa Jalla. Atau sedikitnya hal itu dapat memampukan kita untuk terselamatkan dari pengkhianatan oleh (kecenderungan) penyangkalan (kita) yang mendorong seseorang untuk menganggap penyangkalan pada ajaran-ajaran dan penampakan-penampakan Ilahi sebagai persoalan kebanggaan dan prestise dan, dengan demikian, (membuat kita) tetap tinggal dalam jurang egoisme dan cinta-diri selamanya.

Diriwayatkan bahwa, suatu kali, Allah meminta salah seorang dari para nabinya untuk menunjukkan seseorang yang menurut anggapan si nabi lebih rendah daripadanya. Setelah menemukan seekor keledai mati, ia menyeret bangkainya beberapa langkah. Tapi, segera saja ia dicengkam oleh rasa malu. Dalam keadaan seperti itu, ia pun diberi tahu: "Kalau saja kamu jadi membawanya (kepadaku), kamu sudah akan kehilangan maqam kenabianmu." Aku tak tahu apakah riwayat ini sahih. Tapi, boleh jadi, dalam maqam para Nabi, suatu perasaan keunggulan --bahkan (hanya) sebatas itu-- bermakna sejenis egoisme dan cinta-diri. Dan, ini biasa membawanya pada kejatuhan.


Kecintaan Rasul kepada Makhluk Allah

Coba pikirkan, Anakku, mengapa Sang Rasul Penutup, SAWW., merasakan kesedihan yang begitu mendalam dan kegusaran hebat ketika mendapat keengganan kaum pelbegu (penyembah berhala) untuk memeluk Islam sehingga kepadanya dikatakan, "Apakah jika mereka tak percaya pada berita ini, engkau akan memusnahkan-dirimu, mengikuti jejak mereka, karena kesedihan?" (QS Al-Kahfi [18]: 6)

Dia, SAWW., memang mencintai semua kemaujudan. Dan, (memang) kecintaan kepada Allah berarti kecintaan pada semua penampakan-Nya. Dia sedih ketika mendapatkan bahwa layar-layar-gelap egoisme dan cinta-diri telah menyeret orang-orang yang membangkang itu pada kehancuran dan pada siksaan neraka yang menyakitkan sebagai akibat ulah-ulah mereka sendiri.

Dia, SAWW, memang selalu mengharapkan kebaikan bagi semua karena memang ia diutus untuk membawa kebahagiaan bagi semua. Para penyembah berhala dan pembangkang itu bersikap bermusuhan kepadanya meski ia telah datang untuk menyelamatkan mereka. Jika berhasil menghasilkan secercah cinta di dalam diri kita pada penampakan-penampakan Allah seperti itu --suatu sifat yang memang merupakan ciri para wali yang menginginkan kebaikan untuk semua-- kita boleh yakin bahwa kita telah mencapai salah satu maqam kesempurnaan. Semoga Allah, dengan kasih dan sayang-Nya dan dengan rahmat-khusus-Nya bagi kedua dunia (yang dimaksud dengan rakhmat bagi dua dunia ini adalah Nabi SAWW.- Ym) berkenan memberikan kehidupan bagi hati-hati kita yang telah mati.

Orang-orang yang memiliki pemahaman (ma'rifah) amatlah sadar bahwa salah satu ciri orang beriman adalah perlawanan-Nya terhadap orang kafir dan sikap keras kepada mereka. Inilah suatu rahmat terselubung dari Allah (bagi orang-orang kafir itu). Bersama setiap detik dari hidup mereka, hukuman bagi orang-orang kafir dan mursal ini meningkat terus, secara kuantitatif maupun kualitatif, suatu peningkatan yang tak ada batasnya. Sejalan dengan itu, segala sesuatu yang bisa menghabisi hidup orang-orang yang tak mungkin diperbaiki ini adalah suatu rahmat yang terselubung dan anugerah yang tersamar. Di samping itu, hal ini juga bermanfaat untuk masyarakat karena seseorang yang merusak masyarakat (yang di dalamnya ia hidup) adalah seperti bagian tubuh manusia (yang rusak), yang kalau tak diangkat bisa menyebabkan kematian. Persis inilah yang diminta oleh nabi Nuh, 'alayhis-salam, kepada Allah Ta'ala, Dan Nuh pun berkata, "Ya Rabbi! Jangan sisakan satu pun dari orang-orang kafir itu di atas bumi. Karena, jika Engkau sisakan (satu saja di antara) mereka, mereka pasti akan menyesatkan para hamba-Mu dan tak akan melahirkan selain anak yang maksiat dan sangat kafir.(QS Nuh [71]: 26-27) Dan Allah pun berfirman dalam hal ini, Dan perangilah mereka agar tak ada lagi fitnah (kekacauan). (QS Al-Baqarah [2]: 193) Dengan keinginan seperti itu, semua hukuman, yakni hudud, qishash, dan ta'zirat, mesti dilihat sebagai berkah dari Yang Maha Pengasih bagi sang penjahat dan masyarakat sekaligus.

Anakku, dengan perenungan dan sugesti-diri, cobalah mengamati semua kemaujudan pada umumnya dan manusia pada khususnya dengan penuh kasih sayang. Bukankah kasih Sang Rabb (Pemelihara) Dunia ini meliputi semua makhluk? Bukankah wujud dan kehidupan, dan seluruh rezeki yang terkait dengannya adalah bagian dari kasih dan anugerah Ilahi? Maka katakanlah, "Kullu mawjudin marhum" (Seluruh kemaujudan itu menikmati kasih Ilahi).

Adakah mungkin wujud tergantung (wujud mumkin) untuk memiliki sesuatu yang merupakan miliknya, atau meraih sesuatu dari suatu wujud yang juga tergantung seperti dirinya? Jelaslah bahwa kasih Yang Maha Penyayang meliputi seluruh alam. Jika Allah adalah Sang Raja-Pemelihara (Rabb) sekalian alam dan Kepemeliharaan (tarbiyah)-Nya bersifat universal, adakah Kepemeliharan-Nya ini merupakan perwujudan Kasih-Nya? Dapatkan kasih dan kepemeliharaan bersifat universal tanpa barakah dan perhatian ('inayah?) yang bersifat universal pula?

Sejalan dengan itu, tidakkah seharusnya semua yang mendapatkan barakah dan perhatian Ilahi juga mendapatkan cinta kita? Dan jika kita tidak mencintai mereka, tidakkah ini merupakan kelemahan kita? Tidakkah ini (merupakan cerminan sifat) cupat-pikiran dan rabun-jauh (kita)?


Kecintaan Fitri Manusia kepada Allah

Sungguh, Anakku, saya sudah tua sekarang dan (saya) telah gagal untuk mengatasi cacat-cacat dan tak terhitung kekurangan-kekurangan. Akan tetapi, engkau masih muda dan lebih dekat ke dunia Kasih Ilahi dan keruhanian. Usahakanlah untuk mengatasi cacat ini. Semoga Allah menolongmu dan menolong kita semua untuk mengangkat layar ini dan (untuk) bertindak sejalan dengan fitrah-pemberian-Allah kita. Aku telah menyinggung masalah ini. Sekarang, aku hendak memberi suatu isyarat yang dapat membantumu untuk mengangkat hijab ini.

Berkat sifat-Ilahi (yang ada dalam diri) kita, maka kita mencintai kesempurnaan mutlak. Akibat cinta ini adalah (kita) mencintai semua kesempurnaan. Pada gilirannya, ini merupakan cerminan kesempurnaan mutlak. Salah satu prasyarat sifat ini adalah menghindari ketaksempurnaan mutlak yang, pada gilirannya, mensyaratkan (agar kita) menghindari segala cacat dan kekurangan. Oleh karena itu, kita secara tak sadar adalah pencinta-pencinta Allah, yang (Dia-Nya) adalah kesempurnaan mutlak. Kita pun adalah pencinta akibat-akibat (yang mengalir daripada)-Nya, yang adalah penampakan-penampakan dari kesempurnaan mutlak. Apa saja dan siapa saja yang kita hindari dan musuhi bukanlah kesempurnaan, bukan pula kesempurnaan mutlak. Ia adalah cacat atau cacat mutlak --yang bertentangan dan berlawanan dengan kesempurnaan dan kesempurnaan mutlak.

Anakku, lawan kesempurnaan adalah ketidakberadaannya. Kita tak dapat memahami fakta ini karena kita adalah penjara (dalam) hijab. Jika (hijab) itu terangkat (maka kita akan mengetahui) bahwa apa saja yang datang dari Allah, 'Azza wa Jalla, adalah tercinta (mahbub), dan apa saja yang tidak disukai adalah bukan dari Dia dan, karena itu, tak memiliki keberadaan. Engkau harus tahu bahwa, dalam merujuk kepada hal-hal yang bertentangan itu sebenarnya ada (hal-hal) yang telah kita abaikan.

Masalah-masalah yang disebutkan sebelum ini adalah sejalan dengan bukti-bukti metafisis dan intuisi mistikal. Isyarat-isyaratnya pun terdapat dalam Al-Quran yang mulia. Meskipun demikian, mempercayai dan mengimaninya bukanlah suatu tugas yang mudah. Banyak orang yang menyangkalinya, sementara hanya sedikit yang mempercayainya. Bahkan pun orang-orang yang menunjukkan kebenarannya lewat bukti-bukti rasional tak juga (benar-benar) mempercayainya. Kepercayaan kepada hakikat seperti ini hanya mungkin lewat upaya keras dan perenungan.


Antara Filsafat dan 'Irfan

Anakku, klaim bahwa adalah mungkin untuk percaya pada fakta-fakta tertentu yang tidak berdasar bukti-bukti rasional tampak sulit dipercaya atau tak berdasar. Tapi, orang mesti tahu bahwa ini adalah perkara keyakinan-batin. Dan Al-Quran telah mengisyaratkan hal ini seperti, dalam ayat-ayat mulia Surah Al-Takatsur (yakni sehubungan dengan penggunaan dua istilah—yakni 'ilm al-yaqin dan 'ayn al-yaqin—yang bisa difahami sebagai merujuk kepada, masing-masing, pengetahuan rasional dan keyakinan-batin tersebut—Ym).

Mari kita ambil contoh. Engkau tahu bahwa tubuh yang telah mati tak bisa bergerak dan bisa mencelakakan. Bahkan seekor lalat adalah lebih aktif ketimbang ribuan tubuh yang telah mati. Juga sudah pasti bahwa tubuh-tubuh yang telah mati itu tak akan hidup kembali hingga hari kebangkitan. Tapi, hanya sedikit orang yang bisa tidur nyenyak jika mereka harus tidur sendirian bersama seonggok mayat. Ini hanya mungkin terjadi karena hatimu tak percaya pada pengetahuanmu dan kau tak memiliki keyakinan kepadanya. (Sedangkan) orang-orang yang memang profesinya adalah tukang memandikan mayat, yang dalam diri mereka telah terbentuk keyakinan—akibat lamanya ia dalam pekerjaan ini—bahwa mayat tak bisa mencelakakan, dapat tinggal sendirian bersama mayat tanpa rasa takut sedikit pun.

Kaum filosof membuktikan Kemahahadiran Allah dengan argumen-argumen rasional. Tapi, selama apa saja yang telah dibuktikan oleh akal dan argumen tak mencapai hati, (akal) itu tak memiliki kepercayaan kepadanya. Oleh karena itu, orang seperti ini gagal dalam menaati adab (dalam) Kehadiran Allah. Kenyataannya, orang yang memenuhi hatinya dengan Kehadiran Allah dan memiliki kepercayaan kepada-Nya, meski mungkin mereka tidak akrab dengan argumen-argumen filosofis, akan membuat mereka menerapkan adab (berada dalam) Kehadiran Allah dan menahan-diri dari melanggar (adab) Kehadiran Tuhan itu. Oleh karena itu, upaya-upaya akademis, termasuk filsafat dan ilmu kalam, adalah hijab-hijab dalam dirinya sendiri. Dan makin besar ketenggelaman kita di dalamnya, makin teballah kegelapan (yang menyelimuti kebenaran) itu.

Sebagaimana, telah kita amati dan ketahui dengan baik, Anakku, para nabi dan para awliya yang paling ikhlas (al-awliya’ al-khullash), 'alayhimus-salam, tak pernah menggunakan bahasa dan argumen filosofis (dalam dakwah mereka), tetapi mengimbau kepada jiwa dan hati orang-orang, serta menyampaikan kesimpulan-kesimpulan dari argumen-argumen seperti itu ke dalam hati orang-orang. Mereka membimbing orang-orang ini dari dalam hati dan jiwa mereka. Orang boleh mengatakan bahwa para filosof dan ahli metafisika melipatgandakan hijab-hijab, tapi para nabi 'alayhimus-salam, dan orang-orang (yang mengandalkan) hati mengangkat hijab-hijab itu. Dengan demikian, orang-orang yang mereka asuh adalah pencinta-pencinta yang setia dan sepenuh-hati. Tapi, murid-murid kaum filosof dan orang-orang yang terlatih dalam ajaran-ajaran mereka suka pada argumen dan diskusi, dan tak mengurus (dengan baik) hati dan jiwa.

Pernyataan-pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk menjauhkanmu dari filsafat dan ilmu-ilmu rasional, ataupun untuk mempengaruhimu agar tidak mengejar pengetahuan rasional. (Karena, jika demikian) hal itu akan merupakan pengkhianatan kepada akal, penalaran, dan filsafat. Yang ingin aku katakan adalah bahwa filsafat dan penalaran adalah sarana-sarana untuk meraih sasaran yang sebenarnya, dan semuanya itu tak boleh menghalangi di tengah jalanmu menuju sasaran itu dan menemukan Kekasihmu. Dengan kata lain, upaya-upaya (rasional dan filosofis) ini adalah saluran, dan bukan sasaran itu sendiri. Dunia ini hanyalah seperti ladang, sedang akhirat adalah panennya. Sama dengan itu, upaya-upaya akademis ini (yakni, filsafat, dan sebagainya) adalah ladang-ladang yang dimaksudkan untuk menghasilkan panen.

Anakku, meskipun semua ibadah adalah perjalanan mendekati-Nya, 'Azza wa Jalla, adalah shalat yang merupakan ibadah yang paling tinggi dan mi’raj bagi kaum beriman. Semuanya ini berasal dari-Nya dan membawa kita kepada-Nya. Engkau boleh mengatakan bahwa semua amal baik adalah seperti anak-anak tangga dari sebuah tangga menuju kepada-Nya, 'Azza wa Jalla, dan semua perbuatan yang dilarang adalah penghalang di tengah jalan untuk mencapai-Nya. Seluruh dunia, dalam keadaan bingung dan galau, mencarinya dan dikuasai oleh keindahan-Nya. Saya berharap kita bangkit dari tidur kita yang amat nyenyak dan bergerak menuju maqam pertama yang (memang) adalah maqam berjaga (yaqzhah), tahap pertama dalam pelancongan spiritual. Saya berharap Dia, 'Azza wa Jalla, membantu kita dengan barakah tersembunyi-Nya dan menuntun kepada Diri dan Keindahan-Nya. Saya berharap serangan nafsu (badani) yang jahat dan merusak ini bisa diredakan dan dihentikan.

Saya berharap kita bisa membebaskan diri-diri kita dari beban yang amat berat ini dan terbang menujunya dalam keadaan ringan. Saya berharap kita dapat tanpa banyak pikir menyirnakan diri-diri kita dalam keindahan-Nya, persis seperti seekor laron yang melemparkan-dirinya ke dalam nyala lilin. Saya berharap agar kita mengambil sebuah langkah yang, setidaknya, selaras dengan fitrah kita dan menahan diri dari menekan fitrah ini tidak semena-mena. Dan aku memiliki banyak harapan yang mencekamku dalam umurku yang telah berada di ambang kematian ini, tanpa kuperoleh sarana apa pun untuk memenuhinya.


Tobat dan Masa Muda

Tapi engkau, Anakku, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya masa mudamu, dan hiduplah dalam ingat kepada-Nya, 'Azza wa Jalla, dalam kasih-Nya dan dengan fitrah-pemberian-Ilahimu. Ingat (terus-menerus) kepada Allah ini sama sekali tak akan menghalangi aktivitas-aktivitas sosial-politikmu dalam melakukan pengabdian kepada agama Allah dan makhluk-makhluk-Nya. Malah, sebaliknya, ia akan membantumu di jalan ini. Namun, selalu awaslah terhadap banyak tipuan jiwa-badani dan setan lahir maupun batin yang sering menyesatkan orang atas nama Allah dan atas nama pengabdian kepada makhluk-makhluk Allah, sambil menghalangi dari Allah dan mendorong menuju nafsu-nafsu diri sendiri.

Terus-menerus berjaga dan melakukan pemeriksaan-diri dalam membedakan antara jalan Allah dan jalan pemenuhan (kepentingan) diri-sendiri adalah salah satu maqam (dalam) perjalanan spiritual. Semoga Allah membantu kita di jalan ini. Setan yang ada dalam diri kita mengelabui kami, orang-orang tua, dengan satu cara dan (mengelabui) kalian, orang-orang muda, dengan cara lain. Dia mendekati kita dengan senjata kekecewaan dan ketak-acuhan terhadap masa sekarang, seraya mencegah kita dari mengejar kedekatan kepada Allah dan mengingat-Nya.

Setan membisiki kita, "Sudah terlalu terlambat bagimu untuk memperbaiki dirimu, hari-hari produktif masa-mudamu telah lewat, dan dalam masa tua dan hari-hari penuh kelemahan ini kau tak punya kekuasaan untuk memperbaiki keadaanmu; karena nafsu dan dosa-dosa telah berurat-berakar dalam seluruh bagian keberadaanmu. Engkau tak lagi layak untuk mencapai kedekatan kepada-Nya, 'Azza wa Jalla, dan kesempatan itu telah lewat. Karena itu, adalah lebih baik untuk menikmati hari-hari terakhir hidupmu sebanyak-banyaknya."

Kadang-kadang, ia menggunakan tipuan-tipuan yang sama kepada kita, orang-orang tua. Ia akan mengatakan, "Engkau masih muda, dan masa-masa ini adalah masa-masa menikmati dan bersenang-senang, maka penuhilah nafsu-nafsumu. Masih banyak waktu untuk bertobat kelak. Allah Maha Pengasih lagi Penyayang. Makin banyak engkau berbuat dosa sekarang, akan makin besar pulalah penyesalan dan (pada gilirannya) perhatianmu Allah di saat-saat mendatang. Demikian pula, keterikatanmu kepada-Nya akan makin kukuh. Telah banyak orang sebelummu yang menghabiskan masa muda mereka untuk beribadah, salat, dan berziarah ke makam para Imam, 'alayhimus-salam, serta menambatkan harapan kepada perantaraan (syafa'at) mereka. Akhirnya mereka meninggalkan dunia ini dalam keadaan berbahagia. "Godaan lain bagi orang-orang tua seperti kami mengambil bentuk bisikan kepada diri kami sendiri. Kau tak pasti akan mati segera. Masih ada banyak waktu. Engkau dapat bertobat di akhir hayatmu. Lagi pula, bukankah pintu syafaat Rasulullah (selalu) terbuka, dan Sang Wali, Amirul-Mu’minin a.s., tak akan membiarkan teman-temannya untuk dihukum. Ia akan mengunjungi pada saat kematianmu dan menolongmu?" Godaan-godaan seperti ini dan lainnya terus saja menggoda orang-orang.

Anakku, dengarkan aku. Engkau adalah anak muda. Camkanlah bahwa tobat adalah lebih mudah bagi orang muda. (Bagi orang muda) perbaikan-batin dan penyucian diri dapat berlangsung dengan cepat. Sementara dalam nafsu-nafsu yang telah "berkarat", syahwat-syahwat, ambisi, kecintaan kepada kekayaan dan penipuan-diri sendiri sudah lebih kuat dibandingkan dengan (keberadaannya) dalam diri orang muda --yang jiwanya lebih lembut dan luwes. Egoisme dan cinta-dunia tidaklah terlalu kuat dalam diri anak muda dibandingkan dengan dalam diri orang tua.

Orang-orang muda mampu menyelamatkan dirinya sendiri dari cengkeraman jiwa-badani secara lebih mudah, dan (mereka lebih) cenderung kepada keruhaniah an. Orang-orang muda lebih mudah menerima nasihat-nasihat dan anjuran-anjuran moral dibandingkan orang-orang tua. Orang muda haruslah (lebih) awas terhadap godaan-godaan setan dan nafsu (badani). Dalam hal kedekatan kepada kematian, orang muda dan orang tua sama saja. Bisakah orang muda yakin bahwa dia akan mencapai usia tua? Siapakah yang kebal terhadap arus takdir? (Malah), anak muda lebih rentan terhadap kecelakaan-kecelakaan.


Syafaat Nabi dan Para Imam

Anakku, jangan campakkan kesempatan ini. Perbaiki dirimu mumpung masih muda. Orang tua juga perlu tahu bahwa selama mereka masih ada di dunia ini, mereka masih memiliki peluang untuk mengimbali kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa mereka. Jika mereka sudah meninggalkan dunia ini, maka tak akan ada lagi kesempatan (bagi perbaikan apa pun). Mengandalkan pada syafaat para wali (para Imam), 'alayhimus-salam, sambil terus mengumbar dosa adalah tanda keberhasilan tipuan-tipuan setan.

Lihatlah keadaan orang-orang yang mengandalkan pada syafaat para wali dan nekat untuk berbuat dosa serta lalai kepada Allah. Lihatlah jeritan, keluhan, dan munajat mereka, serta ambillah pelajaran dari mereka (mungkin, Imam Khomeini di sini merujuk kepada orang-orang seperti Abu Nuwas--Ym). Anakku, menurut salah satu penjelasan tentang hadits, Imam Shadiq a.s. memanggil seluruh anggota keluarganya pada hari-hari terakhir masa-hidupnya dan mengatakan hal seperti ini, "Besok, ketika engkau menghadap Allah, tetaplah mengerjakan amal-amalmu. Jangan bayangkan bahwa hubungan-kekeluargaanmu denganku ada gunanya (untuk membantumu di akhirat kelak)." Lebih dari itu, amatlah mungkin bahwa yang akan dapat mengambil manfaat dari syafaat seperti itu adalah orang-orang yang telah mengembangkan ikatan-spiritual dengan para pemberi syafaat, dan hubungan mereka dengan Allah telah memenuhi syarat bagi dimungkinkannya pemberian syafaat sedemikian.

Orang-orang yang gagal mencapai ikatan-spiritual dan hubungan sedemikian di dunia ini, boleh jadi bisa mendapatkan manfaat dari syafaat hanya setelah mereka mengalami penyucian sebagai hasil siksaan yang pedih di alam barzakh atau bahkan di neraka. Dan hanya Allah yang tahu berapa lama (siksaan) ini akan berlangsung. Di samping itu, ada beberapa ayat dalam Al-Quran yang merujuk kepada masalah syafaat, yang tak membuka ruang bagi sikap ogah-ogahan. Firman Allah, "Siapa yang dapat memberikan syafaat, kecuali dengan izin-Nya?" (QS Al-Baqarah [2]: 255)

Dan Ia juga berfirman, "Dan mereka tidak memberikan syafaat kecuali bagi orang-orang yang diridhai-Nya. " (QS Al-Anbiyâ’ [21]:28)

Masih ada ayat-ayat lain yang sejenis. Meski syafaat memang ada, pertanyaannya adalah siapa yang memenuhi syarat untuk bisa mendapat manfaat darinya? Dan kelompok mana, dalam keadaan apa, dan pada waktu apa? Inilah persoalan-persoalan yang tidak membuka ruang bagi penyalah-artian. Kita sungguh berharap akan (mendapatkan) syafaat. Tapi, harapan itu seharusnya membawa kita untuk lebih taat kepada Allah, bukan kepada dosa dan aniaya.


Hubungan dengan Manusia, Allah, dan Kaum Papa

Anakku, usahakan agar engkau tak meninggalkan dunia ini dalam keadaan ada orang menuntut haknya yang pernah kaulanggar karena hal itu akan melemparkanmu dalam kesulitan besar. Kita bisa menyelesaikan masalah kita dengan Allah, Yang Paling Pengasih dari yang pengasih, lebih mudah daripada dengan orang-orang. Aku berlindung kepada Allah dari kesulitan yang engkau, aku, dan semua orang Mukmin mungkin menghadapinya dalam urusan yang berkaitan dengan hak-hak orang, khususnya dalam tingkah-laku kita terhadap orang-orang papa.

Hal itu tak berarti bahwa engkau boleh mengabaikan dan seenaknya saja dalam hal dosa kepada Allah. Jika kita amati arti harfiah ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran, (akan kita dapati bahwa) kesusahan-kesusahan pendosa akanlah amat besar, dan penyelamatan mereka lewat syafaat hanya akan terjadi setelah melalui tahap-tahap yang panjang dan melelahkan.

Kecenderungan-kecenderungan moral, amal-amal, karakteristik-karakteristiknya, dan hubungannya dengan manusia, kelak --dalam masa-masa sejak kematian hingga Kebangkitan Besar dan masa kehidupan di akhirat-- akan ditampakkan (secara fisik/visual di depan diri kita sendiri). Pembebasan dan pelepasan (kaitan semuanya itu) dari manusia --lewat kesusahan-kesusahan dan hukuman di dalam barzakh dan neraka-- serta kemustahilan kontak dengan para pemberi syafaat dan mengambil manfaat dari syafaat mereka, semua ini adalah perkara yang kemungkinan (kejadian)-nya saja sudah cukup untuk "mematahkan punggung kita" serta untuk membuat orang beriman merenunginya secara serius dan segera mulai memperbaiki-diri mereka.

Tak seorang pun bisa menyatakan bahwa yang benar adalah yang sebaliknya dari itu, kecuali jiwa-badani telah menguasainya sedemikian, sehingga ia menghalangi sama sekali jalan (kepada) kebenaran dengan mendorongnya untuk menyangkal perbedaan antara hitam dan putih. Memang banyak orang yang buta secara batin seperti itu. Semoga Allah melindungi kita dari kejahatan diri-diri kita sendiri.

Nasihatku bagimu, Anakku, jangan kamu lewatkan kesempatan ini. Berusaha-keraslah untuk memperbaiki keadaanmu dalam hal akhlak dan watak, meski hal itu boleh jadi mengharuskanmu untuk melalui kesusahan dan "hidup prihatin". Cobalah untuk mengurangi keterikatanmu dengan dunia yang fana ini. Setiap saat engkau mencapai persimpangan jalan, ambillah jalan (menuju) kebenaran dan hindari (jalan menuju) kepalsuan. Usir setan dalam jiwa-badanimu.

Di antara perkara penting yang perlu aku sampaikan d dalam wasiat ini adalah bantulah para hamba Allah, terutama orang fakir-miskin. Mereka yang di mana-mana biasanya dianiaya dan tak memperoleh perlindungan. Baktikanlah seluruh upaya dan sarana yang engkau miliki bagi melayani kaum tertindas, dan mendukung mereka melawan kaum penindas dan pelanggar. Amal-amal seperti itu adalah bekal terbaik bagi perjalanan (ke akhirat) dan merupakan pelayanan terbaik bagi Allah dan Islam.

Anakku, adalah suatu kewajiban bagimu untuk terlibat dalam urusan-urusan sosial dan politik --yakni politik yang sehat dan positif-- pemerintahan Islam ini. Anakku, merupakan suatu kewajiban Islami, kemanusiaan dan nasional untuk mendukung orang-orang yang berada di tengah urusan ('ulul amri?-Ym) pemerintahan dan para pegawai yang setia kepada Republik Islam ini. Aku berharap bahwa bangsa yang sadar dan mulia ini tak akan mengabaikan tugas ini. (Aku juga berharap), sebagaimana sekarang dan sebelum ini, mereka akan terus bergiat dalam arena politik.

Hanyalah dengan dukungan mereka pemerintahan Islam dan Republik ini didirikan dan bisa bertahan-hidup. Selanjutnya, hendaknya generasi sekarang dan masa depan harus mendukungnya dan setia kepadanya agar ia terus bertahan dan bahkan menjadi lebih stabil. Kita semua harus selalu ingat bahwa selama kita menaati perjanjian kita dengan Allah, Dia akan mendukung kita. Demikian pula, perkomplotan-perkomplotan dan rencana-rencana jahat para pencoleng di dalam negeri, insya Allah, juga akan dibuyarkan oleh Allah.

Aku berharap, Angkatan Bersenjata yang dihormati, Pasdaran yang dicintai, Angkatan Sukarelawan (Basij), keamanan, dan kekuatan-kekuatan rakyat telah mengecap manisnya kemerdekaan dan kebebasan dari cengkeraman kekuasaan besar dunia. Mereka lebih menyukai kebebasan dari kungkungan orang-orang asing ketimbang apa saja --termasuk segala jenis kenikmatan hidup-- dan lebih menyukai mati terhormat sebagai syuhada di jalan Allah dan di medan perang penuh keperwiraan ketimbang segala macam kehidupan yang memalukan, (demi) mengikuti jejak para nabi besar dan Imam yang mulia, 'alayhishshalatu wassalam.

Aku memohon kepada Allah agar (Ia) melipatgandakan antusiasme dan semangat, serta dedikasi dan kecintaan para laki-laki dan perempuan kita, kaum muda dan tuanya, dan menjadikan mereka konsisten di jalan Rabb yang Agung serta menolong mereka untuk menyebarkan Islam dan ajaran-ajaran-penuh-cahayanya ke seluruh dunia.


Masalah Pribadi dan Keluarga

Anakku, kini aku hendak berbicara sedikit tentang masalah pribadi dan keluarga, serta mengakhiri pembicaraanku yang panjang-lebar ini. Nasihatku yang terpenting kepadamu (dalam masalah ini), Anakku yang kusayangi, adalah untuk mengurusi ibumu yang paling setia itu. Seseorang tak dapat menghitung hak-hak ibu yang (memang) tak terhitung, dan seseorang tak mungkin bisa memenuhi hak-haknya. Satu malam yang dijalani oleh seorang ibu dalam mengurusi anaknya bernilai lebih besar daripada bertahun-tahun kehidupan seorang ayah yang setia. Kelembutan dan kasih-sayang yang terkandung dalam mata-berbinar seorang ibu adalah kilatan kasih dan sayang Rabb Sekalian Alam.

Allah, Subhanahu wa Ta'ala, telah meniupkan ke dalam hati dan jiwa para ibu kasih dan sayang-Nya sendiri dengan suatu cara yang tak terperikan dan tak seorang pun bisa menghargainya kecuali para ibu itu sendiri. Berkat kasih-abadi-Nyalah maka para ibu, kukuh seperti 'Arsy Allah itu sendiri, memiliki kekuatan untuk menanggung kesakitan dan kesusahan menjadi ibu, sejak awal kehamilan, selama kehamilan itu sendiri, persalinan, tahun-tahun anaknya masih bayi, dan sepanjang hidup anaknya. Itulah hal-hal yang seorang ayah tak bisa menanggungnya meski hanya semalam.

Anakku, apa yang dinyatakan dalam hadits --yakni bahwa "surga terletak di telapak kaki ibu"--adalah suatu kenyataan. Dan hal itu telah diungkapkan dengan cara yang anggun seperti itu demi menekankan nilai-pentingnya yang luar-biasa dan untuk mengingatkan kepada anak-anak agar mencari kebahagiaan dan surga dalam debu di telapak kaki ibu. Juga agar mereka selalu ingat bahwa menghormati ibu adalah seperti berkhidmat kepada Allah. Dan agar seseorang mencari keridhaan Allah dalam keridhaan ibu.

Meski semua ibu adalah teladan, sebagian di antara mereka memiliki sifat-sifat khusus tertentu. Saya memiliki kenang-kenangan dengan ibumu yang mulia mengenai bagaimana ia memberikan seluruh siang dan malamnya untuk membesarkan anak-anaknya. Saya telah melihat dalam dirinya sifat-sifat yang mulia ini. Saya nasihati engkau dan semua anggota keluargaku untuk berbuat yang terbaik dalam melayaninya dan mencari keridhaannya setelah kematianku. Buatlah dia serela aku sekarang ketika melihat ia rela kepadamu semua.

Berbuatlah sebaik-baiknya untuk melayani dia selama aku masih hidup dan lebih baik lagi sepeninggalku.

Aku nasihati engkau, Anakku Ahmad, agar engkau memperlakukan sanak-kerabat dan semua anggota-keluargamu --khususnya saudara-saudara-perempuanmu, keponakan-keponakanmu (laki-laki dan perempuan)-- dengan kebaikan-hati dan kelembutan, serta keikhlasan dan pengorbanan-diri.

Bimbinganku yang terakhir bagi seluruh anakku adalah agar bersatu-pendapat dalam semua urusan, memperlakukan satu sama lain dengan kebaikan-hati dan kecintaan, dan menapaki jalan Allah dan jalan pelayanan kepada para makhluk-Nya yang papa --karena ini akan memberikan kebaikan bagimu di dunia ini dan di akhirat. Aku nasihati Husain, buah-hatiku, agar tidak mengabaikan kegiatan belajar ilmu-ilmu agama, untuk tidak menyia-nyiakan bakat yang dianugerahkan Allah kepadanya, dan untuk memperlakukan ibu dan saudara-saudara-perempuannya dengan cinta dan kelembutan, serta mengikuti jalan yang lurus di masa-mudanya.

Nasihat-terakhirku bagi engkau, Ahmad, adalah agar engkau membesarkan dan mendidik anak-anakmu dengan baik, mengakrabkan mereka dengan Islam yang sama-sama kita cintai sejak masa-kecil, untuk menghormati ibu mereka yang baik-hati dan mulia, dan siap untuk melayani sanak-kerabatnya.

Salam Allah (semoga) dilimpahkan kepada orang-orang yang lurus. Aku meminta kepada semua anggota keluargaku --khususnya anak-anakku-- untuk memaafkan semua kesalahan dan kekuranganku dalam berhubungan dengan mereka, untuk mengampuni semua ketidakadilan yang mungkin aku lakukan kepada mereka, dan untuk memintakan ampunan dan kasih sayang Allah bagiku. Sungguh, Ia Maha Penyayang dari semua yang penyayang. Aku memohon kepada Allah, Yang Mahadermawan, untuk menolong sanak-kerabatku (agar terpelihara) di jalan (menuju) kebahagiaan dan istiqamah, serta melingkupi mereka dengan kasih-sayang-Nya yang serba-meliputi, untuk memberikan kekuatan kepada Islam dan kaum Muslim, dan memotong tangan-tangan mustaqbarin dan kuasa-besar-penindas (agar mereka tak bisa melakukan) penganiayaan (kepada mereka).

Shalawat dan salam atas Rasulullah, sang penutup rangkaian para nabi, dan atas keluarganya yang ma'shum, serta laknat Allah kepada musuh-musuh mereka semua hingga Hari Kebangkitan

28 April, 1982/4 Rajab 1361
Ruhallah Al-Musawi Khomeini.


Catatan Kaki

Maksud penulisnya, pembahasan ini sedikit banyak menyederhanakan masalah yang sebenarnya rumit. Lagi-lagi, ini adalah bagian pandangan wahdah al-wujud, yakni bahwa yang buruk itu mengambil "wujud" ketidakberadaan. Dan, sebagai demikian, dia bukanlah Allah karena Allah haruslah ada. Bahkan yang ada hanyalah Allah.

Catatan ringkas ini setidaknya menjelaskan apa yang dimaksud penulisnya dalam kalimat terakhir di atas, yakni bahwa masalahnya tak sesederhana itu.


Halaman Persembahan bagi Buku Adab Al-Shalat

Catatan Penyunting

Adab Shalat, seperti disinggung dalam Bab Pendahuluan dan disinggung dalam terjemahan dibawah ini, ditulis oleh Imam Khomeini ketika masih berusia di bawah tiga puluh tahun. Buku ini merupakan versi yang lebih populer dari buku Asrar Al-Shalat (Rahasia-Rahasia Shalat) yang ditulisnya beberapa tahun sebelum itu. Buku ini membahas persiapan batin yang perlu dilakukan oleh seseorang yang melaksanakan shalat maupun makna-makna batin seluruh tindakan dalam shalat, mulai bersuci, pelaksanaan shalat itu sendiri--sejak takbir hingga salam--sampai membaca doa setelah shalat. Halaman persembahan yang ditulis belakangan oleh Imam Khomeini bagi buku ini terdiri dari dua bagian.

Pertama adalah persembahan bagi putranya, Sayid Ahmad Khomeini. Dan, yang kedua, bagi menantu perempuannya, istri Sayid Ahmad, yakni Fathimah Thabathabâ’i --yang dalam persembahan ini oleh Imam Khomeini dipanggil sebagai Fathi.


Persembahan Buku Adab Al-Shalat bagi Sayyid Ahmad Khomeini

Bismillahirrahmaanirrahim...

Aku persembahkan Adab Al-Shalat --buku yang darinya aku tak mengambil manfaat apa-apa kecuali penyesalan karena kegagalan dan pengabaianku selama hari-hari yang di dalamnya aku sebenarnya dapat melakukannya sehingga tinggallah kekecewaan dalam usia tua, tangan kosong, dengan beban berat, dan jalan panjang yang masih harus dilewati, dengan kaki lumpuh, sementara panggilan untuk berangkat (menuju kematian) selalu terngiang-ngiang ditelingaku-- untuk anakku yang kukasihi, Ahmad. Dia sedang berada di puncak kehidupan, dan karenanya, insya Allah Ta'ala, dapat menyerap kandungannya, yang diambil dari Al-Quran yang agung, Sunnah yang mulia, serta hadits-hadits para Imam.

Mudah-mudahan ia berhasil dalam memperoleh jalannya menuju mi'raj sejati lewat bimbingan ahli-ahli ma'rifat, dan mengentaskan hatinya dari jurang-dalam yang gelap itu, lalu mengarahkan kaki ke tujuan-asali kemanusiaan, sepanjang jalan yang ditempuh oleh nabi-nabi besar, para wali yang mulia, 'alayhimus-salam, dan para "manusia Allah" (ahl Allah), dan yang ke situ mereka undang orang-orang lain.

Wahai Anakku. Bersegeralah untuk mengerti dirimu, yang oleh Allah ditumbuhkan dalam fitrah-Nya. Selamatkan dirimu dari pusaran-mematikan gelombang-kuat tipuan-diri dan egoisme. Naiklah ke bahtera Nuh, yang merupakan cahaya perlindungan Allah (wilayah Allah) karena "Siapa yang naik ke atasnya akan selamat, dan siapa yang tertinggal akan hancur." (Ini merujuk kepada hadits yang menyatakan bahwa ahl al-bait --yakni para Imam keturunan Rasulullah-- adalah bahtera Nuh--Ym).

Wahai Anakku. Berusah a-keraslah untuk berjalan sepanjang "Jalan yang Lurus" --yakni jalan Allah-- bahkan dengan kaki yang pengkar. Berusahalah untuk mencelup gerak-diamnya hati dan tubuhmu dengan tinta ruhani Ilahi, dan melayani para makhluk Allah (semata-mata) karena mereka adalah makhluk Allah.

Para nabi besar dan para wali Allah, meski tetap melakukan pekerjaan sehari-hari seperti yang lain, tak pernah berdamai dengan dunia karena mereka bekerja bersama Allah dan untuk Allah. Rasul terakhir, SAWW, dikutip sebagai mengatakan, "Hatiku kadang-kadang tertutupi (seolah-olah, dengan kelalaian), maka aku pun memohon ampun kepada Allah tujuh puluh kali setiap harinya." Ia barangkali menganggap pengenalan Allah dalam kemajemukan (ciptaannya) sebagai titik kebutaan dalam hubungan kita dengan Allah.

Wahai, Anakku. Persiapkan dirimu, setelah (kematian)-ku, untuk menghadapi ke-tak-baik-hatian dari orang-orang yang akan membebanimu dengan kekhawatiran-kekhawatiran mereka tentangku. Jika engkau telah menyelesaikan perhitunganmu dengan Allah dan memohon perlindungannya lewat zikir pada-Nya, maka kau tak perlu takut kepada siapa pun karena perhitungan makhluk-Nya hanyalah sementara, sedangkan perhitungan dengan Allah bersifat abadi.

Anakku. Setelahku engkau mungkin akan menerima tawaran jabatan. Jika engkau berkehendak untuk melayani Republik Islam ini dan Islam yang kita cintai, maka jangan menolaknya. Tapi jika niatmu adalah --semoga Allah menjauhkan-- untuk memenuhi nafsu-nafsu-indriawimu atau memuasi nafsu-nafsu-badanimu, campakkanlah karena jabatan-jabatan duniawi terlalu remeh untuk membuka bagimu risiko kehancuran deminya.

Ya Allah, jadikan Ahmad, keturunan dan keluarganya, yang adalah abdi-abdimu dan keturunan Rasulullah SAWW, bahagia di dunia ini dan di dunia yang akan datang. Dan potonglah tangan-tangan setan yang terkutuk agar tak bisa mengganggunya.

Ya Allah. Kami ini lemah, tak berdaya, dan ketinggalan kafilah para penyembah-Mu di jalan menuju-Mu.

Ya Allah. Anugerahi kami berkah dari-Mu dan jangan hakimi kami dengan Keadilan-Mu.

Salam atas para abdi Allah yang saleh.

23 Rabi' Al-Awwal, 1363


Persembahan bagi Fathimah Thabathabâ’i

Bismillahirrahmaanirrahiim...

Wahai! Betapa hidupku lewat dengan sia-sia. Penuh dengan dosa. Esok, ketika aku dibawa ke Saat Perhitungan Mereka akan berkata: peluang tobat tak tersisa.

Buku Adab Al-Shalat, yang aku persembahkan kepada anak-perempuan (menantu)-ku, Fathi, semoga Allah menjadikannya salah seorang mushalli (yang--taat--menjalankan shalat), aku selesaikan lebih dari 40 tahun yang lalu. Beberapa tahun sebelum itu, aku telah selesaikan buku Asrar Al-Sh alat (Rahasia-Rahasia Shalat). Sejak waktu itu, lebih dari 40 tahun telah lewat, sementara aku tidak juga memahami rahasia-rahasia shalat, tak pula menerapkan disiplin-disiplinnya.

Memahami lain dengan membayangkan (mengira), sedangkan menghayati (secara sedemikian sehingga tujuan pelaksanaannya tercapai --Ym) tak sama dengan (asal) melaksanakan (saja). Buku ini adalah hujjah (argumentasi) dari sang Rabb untuk hambanya yang faqir.

Aku berlindung kepada Allah dari menjadi salah seorang yang dirujuk Allah dalam ayat yang mematahkan punggung sebagai berikut:

"Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kaukatakan apa yang tidak kamu kerjakan? Adalah amat tak di sisi Allah (jika) kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan." (QS Al-Sh aff [61]: 2-3)

Wahai Anakku. Aku berharap engkau akan berhasil dalam menerapkan disiplin-disiplin mi'raj (ruhani) ini (maksudnya, merujuk kepada hadits Nabi, shalat--Ym). (Mudah-mudahan) engkau akan dibimbing oleh buraq-Ilahi ini melalui hijrah dari ruang-gelap diri (nafsu) kepada Allah. Aku menyerahkanmu kepada pemeliharaan Allah agar membaca risalah ini tak (malah) menambah kecintaanmu pada hal-hal indriawi, atau membuatmu --seperti penulisnya-- mainan di tangan setan.

Anakku yang terkasih. Aku dapati dalam dirimu --alhamdulillah-- kelebihan-spiritual yang kuberharap akan membuatmu mendapatkan bimbingan Allah, 'Azza wa Jalla, dianugerahi perlindungan-Nya, dan diselamatkan dari jurang-dalam alam ini menuju jalan-lurus kemanusiaan. Namun, jangan lalai dari godaan setan, ataupun dari jiwamu sendiri --yang justru lebih berbahaya lagi. Berlindunglah kepada Allah, Yang Mahaagung karena dia Maha Pengampun kepada hamba-hamba-Nya.

Anakku. Jika membaca halaman-halaman buku ini ternyata, semoga Allah menjauhkan, tak ada manfaatnya bagimu --kecuali tipuan-diri, kepura-puraan dan pembangkangan-- maka lebih baik jangan (kauteruskan) membaca buku ini. Atau, lebih baik, awaslah terhadapnya agar --tak seperti aku-- kau menjadi sasaran penyesalan dan kekecewaan. Tapi jika engkau –insya Allah-- mempersiapkan dirimu untuk mendapatkan manfaat dari topik buku ini --yang aku ambil dari Al-Quran yang mulia, Sunnah, dan hadits para Ma'shum (para Imam) dari ahl al-bait, serta para ahli ilmu-- dan memanfaatkan bakat-luhur yang dianugerahkan Allah kepadamu, maka teruskanlah (membacanya). Inilah bolanya, inilah lapangannya.

Aku berharap, dengan mi'raj manusiawi dan campuran Ilahi, Engkau bisa mengosongkan hatimu dari segala yang lain, membasuhnya dengan air-kehidupan, membaca empat takbir dan membebaskan dirimu dari kedirian demi mencapai Sang Sahabat:

"Dan barang siapa meninggalkan rumahnya untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh (telah tetap) pahalanya di sisi Allah". (QS Al-Nisa [4]: 100)

Ya Allah. Jadikan kami orang-orang yang berhijrah kepada-Mu dan kepada rasul-Nya, dan bawalah kami kepada fana' (kesirnaan-diri di hadapan Allah).

Anugerahi Fathi dan Ahmad pertolongan-Mu agar (keduanya) bisa melayani (para makhluk-Mu), dan agar mereka dapat memperoleh kebahagiaan.

Wassalam.

2 Shafar Al-Muzhaffar, 1405

Ruhullah Al-Musawi Khomeini.


Puisi-Puisi Imam Khomeini

Catatan Penyunting

Saya pasti bukanlah penyair. Bahkan, meski pernah menulis beberapa puisi, penulis puisi amatiran pun bukan. Maka, saya harus menyatakan sejak awal bahwa, barangkali, terjemahan saya ini --tak seperti puisi-puisi aslinya-- kurang memenuhi syarat untuk disebut puisi. Andalah hakimnya.

Dalam menerjemahkan puisi-puisi ini, ada suatu prinsip yang saya pegang--dan seharusnya dipegang oleh siapa pun yang menerjemahkan karya orang, puisi atau bukan. Yaitu, terjemahan saya harus mengungkapkan sedekat mungkin makna yang hendak disampaikan oleh penulis-aslinya.

Nah, untuk melakukan hal ini, ada beberapa kesulitan. Pertama, saya menerjemahkan puisi-puisi Imam Khomeini ini dari edisi Inggrisnya --bukan dari edisi aslinya, yakni Parsi. Dari sini, kemungkinan distorsi dari segi makna, apalagi gaya, sudah terbuka.

Tapi, ini adalah suatu hal yang tak bisa saya hindarkan, semata-mata karena saya tak menguasai bahasa Parsi (suatu saat saya akan cek terjemahan saya dengan meminta bantuan orang yang menguasai --dan bukan sekadar tahu-- bahasa Parsi). Setelah diupayakan penerjemahannya ke dalam bahasa lain lagi (yaitu bahasa Indonesia), kemungkinan ini lebih terbuka lagi. Pegangan saya dalam mengupayakan akurasi adalah pemahaman logis, dan sekadar latar-belakang pengetahuan saya tentang tasawuf dan, khususnya tasawuf Imam Khomeini.

Kedua, menerjemahkan puisi selalu menghadapkan penerjemahnya dengan perbedaan gaya bahasa, antara bahasa asli dan bahasa terjemahan. Seringkali, mempertahankan makna dan gaya bahasa asli (dalam hal ini Parsi atau Inggris) sekaligus, sama saja dengan membiarkan nuansa puisi dalam puisi terjemah an menjadi hilang. Atau, malah, mengaburkan makna.

Maka, demi tetap membuat agar terjemahan puisi ini masih bisa dibilang puisi, dan agar makna puisi masih terpahami, saya akan memenangkan pemeliharaan sifat puitis puisi terjemahan meski untuk itu --jika perlu-- saya harus mengubah gaya aslinya

Kesimpulannya, urut-urutan prioritas yang saya jadikan pegangan dalam penerjemahan puisi ini adalah:

Pertama, makna puisi terjemahan harus sedekat mungkin dengan makna puisi asli.

Kedua, puisi terjemahan harus tetap bernuansa puisi (bukan prosa) meski untuk itu puisi terjemahan harus mengambil gaya sendiri yang lebih sesuai dengan bahasa terjemahan (Indonesia) dan menjadikannya berbeda dengan gaya bahasa puisi asli (Parsi atau Inggris). Dengan kata lain, saya menempatkan gaya bahasa puisi asli pada urutan ketiga, setelah kesetiaan pada makna, dan pemeliharaan sifat puitis puisi terjemahan.

Akhirnya, kalau mau, Anda boleh saja menganggap puisi-puisi terjemahan ini sebagai puisi-puisi saya, yang saya tulis berdasar apa yang saya pahami dari puisi-puisi Imam Khomeini. Kenapa, karena saya khawatir terjemahan ini tak mewakili puisi-puisi-aslinya dengan fair, baik (kedalaman dan ketepatan) makna maupun (keindahan) gayanya.

Mengenai pilihan kata-kata dan simbolisme puisi Imam Khomeini ini, dapat dikatakan bahwa penulisnya mengikuti tradisi penyair-penyair Parsi, seperti Rumi, Hafiz, Sa'di, dan Khayyam. Oleh karenanya, orang tak perlu kaget kalau mendapati di dalamnya pujian terhadap anggur dan perempuan yang mempesona. Pesona perempuan --tentu bukan dari segi sensualitasnya-- memang sering dipakai sebagai simbolisme keindahan (jamaliyyah) Allah SWT. Sementara anggur dan kemabukan sering menyimbolkan fana atau kehilangan kesadaran tentang diri-sendiri demi baqa' (tetap tinggal) dalam Allah SWT.

Memang, seperti segera akan pembaca dapati, di dalam puisi-puisinya. Imam Khomeini terkesan mencela sufi, mencela masjid dan mushala, mencela kesalehan dan (jubah) keulamaan, mencampakkan sajadah. Di sisi lain, ia memujikan kemabukan, anggur, kedai (tempat jualan anggur), dan perempuan mempesona.

Berkenaan dengan yang saya sebut terakhir ini, sebuah penjelasan ringkas kiranya diperlukan Ibn 'Arabi, yang Imam Khomeini banyak terpengaruh olehnya, menulis sebuah buku yang amat terkenal, Fushush al-Hikam. Buku itu, sesuai dengan judulnya, menulis tentang kebijaksanaan dua puluh lima nabi yang namanya disebut dalam Al-Quran.

Nah, berkenaan dengan kebijaksanaan Rasulullah Muhammad SAW, Ibn 'Arabi mengutip hadits --yang masyhur-- berbunyi: "Ada tiga hal yang menjadi kesenanganku. Wangi-wangian, perempuan dan shalat. Tapi, yang paling kusukai adalah shalat."

Dalam berupaya menjelaskan tentang kesukaan Nabi kepada perempuan ini, Ibn 'Arabi menjelaskan bahwa perempuan adalah penampakan sifat-sifat jamaliyyah (keindahan, kecantikan) Allah SWT.

Dalam tradisi tasawuf, sifat-sifat Allah (al-asma al-husna) --berjumlah 99 atau lebih-- biasa dikelompokkan menjadi dua. Yang pertama adalah sifat-sifat jalaliyyah atau tremendum --yakni sifat-sifat yang menggambarkan keagungan dan kedahsyatan Allah SWT yang menggentarkan. Termasuk dalam sifat-sifat Allah ini adalah Keagungan (al-Akbar), Pemaksa (al-Qahhar), Yang Keras (al-Jabbar), Sombong (al-Mutakabbir), bahkan Pembalas (Dzun-tiqam). Nah, di samping kelompok sifat jalaliyyah ini, Allah SWT --seperti disinggung di atas-- memiliki sifat jamaliyyah atau fascinan, yakni Keindahan dan Kecantikan yang Memesonakan. Termasuk di dalam kelompok sifat ini adalah Maha Pengasih (ar-Rahman), Maha Penyayang (ar-Rahim), Pengampun (al-Ghaffar), Lembut (al-Lathiif), dan banyak lagi.

Menurut penelitian para ahli, jumlah sifat jamaliyyah Allah ini melebihi sifat jalaliyah-Nya. Ini sesuai belaka dengan hadits qudsi yang menyatakan: "Kasih-Ku melampaui murka-Ku."

Secara sambil lalu perlu saya sebutkan bahwa sifat-sifat jalaliyyah yang menggentarkan inilah yang membuat manusia merasa tunduk dan takut sehingga terdorong untuk mengikuti syari'at-Nya. Dalam hubungan ini agama tampil dalam aspek hukumnya (nomos oriented). Sementara sifat-sifat jamaliyyah-Nya meng-appeal manusia untuk mencintai-Nya dan, dengan demikian, menekankan aspek cinta dalam beragama (eros oriented). Ke arah pengembangan hubungan manusia dengan Allah SWT. yang berlambarkan cinta inilah tasawuf atau 'irfan dipujikan.

Sifat-sifat jamaliyyah inilah yang sering disebut-sebut sebagai aspek keperempuanan Allah SWT. (Pembahasan sangat menarik dan sangat lengkap, berdasar pemikiran Ibn 'Arabi, baca Sachiko Murata, The Tao of Islam, Mizan, Bandung, 1997) Nah, dalam konteks ini, perempuan adalah simbol --sesungguhnya, penampakan par excellence-- sifat-sifat jamaliyyah Allah SWT. Dalam makna inilah hendaknya rujukan-rujukan kepada pesona perempuan mesti ditempatkan. Kapan saja Imam Khomeini memujikan pesona perempuan ini, pada saat itu sesungguhnya ia sedang mengungkapkan pesona Allah SWT.

Simbolisme perempuan ini sekaligus merupakan suatu cara untuk melengkapi --apa yang pada umumnya manusia beragama telah menjadi suatu fiksasi mengenai-- modus hubungan antara manusia dan Allah yang semata-mata dilambari oleh ketakutan kepada hukuman-Nya dan ketergiuran kepada iming-iming pahala-Nya. Tentu saja keduanya bukanlah cara yang keliru dalam hubungan manusia dengan AllahSWT. Sebaliknya dari itu, keduanya adalah sifat yang perlu dalam hal ini. Meskipun demikian, sesungguhnya ada tataran lebih tinggi dalam hal hubungan manusia dengan Allah SWT. ini. Itulah hubungan cinta. Suatu hubungan cinta yang sifatnya tak kurang --dilihat dari segi lain, jauh lebih luhur-- dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, antara 'aasyiq dan ma'syuuq (pencinta dan pecintanya).

Untuk menjelaskan hal ini, kiranya ucapan Imam 'Ali a.s. mengenai tingkatan-tingkatan ibadah di bawah ini akan sangat membantu pemahaman kita mengenai soal ini: "Seseorang (boleh jadi) beribadah Allah karena takut kepada Allah. Inilah ibadahnya seorang budak. Yang lain beribadah kepada-Nya karena mendambakan imbalan (pahala) dari-Nya. Inilah ibadahnya pedagang. Tapi, ada pula yang beribadah kepada Allah semata-mata karena kecintaannya kepada-Nya. Inilah ibadah yang sebenar-benarnya."

Akhirnya, sedikit catatan perlu pula diberikan kepada apa yang terkesan sebagai kecaman terhadap sufi (atau 'irfan dan tasawuf), seperti juga banyak ditemui dalam puisi Rumi, misalnya, adalah sebentuk ilustrasi bahwa --di hadapan Allah-- apa saja bisa menjadi hijab. Dalam tingkat yang amat tinggi, bahkan pun tasawuf atau 'irfan, yang sesungguhnya merupakan disiplin untuk bertemu dan sampai kepada Allah. Bandingkan ini dengan konsep fana-nya fana (sirnanya kesirnaan), yang di dalamnya fana perlu mengalami fana lagi, karena fana bisa menjadi hijab di depan kemutlakan Allah dan persepsi yang benar-benar suci mengenai-Nya. Bahkan, kalau mau, istilah fana-nya fana ini bisa diteruskan sehingga menjadi fana-nya fana-nya fana-nya fana-nya fana-nya... dan seterusnya hingga tak berhingga --dihadapan kesucian dan ketinggian Allah yang tak terkira.

Ini sejalan belaka dengan kenyataan berlapis-lapisnya hijab --nyaris berjumlah tak terhingga juga-- yang mengalangi kita dari Allah SWT. Wal-llahu a'lam bish-shawaab. Seorang rekan yang membaca draft karya-suntingan saya ini mengingatkan bahwa penyair seperti Rumi bahkan lebih jauh dari itu hingga mengecam syari'at (baca: fiqih) dan menyebut-nyebut kemungkinan orang justru disesatkan oleh Al-Quran.

Tapi, hal-hal seperti ini, sejauh pengetahuan saya, tidak muncul dalam puisi-puisi Imam Khomeini. Boleh jadi karena Imam Khomeini tak ingin menimbulkan salah-paham yang terlalu parah di kalangan pembacanya, (lebih jauh dari itu, malah, sebenarnya saya juga tidak tahu, puisi-puisi yang dipublikasikan sepeninggal Imam Khomeini ini, dilakukan seizin dia atau tidak?) atau memang Imam Khomeini tidak setuju pada pandangan seperti itu. Kalau masih soal mencampakkan sajadah, jubah, bahkan mengkritik masjid dan mushalla, saya kira hal itu masih terkait dengan diri sang sufi. Yakni, dengan kemungkinan kesemuanya itu sedikit atau banyak merupakan wujud kemunafikan atau bisa menjadi hijab antara dia dan Tuhan. Dengan kata lain, menghalanginya dari melihat Tuhan dan hanya Tuhan. Tapi Al-Quran, kalam Allah? Wal-Laahu a'lam.

Saya tahu bahwa Rumi pun pasti sama sekali tak berniat mengecam Al-Quran sebagai kalam Ilahi, tapi lebih kepada kenyataan bahwa, betapa pun juga, Al-Quran itu tak identik dengan Allah SWT. Dan bahwa untuk bisa menyatu dengan-Nya kita harus melampaui apa saja yang bukan Tuhan, meski itu Al-Quran. Kenyataannya, jika kita baca puisi Rumi, yang dicelanya sesungguhnya bukan Al-Quran itu sendiri, tapi orang-orang yang mengikatkan diri secara salah kepada Al-Quran itu sendiri.

Banyak orang disesatkan Al-Quran

Bergantung pada tali itu,

banyak yang telah jatuh ke sumur

Tak ada yang salah pada tali itu,

Wahai orang sesat

Hanyalah kamu

yang tak ingin naik ke puncak.

Juga, dalam puisi Imam Khomeini tak muncul kecaman kepada syari'at atau fiqh. Apalagi dalam karya-karya non-puitiknya. Pertama sekali, tak seperti Rumi dan para penyair besar lainnya, Imam Khomeini adalah seorang ahli fiqh (faqih), bahkan marja' taqlid (rujukan bertaqlid dalam masalah-masalah fiqih) dan menulis beberapa risalah praktis di bidang ini. Lebih dari itu, ia menulis buku-buku yang menunjukkan nilai-penting sekaligus makna batin 'ibadah-'ibadah mahdhah, ketimbang mengecamnya. Salah satu karya pentingnya adalah Adab al-Shalah --yang halaman persembah annya telah saya terjemahkan sebelum ini.

Bahkan, Imam Khomeini sebelumnya menulis suatu buku yang lebih kental bernuansa sufistik berjudul Asrar al-Shalah (Rahasia-rahasia Shalat). Jadi, mungkin absennya kritikan terhadap syari'at dalam puisi-puisi Imam Khomeini ini bukanlah suatu kebetulan.

Tasawwuf Imam Khomeini, sebaliknya dari "melecehkan" Syari'ah --tanda kutip ini perlu karena, lagi-lagi, saya percaya bahwa Rumi dan para penyair lainnya itu memang tak pernah benar-benar ingin melecehkan syari'ah-- adalah integrasi antara syari'ah dan thariqah. Dengan kata lain, apalagi jika dikaitkan dengan concern sosial-politiknya yang amat besar itu, tasawuf Imam Khomeini identik dengan Islam itu sendiri.

Wal-llahu a'lam bish-shawaab.

Yamani.


Puisi-Puisi Imam Khomeini

Kerumunan Pemabuk

Di sekitar sufi tak kutemukan

Kelezatan yang kudamba

Di biara tak terdengar

Musik yang cinta mencipta

Di madrasah tak bisa kubaca

Buku apa saja dari si sobat

Di menara susah sungguh ditemukan

Suara darinya untuk disimak

Dalam cinta-buku tak kulihat

Wajah cantik bertutup cadar

Dalam susastra-suci tak kudapat

Jejak-jejak sang nasib

Di rumah berhala sepanjang usia hamba

Dalam kecongkakan terhabiskan saja

Dalam perkumpulan sesama kulihat

Tak penawar tak juga lara

Lingkar pencinta kujelang musti

Pelipur lara mungkin di sana

Dari kebun mawar sang kekasih

Sepoi angin atau sebentuk jejak

"Aku" dan "Kita", dari akal keduanya

Dialah tali tuk memintalnya

Dalam kerumunan para pemabuk

Tak ada "Aku" tak pula "Kita"

Gairah Pencinta

Wahai, hati itu bukan hati

Yang pada rupawanmu tak cinta

Wahai, sang bijak tak bestari

Yang pada tampanmu tak mendamba

Wahai, pencinta, hatinya gairah menyala

Gairahlah semua dalam anggurmu

Biarkan bagiku gairah ini sendiri

Apa lagi yang hidup ini kandungi

Siapa campakkan daku di gurun

Cinta 'lah padamu O, sahabatku

Tindak 'pa lagi dapat selamatkanku

Tak kunjung tampak tepian gurun

Jika pencinta bergairah menyala

Sisikan ayo dirimu segera

Antaramu dan dia apa pun tiada

Hanya dinding diri-jumawa

Jika kau pelancong jalan-pencinta

Campakkan sajadah campakkan jubah

Tiada pembimbing, hanya cinta

Dalam cinta kuyuplah andika

Jika memang pencinta-benar

Jangan jadi sufi saleh segala

Kar'na tak masuk lingkar-pencinta

Selain kumpulan pencinta saja.

Dambaku main rambut-pilinnya

Apa yang buruk padanya apa yang hina

Satu sentuhan gila satu elusan liar

'Pa lagi bisa beri cinta, hai pandir

Raih tanganku, dan lepaskan

jiwaku dari kemunafikanjubah ini.

Karna jubah ini bukan apa

Selain pelindung si jahil

Ilmu dan irfan sisihkan saja

Ke rumah anggur mereka tak bawa

Tapi di tempat istirah pencinta

Kepalsuan, pasangannya tiada

Kilas-Pandang Kekasih

Kasihku, hidupku bermula

Dan berakhir di pintumu

Coba saja kuhabiskan di sana

Tak lagi kubutuh sesuatu apa

Di kedai, masjid, dan biara

Dan lantai kuil-berhala

Aku merunduk dalam asa

'Kan kau berkahiku dan memuja

Tak 'kan madrasah temukan penawar

'Tuk susahku, tak pula sang wali

Wahai, keluarkanku dari galau ini

Oleh kilasmu sebelum pingsanku

Wahai, penuh cinta-diri sang sufi itu

Itulah sejauh yang kutahu

Wahai, beri aku penglihatanmu

Biar bening hatiku s'lalu

T'lah kucampakkan cinta-diriku

Kar'nanya saja kini kuada

Wahai, arahkan pandang-agungmu

padaku sari-pati yang hina

Hidup bak biksu t'lah kupilih

Demi kekasih di balik cadar

Biar oleh pandang-cintanya

Jadi gelegak-samudra tetes ini

Lunglai Pemabuk

Wahai, (kudamba) hari itu

Saat kujadi debu di jalannya

Saat kutinggalkan hidup deminya

Saat jadi pencinta-sejatinya kuhanya

Wahai, (kudamba) hari itu

Saat segelas ramuan jiwa

Kut'rima dari tangan-lembutnya

Dan, dalam lupa dua dunia

Terantai di untaian rambutnya

Wahai, (kudamba) hari itu

Saat kepalaku di telapaknya

Ciuminya hingga hidup usai saja

Dan jadilah aku, hingga kiamat tiba

Mabuk dari gelasnya

Wahai, (kudamba) hari itu

Saat kuterbakar bagai pencinta

Selalu saja deminya, dan nanar

oleh wajah-manisnya

dalam bengongnya si pemabuk

Wahai, (kudamba) hari itu

Saat kumabuk kepayang

Dalam lunglai si pemabuk

Dan jadilah kutahu semua

Rahasia-rahasia- tersembunyinya

Wahai, (kudamba) hari itu

Saat kudapati di ujung-ranjangku

Yusuf penyejuk-mataku

Dan jika tidak, seperti Ya'kub

Dibuai bau-harumnya.


Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini I

Untuk mendapatkan gambaran tentang kesederhanaan gaya hidup Imam Khomeini dan tentang keyakinannya bahwa kehati-hatian yang luar biasa mesti diterapkan atas harta bayt al-mal, kita hanya perlu mengetahui pandangan dan penekanannya atas ayat 142 UUD Iran. Dalam ayat ini disebutkan bahwa Mahkamah Agung wajib untuk menyelidiki kekayaan para pemimpin dan lapis-atas para pejabat negara, sebelum dan setelah mereka memangku jabatannya demi menjamin bahwa dalam kekayaan mereka tak mendapat tambahan harta yang tidak sah. Dan Imam Khomeini adalah orang pertama yang menyerahkan daftar kekayaannya yang nyaris semuanya tak punya nilai ke Mahkamah Agung.

Segera setelah Imam menjadi Wali Faqih, anaknya menulis surat yang dicetak di koran-koran Iran, meminta agar Kekuasaan Pengadilan menyelidiki harta Sang Imam. Hasil penyelidikan tersebut dipublikasikan dalam sebuah pernyataan bertanggal 2 Februari 1989 oleh Mahkamah Agung. Pernyataan itu mengungkapkan bahwa, bukan saja tak ada tambah an apa-apa dalam kekayaan Imam Khomeini, malah sebidang tanah yang diwarisinya dari ayahnya --atas perintahnya-- telah diberikan kepada penduduk yang sudah telanjur menempati tanah itu.

Satu-satunya aset tak-bergerak milik Imam adalah rumah-tuanya di Qum yang, sejak deportasinya ke Iraq pada tahun 1964, sebenarnya telah dipergunakan untuk tujuan Revolusi Islam. Yakni, sebagai markas berkumpulnya para mahasiswa, murid-murid pesantren, para ulama dan masyarakat umum sehingga nyaris sudah tak lagi merupakan miliknya.

Daftar harta-benda Imam yang dibuat pada tahun 1979 itu pada kenyataannya tak menunjukkan adanya tambahan, malah berkurang. Dinyatakan bahwa almarhum tak punya pemilikan pribadi kecuali buku-buku. Beberapa alat-alat kecil untuk keperluan hidup sehari-hari yang ada di rumahnya adalah milik isterinya. Dua karpet bekas yang ada bukanlah milik pribadinya dan harus disedekahkan kepada orang miskin sepeninggalnya. Uang kas jumlahnya nol. Kalaupun ada, maka itu semua adalah sedekah dari masyarakat untuk biaya-biaya kegiatan keagamaan Imam sebagai seorang marja' (panutan). Pewarisnya sama sekali tak punya hak untuk menyentuhnya. Maka jadilah harta-benda yang tersisa dari seseorang yang meninggal dalam usia 90 tahun sebagai pemimpin-tertinggi suatu negara kaya-minyak hanya terdiri dari kaca mata, alat pemotong kuku, tasbih, mushaf Al-Qur'an, sajadah, surban, jubah ulama dan beberapa buku.


Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini II

Ketika Iran menjadi tuan rumah konferensi tentang "Perempuan dan Revolusi Islam", para peserta diberi kesempatan untuk mengunjungi rumah Imam Khomeini. Di bawah ini adalah kesan-kesan dan reportase Khadijah, salah seorang peserta kunjungan ini.

Inilah mimpi yang jadi kenyataan. Suatu keistimewaan yang langka untuk bisa berada di kediaman Imam. Setelah lewat permohonan berkali-kali, akhirnya suatu malam kami diberitahu bahwa besok pagi kunjungan ke rumah Imam telah diatur. Karena perasaan penuh-harap, tampaknya tak ada yang bisa tidur malam itu.

Esok paginya, salju turun. Untuk bisa mencapai rumah Imam, kami harus menunggu jalanan dibersihkan dari salju yang menumpuk. (Kebetulan penyunting berkesempatan juga untuk mengunjungi rumah Ayatullah Khomeini di tempat yang sama, juga di suatu musim salju, tapi setahun setelah wafatnya sang Imam --Ym.) Di depan rumah Imam, sudah menunggu dalam dingin yang menusuk kerumunan besar orang yang juga ingin menemui pemimpin mereka. Ada juga para wartawan asing dan dalam negeri di sana. Penglihatan mereka tetap menatap pintu gedung pertemuan Jamaran --yang di sebelahnya terletak rumah-kecil Imam-- yang darinya Imam akan keluar.

Tiba-tiba, benar, Imam muncul dari situ! Orang-orang pun menjerit dalam tangisan, sambil mengucapkan "Allahu Akbar" berkali-kali. Maka Imam pun duduk diam. Di sebelahnya duduk juga Ahmad, puteranya. Saya dan Imam hanya dipisahkan oleh jarak kira-kira satu meter saja, sehingga saya bisa menatapnya dengan jelas. Seluruh raut wajahnya menunjukkan ketenangan dan kedamaian-batin yang sempurna. Melihat air-mukanya yang bening, saya merasa seperti berada di dunia lain. Hanya matanya mengungkapkan kenyataan bahwa dia benar-benar hadir di tengah-tengah kami.

Memasuki rumah Imam adalah kejutan yang lain buat kami. Pintu-depannya adalah pintu-besi sederhana. Di dalamnya terhampar halaman kira-kira sepanjang enam meter. Rumah itu memiliki tiga ruangan. Di dalamnya ada kasur dan sandaran-duduk, dan sofa sederhana tempat Imam duduk dan tidur.

Dapurnya memanfaatkan ruangan di bawah tangga. Ada juga satu ruangan kecil tempat Imam membaca, shalat, dan mendengar berita. Di dalamnya ada juga kursi, meja kecil, dan beberapa rak buku. Para wartawan asing yang ada di sana tampak tak dapat menyembunyikan ketercengangan mereka melihat kesederhanan rumah Imam. Lebih tercengang lagi mereka ketika melihat makanan sang Imam hanya terdiri dari kentang rebus, sebutir jeruk, dan sekerat roti. Mereka bertanya kepada isteri Imam, "Di mana Anda tidur?" Isteri Imam menjawab polos, "Persis di tempat kami duduk sekarang."

Kemudian isteri Imam mengisahkan kehidupan sehari-hari suaminya: "Ia biasa tidur dari pukul sembilan malam hingga pukul dua dini hari, yakni ketika ia bangun untuk shalat malam. Dia pun meneruskan shalat sunnah nawafil-nya hingga terdengar azan Subuh. Setelah shalat Subuh, ia biasa menunggu hingga terbitnya matahari.untuk sarapan pagi bersama keluarganya --isterinya, dua anak-perempuannya (yang salah-satunya kehilangan suami sebagai syahid di medan perang melawan Irak), puteranya Ahmad, dan dua cucunya. Dia selalu makan bersama mereka, dan tak pernah sendirian. Setelah itu ia akan pergi ke kamarnya untuk mendengar berita dan membaca koran.

"Pada jam sepuluh pagi ia biasa menerima para pejabat pemerintahan dan para tamu lainnya hingga tiba waktu shalat Zhuhur. Lalu biasanya ia beristirahat sebentar sebelum makan siang, kemudian berjalan-kaki selama kira-kira sejam setelah itu. Kadang-kadang di siang hari itu juga ia menyempatkan diri berkumpul bersama keluarganya.

"Sejak awal-pernikahan kami, ia tak pernah menyuruhku mengambilkan sesuatu. Jika ia membutuhkan sesuatu, ia menyampaikannya secara tidak langsung. Misalnya, jika dia membutuhkan gamis, dia akan berkata, "Adakah gamis di rumah ini?" Dengan begitu aku paham bahwa ia butuh gamis, dan aku pun mengambilkannya untuknya.

"Dia 'memaksa' untuk mempersiapkan sendiri segala sesuatu yang dibutuhkannya: mempersiapkan makanannya, minumannya, dan mencuci sendiri gelas-gelas dan mengembalikan ke tempatnya. Jika ada sesuatu yang tidak beres, dia membetulkannya sendiri.

"Suatu kali ia berada dalam suatu pertemuan dengan para pejabat negara. Tiba-tiba ia menyadari bahwa lampu di ruangan sebelah masih menyala. Dia pun bangkit menuju ruangan itu, mematikan lampu, dan kembali ke tempat pertemuan. Orang-orang tercengang dengan perbuatan Imam.

"Suatu kali orang melihat ia berupaya memisahkan selembar tissue yang terdiri dari dua lapisan. Ketika salah seorang yang hadir memintanya untuk menggunakan kedua-duanya ia menjawab, 'Saya hanya butuh selapis.'

"Ia menyukai makanan yang paling sederhana, dan tak makan dari beberapa makanan sekaligus. Dia makan hanya untuk bertahan-hidup. Amat teratur hidupnya. Imam amat menghargai perempuan.

Contohnya, ketika para cucunya mengunjunginya, dia tak lupa untuk menyuruh mereka pertama kali menemui neneknya dan mencium tangannya. "Tak ada pembantu rumah-tangga di rumah Imam. Para tamu biasanya dilayani oleh keluarga Imam., biasanya kedua anak-perempuannya, yang tak mengizinkan ibunya untuk melakukan apa-apa, hanya demi ingin membuat hidup si ibu senyaman mungkin."

Begitulah. Di rumah Imam, kami benar-benar seperti di rumah sendiri, seolah-olah kami berada ditengah keluarga sendiri. Kami merasa aman dan tenteram. Maka kami pun merasa amat sedih ketika harus meninggalkan Imam dan keluarganya. Keluarga ini telah membuat kami merasa bahwa mereka adalah cerminan-hidup ajaran-ajaran Al-Qur'an.


Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini III

Setahun telah lewat sejak wafatnya Imam Khomeini. Di suatu jalanan berdebu yang kosong di Khomein, dalam suatu rumah yang sepi, Bahjat --saudara-susu Imam dan teman-sepermainannya ketika masih kecil-- yang telah amat tua mengenang: "Saya ingat hari itu, ketika Imam ditahan dan dikirim ke pengasingan pada tahun 1963. Ibu saya menampari kepalanya sendiri sambil terus-menerus mengeluh: 'Ruhullah, Ruhullah.' Saya bertanya kepadanya, kenapa dia memukuli diri-sendiri dan begitu sedih. Bukankah dia bukan anak-kandungnya? Dan inilah jawabannya: 'Dia (bagiku) sama saja denganmu. Tak ada perbedaan. Dia anakku seperti juga kamu anakku. Saya susah-payah merawatnya. Saya merasa sedih (karena dia ditahan).'"

Hingga suatu kali, ketika Imam sudah kembali ke Iran, Bahjat kadang-kadang ikut dalam kerumunan orang yang ingin melihatnya dari dekat. Imam Khomeini selalu menyempatkan untuk menyapa --meski dari jauh-- saudara-perempuannya itu, sambil berkata kepada isterinya: "Lihat, Bahjat persis seperti ibunya..."

Kecintaan Imam kepada ibu-susunya yang telah meninggal-dunia itu tetap tinggal di dalam hatinya hingga akhir hayatnya.


Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini IV

Kapan saja salah seorang putra atau putrinya mengunjunginya, Imam Khomeini selalu menanyakan kabar cucu-cucunya. Kalau ada yang datang tanpa membawa mereka, sang Imam selalu menanyakan alasannya. Kadang-kadang mereka mengatakan tak ingin menyusahkan dia. Tapi, Imam Khomeini merasa sedih mendengar alasan ini, dan meminta agar mereka selalu membawa cucu-cucunya itu kapan saja mereka datang bertandang.

Pemimpin Revolusi ini selalu menganggap bahwa kesedihan rakyat adalah kesedihannya sendiri. Pada tahun 1978, ketika sebuah pembantaian dilancarkan Shah atas rakyat yang bangkit menentangnya, ia benar-benar merasa sedih. Tak seorang pun, menurut salah seorang cucunya, begitu bersedih seperti dia.

Mengenang hari-hari terakhir hayat Imam Khomeini ketika ia berada di rumah sakit, cucunya ini berkisah. "Kapan saja kami menyambanginya, betapa pun ia sedang kesakitan dan lemah, ia selalu memaksakan-diri untuk bercakap-cakap dengan kami sambil menanyakan kesehatan kami semua, khususnya anak-anak. Belakangan kami tahu dari para dokter spesialis yang merawatnya bahwa, pada saat itu, sebenarnya Imam sedang menderita kesakitan luar-biasa. Pernah, dalam salah satu kesempatan seperti itu, Imam bertanya tentang salah seorang anggota keluarganya yang sedang bepergian. Kami katakan bahwa ia akan kembali minggu depan. Imam pun menjawab: 'Tak ada minggu depan buat saya.' Persis pada minggu itu juga kami mengalami bencana wafatnya Imam."


Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini V

Imam adalah seorang ayah yang baik hati. Bukan hanya untuk bangsanya, tapi juga untuk putra-putrinya. Setelah selesai mengajar, atau --di masa-masa pasca revolusi-- setelah menyelesaikan berbagai urusan kenegaraan, ia selalu menyempatkan bermain-main dengan putra-putrinya. Ia biasa bercengkerama bersama mereka dengan berbagai permainan. Zahra Mustafawi, putrinya, pernah berkisah: "Meski terdapat perbedaan usia sebesar 40 tahun antara usia Ayah dan usia kami, kebaikan-hatinya membuat kami seolah tak merasakan perbedaan itu. Seolah-olah ia tampak sebaya kami saja. Ia biasa mengatur waktunya sedemikian, sehingga ia selalu bisa membagi waktunya untuk bermain-main dengan kami. Contohnya, sebagian kelas yang diajarnya diselenggarkan di rumah kami. Biasanya kelas-kelas itu berakhir pada jam sebelas. Setelah itu ia biasa bermain dengan kita hingga sebelum salat zhuhur. Kadang-kadang ia bermain petak-umpet dengan kami semua. Begitulah kira-kira acara kami sehari-hari. Kami sungguh amat menikmatinya..." Zahra pun menambahkan: "Saya terus ingat kenangan-kenangan manis itu demi menawarkan kepedihan yang kami rasakan sepeninggalnya."

Imam percaya bahwa anak-anak harus bebas bermain, bah kan pun untuk bersikap nakal. Kalau seorang anak tidak begitu, mungkin dia malah sedang sakit. Menurut Imam, jika seorang anak memecahkan sesuatu dan melukai dirinya sendiri, orang-tuanya perlu dihukum. Karena seharusnya mereka bertanggung-jawab untuk menyisihkan bahaya dari anak-anaknya.

Anak-anak Imam mengenang ayahnya sebagai orang tua yang baik hati tapi tak pernah mengabaikan pendidikan dan latihan bagi anak-anaknya. Ia selalu adil dalam mendidik mereka. Pernah terjadi, ia melarang anak-anaknya untuk bermain-main (terlalu banyak) di rumah tetangganya. Suatu kali, tiga anak perempuannya melanggar perintahnya itu. Untuk menghukum mereka, sang ayah mengambil sepotong rotan dan, untuk menakut-nakuti mereka, memukul-mukulkannya ke tembok sambil berkata: "Ayah 'kan sudah bilang, jangan main ke rumah tetangga..." Tanpa diduga, setelah memukul-mukulkan ke tembok dua-tiga kali, rotan itu patah dan melukai kaki salah seorang putrinya. Mengenang hal ini, Zahra mengatakan: "Kaki kakak-perempuan tertua saya, yang berusia sebelas tahun pada waktu itu, luka tergores. Dan saya, yang berumur tujuh tahun, serta kakak saya, yang sembilan tahun, tak terluka sama sekali. Ayah amat menyesal waktu itu. Setelah memeriksa dan mengobati kaki kakak saya, ia pun segera mempersiapkan pembayaran diyat (denda keagamaan) yang sebanding dengan luka kaki kakak saya itu --betapa pun itu sebenarnya terjadi tanpa sengaja. Pada waktu itu saya berharap bahwa yang luka tergores itu kaki saya."


Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini VI

Suatu kali putri termuda Imam hamil ketika ia berumur delapan belas tahun. Ketika kehamilannya mencapai usia tujuh bulan, suatu kelainan menimpa kandungannya, sehingga --menurut para dokter ahli-- hidup putri Imam dan anak yang dikandungnya itu terancam. Suatu tindakan perlu segera dilakukan untuk menyelamatkan salah seorang dari keduanya.

Menantu Imam dan para dokter berfikir untuk menyelamatkan sang ibu. Untuk keperluan ini, mereka minta izin Imam. Dengan menangis sesenggukan, menantu Imam itu memohon persetujuan mertuanya agar membiarkan dokter mengoperasi si ibu dengan akibat terkorbankannya anak yang dalam kandungan itu. Imam, dengan keyakinan-kuat seorang ayah mengatakan: "Saya tak bisa menyetujui agar nyawa seorang anak dikorbankan demi nyawa ibunya. Keduanya adalah makhluk hidup."

Bayangkan, ketika berkata begini, Imam tentu sadar betul bahwa dia berisiko untuk kehilangan putri kesayangannya. Ia pun melanjutkan: "Saya tak dapat mengizinkan pembunuhan makhluk hidup karena kecintaanku kepada putriku. Saya tak bisa memberikan izin itu." Para dokter ahli itu pun berupaya sebisanya untuk meyakinkan Imam bahwa --kalau dibiarkan-- toh (sedikitnya) salah satu harus meninggal juga. Menyadari itu semua, Imam pun segera minta ditinggalkan sendirian untuk shalat memohon pertolongan Allah SWT. Para dokter ahli itu pun melanjutkan upaya mereka, sebisanya. Beberapa menit kemudian, Imam diberitahu bahwa sang bayi dan ibunya sudah bisa diselamatkan dari bahaya yang tadinya mengancam mereka berdua. Sang Imam, dalam keadaan bahagia dan plong, melakukan shalat lagi. Kali ini untuk bersyukur kepada Allah.


Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini VII

Suatu hari, salah seorang putri Imam dan Sayid Ahmad berada di kamar ayahnya. Imam, dengan kelembutan seorang ayah, meminta putranya agar mengambilkan salinan buku Kasyf al-Asrar karangannya dari perpustakaan. Perpustakaan itu adalah milik Biro Imam. Putra Imam itu pun menjawab: "Menurut peraturan perpustakaan, siapa pun yang ingin membaca buku yang ada di sana, harus datang sendiri. Tapi, kali ini saya akan minta seseorang mengambilkannya untuk Ayah jika Ayah menginginkannya ..." Segera Imam menjawab: "Jangan. Saya tak mau bertindak melawan aturan perpustakaan." Setelah itu, Imam meminta putrinya untuk mencari salinan yang lain dari buku itu --yang mereka miliki sendiri-- dan membawanya kepadanya.

Imam adalah seseorang yang selalu taat pada peraturan. Ia tak ingin dirinya dibeda-bedakan dari yang lain. Padahal, sebenarnya, untuk seseorang yang berada pada kedudukan seperti itu --yang keselamatannya merupakan concern yang amat penting, di samping senioritas dan umurnya yang sudah lanjut --bukan hal yang luar biasa jika memperoleh sekadar privelese. Apalagi, perpustakaan itu sesungguhnya miliknya sendiri-- yang aksesnya dibuka untuk umum. Menurut penuturan orang-orang yang mengenalnya, sifat seperti ini selalu mewarnai kehidupannya. Ia selalu menghormati hak-hak orang lain. Ia merasa wajib mengikuti aturan, termasuk aturan-aturan di dalam rumahnya sendiri.


Kesaksian tentang Kepribadian Imam Khomeini VIII

"Suatu kali," putri Imam berkisah, "aku berada bersama-sama ayahku ketika saudara-lelaki saya, Ahmad, sampai di situ. Imam meminta agar ia mengembalikan teks pernyataan yang ia tulis untuk disiarkan kepada rakyat Iran. Ahmad menjawab bahwa teks itu sudah (telanjur) diserahkannya kepada Radio dan Televisi Republik Islam Iran untuk disiarkan. Maka Imam pun tetap meminta agar teks pernyataannya itu diambil kembali segera, sebelum telanjur disiarkan. Maka, pernyataan itu pun dikembalikan kepada Imam. Imam pun melakukan sedikit perubahan di dalamnya, lalu kembali menyerahkannya kepada putranya untuk dikirim ke Radio dan Televisi Republik Islam Iran.

Dalam keadaan agak bingung, saya bertanya kepada ayah, apa alasannya dia melakukan itu. Gerangan apakah yang begitu penting sehingga merasa perlu menarik kembali pernyataan yang sudah berada di tangan Radio dan Televisi itu? Imam pun mengatakan bahwa di dalam pernyataan itu ia menulis bahwa ia, dengan mencurahkan semua daya dan upayanya, selalu berdoa bagi keselamatan para serdadu Iran di medan perang. Tapi, belakangan ia berfikir bahwa, selain berdoa untuk para serdadu itu, ia berdoa juga untuk masalah-masalah lain. Ia berfikir, kalau redaksi pernyataan itu tak diubahnya, ia akan telah berbohong. Itu sebabnya ia mengubah bagian dari pernyataannya itu menjadi: "Saya berdoa bagi kalian dengan sepenuh hati."

(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: