Pesan Rahbar

Home » » Konsep Ketuhanan Dalam Maktab Filsafat

Konsep Ketuhanan Dalam Maktab Filsafat

Written By Unknown on Friday, 28 October 2016 | 21:39:00


Oleh: Team Wisdoms4all


DAFTAR ISI:

1. Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Iluminasionis
A. Cahaya dan Hakikatnya
B. Nur al-Anwar dan Sifat-Sifatnya
C. Urutan Penciptaan
D. Perbuatan Nur al-Anwar dan Cahaya-Cahaya lain
E. Konklusi Pokok-Pokok Filsafat Hikmatul Isyraq


2. Konsep Ketuhanan Dalam Filsafat Sadrian
A. Perspektif Teologis Mulla Sadra
B. Gagasan Tentang Tuhan
C. Kesatuan Wujud
D. Keazalian dan Keabadian Tuhan
E. Nama dan Sifat Tuhan
F. Sifat-Sifat Perbuatan Tuhan dan Masalah Penciptaan
G. Awal Dan Akhir Penciptaan Alam


3. Konsep Ketuhanan Dalam Filsafat Peripatetik
A. Pembuktian Wâjibul Wujûd(Tuhan)
B. Sifat-Sifat Wâjibul Wujûd
C. Tentang Penciptaan dan Perwujudan Makhluk
D. Dasar dan Tujuan Penciptaan Alam



1. Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Iluminasionis

Syihabuddin Abul Fatuh Yahya bin Habsy bin Amirak Suhrawardi adalah pendiri aliran filsafat Islam Hikmatul Isyraq (Iluminasionis). Dia dilahirkan di Suhrawad pada tahun 549 H.

Beberapa tahun kemudian dia pergi ke kota Maraghih dan belajar filsafat dan ushul fiqih pada seorang ulama bernama Majduddin Jily. Setelah itu dia berangkat ke kota Ishfahan dan belajar kitab al-bashair (kitab ilmu logika) pada Zahîruddin Farsi.

Suhrawardi banyak melakukan perjalanan dan bertemu dengan para tokoh-tokoh dan guru-guru terkenal pada setiap kota yang dilalui. Perjalanannya yang terakhir di kota Halb dan Dimasyq (Suria), di kota ini dia mendapatkan kehormatan oleh raja Zâhir Syah. Akan tetapi, penghormatan yang berlebihan dari raja ini membuat iri dan hasad para ulama fiqih Sunni. Dan dengan alasan yang dibuat-buat, para ulama itu mendesak Shalahuddin Ayyubi untuk menghukum mati Syaikh Iysraq. Akhirnya, dia mati syahid pada tahun 587 H ketika dia berusia 37 tahun di kota Halb.

Sebagian memandang Suhrawardi sebagai seorang ulama yang memiliki karamah-karamah dan sebagian lain mengklaimnya sebagai kafir dan musyrik. Dikatakan bahwa alasan utama kesyahidan dia adalah karena dialognya tentang "akhir kenabian". Para peneliti kontemporer berkeyakinan bahwa "wilayah" sebagai pokok akidah Suhrawardi dan menurut dia walaupun kenabian telah berakhir, namun "wilayah (kepemimpinan hakiki pasca Nabi)", yang sebagaimana diyakini oleh Syiah, terus dan tetap berlanjut.

Berikut ini akan kami paparkan beberapa pokok-pokok pikiran Syaikh Isyraq tentang masalah-masalah ketuhanan dan alam:


A. Cahaya dan Hakikatnya

Syaikh Isyraq dalam pembahasan ini beranggapan bahwa cahaya itu merupakan suatu hakikat yang gamblang, badihi, dan aksiomatik (tidak memerlukan defenisi). Dia menyatakan bahwa apabila terdapat sesuatu di alam eksistensi ini yang tidak membutuhkan penjelasan dan defenisi, maka kami katakan bahwa sesuatu itu adalah cahaya, karena tidak ada sesuatu yang lebih terang dan lebih jelas kecuali cahaya itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada sesuatu yang setara dengan cahaya yang tidak memerlukan keterangan, penjelasan, dan defenisi. Dan yang kami maksud dengan 'sesuatu tidak memerlukan defenisi' di sini adalah suatu yang dalam zat dan kesempurnaannya tidak bergantung dan tidak bersandar pada sesuatu yang lain.[1]


1. Cahaya dan Kegelapan 

Pada pembahasan ini Syaikh Isyraq membagi maujud-maujud alam ke dalam sembilan kategori lalu menempatkannya dalam dua kategori umum yaitu, cahaya dan kegelapan, kemudian dari setiap dua kategori ini terbagi lagi ke dalam substansi dan aksiden. Dia menyatakan bahwa segala sesuatu dalam zatnya sendiri terdapat cahaya atau dalam zatnya sendiri tidak terdapat cahaya. Oleh karena itu, maujud-maujud alam terbagi dua, yaitu maujud-maujud bercahaya dan maujud-maujud gelap. Maujud-maujud bercahaya ini terbagi dua lagi, yaitu maujud yang keberadaannya bergantung kepada yang lain disebut dengan cahaya tak murni atau cahaya aksidental dan maujud yang eksistensinya tidak bergantung kepada yang lain disebut cahaya murni atau cahaya substansial.

Sedangkan maujud-maujud gelap terbagi dua, yaitu maujud yang eksistensinya tidak memerlukan wadah disebut dengan substansi gelap (benda, barzakh) dan maujud yang eksistensinya bergantung kepada maujud-maujud lain disebut dengan aksiden-aksiden gelap. Perlu diperhatikan di sini bahwa yang kami maksud dengan barzakh adalah benda (jism) itu sendiri yang didefenisikan sebagai substansi yang dapat ditunjuk dan memiliki arah. Atau dikatakan bahwa benda adalah 'substansi gelap' atau barzakh yang hakikatnya tidak lain adalah kegelapan itu sendiri. Argumentasi atas kesamaan benda dengan kegelapan adalah bahwa secara praktis kita dapat melihat bahwa apabila cahaya tidak terpancar atas benda itu, maka ia akan senantiasa berada dalam kegelapan.

Di sini mungkin akan lahir dua kritikan dan sanggahan, pertama, apabila benda itu kita samakan dengan kegelapan, maka sirnanya cahaya dari sesuatu yang memungkinkan terpancarnya cahaya darinya adalah tidak sesuai dengan asumsi itu, dan kedua adalah sebagian benda senantiasa bercahaya, seperti matahari. Lantas bagaimana kita bisa menempatkan benda-benda seperti ini ke dalam kategori kegelapan?

Untuk menjawab pertanyaan pertama, perlu kami tekankan bahwa kegelapan bukan merupakan sesuatu yang bersifat temporal, namun kegelapan adalah ketidakmutlakan cahaya. Ketiadaan cahaya bukanlah jenis ketiadaan yang bersyarat dengan kemungkinan keberadaannya. Oleh karena itu, jika seluruh alam kita asumsikan kosong atau benda halus (yang tak memiliki kemungkinan bercahaya) dan karena kosong (tiada) atau benda halus ini tidak memiliki cahaya maka menjadi gelap dan tidak memiliki kemungkinan untuk memancarkan cahaya. Konklusinya, segala sesuatu yang tidak memiliki cahaya adalah gelap, dan karena barzakh (benda) kehilangan cahayanya maka dalam kegelapannya tidak memerlukan sesuatu yang lain. Maka dari itu, semua benda adalah sama dengan substansi-substansi gelap.

Sementara untuk menjawab kritikan kedua perlu memperhatikan poin ini, benda-benda yang terus bercahaya seperti matahari, berbeda dengan benda-benda lain menurut kualitas kegelapan zatnya, satu-satunya perbedaan matahari dengan benda-benda lain adalah bahwa cahaya pada matahari bersifat tetap sedangkan cahaya pada benda-benda lain bersifat tidak tetap dan temporal. Ketetapan atau ketemporalan cahaya-cahaya ini sama sekali tidak berhubungan dengan zat benda-benda tersebut, oleh karena itu cahaya pada setiap benda-benda tersebut (yaitu benda yang senantiasa bercahaya dan benda yang terkadang bercahaya) tidak terpancar dari hakikat zatnya, akan tetapi cahaya tersebut bersifat aksidental atau menempel pada zatnya. Kesimpulannya, hakikat benda-benda tersebut adalah substansi gelap itu sendiri. Dengan demikian, setiap benda secara hakiki ialah substansi gelap.[2]


2. Pencipta Cahaya-Cahaya

Syaikh Isyraq menyusun alam eksistensi itu ke dalam empat bagian, yaitu cahaya murni, cahaya tak murni, substansi gelap (benda), dan aksiden-aksiden gelap. Dia juga berusaha menunjukkan bahwa tiga bagian dari empat bagian tersebut wujud dan keberadaannya bergantung pada salah satu dari empat bagian, tiga bagian itu adalah cahaya tak murni, substansi gelap, dan aksiden-aksiden gelap. Ketiga bagian ini memerlukan cahaya murni. Pertama-tama Syaikh Isyraq berupaya menetapkan tentang kebutuhan hakiki cahaya tak murni, kemudian menunjukkan bahwa kebutuhan cahaya tak murni bukan kepada aksiden-aksiden gelap dan bukan kepada substansi gelap, melainkan kepada cahaya murni. Oleh karena itu, pencipta dan pengada cahaya-cahaya tak murni tidak lain adalah cahaya murni. Dalam hal ini, Syaikh Isyraq menjelaskan bahwa cahaya tak murni yang terindera secara lahiriah merupakan suatu hakikat yang yang bergantung dan butuh terhadap sesuatu yang lain, keberadaan cahaya tak murni ini bergantung kepada substansi gelap (benda, barzakh). Namun maujud yang bergantung ini (cahaya tak murni) bukan akibat dari substansi gelap, karena: pertama, apabila cahaya tak murni sebagai akibat dari benda, maka ia harus senantiasa bersama dengan benda di manapun ia berada, sementara terdapat benda-benda akan tetapi tidak mempunyai cahaya tak murni atau sebaliknya. Kedua, tidak satupun sebab bisa memiliki akibat yang lebih sempurna darinya, karena cahaya tak murni lebih sempurna dari pada benda, maka dari itu cahaya tak murni tidak bisa merupakan akibat dari benda. Oleh karena itu, sebab pengada dan pencipta cahaya tak murni yang terdapat dalam benda ialah bukanlah benda itu sendiri.

Aksiden-aksiden gelap juga tidak dapat dipandang sebagai sebab dan pencipta cahaya tak murni, karena: pertama, sebagian besar dari aksiden-aksiden gelap seperti bentuk dan warna merupakan akibat dari cahaya tak murni. Walaupun cahaya tak murni juga tergolong aksiden, namun sebagian aksiden-aksiden itu diwujudkan oleh cahaya tak murni. Kedua, aksiden-aksiden gelap ini adalah tersembunyi, tidak nampak, dan tidak terindera oleh mata, lantas bagaimana dapat menjadi sebab bagi keberadaan cahaya tak murni. Oleh karena itu, harus ada sebab bagi cahaya tak murni yang memberikan cahaya bagi benda-benda tersebut yang bukan dari substansi gelap atau barzakh. Jadi sebab cahaya tak murni adalah bukan benda dan juga bukan aksiden-aksiden gelap.


3. Kebutuhan Benda kepada Cahaya Substansial (Murni)

Semua benda atau barzakh bersama dengan kumpulan dari aksiden-aksiden gelap seperti bentuk dan warna, dan semua benda-benda memiliki ukuran-ukuran tertentu; walaupun ukuran-ukuran ini secara hakiki tidak berada di luar zat benda-benda, atau dengan kata lain (menurut filsafat Iluminasi) ukuran itu tidak lain adalah benda itu sendiri, namun yang pasti, ukuran-ukuran ini berbeda pada seluruh benda dan setiap benda memiliki ukuran masing-masing. Aksiden-aksiden yang menyebabkan perbedaan pada benda-benda adalah bukan akibat dari benda-benda tersebut, karena kalau demikian maka segala benda memiliki aksiden-aksiden yang sama, yakni karena zat semua benda adalah sama maka segala aksiden yang merupakan akibat dari semua benda itu harus sama dan identik di semua tempat. Kesimpulannya bahwa semua benda mesti memiliki bentuk dan warna yang sama, sementara secara faktual tidaklah demikian. Dengan demikian, ukuran-ukuran ini adalah bukan akibat dari zat benda dan pasti adalah akibat dari suatu sebab yang bukan bersumber dari jenis benda-benda.

Yang pasti bahwa semua aksiden itu membutuhkan sebab. Kita telah ketahui bahwa keberadaan semua aksiden memerlukan benda dan juga eksistensi semua benda adalah bergantung pada aksiden-aksiden, yakni kebutuhan semua benda pada aksiden dari sisi bahwa tanpa aksiden mustahil terwujudnya keragaman dan kejamakan benda. Namun kesaling-butuhan antara aksiden dan benda ini adalah bermakna kemestian non-esensial dan hal ini tidak berarti bahwa satu sama lain merupakan sebab hakiki. Dari sisi lain bisa dikatakan bahwa kalau benda merupakan sebab hakiki aksiden dan aksiden sebab hakiki benda, maka akan terjadi lingkaran setan (daur) yakni keberadaan benda bergantung pada aksiden dan eksistensi aksiden bergantung pada benda dan ini berarti bahwa sebelum benda itu tercipta ia harus mewujudkan aksiden yang akan menghadirkannya dan begitu pula sebaliknya, realitas ini adalah mustahil terjadi karena tak satupun akibat tidak bisa menjadi sebab bagi kehadiran dirinya sendiri. Dan karena seluruh benda dan aksiden adalah zat-zat yang secara esensial bergantung pada yang lain, dengan demikian semuanya memerlukan suatu sebab hakiki yang bukan benda, bukan cahaya tak murni, dan juga bukan aksiden kegelapan. Sebab hakiki itu tidak adalah cahaya murni.[3]


4. Ketidakterinderaan Cahaya Substansial

Syaikh Isyraq pada bagian ini menekankan bahwa cahaya murni tidak dapat diindera secara lahiriah. Dia menjelaskan bahwa setiap cahaya yang dapat diindera adalah cahaya tak murni, oleh karena itu jika ada cahaya murni, maka ia pasti tidak bisa terindera, tidak bisa ditunjuk, tak memiliki arah, dan tak memerlukan benda.[4]


5. Cahaya Substansial merupakan Cahaya Linafsihi

Secara lahiriah Syaikh Isyraq mengemukakan bahwa cahaya linafsihi yakni cahaya untuk dirinya sendiri dan tidak bergantung kepada selainnya, cahaya seperti ini adalah cahaya murni. Dia menjelaskan bahwa cahaya tak murni adalah bukan cahaya bagi dirinya sendiri, karena eksistensi dan keberadaannya tidak mandiri, melainkan bergantung dan butuh kepada yang lain (benda), dengan demikian, cahaya seperti ini adalah cahaya bagi realitas yang lain dan bukan untuk dirinya sendiri (cahaya lighairihi). Oleh karena itu, cahaya murni adalah cahaya linafsihi atau cahaya bagi dirinya sendiri, dan setiap cahaya linafsihi merupakan cahaya yang murni.[5]


6. Cahaya Substansial ialah Mengetahui Zatnya Sendiri

Syaikh Isyraq beranggapan bahwa seluruh maujud yang mengetahui zatnya sendiri adalah cahaya murni, yakni sekalipun maujud tersebut adalah binatang, kalau ia mengetahui dirinya sendiri maka niscaya merupakan cahaya murni. Lebih lanjut dia berkata bahwa setiap maujud yang sadar,mengetahui, dan tak lupa dengan wujudnya sendiri adalah bukan substansi gelap dan benda, karena zatnya bagi dirinya sendiri adalah cahaya, dan begitu pula ia juga bukan cahaya tak murni karena tidak memahami dirinya sendiri dan cahayanya tidak bagi dirinya sendiri, dan juga bukan aksiden gelap. Dengan demikian, maujud itu adalah cahaya murni.

Syaikh Isyraq memaparkan masalah ini secara lebih luas dan menyatakan bahwa kesadaran dan pengetahuan wujud mandiri atas zatnya sendiri adalah bersifat hudhuri dan bukan hushuli (lewat gambaran pikiran), karena:

a. Pengetahuan atas zat sendiri yang berasal dari gambaran pikiran yang jika dibandingkan dengan subyek bukanlah subyek itu sendiri, gambaran pikiran atas zat sendiri senantiasa berada di luar zat subyek. Secara hakiki, karena yang dipahami adalah gambaran zat sendiri, konsekuensinya bahwa pengetahuan atas zatnya sendiri dan pengetahuan terhadap gambaran atas zat sendiri adalah sama, hal ini adalah mustahil. Perkara ini berbeda ketika memahami sesuatu yang berada di luar subyek dimana gambaran sesuatu itu dalam pikiran dan zatnya senantiasa berada diluar zat subyek.

b. Apabila pengetahuan atas zat sendiri diperoleh dari gambaran pikiran, dan subyek tidak mengetahui bahwa gambaran itu adalah gambaran zatnya sendiri, maka pada dasarnya ia tidak mengetahui dirinya sendiri. Dan kalau ia memahami bahwa gambaran itu terkait dengan zatnya sendiri, maka ia mengetahui dirinya sendiri sebelum gambaran tentang dirinya sendiri.

c. Dalam bentuk apapun tidak dapat dibayangkan bahwa zat sendiri itu dapat diketahui dengan perantaraan sesuatu (gambaran) yang bersifat tambahan pada zat. Karena gambaran itu apabila dikaitkan dengan zat merupakan sejenis sifat, dan kalau sifat tambahan ini kita posisikan berhubungan dengan zat itu sendiri, maka secara hakiki zat itu sendiri dipahami sebelum sifat itu. Dengan demikian, ilmu dan pengetahuan kita terhadap zat kita sendiri bukan dicapai dengan sifat tambahan tersebut.

Kesadaran dan pengetahuan atas zat itu sendiri tidak dicapai dengan gambaran pikiran atau sifat tambahan atas zat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap zat itu sendiri tidak memerlukan sesuatu yang lain di luar zat itu sendiri, karena zat kita hadir "disamping" kita, maka dari itu zat kita sendiri dipahami tanpa perantara dan mustahil kita lupa pada diri kita kecuali dengan zat kita sendiri.

Segala sesuatu yang dilupakan, seperti hati, otak, jantung, limpa, organ-organ lain, benda-benda, dan aksiden kegelapan ialah bukan hakikat zat yang diketahui dan dipahami secara hudhuri. Jadi yang kita ketahui dari zat kita sendiri bukanlah organ-organ dan benda-benda kita, karena kalau demikian, mustahil kita melupakan, karena tidak mungkin kita melupakan wujud dan zat kita sendiri.[6]


7. Kaidah Cahaya

Apabila ingin diketahui tentang kaidah cahaya eksistensi, maka pahamilah bahwa cahaya adalah jelas dan terang dalam hakikat zatnya dan secara esensial menyebabkan terang dan jelasnya yang lain, karena kejelasan dan keterangan bagi cahaya bersifat esensial, dengan demikian cahaya itu lebih terang dan lebih jelas dari segala sesuatu yang keterangan dan kejelasannya bersifat non-esensial. Kehadiran cahaya-cahaya tak murni juga bukanlah bersifat tambahan atas zatnya, yakni cahaya-cahaya ini secara esensial tidak tersebunyi dan tidak nampak, bahkan terangnya dan kehadirannya ialah bersifat esensial. Dan juga bukan berarti bahwa kemestian cahaya adalah kejelasan, keterangan, dan kehadiran itu sendiri, karena apabila demikian, konsekuensinya cahaya secara esensial adalah bukan cahaya yang dalam kehadirannya bergantung kepada yang lain, akan tetapi cahaya dengan sendirinya adalah jelas, terang, dan hadir serta dalam kebercahayaannya merupakan kejelasan, keterangan, dan kehadiran itu sendiri.

Adalah suatu anggapan yang salah kalau kita pandang bahwa cahaya matahari itu sebagai sesuatu yang dihadirkan. cahaya ialah kehadiran itu sendiri. Jika semua masyarakat menjadi tiada, maka kebercahayaannya cahaya tidak akan menjadi sirna dan punah.

Dengan penjelasan lain, kita jangan memandang bahwa zat dan hakikat kita adalah sesuatu yang diikuti oleh kehadiran, yakni pada tingkatan zat tidak terdapat kehadiran dan tersembunyi. Akan tetapi, zat dan hakikat kita adalah kehadiran dan kebercahayaan itu sendiri, karena kata 'keberadaan' adalah predikat yang terdapat dalam pikiran, kata 'hakikat' dan 'kuiditas' juga tergolong majasi, dan begitu pula kata 'ketidakhadiran' merupakan perkara negasi. Semuanya ini tidak bisa menjadi hakikat dan kuiditas zat kita. Oleh karena itu, hakikat kita tak lain adalah kehadiran. Dengan demikian setiap maujud yang memahami zatnya sendiri ialah cahaya murni dan setiap cahaya murni adalah hadir bagi zatnya sendiri.


8. Pembagian dan Sifat-Sifat Cahaya

Cahaya terbagi dua, pertama adalah yang dalam zatnya sendiri dan untuk zatnya sendiri merupakan cahaya, dan kedua ialah yang dalam zatnya sendiri adalah cahaya, namun bukan untuk dirinya sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa cahaya tak murni bergantung kepada yang lain, maka dari itu bagi dirinya sendiri adalah bukan cahaya, walaupun dalam zatnya sendiri adalah cahaya karena keberadaannya bersandar kepada yang lain. Sementara substansi gelap atau benda yang tidak memiliki kehadiran dalam zatnya sendiri dan juga tak memiliki kehadiran bagi dirinya sendiri.

Kehidupan hakiki tidak lain adalah sesuatu yang memiliki kehadiran bagi dirinya sendiri. Secara hakiki, suatu maujud disebut hidup apabila memiliki pengetahuan, pemahaman, dan aktivitas. Tentang pengetahuan cahaya atas zatnya sendiri telah kami bahas. Aktivitas cahaya juga bukan hal yang diragukan, karena cahaya secara esensial memberikan pancaran realitas. Oleh karena itu, setiap cahaya murni adalah hidup dan setiap yang hidup merupakan cahaya murni. Benda gelap atau setiap realitas kegelapan lainnya apabila mampu mengetahui zatnya sendiri, maka dalam zatnya adalah cahaya dan bukan benda gelap lagi.

Kalau benda dan realitas gelap lain mengharuskan kehidupan dan pengetahuan, maka semua benda niscaya hidup dan berilmu, sementara tidaklah demikian. Apabila kehidupan dan pengetahuan benda merupakan akibat dari aksiden-aksiden yang melekat pada benda, maka akan muncul masalah bahwa bagaimana mungkin aksiden itu bisa memberikan pengetahuan sementara ia sendiri tak memiliki pengetahuan. Tanpa diragukan bahwa aksiden bukan ilmu dan tidak hadir untuk benda, karena benda secara esensial adalah gelap dan bagaimana mungkin bisa mengetahui sesuatu yang lain? Sesuatu yang memahami realitas-realitas lain pada hakikatnya ia sebelumnya memahami dirinya sendiri, karena tanpa mengetahui dirinya sendiri, mustahil ia dapat mengetahui maujud-maujud lain.

Karena benda dan aksiden-aksiden tidak mengetahui dirinya sendiri maka keduanya juga tidak memiliki pengetahuan atas yang lain. Dengan dasar ini, berkumpulnya benda dan aksiden juga tidak akan menghasilkan pengetahuan atas zatnya sendiri. Karena wujud aksiden ialah bergantung kepada yang lain, maka kebersamaannya dengan benda tidak akan mewujudkan suatu realitas yang secara hakiki tak membutuhkan maujud lain, bahkan yang tak bergantung adalah benda tersebut. Dengan demikian, jika salah satu dari benda atau aksiden diasumsikan memiliki pengetahuan, maka yang sangat mungkin memiliki pengetahuan adalah benda itu karena memiliki kemandirian esensial dibandingkan aksiden. Benda dan aksiden adalah dua realitas dan bukan satu realitas, dan telah dipahami bahwa barzakh atau benda tidak mengetahui zatnya sendiri.

Lebih lanjut Syaikh Isyraq ingin menekankan bahwa sifat-sifat cahaya, yakni memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri hanya, khusus dimiliki oleh cahaya murni. Dia mengungkapkan bahwa mungkin terdapat sesuatu (A) yang menjadi penyebab kehadiran dan pengetahuan bagi sesuatu yang lain (B), seperti cahaya tak murni merupakan perantara kehadiran bagi sesuatu yang lain. Namun kemestian sesuatu (A) bagi kehadiran dan pengetahuan sesuatu yang lain (B) bukanlah berarti bahwa sesuatu itu (A) merupakan penyebab kehadiran dan pengetahuan bagi dirinya sendiri, karena ketika sesuatu itu menghadirkan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu harus merupakan maujud yang berilmu secara mandiri supaya bisa mengetahui dan memahami sesuatu.

Berdasarkan pendahuluan di atas mesti diketahui bahwa tidak satupun faktor yang mampu mengubah sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan atas diri sendiri menjadi suatu hakikat yang memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, karena zatnya sendiri lebih "dekat" dari dirinya sendiri, dengan sifat ini, berarti bahwa ia tidak mengetahui dirinya sendiri dan ketidakberilmuan atas dirinya merupakan suatu sifat yang esensial, dengan demikian tidak satupun faktor yang dapat menjadikan ia menjadi realitas yang berilmu dan berpengetahuan terhadapat dirinya sendiri. Apakah mungkin sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan tentang dirinya kemudian karena faktor eksternal bisa berpengetahuan? Walhasil, sebelum berilmu mengharuskan pengetahuan diri sendiri dan karena benda tidak mengetahui zatnya sendiri maka mustahil memiliki pengetahuan atas dirinya dan yang lainnya dengan perantaraan sesuatu yang lain diluar zat benda itu sendiri.

Dengan ungkapan lain, apabila diasumsikan terdapat faktor eksternal yang menyebabkan sesuatu yang tidak mengetahui dirinya sendiri menjadi mengetahui dirinya sendiri, maka faktor ini tidak lain adalah cahaya tak murni. Dalam hal ini, setiap benda yang dicahayai oleh cahaya tak murni, niscaya menjadikan benda itu akan yang mengetahui dirinya sendiri dan menjadi hidup, sementara hal ini tidaklah demikian. Setiap karakteristik yang ada pada cahaya tak murni, tetap saja ia tidak bisa mengubah benda menjadi maujud yang mengetahui dan memahami dirinya sendiri.[7]


9. Kemustahilan Suatu Benda Mencipta Benda-Benda Lain

Dalam masalah ini Syaikh Isyraq menetapkan secara argumentatif bahwa benda bukan pencipta hakiki dan sebab bagi keberadaan benda lain. Dia menyatakan bahwa jiwa dan akal manusia merupakan cahaya murni, namun dengan sifat ini manusia tidak bisa mencipta dan mewujudkan suatu benda dari alam "ketiadaan" ke alam keberadaan. Dengan demikian, apabila cahaya murni yang hidup dan sangat aktif tidak bisa menghadirkan suatu benda, maka benda yang tak hidup mustahil melakukan hal itu.[8]


B. Nur al-Anwar [9] dan Sifat-Sifatnya

1. Perbedaan Cahaya-Cahaya Substansial

Syaikh Isyraq beranggapan bahwa perbedaan cahaya-cahaya murni (akal-akal) bersifat gradasional (bertingkat-tingkat). Dia menjelaskan bahwa semua cahaya-cahaya murni dari sisi zat dan hakikatnya adalah satu dan perbedaannya hanya dari aspek kesempurnaan, kekurangan, aksiden-aksiden, dan hal-hal yang ada di luar zat, karena kalau perbedaan cahaya-cahaya terletak pada zat, maka setiap zat dari cahaya-cahaya itu harus tersusun dari genus dan diferensia; yakni setiap zat cahaya-cahaya itu memiliki dua bagian yaitu aksiden-aksiden gelap dan substansi gelap (benda), dua bagian itu bukanlah cahaya ditambah cahaya. Dalam kondisi ini, bagaimana mungkin gabungan dari dua bagian tersebut secara esensial bisa membentuk cahaya? Apabila salah satu dari dua bagian itu adalah cahaya dan bagian lain adalah bukan cahaya, maka yang bukan cahaya itu mustahil dapat ikut campur dalam perwujudan cahaya, karena yang bukan cahaya pada hakikatnya bukan merupakan sumber cahaya, dan yang merupakan cahaya tidak lain adalah bagian yang lain. Dengan demikian gabungan dari dua bagian tersebut tidak bermanfaat.

Cahaya-cahaya murni tidak terdapat perbedaan pada zat dan hakikatnya, jika tidak demikian maka setiap cahaya semestinya mempunyai dua bagian, yaitu cahaya dan bukan cahaya. Yang bukan cahaya ini merupakan aksiden pada cahaya atau sebaliknya, cahaya mengaksiden pada yang bukan cahaya atau kedua bagian itu merupakan substansi yang mandiri. Pada asumsi pertama, tidak akan melahirkan cahaya, karena aksiden hanya akan ada setelah keberadaan sesuatu yang aksiden menempel padanya dan karena aksiden berada di luar zat maka mustahil sebagai penyebab hakikat dan zat yang berbeda. Pada asumsi kedua, cahaya ini adalah bukan cahaya murni, akan tetapi cahaya tak murni yang mengaksiden pada substansi gelap. Asumsi ini adalah batal karena yang kita asumsikan pada bagian itu adalah cahaya murni dan mustahil bagian itu merupakan cahaya murni dan sekaligus juga merupakan cahaya tak murni. Sementara pada asumsi ketiga, tak satupun dari bagian-bagian itu saling beraksiden dan berpengaruh satu sama lain dan bahwa keduanya diasumsikan sebagai substansi maka pasti tak memiliki "wadah" yang sama. Dan Karena bagian-bagain itu bukan benda yang bersambungan satu sama lain, dengan dasar inilah tak satupun memiliki kebergantungan satu sama lain dan tidak bisa menjadi lahan bagi keberadaan sesuatu yang lain. Oleh karena itu, cahaya-cahaya murni tak memiliki perbedaan dari zat dan hakikat.

Lebih lanjut Suhrawardi menuturkan bahwa kita mengetahui bahwa hakikat kita adalah cahaya murni dan karena itu kita memiliki pengetahuan atas diri sendiri, karena cahaya-cahaya murni tak memiliki perbedaan dari dimensi zat dan hakikat, dengan demikian semua cahaya murni semestinya memiliki pengetahuan atas diri sendiri, karena setiap hukum yang berlaku pada satu individu pasti juga berlaku pada individu-individu lain yang memiliki kesamaan hakikat. Hal ini juga merupakan dalil atas realitas itu.[10]


2. Pengada Semua Benda adalah Realitas yang Berilmu

Suhrawardi pada persoalan ini menjelaskan sifat keberilmuan sebab pengada bagi benda-benda. Dia menyatakan bahwa karena yang memberikan cahaya dan mengadakan semua benda adalah cahaya murni, maka dari itu pemberi cahaya dan wujud merupakan suatu maujud yang hidup dan memiliki pengetahuan atas dirinya sendiri, karena ia adalah cahaya mandiri dan tidak bergantung.[11]


3. Pembuktian Cahaya di atas Cahaya (Nur al-Anwar)

Syaikh Isyraq membuktikan bahwa apabila cahaya murni itu bergantung pada realitas yang lain maka kebutuhannya bukan pada substasni gelap atau benda tak hidup, karena benda tak hidup tidak bisa menjadi sebab bagi keberadaan sesuatu (cahaya murni) yang lebih sempurna dan lebih tinggi dari semua aspek. Dan juga aksiden kegelapan bukan sumber eksistensi cahaya murni. Maka dari itu, kebutuhan dan kebergantungan cahaya murni niscaya pada cahaya murni yang lain. Karena tasalsul atau mata rantai yang tak terbatas pada keberadaan maujud-maujud adalah mustahil terjadi, dengan demikian mata rantai keberadaan cahaya-cahaya murni ini harus berakhir. Semua benda, aksiden kegelapan, cahaya tak murni, dan cahaya murni harus bergantung pada satu cahaya yang tidak ada lagi cahaya setelahnya, cahaya ini disebut cahaya di atas cahaya (Nur al-Anwar) yang Maha Meliputi, Pemberi Wujud, Maha Suci, Maha Agung, Maha Menguasai, dan Maha Kaya.[12]


4. Ketunggalan Nur al-Anwar

Syaikh Isyraq dengan berpijak pada cahaya dan kegelapan, kemestian kesamaan dan perbedaan sesuatu, dan kebutuhan pada faktor pengada dan pencipta, menetapkan ketunggalan nur al-anwar. Dia menjabarkan bahwa keberadaan dua cahaya murni yang tak bergantung adalah mustahil, karena kedua cahaya ini dari sisi zat dan hakikat tidak terdapat perbedaan (sebagaimana penjelasan di atas). Kesamaan hakikat mustahil menjadi penyebab perbedaan individu-individu (baca: cahaya-cahaya) yang ada. Begitu pula kemestian esensial dari kesamaan zat dan hakikat tidak akan dapat mewujudkan perbedaan, dikarenakan kedua cahaya itu memiliki kesamaan pada zat dan hakikat, maka kemestian esensial kedua zat juga adalah sama. Perbedaan ini juga mustahil terwujud dengan aksiden-aksiden yang melekat pada zat, tak peduli apakah aksiden-aksiden itu cahaya-cahaya tak murni atau benda-benda, sementara tidak ada lagi maujud-maujud yang lebih tinggi dari cahaya murni yang bisa menghadirkan aksiden-aksiden tersebut. Adalah mustahil kalau kita asumsikan bahwa kedua cahaya murni itu mengadakan dirinya sendirinya atau satu sama lain saling mewujudkan, karena kemestian hal ini ialah kedua cahaya murni itu tanpa adanya faktor pengada telah mengada dan memiliki perbedaan, hal ini mustahil.

Oleh karena itu, cahaya murni yang tak bergantung ini pasti tunggal dan tak berangkap. Cahaya murni ini tidak lain adalah Nur al-Anwar yang seluruh cahaya bergantung dan butuh padanya serta dengan kepenciptaannya terwujudlah segala maujud. Begitu pula, tidak ada yang serupa dan identik dengan Dia dan Dia berpengaruh dan berkuasa atas segala hal, tidak satupun maujud yang berkuasa dan berpengaruh atas-Nya, dan tidak ada yang dapat menandingi-Nya, karena semua kodrat, kekuasaan, dan kesempurnaan berasal dari-Nya. Akibat (ma'lul) tak pernah seimbang dengan sebab.[13]


5. Kemustahilan Ketiadaan Nur al-Anwar

Suhrawardi menegaskan bahwa Nur al-Anwar mustahil tiada, karena kalau ketiadaan-Nya bersifat mungkin, maka keberadaan-Nya pun bersifat mungkin. Jika hal ini terjadi, maka sesungguhnya Dia memerlukan Pengada yang akan mewujudkan-Nya. Walhasil Dia adalah maujud yang secara esensial bergantung dan membutuhkan maujud lain yang secara mutlak dan esensial tak bergantung yang disebut dengan Nur al-Anwar. Bagaimanapun rangkaian sebab dan akibat (kausalitas) harus berakhir pada Sebab Hakiki dan Pertama.

Suatu maujud tak akan pernah mengharuskan secara esensial ketiadaan dirinya sendiri, kalau demikian halnya, maka dari awal ia tidak akan pernah ada. Nur al-Anwar ialah tak berangkap (basith) dan keberadaan zat-Nya tidak berhubungan dengan syarat-syarat, segala sesuatu bergantung selain diri-Nya dan segala sesuatu butuh pada-Nya. Maka dari itu, karena Dia tak bersyarat dan tak memiliki lawan yang bisa memusnahkan-Nya, Dia terus ada dan abadi.[14]


6. Kemanunggalan Sifat Nur al-Anwar dengan Zat-Nya

Pada bagian ini pembahasan berkenaan dengan kesatuan sifat Nur al-Anwar dengan zat-Nya. Syaikh Isyraq menyatakan bahwa tidak satupun sifat yang bercahaya atau gelap menempel pada zat Nur al-Anwar. Dan juga tidak satupun sifat dari sifat-sifat-Nya yang hubungannya dengan zat-Nya bersifat mungkin, bahkan hubungan semua sifat-Nya dengan zat-Nya bersifat mesti dan niscaya. Berikut ini akan diutarakan beberapa dalil dan argumentasi:

a. Apabila Nur al-Anwar memiliki aksiden-aksiden gelap maka mesti terdapat pada zat-Nya sisi kegelapan yang dihadirkan oleh aksiden-aksiden tersebut. Dalam kondisi ini, Nur al-Anwar terangkap dari dua dimensi kegelapan dan cahaya, dan akhirnya Dia bukan cahaya murni lagi. Sementara dipahami bahwa Dia ialah cahaya murni. Jika diasumsikan Nur al-Anwar memiliki suatu sifat cahaya yang tidak menyatu dengan zat-Nya, maka wadah sifat itu harus memiliki cahaya yang lebih terang yang kemudian menerangi zat Nur al-Anwar. Karena tidak ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih terang dari Nur al-Anwar yang ia itu sebagai faktor yang mewujudkan sifat cahaya lain, kesimpulannya sifat cahaya lain lebih terang dari Nur al-Anwar yang sebagai akibat-Nya sendiri dan hal ini ialah mustahil.

b. Senantiasa pemberi cahaya lebih terang dari penerima cahaya, karena ia merupakan sumber cahaya ini. Oleh karena itu, apabila Nur al-Anwar sendiri mewujudkan suatu sifat lain pada zat-Nya, maka zat dengan sifat lain itu lebih terang dan bercahaya dari zat Nur al-Anwar itu sendiri, dan hal ini adalah juga mustahil terjadi.

c. Apabila Nur al-Anwar menciptakan suatu sifat lain dalam zat-Nya sendiri, maka zat-Nya yang sebagai pelaku adalah juga penerima atau Dia sebagai pemberi dan juga sebagai penerima. Dari satu sisi, pemberi dan pelaku berbeda dengan penerima, karena dalam hal itu semestinya setiap pemberi ialah juga penerima sesuatu dan setiap penerima juga adalah pemberi, sementara tidaklah demikian. Dengan demikian, Nur al-Anwar harus memiliki dua dimensi yang satu dimensi memberikan dan dimensi lain menerima. Karena mata rantai yang tak berhingga itu adalah mustahil terjadi, pada akhirnya akan berujung kepada zat Nur al-Anwar dan kesimpulannya, zat Dia menjadi terangkap dari dua dimensi yaitu dimensi yang memberi dan yang menerima.

d. Dua dimensi tersebut adalah bukan cahaya tak bergantung, pada pembahasan yang lalu telah ditetapkan tentang kemustahilan keberadaan dua cahaya yang sama-sama tak bergantung. Dan juga dari dua dimensi itu tidak bisa diasumsikan bahwa satu dimensi tak bergantung dan dimensi lain bergantung, karena kalau cahaya bergantung bersandar pada cahaya tak bergantung akan lahir masalah sebagaimana pada poin (c). Apabila cahaya bergantung tidak bersandar pada cahaya tak bergantung, maka tidak terdapat dua dimensi, sementara diasumsikan zat-Nya memiliki dua dimensi dan hal ini adalah batal karena terjadi kontradiksi. Begitu pula dari dua dimensi tersebut tidak dapat diasumsikan bahwa satu dimensi sebagai cahaya dan dimensi lain adalah aksiden gelap, karena akan terdapat dimensi gelap pada zat Nur al-Anwar. Juga mustahil diasumsikan satu dimensi ialah benda dan dimensi lain ialah cahaya murni, karena dengan kondisi ini, tak akan terjadi kebergantungan satu sama lain dan tak akan berhubungan dengan zat Nur al-Anwar.

Dengan penjelasan di atas menjadi jelaslah bahwa Nur al-Anwar tak memiliki sifat yang terpisah dari zat-Nya yang kemudian menempel padanya dan lebih terang dari zat-Nya sendiri. Karena kembalinya ilmu segala sesuatu kepada zatnya, dengan makna bahwa zatnya bagi dirinya sendiri adalah jelas dan terang. Dan hal ini tidak lain ialah cahaya murni yang kehadirannya tak bergantung kepada yang lain. Dengan demikian, kehidupan dan pengetahuan Nur al-Anwar yang merupakan cahaya murni adalah menyatu dengan zat-Nya sendiri, dan bukan terpisah dari zat-Nya.[15]


C. Urutan Penciptaan

1. Satu Akibat (Ma'lul) hanya Terpancar dari Satu Sebab ('Illah)

Syaikh Isyraq, sebagaimana filosof Peripatetik, menerima dan menetapkan suatu rumusan masyhur yang disebut dengan kaidah al-wahid. Dia menyatakan bahwa mustahil terpancar dari Nur al-Anwar satu cahaya dan satu non-cahaya (substansi gelap dan aksiden-aksiden gelap), karena:

a. Aspek kemestian cahaya berbeda dengan kemestian kegelapan. Kalau keduanya (cahaya dan kegelapan) terpancar dari-Nya, maka zat Nur al-Anwar terangkap dari dua aspek itu. Sebagaimana kita ketahui tentang kemustahilan kerangkapan zat-Nya. Maka dari itu, terpancarnya kegelapan dari Nur al-Anwar adalah mustahil terjadi.

b. Cahaya dari sisi kecahayaannya, apabila memiliki akibat, maka akibat itu tidak lain adalah cahaya itu sendiri. Adalah juga mustahil terpancar secara langsung dua cahaya sekaligus dari zat Nur al-Anwar (Sebab Pertama), karena dua cahaya ini adalah dua hakikat dan dua kemestian yang berbeda. Jika dua cahaya terpancar secara bersamaan dari-Nya, maka mengharuskan pada zat-Nya dua aspek dan dua dimensi. Dan keberadaan dua dimensi pada zat-Nya akan meniscayakan kerangkapan pada zat-Nya, dan hal ini adalah batil.

Dengan dasar perbedaan dua akibat yang terpancar dari Nur al-Anwar, semestinya di antara keduanya terdapat sisi kesamaan dan sisi perbedaan, dan Nur al-Anwar seharusnya mewujudkan dua sisi itu dalam wujud-Nya. Konsekuensi dari hal ini adalah pada zat-Nya terdapat dua sisi, keadaan ini adalah suatu kemustahilan.[16]


2. Pancaran Pertama

Suhrawardi menetapkan akal atau cahaya substansial (murni) sebagai pancaran pertama yang terwujud dari Sebab Pertama. Dalam hal ini, dia sepaham dengan maktab Peripatetik, namun dalam pembuktian ide dan konsep ini, ia memilih metode dan jalan yang khas. Dalam kelanjutan pembahasan, dia mengkaji perbedaan antara pancaran pertama dengan Nur al-Anwar dan pengertian pancaran maujud. Ini tidak dilakukan oleh filosof agung Ibnu Sina.

Syaikh Isyraq dalam masalah ini menjelaskan bahwa apabila pencaran pertama dari Nur al-Anwar itu diasumsikan sebagai satu kegelapan, berdasarkan kemestian kejamakan dimensi pada zat-Nya, maka mustahil pancaran pertama itu ialah cahaya. Akan tetapi yang kita saksikan keberadaan fenomena cahaya-cahaya murni dan tak murni di alam eksistensi ini, maka dari itu, pancaran pertama adalah bukan kegelapan. Karena jika demikian yang terjadi, maka yang ada hanyalah kegelapan itu dan tidak menyisakan ruang bagi eksistensi cahaya-cahaya dan kegelapan-kegelapan lain, karena berpijak pada kaidah al-wahid, mustahil sekaligus terpancar cahaya dan kegelapan, dan juga kegelapan tidak bisa mewujudkan cahaya dan kegelapan lain. Dengan demikian akibat Nur al-Anwar hanyalah terbatas pada kegelapan itu, dan asumsi ini ialah batal karena bertolak belakang secara nyata dengan realitas yang ada di alam.

Dari dimensi bahwa Nur al-Anwar bukan sumber kejamakan, maka dari itu adalah mustahil terpancar dari-Nya satu maujud gelap, substansi gelap, dan aksiden-aksiden gelap dan begitu pula tidak mungkin terjadi dua cahaya murni terpancar langsung dari-Nya. Asumsi yang tertinggal hanyalah bahwa realitas yang pertama kali terpancar dari Nur al-Anwar adalah satu cahaya murni.

Apa perbedaan pancaran pertama ini dengan Nur al-Anwar? Tidak diragukan bahwa perbedaan keduanya mesti bukan pada aksiden-aksiden kegelapan, karena mustahil terpancar kegelapan bersama dengan cahaya dari Nur al-Anwar (karena kemustahilan kerangkapan zat-Nya dari dua dimensi). Disamping itu, dengan dalil Syaikh Isyraq telah menetapkan bahwa hakikat cahaya-cahaya murni adalah tidak berbeda. Oleh karena itu, perbedaan pancaran pertama dengan Nur al-Anwar ialah pada gradasi kesempurnaan. Sebagaimana di alam materi, pemberi cahaya lebih terang dan lebih sempurna dari penerima cahaya, realitas dan kenyataan ini juga terjadi pada cahaya-cahaya murni.

Supaya substansi permasalahan ini menjadi lebih jelas, perlu memperhatikan bahwa perbedaan yang terjadi pada cahaya-cahaya tak murni karena perbedaan kesempurnaan pemberi cahayanya masing-masing, walaupun penerima cahaya-cahaya itu adalah satu, seperti cahaya lampu dan cahaya matahari yang menerangi satu tembok, atau cahaya matahari secara langsung menerangi bumi atau cahaya matahari yang membias pada cermin. Adalah jelas bahwa cahaya langsung matahari lebih sempurna dari cahaya yang terbias dari cermin atau dari cahaya lampu. Asal perbedaan ini tidak lain adalah perbedaan kesempurnaan pemberi-pemberi cahaya dan perbedaan tingkat kelemahan penerima-penerima cahaya.

Begitu pula terkadang pelaku dan sumber cahaya adalah satu, namun perbedaan yang ada pada cahaya-cahaya karena faktor perbedaan derajat kesempurnaan dan tingkat kelemahan pada wadah-wadah cahaya. Karena cahaya murni tidak memiliki wadah, maka dari itu selain Nur al-Anwar, dia niscaya sempurna. Kesempurnaan cahaya murni bergantung pada kesempurnaan Nur al-Anwar, namun kesempurnaan Nur al-Anwar adalah karena tidak memiliki suatu sebab apapun, bahkan Ia adalah cahaya murni yang tidak memiliki sedikitpun kebutuhan dan kekurangan.

Pancaran pertama dari Nur al-Anwar ialah satu cahaya murni yang zatnya bergantung secara esensial dan hanya tercukupkan dengan-Nya. Perwujudan cahaya murni ini oleh Nur al-Anwar tak bermakna bahwa sesuatu itu terpisah dari-Nya, karena berpisah dan bersatu merupakan sifat-sifat benda, sementara Nur al-Anwar tidak memiliki sifat dan karakteristik benda. Begitu pula penciptaan ini tidak berarti perpindahan sesuatu dari Nur al-Anwar, karena aksiden tidak menerima perpindahan dan zat-Nya tidak mempunyai aksiden-aksiden. Realitas ini bisa kita misalkan dengan pancaran cahaya matahari dimana pancaran cahaya ini berhubungan dengan matahari, tetapi pancaran cahaya ini bukan sesuatu yang berpisah dan berpidah dari matahari. Pemisalan ini mirip dengan kenyataan cahaya-cahaya tak murni dan murni, bukan aksiden yang berpindah atau suatu benda yang berpisah atau terlepas dari benda lain.[17]


3. Proses Penciptaan

Penjelasan Suhrawardi tentang masalah ini tak jauh berbeda dengan uraian-uraian Ibnu Sina. Dia memaparkan bahwa pancaran pertama dari-Nya juga tidak memiliki dimensi-dimensi keragaman, karena asumsi keberadaan keragaman pada pancaran pertama akan meniscayakan keberadaan keragaman pada zat-Nya, dan ini adalah mustahil. Maka dari itu, kalau hanya satu benda gelap yang terwujud dari cahaya pertama dan bukan suatu cahaya lain, maka pada titik itu juga proses keberadaan dan penciptaan akan terhenti, karena benda mustahil mewujudkan benda lain atau cahaya lain.

Apabila dari cahaya pertama terwujud cahaya A, dari cahaya A terpancar cahaya B, dan begitu seterusnya, maka mustahil akan tercipta benda. Cahaya-cahaya ini, dari aspek kecahayaan, mustahil terwujud benda darinya. Oleh karena itu, semestinya dari pancaran pertama itu juga tercipta satu cahaya murni dan satu benda, karena pancaran pertama ini memiliki aspek-aspek yang beragam, seperti kebergantungan esensial, kecukupan wujudnya dengan perantaraan Sebabnya sendiri, berpikir atas kekurangan dirinya sendiri dimana merupakan aksiden-aksiden kegelapannya, "memandang" Nur al-Anwar dan memandang zatnya sendiri, karena tidak ada hijab antara dia dengan Nur al-Anwar, dikarenakan hijab ialah sifat-sifat benda. Nur al-Anwar beserta cahaya-cahaya murni lain tidak bisa terperangkap dan terbatasi oleh sisi-sisi dan dimensi-dimensinya.

Dengan demikian, pancaran pertama yang "memandang" Nur al-Anwar mendapatkan dan mengetahui dirinya dalam kegelapan, karena cahaya sempurna meliputi cahaya tak sempurna, maka ketika "memandang" keagungan Nur al-Anwar tampaklah kegelapan dan kebutuhan zatnya, realitas ini sebagai persiapan bagi kehadiran bayangan dari zatnya dan bayangan ini tak lain adalah alam materi.

Dan juga pancaran pertama dari sisi kecukupan wujudnya dengan perantaraan Nur al-Anwar dan "memandang" jalaliyah-Nya, ia mampu mencipta cahaya murni lain. Walhasil, benda merupakan bayangan pancaran pertama dan cahaya murni lainnya merupakan pancaran cahayanya. Bayangannya sebagai konsekuensi kegelapan kebutuhan dan kebergantungan esensialnya; maksud kegelapan di sini ialah sesuatu yang tak memiliki cahaya dalam zatnya sendiri.[18]


4. Perwujudan Keragaman dan Kejamakan

Mengenai kehadiran kejamakan di alam ini, dia menjelaskan bahwa ketika di antara cahaya-cahaya tidak terdapat hijab, cahaya bawah akan "memandang" (musyahadah) cahaya atas dan cahaya atas akan memancarkan (isyraq) cahayanya pada cahaya bawah. Maka dari itu, Nur al-Anwar akan memancarkan cahaya-Nya hanya pada cahaya yang terdekat dengan-Nya (cahaya pertama).

Kalau ada sanggahan atas perjelasan tersebut dan dikatakan bahwa pada kondisi itu, Nur al-Anwar menerima kejamakan, karena dari satu sisi Dia mewujudkan pancaran pertama dan pada sisi yang lain, Dia memancarkan cahaya pada pancaran pertama.

Jawaban atas sanggahan itu, kami katakan bahwa mustahil dua realitas secara langsung terwujud dari Nur al-Anwar. Namun di sini tidaklah demikian, karena hanya wujud pancaran pertama adalah akibat zat-Nya, sementara pancaran cahaya-Nya merupakan upaya perwujudan cinta kepada Nur al-Anwar pada zat pancaran pertama dimana tiada hijab di antara keduanya. Jadi dalam hal ini, terdapat banyak dimensi-dimensi, penerima-penerima cahaya, dan syarat-syarat yang berbeda. Berdasarkan perbedaan keadaan penerima-penerima dan kejamakan maujud dan syarat-syarat, satu wujud bisa menjadi sebab bagi semua fenomena yang berbeda.[19]


5. "Pemberian" Nur al-Anwar 

Dalam persoalan ini, Suhrawardi ingin menegaskan bahwa Dia tidak mencari tujuan-tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, hal ini ia sebut sebagai "pemberian Tuhan". Ia, sebagaimana Ibnu Sina, menamakan penciptaan itu sebagai "pemberian Tuhan". Lebih lanjut ia memaparkan bahwa "pemberian" merupakan sesuatu yang layak untuk memberi. Seseorang yang berbuat sesuatu supaya dia dipuji oleh yang lain dan memberi balasan adalah pemberi manfaat. Oleh karena itu, tidak sesuatu yang paling dan Maha Pemberi kecuali suatu zat yang hakikatnya adalah cahaya, hakikat seperti ini lebih layak dari semuanya untuk memberikan pancaran dan rahmat.

Raja hakiki adalah segala sesuatu bergantung pada zat-Nya, dan zat-Nya tidak memerlukan kepada sesuatu yang lain. Raja hakiki ini tidak lain adalah Nur al-Anwar.[20]


6. Kaidah Pancaran (Isyraq) 

Suhrawardi dalam menjelaskan penciptaan menggunakan dua unsur seperti isyraq (pancaran) dan musyahadah ("memandang"). Pada kesempatan ini, dia memaparkan perbedaan di antara kedua unsur tersebut. Dia menyatakan bahwa mata manusia mempunyai pandangan (musyahadah) yang dapat melihat matahari dan juga memiliki isyraq dimana cahaya matahari menyinarinya. Isyraq dan musyahadah berbeda satu sama lain, karena isyraq atas mata pada tempat dimana mata itu diletakkan, yakni di bumi; dalam keadaan dimana musyahadah matahari berlangsung pada jarak yang sangat jauh dari, yakni dilangit, karena matahari pada tempat yang dapat dilihat. (Musyahadah ke langit dan isyraq ke bumi) Musyahadah dan isyraq ini akan semakin kuat bila hubungannya semakin bercahaya dan semakin dekat, misalnya apabila dalam kornea mata adalah bercahaya atau kalau matahari semakin dekat dengan kornea mata, maka musyahadah dan isyraq ini akan memiliki intensitas kuat.[21]


7. Hubungan antara Cahaya Tinggi dan Cahaya Rendah

Di sela-sela penjelasan hubungan cahaya-cahaya, Suhrawardi juga memaparkan pengertian kelezatan dan dia lantas menuturkan tentang Nur al-Anwar dengan berpijak pada kelezatan ini.

Dia menyatakan bahwa cahaya rendah tidak meliputi cahaya tinggi, karena cahaya atas menguasainya, namun cahaya rendah bisa melihat cahaya tinggi. Ketika jumlah cahaya semakin banyak, setiap cahaya tinggi akan menguasai cahaya rendah dan cahaya rendah akan mencintai cahaya tinggi. Maka dari itu, Nur al-Anwar menguasai seluruh keberadaan dan segala sesuatu itu hanya akan mencintai-Nya, karena hanya yang Dia mempunyai kesempurnaan Hakiki, Dia paling indah, kehadiran-Nya bagi diri-Nya sendiri, dan kehadiran-Nya paling sempurna dan paling kuat.

Perlu diketahui bahwa tingkat kesempurnaan kelezatan dan intensitasnya sangat berbanding lurus dengan derajat pencapaian kesempurnaan dan pengetahuan, semakin sempurna pengetahuan dan kehadiran maka semakin sempurna pula kelezatan. Karena tidak ada sesuatu yang lebih sempurna dan lebih indah dari Nur al-Anwar dan tidak ada sesuatu yang dapat menandingi kehadiran Dia bagi diri-Nya sendiri dan bagi sesuatu yang lain, maka dengan ini, tidak ada sesuatupun yang setara dengan-Nya dalam memberikan kelezatan bagi diri-Nya sendiri dan bagi maujud-maujud yang lain.

Dia mencintai zat-Nya sendiri dan obyek yang dicintai oleh maujud-maujud lain. Setiap cahaya tak sempurna pasti mencintai cahaya yang lebih sempurna. Sebagaimana kehadiran Nur al-Anwar atas diri-Nya sendiri adalah menyatu dengan zat-Nya, kelezatan dan kecintaan-Nya pun kepada wujud-Nya sendiri adalah menyatu dengan zat-Nya. Begitu pula, kebercahayaan Dia tidak dapat dibandingkan dengan kebercayaan yang lain, cinta dan kelezatan Dia pun tidak bisa dibandingkan dengan cinta dan kelezatan maujud lain. Dengan demikian, keseluruhan keberadaan dan fenomena eksistensi berjalan di atas alur kecintaan dan kekuasaan.[22]


8. Perwujudan Cahaya-Cahaya dan Benda-Benda

Syaikh Isyraq menyatakan bahwa dari pancaran (cahaya) pertama akan terwujud cahaya kedua dan dari cahaya kedua ini muncul cahaya ketiga, cahaya ketiga melahirkan cahaya keempat, dan demikianlah seterusnya hingga batasan yang tidak diketahui.

Kemudian setiap dari cahaya-cahaya tersebut menyaksikan (musyahadah) Nur al-Anwar dan menjadi sekaligus sebagai obyek pancaran-Nya. Cahaya-cahaya tinggi akan memantulkan pancaran-Nya kepada cahaya yang lain. Setiap cahaya tinggi memancarkan cahayanya kepada cahaya rendah dan cahaya rendah ini menerima pancaran itu dengan perantaraan ataupun tidak, misalnya cahaya kedua menerima dua kali pancaran Nur al-Anwar, yaitu pancaran pertama diterima olehnya tanpa perantara dan pancaran kedua dengan perantaraan cahaya pertama. Kaidah ini juga berlaku pada cahaya ketiga dan cahaya-cahaya lain. Cahaya ketiga menerima pancaran sebanyak empat kali, yaitu dua kali dari cahaya yang berada di atasnya, satu dari Nur al-Anwar secara langsung, dan satu lagi dari cahaya pertama dengan tanpa perantara. Cahaya keempat menerima pancaran sejumlah delapan kali, yaitu empat pancaran dari cahaya ketiga, dua pancaran dari cahaya kedua, dan masing-masing menerima satu pancaran dari cahaya pertama dan Nur al-Anwar secara langsung. Demikianlah, pancaran-pancaran ini akan terus bertambah secara signifikan hingga mencapai jumlah yang tak terbatas, karena cahaya-cahaya murni ini bukanlah benda-benda yang bisa terhijab dari Nur al-Anwar. Disamping pancaran-pancaran tersebut, setiap cahaya rendah akan menyaksikan cahaya tinggi dan Nur al-Anwar, dan sebagaimana yang telah kami katakan bahwa musyahadah berbeda dengan isyraq. Pancaran-pancaran Nur al-Anwar ini akan terus berlanjut hingga mengandung unsur-unsur kejamakan, dengan demikian musyahadah-musyahadah dan isyraq-isyraq juga secara berurutan akan menerima unsur kejamakan.

Perlu diketahui bahwa pancaran-pancaran material, pada satu benda berpijak pada kuantitas sumber pancaran, akan mengalami suatu peningkatan intensitas. Terkadang pada satu tempat terdapat beberapa cahaya-cahaya dimana perbedaan dan jumlah cahaya-cahaya itu tidak dapat diketahui kecuali dari perbedaan dan jumlah sumber-sumber cahaya tersebut, seperti pancaran beberapa lampu pada satu dinding dimana apabila penghalang diletakkan dihadapan salah satu pancaran dari lampu-lampu itu, maka cahaya tidak terpancar dari lampu itu dan akan melahirkan bayangan, namun cahaya akan tetap terpancar pada lampu-lampu lain. Peningkatan intensitas pancaran ini berhubungan dengan kuantitas, bukan satu pancaran akan mengalami peningkatan intensitas dengan beberapa sumber atau dari gabungan unsur-unsur berbeda akan melahirkan pancaran-pancaran satu cahaya baru.

Terkadang terkumpul pancaran-pancaran yang banyak pada satu tempat, hal ini sama dengan kehadiran kehendak-kehendak yang berbeda terkait dengan beberapa obyek yang bersumber dari satu tempat, akan tetapi benda tidak akan mengetahui kejamakan dan keragaman ini. Hal ini akan berbeda kalau wadah pancaran-pancaran ini adalah suatu maujud yang hidup dan berilmu, niscaya dia akan memahami dan mengetahui jumlah pancaran-pancaran dan peningkatan intensitas pancaran dari setiap sumber.

Oleh karena itu, cahaya-cahaya tinggi dalam jumlah banyak akan terwujud dengan perantaraan satu sama lain yang eksistensi mereka berpijak pada kuantitas musyahadah dan jumlah pancaran-pancaran. Dan berdasarkan gabungan aspek-aspek dan hubungan-hubungan dengan cahaya-cahaya tinggi ini, akan terwujud cahaya-cahaya lain, seperti gabungan aspek kekuasaan dengan cahaya-cahaya tinggi akan melahirkan beberapa cahaya, atau gabungan dimensi cinta dengan cahaya-cahaya tinggi juga mewujudkan beberapa cahaya lain, demikianlah penggabungan ini seterusnya.

Dengan gabungan semua pancaran-pancaran, khususnya pancaran-pancaran cahaya yang lemah dan rendah, dengan dimensi kekurangan mereka akan mewujudkan langit dzawabet, kemudian berdasarkan penggabungan sebagian dari pancaran-pancaran ini dengan sebagian yang lain akan melahirkan bentuk-bentuk yang sesuai dengan dzawabet. Cahaya-cahaya pencipta dan pengatur ini, yakni arbâbul anwa' (pengatur-pengatur spesies), merupakan akibat dari sisi ketidakbutuhan, cinta, dan kekuasaan cahaya-cahaya yang bersama dengan kesesuaian menakjubkan dari pancaran-pancaran kuat, sempurna, dan faktor-faktor lain. Arbâbul anwa' tersebut mewujudkan, mengatur, dan berhubungan dengan semua spesies benda langit dan seluruh materi yang berada di bawah langit dzawabet. Mengenai eksistensi arbâbul anwa' ini akan dibuktikan nantinya dengan menggunakan kaidah imkan asyraf.[23]


9. Ilmu Tuhan Berdasarkan Kaidah Isyraq

Berkaitan dengan masalah ini Suhrawardi menjelaskan bahwa syarat penglihatan, sebagaimana pandangan Peripatetik, bukanlah menggambarkan sesuatu dalam mata atau cahaya yang keluar dari mata, menurut para teolog, tetapi sebagaimana mata dan sesuatu yang berada dihadapan kita adalah bukan hijab yang menghalangi aktivitas mata. Oleh karena itu, Nur al-Anwar adalah swa-berilmu, karena tidak ada hijab antara Dia dengan segala sesuatu, dengan ini, segala sesuatu itu menjadi jelas, nyata, dan diketahui oleh-Nya. Dengan demikian, mengetahui dan melihat bagi-Nya adalah satu. Kebercahayaan-Nya adalah kodrat-Nya itu sendiri, karena cahaya secara esensial merupakan pemberi rahmat dan sangat aktif.

Lebih lanjut Syaikh Isyraq memaparkan pandangannya sendiri tentang ilmu Tuhan terhadap maujud-maujud. Dia menyatakan bahwa konsep dan perspektif yang benar dalam ilmu Tuhan adalah yang bersandar pada kaidah isyraq, yaitu:

a. Ilmu Tuhan terhadap zat-Nya sendiri, yakni zat-Nya bagi dirinya sendiri adalah gamblang, atau adalah cahaya bagi dirinya sendiri.

b. Ilmu Tuhan terhadap maujud-maujud alam, yakni semua maujud alam ialah hadir dan nyata dihadapan Dia dan bagi-Nya. Kehadiran maujud-maujud bisa bermakna bahwa eksistensi eksternal mereka sendiri adalah hadir dihadapan Tuhan atau dapat berarti bahwa gambaran wujud mereka dalam alam pikiran maujud-maujud akal adalah hadir dihadapan Tuhan. Oleh karena itu, ilmu Tuhan adalah tergolong ke dalam kategori "hubungan". Dan ketiadaan hijab yang merupakan perkara negasi dalam kaitannya dengan Tuhan adalah senantiasa berarti, karena tidak ada sesuatu yang terhijab dari-Nya.

Alasan dan argumentasi Suhrawardi atas pandangan di atas tentang proses penglihatan adalah bahwa perbuatan melihat adalah hasil hubungan sesuatu dengan mata, tanpa hijab. Oleh karena itu, hubungan Tuhan dengan segala maujud adalah penglihatan Dia itu sendiri. Ialah jelas bahwa kejamakan hubungan-hubungan ini tidak bertolak belakang dengan kesatuan wujud dan zat-Nya.[24]


10. Kaidah Imkan Asyraf

Suhrawardi dalam menetapkan arbabul anwa' berpijak pada kaidah imkan asyraf, dia menjelaskan bahwa salah satu dari kaidah isyraq adalah bahwa kalau dari satu spesies yang aktual terwujud satu individu yang rendah, maka seharusnya terwujud sebelumnya individu yang lebih tinggi dari spesies itu, karena Nur al-Anwar yang tak berangkap dan tak memiliki satupun bentuk kejamakan, setiap kali Dia telah mewujudkan individu yang rendah dan gelap tersebut, maka mustahil Dia menciptakan lagi setelahnya individu yang lebih tinggi darinya, karena kemustahilan terpancarnya maujud-maujud yang banyak secara bersamaan dan sekaligus dari wujud tunggal.

Dengan berpijak pada mukadimah di atas, Syaikh Isyraq menetapkan keberadaan cahaya murni pengatur (jiwa) pada diri manusia. Cahaya pengatur yakni suatu cahaya yang tidak sama sekali bergantung dengan materi, cahaya pengatur spesies yang bersifat universal ini seharusnya lebih tinggi dari cahaya pengatur (jiwa manusia), dengan demikian cahaya pengatur spesies ini harus telah terwujud sebelum keberadaan cahaya pengatur (jiwa manusia). Maka dari itu, keberadaan cahaya pengatur spesies dan cahaya pengatur (jiwa manusia) itu mesti diterima, karena maujud-maujud seperti ini secara esensial terwujud dan berada di luar alam materi. Oleh karena itu, tidak ada satupun hambatan dan halangan bagi perwujudan individu yang paling sempurna dari spesies itu.

Jangan salah dipahami bahwa rabb al-nu' (pengatur spesies) manusia, misalnya, merupakan ruh dari badan manusia ini, karena maujud yang lebih tinggi (pengatur spesies) tidak mungkin terlahir pasca keberadaan maujud yang lebih rendah (badan manusia). Dan jangan dianggap bahwa arbabul anwa' adalah maujud berangkap, akan tetapi hakikat-hakikat mereka itu merupakan cahaya tunggal, walaupun individu-individu material mereka senantiasa berangkap. Karena tidak kemestian bahwa individu-individunya harus identik secara keseluruhan dengan pengatur-pengatur spesiesnya. Dengan demikian, arbabul anwa' merupakan maujud-maujud eksternal dan hakiki yang memiliki individu-individu. Apabila dikatakan bahwa manusia universal (pengatur spesies manusia) berada di alam non-materi, maka ke-universal- an dalam hal ini bukanlah makna yang hanya terdapat dalam pikiran. Manusia universal itu benar-benar ada dan terwujud di alam eksternal non-materi yang mengatur semua manusia (sebagai inidividu-individunya) di alam materi ini.[25]


11. Perwujudan Basith dari Murakkab

Suhrawardi menjelaskan bahwa dari cahaya tinggi bersama dengan pancaran-pancarannya mewujudkan maujud lain yang tidak identik dengan dirinya. Dari cahaya-cahaya tinggi terpancar sesuatu yang pancaran-pancaran cahaya-cahaya tinggi ini sebagai bagian dari sebab bagi akibat-akibatnya. Oleh karena itu, dari kumpulan bagian-bagian yang merupakan sebab (A) akan terwujud akibat (B) yang basith (tunggal), kemudian akibat (B) ini yang telah menerima pancaran-pancaran sebab (A) itu dan juga akan menerima pancaran-pancaran yang banyak dari sumber-sumber lain. Dengan demikian, kumpulan baru suatu akibat (C) akan terwujud yang berbeda dengan akibat (B) dari sebab yang lalu (A). Perbedaan arbabul anwa' dan cahaya-cahaya substansial lainnya dimulai dari sini. Dari kumpulan beberapa sesuatu akan terwujud suatu akibat yang tidak terlahir dari satu per satu dari kumpulan tersebut. Dengan demikian, mungkin terjadi suatu akibat basith (tunggal) terwujud dari sebab yang murakkab (berangkap).[26]


D. Perbuatan Nur al-Anwar dan Cahaya-Cahaya lain

1. Keazalian Perbuatan Nur al-Anwar 

Syaikh dalam masalah ini memaparkan tentang ke-qadim-an alam. Ia menekankan bahwa dari Nur al-Anwar dan cahaya-cahaya tinggi tidak mungkin terwujud fenomena-fenomena hadits[27], kecuali sebagaimana yang akan kami jelaskan; yakni perwujudan realitas-realitas yang hadits mustahil bersumber dari cahaya-cahaya murni, kecuali fenomena-fenomena tersebut hadir karena pengaruh yang berasal dari gerak-gerak dan perubahan-perubahan, karena kalau wujud akibat (alam) hanya bergantung pada sesuatu sebab (Tuhan) maka ketika Tuhan berada alam juga pasti berwujud. Kalau antara alam dan Tuhan terdapat "jarak", pasti terdapat faktor lain,yakni keberadaan akibat sepenuhnya tidak bergantung pada wujud sebab.

Oleh karena itu, segala sesuatu selain Nur al-Anwar adalah akibat dari Nur al-Anwar dan keberadaan akibat tidak bergantung kepada selain-Nya. Hal ini berbeda dengan kehadiran perbuatan-perbuatan kita yang juga bersandar kepada selain diri kita, seperti faktor waktu dan ketiadaan halangan dan syarat. Faktor-faktor ini memiliki pengaruh dalam perbuatan-perbuatan kita. Akan tetapi, dalam penciptaan Tuhan tidak memerlukan waktu, karena waktu itu sendiri merupakan akibat dan ciptaan Nur al-Anwar.

Asy'ariyah beranggapan bahwa keberadaan Nur al-Anwar dengan segala sifat-sifat adalah qadim dan tetap, dengan demikian wujud akibat-Nya (alam) juga bersifat tetap dan qadim, karena keberadaan alam hanya bergantung kepada wujud Tuhan. Dan juga perlu diperhatikan bahwa dalam "ketiadaan mutlak" tidak terdapat asumsi tentang perubahan. Kalaupun dapat diasumsikan padanya suatu perubahan, maka keberadaan perubahan itu sendiri adalah fenomena hadits yang mesti membutuhkan sebab. Oleh karena itu, wujud bayangan-bayangan dan pancaran-pancaran Nur al-Anwar dan cahaya-cahaya tinggi adalah senantiasa berada. Keabadian ini, tak akan bertolak belakang dengan sifat suatu akibat, sebagaimana ketika matahari masih ada pancaran sinarnya pun masih tetap ada. Namun pancaran ini bergantung pada matahari, bukan sebaliknya.[28]


2. Kuiditas adalah yang Tercipta dan bukan Wujud

Suhrawardi pada poin ini menjelaskan beberapa persoalan tentang sebab-akibat dan penciptaan. Dia menjabarkan bahwa:

a. Karena "wujud" merupakan makna majasi yang diciptakan oleh manusia dalam pikiran, maka realitas yang tercipta dari sebab tidak lain adalah kuiditas (huwiyah, hakikat sesuatu) itu sendiri.

b. Tak satupun dari maujud ciptaan, baik dalam awal kehadirannya maupun dalam keabadiannya, yang tak bergantung pada sebabnya; jika tidak demikian, maka konsekuensinya maujud yang merupakan realitas yang dicipta (mumkin al-wujûd), tiba-tiba (tanpa sebab) secara esensial berubah menjadi realitas yang mencipta (Wâjib al-Wujûd). Perubahan tiba-tiba dan tanpa sebab ini adalah batal.

c. Pada fenomena yang baru tercipta adalah sangat mungkin akan mengalami kepunahan walaupun sebab pengadanya abadi. Dari sisi bahwa dia adalah sebuah fenomena, disamping bergantung pada sebab pengada juga butuh pada faktor-faktor tidak tetap lainnya.

d. Adalah mungkin terjadi bahwa 'sebab keabadian' suatu fenomena ialah berbeda dengan 'sebab pengadanya', seperti sebuah patung yang 'sebab keberadaannya' ialah seorang seniman, namun 'sebab keawetan (keabadian) nya' ialah keringnya bahan-bahan patung itu. Terkadang sebab pengada adalah sama dengan sebab keabadian, seperti suatu wadah yang bentuknya bersandar pada kapasitas air, keabadian wadah di sini juga bergantung pada bentuk tersebut.

e. Nur al-Anwar merupakan sebab bagi perwujudan dan keabadian semua maujud alam. Cahaya-cahaya tinggi dan substansial juga sebagai sebab-sebab perwujudan dan keabadian maujud alam.

f. Karena benda-benda langit dalam kondisi yang terus berubah, hubungan mereka tidak pernah terputus dengan cahaya-cahaya pengaturnya dan terus di bawah pengaturan dan kekuasaannya.[29]


E. Konklusi Pokok-Pokok Filsafat Hikmatul Isyraq 

Di bawah ini akan kami simpulkan beberapa substansi pemikiran Suhrawardi dalam pembahasan ketuhanan dan ontologi, antara lain:

1. Eksistensi dan keberadaan memiliki tingkatan dan gradasi;

2. Hakikat eksistensi adalah cahaya, dan cahaya-cahaya ini bergradasi dan berderajat;

3. Puncak cahaya-cahaya tersebut adalah Nur al-Anwar yang secara esensial adalah kaya, tidak bergantung, Pengada Mutlak, dan Pecinta zat-Nya dan Pecinta semua maujud selain-Nya, serta segala sesuatu di bawah kekuasaan-Nya;

4. Cahaya terdekat dan paling identik (cahaya pertama yang terpancar dari-Nya) dengan Nur al-Anwar ialah apa yang disebut dengan Bahman;

5. Hanya satu cahaya yang secara langsung dan tanpa perantara terpancar dari Nur al-Anwar;

6. Cahaya-cahaya pada tingkatan berikutnya bersifat vertikal dan horisontal;

7. Setelah penyempurnaan tingkatan cahaya, akan berpindah pada perwujudan alam materi dan benda (barzakh);

8. Alam-alam eksistensi antara lain: alam akal dan cahaya-cahaya substansial (murni), alam mitsal, alam barzakh (benda), dan alam jiwa manusia yang dapat meliputi ketiga alam tersebut;

9. Setiap cahaya tinggi berkuasa atas cahaya rendah dan cahaya rendah mencintai cahaya tinggi, dan dapat dikatakan:

a. Tuhan (Nur al-Anwar) adalah Pecinta zat-Nya sendiri dan obyek yang dicintai, karena kesempurnaan adalah hadir bagi diri-Nya dan Dia merupakan cahaya yang paling sempurna dan paling indah;

b. Segala sesuatu mencintai Nur al-Anwar dan Dia merupakan puncak segala tujuan;

c. Sistem alam eksistensi diatur berdasarkan kecintaan dan kekuasaan;

d. Selain Nur al-Anwar, kecintaan setiap cahaya kepada zat-nya sendiri berpijak pada kecintaannya kepada cahaya tinggi dan Nur al-Anwar;

e. Apabila cinta dan kecintaan tiada, maka tidak akan pernah ada segala fenomena, realitas-realitas, dan maujud-maujud;

10. Pancaran (isyraq) cahaya dengan metode manifestasi dan tajalli, yakni:

a. Manifestasi Dia tidak memiliki batasan;

b. Manifestasi ini bukan bermakna bahwa sesuatu terpisah dari-Nya, karena kebersatuan dan keberpisahan adalah sifat-sifat benda;

c. Manifestasi bukan berarti perpindahan sesuatu dari Nur al-Anwar;

d. Pancaran wujud Tuhan berarti tajalli, manifestasi, dan kehadiran wajah Tuhan;

11. Antara cahaya dan pengetahuan (pencerapan) memiliki hubungan secara langsung, yakni:

a. Setiap maujud yang mengetahui zat-nya sendiri adalah cahaya substansial (murni);

b. Setiap maujud yang memahami zat-nya sendiri, pengetahuan atas zat ini ialah ilmu hudhuri, yakni zatnya tersingkap bagi dirinya sendiri;

c. Tolok ukur ilmu maujud terkait dengan zat-nya sendiri ialah kehadiran bagi zatnya, bukan kenon-materian zat dari benda (Peripatetik);

d. Jika sesuatu tersingkap bagi sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu harus hadir bagi dirinya supaya dia mengetahui yang lain itu e. Tak satupun maujud bisa memahamkan dan menghadirkan maujud (A) bagi maujud (A) itu sendiri, karena setiap sesuatu, apabila dia hadir bagi dirinya sendiri, maka berarti secara esensial dia adalah hadir, memahami, dan mengetahui dirinya sendiri.

12. Sebagaimana pada maujud-maujud yang tercipta (mumkin al-wujud) bisa digambarkan bahwa salah satu tertinggi (asyraf) dari maujud yang lain, apabila ada maujud yang terendah (akhas), maka semestinya ada maujud yang tertinggi (asyraf) darinya yang merupakan sebabnya, dari kaidah (imakan asyraf) ini dapat ditetapkan dan dibuktikan arbabul anwa' atau mutsul aflathuni (pengatur spesies-spesies).


Catatan Kaki:

[1] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal 275.
[2] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal 277.
[3] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 279.
[4] . Ibid, hal. 282.
[5] . Ibid, hal. 282.
[6] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 288.
[7] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 291.
[8] . Ibid.
[9] . Dalam istilah filsafat disebut dengan Wâjib al-Wujûd (Wujud Wajib, Tuhan).
[10] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 293.
[11] . Ibid.
[12] . Ibid, hal. 294.
[13]. Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 295.
[14] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 296.
[15] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 299.
[16] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 305.
[17] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 309.
[18] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 319.
[19] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 324.
[20] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 325.
[21] . Ibid, hal. 326.
[22] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 330.
[23]. Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 344.
[24] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 346.
[25] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 352.
[26] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 366.
[27] . Hadits, yang merupakan lawan dari qadim, dalam pengertian leksikalnya disebut dengan sesuatu yang baru. Sedangkan qadim adalah sesuatu yang lama dan lalu. Namun dalam istilah filsafat, hadits dimaknakan sebagai sesuatu yang diawali dengan ketiadaan wujudnya, yakni pernah tiada dan pada waktu atau tingkatan tertentu akan mengada. sementara qadim adalah sesuatu yang tidak diawali dengan ketiadaan wujudnya. Hadits atau huduts, sebagaimana qadim atau qidam, ini terdapat beberapa bagian, misalnya huduts dan qidam dahri, huduts dan qidam dzati (esensial), huduts dan qidam zamani (waktu).
[28] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 376.
[29] . Hikmatul Isyraq, Suhrawardi, hal. 399.


2. Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Shadrian

Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian dan kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya penggerak yang tak terlihat (baca: wujud Tuhan).

Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan filosof-filosof seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran Islam.

Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh faktor tertentu.

Menempatkan Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor alami sama dengan memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam atau makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada dengan ini adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang dibatasi oleh ruang dan waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal atau di akhir ruang yang membatasi alam ini atau memposisikan-Nya di awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini, merupakan gambaran yang sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini menyebabkan perkara-perkara tentang ke-Tuhan-an terpaparkan jauh dari hakikat kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan keluarnya.

Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para Nabi dan Rasul serta yang dicerap secara benar oleh filosof-filosof Ilahi; Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud.


A. Perspektif Teologis Mulla Sadra

Mulla Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan berbagai argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah menempatkan semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan, semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tak bergantung kepada wujud lain.

Burhan shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Sadra berpijak pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang dibuktikan oleh Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan menegaskan bahwa Tuhan itu berwujud, tetapi persepsi yang benar tentang Tuhan sebagai suatu wujud yang memiliki cakupan perwujudan hakiki atas semua realitas wujud-wujud (baca: wujud kontingen atau makhluk), Dia meliputi segala sesuatu, wujud secara hakiki hanya milik-Nya dan setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli-Nya.

Gambaran Mulla Sadra tentang Tuhan yang sangat dalam ini beserta argumen shiddiqinnya merupakan hasil dari perjalanan panjang peradaban ilmu Ilahi manusia dan evolusi pemikiran filosofis dalam dunia Islam. Puncak kulminasi pemikiran filsafat ini, secara sempurna mempertemukan wahyu sebagai teks suci Tuhan dan semua aliran pemikiran filsafat dan teologi.

Dalam mazhab pemikiran Mulla Sadra, wujud makhluk, jika dibandingkan dengan wujud Tuhan bukanlah wujud yang hakiki. Makhluk disebut sebagai bayangan, citra dan manifestasi. Makhluk ini secara hakiki tak menampakkan dirinya sendiri tapi menampakkan Tuhan. Makhluk adalah citra Tuhan, bayangan Tuhan dan manifestasi Tuhan. Makhluk bukanlah sesuatu wujud mandiri dimana dengan perantaraannya Tuhan tercitrai dan terbayangkan, tetapi dia adalah citra dan tajalli Tuhan itu sendiri. Dalam aliran filsafat, secara umum dikatakan bahwa wujud terbagi atas dua yaitu wujud Tuhan dan wujud makhluk, dengan perbedaan bahwa wujud Tuhan meniscaya dengan sendirinya (swa-wujud), tak terbatas, azali dan abadi, dan sementara wujud makhluk bergantung kepada-Nya, terbatas dan baru tercipta (hadits). Cara penjabaran seperti ini, juga digunakan oleh Mulla Sadra di awal pembahasannya tentang wujud, tapi secara perlahan-lahan dan sistimatis - setelah kajiannya tentang prinsip kausalitas, wujud hubungan, kebergantungan hakiki wujud kuiditas dan kehakikian wujud – dia kemudian mewarnai kajian-kajian filosofisnya dengan warna yang berbeda dari filsafat umum dan mengubah pandangannya secara ekstrim tentang hubungan Tuhan dan selain-Nya.

Konstruksi argumen Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan konstruksi yang dibangun oleh Ibnu Sina Dan Al-Farabi. Dalam pemikiran Al-Farabi, wujud "awal" dan "esa" adalah Wâjib al-Wujud. Oleh karena itu, Dia tak membutuhkan yang lain dalam perwujudan dan keabadian-Nya. Dia adalah Sebab Pertama untuk semua realitas wujud, Dia sempurna, tak bergantung, abadi, bukan materi dan tak mengalami perubahan. Tuhan juga secara esensial memiliki ilmu dan mengetahui segala realitas yang terjadi di alam. Tak satupun yang menyamai dan menyerupai-Nya.

Al-Farabi untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat, membagi secara rasional wujud-wujud kontingen ke dalam dua bagian yaitu wujud dan kuiditas, dan kuiditas itu dibagi lagi menjadi sepuluh kategori dari substansi dan aksiden. Pembagian ini, berefek pada terpecahkannya banyak masalah yang prinsipil dalam filsafat Islam, dan karya ini kita tidak saksikan dalam filsafat Yunani. Pengaruh universal dari pemikiran Al-Farabi tersebut adalah munculnya pengertian baru dalam konsep hakikat dan hubungan sebab-akibat. Sebagaimana Al-Farabi berkata, "hakikat adalah Tuhan", dan makna lain tentang wujud dalam tulisan-tulisannya berpijak pada makna tersebut. Ketika dia menyatakan bahwa "hakikat" itu adalah kesesuaian ilmu dengan " realitas sesuatu", maka pandangannya adalah bahwa segala realitas yang berwujud di alam secara hakiki hadir dalam ilmu Tuhan dan apa yang ada di sisi Tuhan termanifestasikan dalam batasan-batasannya.

Tuhan yang diyakini Al-Farabi sebagai seorang muslim sama dengan Tuhan digambarkannya sebagai seorang filosof, Tuhan sebagai "Sebab Tertinggi" untuk semua realitas eksistensi, "Sebab" seperti itu sama dengan konsep "Tunggal"nya Plato atau "Akal Ilahi"nya Aristoteles. Selain itu, dia juga menganggap Tuhan sebagai Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas. Dalam hal ini, pandangan dia tak sama dengan Plato dan Aristoteles, karena Plato berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu berdasarkan "alam ide" ('âlam mutsul, mundus imaginalis)[1], dan berlainan pula dengan Aristoteles yang memperkenalkan Tuhan sebagai "Tujuan Akhir" alam dan segala realitas wujud. Dalam pandangan Plato, Tuhan tidak mewujudkan makhluk dari "alam ketiadaan". Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan bukan Pencipta alam dan Sebab Pengada segala realitas.

Kaum muslimin secara umum mempersepsikan Tuhan sebagai: "Sesuatu yang mencipta alam ini", mereka memperkenalkan Tuhan sebagai Pencipta dan terkadang juga sebagai Pengatur dan Yang disembah. Filosof Islam, dengan memperhatikan fenomena lahirnya persepsi tentang Tuhan yang bersumber dari perbuatan-Nya dan realitas prilaku makhluk-Nya yang terjadi di tengah masyarakat teisme, berusaha mengaplikasikan satu istilah yang terbias langsung dari wujud suci Tuhan dan mewakili persepsi secara universal tentang-Nya, istilah ini tanpa mesti berasal dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan makhluk-Nya, istilah yang digunakan para filosof tersebut adalah Wâjib al-Wujud (Wujud Wajib) yang berarti bahwa sesuatu yang niscaya berwujud dan mustahil tiada. Dari sini, menjadi jelaslah bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Tuhan para Nabi dan Rasul secara aktual, tetapi Tuhan mereka bukanlah Tuhan yang hanya sebagai Pencipta, Tuhan mereka adalah Tuhan yang jika berkehendak Dia bisa mencipta, Tuhan dengan kriteria seperti ini meniscayakan Maha Kaya, sempurna, tak terbatas dan tak bergantung kepada yang lain.

Al-Farabi dan Ibnu Sina yang merumuskan perbedaan metafisik antara kuiditas dan wujud ke dalam filsafat Islam, menjadikan filsafat ini berbeda secara mendasar dengan kontruksi filsafat Aristoteles. Al-Farabi menegaskan bahwa "keberwujudan" merupakan keniscayaan dari hakikat wujud dan kuiditas sebagai sesuatu yang "tercipta" tak memiliki wujud hakiki dan hanya sebagai bayangan wujud. Persepsi kuiditas - yang bersifat universal itu dan bisa terterapkan pada individu-individu yang berbeda – mustahil terwujud dan mengaktual secara hakiki.

Oleh karena itu, tolok ukur "keberwujudan" mustahil didapatkan dari kuiditas-kuiditas yang digandengkan bersama, bahkan kuiditas yang nampak di alam luar tersebut secara esensial mustahil terterapkan pada individu yang lain, satu kuiditas secara esensial hanya terterapkan bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, hanya wujud yang secara esensial terwujud (tercipta) dan setiap kuiditas partikular yang tercipta itu karena "berpijak" kepada wujud. Tanpa "keberpijakan" ini kuiditas mustahil tercipta.

Gagasan besar Al-Farabi ini tercatat dalam sejarah filsafat karena secara prinsipil mengubah substansi kajian-kajian filsafat dan cara pandang kaum filosof. Sebelum lahirnya gagasan ini, kajian filsafat dalam mengenal hakikat realitas wujud didasarkan pada pengenalan kuiditas, kuiditas sebagai tema sentral dan penting dalam observasi filsafat. Sekarang ini, para filosof menjadikan wujud sebagai prinsip dasar dalam menggali dan mengenal hakikat realitas. Semua pengkajian filsafat diawali pembahasan wujud dan ontologi.

Berdasarkan gagasan tersebut, jelaslah bahwa terdapat perbedaan yang substansial antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Islam, karena alam dalam pemikiran Aristoteles bersifat abadi dan azali, Tuhan tidak menciptakan alam kita ini. Alam dalam ide-nya adalah suatu alam yang berwujud secara aktual dan mustahil menjadi tiada.

Argumentasi Al-Farabi dalam menegaskan wujud Tuhan dikatakan argumen imkan dan wujud, burhan ini berpijak pada perbedaan antara wujud (wajib) dan wujud kontingen (mumkin). Dalam argumen tersebut, secara mendasar dan hakiki mengakui adanya realitas wujud-wujud kontingen (mumkin) dan kemudian, berdasarkan watak kebergantungan wujud-wujud kontingen secara esensial, maka terbuktilah "wujud wajib" atau Wâjib al-Wujud. Lebih lanjut dia berkata bahwa segala sesuatu yang berpisah antara wujud dan kuiditasnya, maka dia mustahil menjadi wujud yang mandiri, karenanya dia pasti memperoleh wujudnya dari yang lain, mata rantai "pemberi wujud" ini harus berujung pada "Pemberi Wujud" yang hakiki dimana wujud-Nya menyatu dengan "kuiditas" dan tak ada lagi pemisahan antara keduanya. Kuiditas adalah wujud-Nya sendiri. Argumentasi Al-Farabi tentang penegasan eksistensi Tuhan, disamping menegaskan keniscayaan dan keaktualitasan murni wujud Tuhan juga membuktikan bahwa Tuhan sebagai Sebab Hakiki perwujudan semua makhluk dari "alam ketiadaan" atau hâdits[2] (lawan dari qadim, azali).

Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari argumentasi Al-Farabi di atas adalah alam, dalam semua realitas wujudnya, secara esensial bergantung kepada Tuhan dan jika Tuhan sedetik saja tak "memancarkan" wujud kepadanya maka alam niscaya tiada. Jadi, wujud kontingen (mumkin) "sebelum" dan "sesudah" penciptaan secara mutlak butuh kepada Tuhan. Alam ini dalam huduts dan "keabadian" wujudnya bergantung kepada Tuhan.

Ibnu Sina menyebut salah satu argumennya dengan nama burhan shiddiqin, ini secara terperinci dimuat dalam kitabnya yang bernama al-Isyarat wa al- Tanbihat[3]. Penamaan argumen ini dengan nama shiddiqin karena berlatar pada keagungan dan kekuatannya dalam penegasan dan pembuktian wujud Tuhan. Ibnu Sina, dalam argumentasinya, berusaha memaparkan secara rasional penegasan wujud Tuhan tanpa menggunakan perantaraan wujud kontingen dan makhluk. Oleh karena itu, dia mengagungkan burhan ini atas argumen lainnya. Bentuk penguraian filosofis yang dilakukannya itu, tak dilakukan oleh para filosof sebelumnya. Dia pantas bangga dan terharu atas anugrah Tuhan padanya. Burhan ini, diterima oleh banyak filosof dan teolog setelahnya, dan mereka bahkan menjabarkan burhan tersebut dalam tulisan-tulisan mereka dan terkadang hanya mencukupkan argumen itu dalam pembuktian wujud-Nya. Ini juga merupakan bukti nyata keagungan dan kekuatan burhan tersebut.

Setelah Ibnu Sina, burhan tersebut muncul dalam bentuk yang beraneka ragam dan dalam mazhab filsafat Mulla Sadra, dengan perantaraan filosof Mulla Hadi Sabzewari hingga Allamah Thabathabai, burhan ini termanifestasikan dalam suatu konstruksi yang semakin efektif dan efisien dalam penegasan eksistensi Tuhan.

Tak ada keraguan bahwa burhan shiddiqin ini bukan merupakan warisan dari filsafat Yunani, dia sebagai karya otentik filosof muslim dan sekaligus kebanggaan bersejarah dari evolusi rasionalitas filsafat Islam. Tak bisa dibayangkan, kalau filosof seperti Plato dan Aristoteles memiliki gagasan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri lantas mengkonstruksi bentuk burhan seperti itu. Berbeda dengan filosof agung Ibnu Sina yang menggagas bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri dan mustahil realitas selain-Nya memiliki esensi tersebut. Burhan ini secara langsung, tanpa perantara realitas selain-Nya, menegaskan wujud Tuhan, ini tidak sebagaimana kaum teolog membuktikan Tuhan dari sisi ke-huduts-an makhluk dan juga tidak seperti Aristoteles menetapkan Tuhan dari dimensi gerak alam.

Burhan shiddiqin versi Ibnu Sina ini, berpijak pada prinsip kehakikian realitas wujud yang merupakan lawan dari penolakan mutlak atas kehakikian eksistensi. Setelah kita yakin pada kehakikian wujud eksternal, maka kita lanjut pada pembagian logis bahwa eksistensi eksternal itu hanya terbagi ke dalam dua bagian yaitu Wujud Wajib atau wujud kontingen, kemudian kita letakkan kebutuhan esensial wujud kontingen kepada sebab pengada itu sebagai alur utama argumen, dengan bersandar pada kemustahilan daur dan tasalsul, disimpulkan bahwa wujud kontingen mutlak bergantung pada Wujud Wajib. Yang harus diperhatikan dalam burhan tersebut adalah tak ada keharusan menerima realitas wujud kontingen, karena kalaupun wujud kontingen itu tiada maka yang ada "alam luar" niscaya Wujud Wajib, jadi jangan dipahami bahwa wujud kontingen itu sebagai perantara dalam argumentasi tersebut. Karena yang bisa kita saksikan di luar adalah wujud kontingen, maka burhan berawal darinya, tapi kalau kita bisa "saksikan" secara langsung dan hudhuri maka wujud Tuhan otomatis terbukti dengan sendirinya. Dia adalah swa-bukti sebagaimana Dia juga swa-ada.

Ibnu Sina, dalam pasal keempat kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat setelah menjelaskan burhan ini dalam menegaskan wujud Tuhan dan burhan-burhan lain yang bersandar pada silogisme burhan tersebut dalam membuktikan keesaan dan sifat-sifat Tuhan, berkata, "Saksikanlah bagaimana argumen kami tentang penegasan Wujud Pertama dan ketunggalan-Nya yang tak membutuhkan selain wujud itu sendiri dan bagaimana penjabaran kami tak lagi berpijak pada perbuatan-Nya dan makhluk. Walaupun semuanya itu adalah dalil atas keberadaan-Nya, tetapi metode tersebut (burhan shiddiqin) lebih kuat dan lebih sempurna karena pijakannya pada realitas wujud itu sendiri, kesimpulannya adalah kesaksian atas Wujud Wajib dan kesaksian bahwa wujud-Nya terletak sebelum realitas wujud-wujud lainnya. Kandungan burhan tersebut sesuai dengan ayat al-Quran yang berbunyi, "Segera akan tampak tanda-tanda kami di alam dan jiwa-jiwa mereka hingga menjadi jelaslah kebenaran bagi mereka". Saya berkata, "kandungan ayat ini untuk kaum tertentu". Dan setelah itu Tuhan berfirman, "Apakah tak cukup dengan Tuhanmu bahwa sesungguhnya Dia saksi atas segala sesuatu". Saya berkata, "kandungan ayat ini untuk shiddiqin dimana mereka menjadikan wujud Tuhan itu sendiri sebagai saksi atas-Nya dan bukan segala realitas wujud bersaksi atas wujud Tuhan, Dialah saksi atas segala realitas bukan sebaliknya."

Nampak dalam argumentasi Ibnu Sina di atas bahwa burhan tersebut mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang pasti tentang eksistensi Tuhan tanpa menggunakan makhluk sebagai perantara dan murni menggunakan perhitungan rasionalitas dalam penegasan-Nya. Negasi wujud Tuhan merupakan hal yang tak terbayangkan, karena Ibnu Sina dan sebagaian filosof muslim berpandangan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri. Kaum ateis yang tak mampu secara rasional menegaskan wujud Tuhan pada akhirnya hanya berpikir tentang kemungkinan ketiadaan-Nya dan menolak eksistensi-Nya.

Dengan burhan tersebut, Ibnu Sina membuka bab baru tentang pembuktian wujud Tuhan dalam filsafat Islam dan sekaligus membuka peluang munculnya teori yang mendasar dalam pembahasan tentang Tuhan dalam teologi Kristen setelah Thomas Aquinas. Ibnu Sina dalam burhan tersebut menggunakan satu cara yang disebut dengan "kemestian rasionalitas" menetapkan wujud Tuhan dan juga tentang ilmu Tuhan yang mendahului dan meliputi segala realitas, burhan itu juga menegaskan bahwa semua realitas alam secara esensial bersifat mungkin berwujud dan karena wujud Tuhan dia bersifat mesti berwujud.

Dari sudut pandang metafisika, gagasan inti Ibnu Sina itu adalah mencoba menyempurnakan pendapat Aristoteles yang mendasarkan bahwa setiap realitas wujud terbentuk dari dua bagian yaitu materi (al-mâdda) dan forma (as-shurah). Ibnu Sina yakin bahwa mustahil terwujudnya realitas luar hanya didasarkan oleh salah satu dari materi dan forma. Dalam kitabnya asy-Syifa[4] dia juga menganalisa hubungan antara materi dan forma, yang akhirnya berkesimpulan bahwa materi dan forma berhubungan dan bergantung kepada akal fa'âl (active intellect)[5].

Lebih lanjut dia berkata bahwa wujud gabungan (composite existence) tak terwujud hanya dengan perantaraan materi dan forma, tetapi harus dipengaruhi juga oleh "sesuatu yang lain". Dia berkata, "Segala sesuatu yang tunggal (tak bercampur) berwujud, maka wujudnya terambil dari sesuatu yang lain dan secara esensial "meminta" ketiadaan. Bukan cuma wujud tunggal itu, yang hanya materi atau hanya forma, yang "meminta" ketiadaan, tetapi keseluruhan wujud sesuatu (yaitu gabungan materi dan forma)". Walaupun di beberapa tempat Ibnu Sina membahas bahwa materi sebagai "sumber" kejamakan forma atau kuiditas, tetapi dia tak menyatakan bahwa materi dan forma merupakan sumber terwujudnya sebuah realitas eksternal. Dalam pandangannya, Tuhan merupakan satu-satunya sumber lahirnya segala realitas wujud di alam.

Rumusan burhan dan argumen Mulla Sadra dalam penegasan wujud Tuhan berbeda dengan burhan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Mulla Sadra juga mengkritik burhan milik Ibnu Sina dan menganggapnya bahwa burhan tersebut tak tergolong sebagai burhan shiddiqin[6]. Menurut Mulla Sadra, walaupun dalam burhan tersebut tak meletakkan wujud makhluk sebagai perantara, tetapi sebagaimana para teolog dan ilmuwan alam, menggunakan kebergantungan (imkan) yang merupakan watak asli kuiditas sebagai perantara dalam burhan tersebut.

Mulla Sadra yang berbeda dengan Ibnu Sina, ketika mengkaji perbedaan antara Tuhan dan realitas alam dan kemudian menyebut Tuhan sebagai Wujud Wajib (necessary existence) dan selain-Nya sebagai wujud mumkin (contingent existence), maksud dari "Wujud Wajib" adalah wujud murni atau tak berangkap (bercampur) dimana memiliki intensitas wujud yang tak terbatas, dan maksud dari wujud mumkin adalah "wujud" hubungan atau bergantung dimana dalam "perwujudan" dan kesempurnaan "wujud"nya bergantung secara mutlak kepada Wujud Wajib[7].

Mulla Sadra, dalam burhannya, pertama-tama menegaskan hakikat wujud (baca: Wujud Wajib) dan setelah itu, membuktikan wujud kontingen. Dengan demikian Wujud Wajib sebagai perantara untuk membuktikan wujud kontingen, dalam pandangannya wujud kontingen itu bukan wujud kedua setelah Wujud Wajib tapi merupakan manifestasi, citra dan tajalli Wujud Wajib. Jadi, "wujud" kontingen tidak berada dalam satu tingkatan dengan Wujud Wajib, tapi Dia meliputi "wujud" kontingen secara hakiki.

Dalam burhan shiddiqin Mulla Sadra hanya berbicara tentang wujud hakiki dan wujud eksternal, dan perbedaan antara wujud-wujud eksternal tersebut pada dataran intensitasnya yang bersifat berjenjang dan bertingkat; sementara dalam burhannya Ibnu Sina berangkat dari persepsi wujud dimana wujud dibagi atas dua bagian yaitu Wujud Wajib dan wujud kontingen, wujud kontingen terbentuk dari wujud dan kuiditas sementara Wujud Wajib adalah murni wujud dan suci dari kuiditas.

Secara umum, diantara para filosof muslim dalam penegasan wujud Tuhan, terdapat dua aliran pemikiran:
Pertama, aliran pemikiran semisal Ibnu Sina;
Kedua, aliran pemikiran seperti Mulla Sadra.

Aliran pemikiran Ibnu sina, langkah pertama burhan mereka adalah membagi dua wujud eksternal tersebut menjadi Wujud Wajib dan wujud kontingen, dan langkah kedua argumen ini adalah menetapkan bahwa wujud kontingen mustahil terwujud, dengan berpijak pada kemustahilan daur dan tasalsul, tanpa Wujud Wajib.

Dalam aliran pemikiran Mulla Sadra, sistimatika burhannya pertama-tama dimulai dari penegasan tentang realitas wujud eksternal dan pengkajian atas kehakikian kuiditas atau wujud. Dia mengecam kaum yang ragu atas realitas eksistensi, langkah yang dilakukan oleh filosof eksistensialis ini yang kemudian membedakannya dengan kelompok Sophis.

Dalam pahamannya, realitas wujud eksternal itu hanya satu yang hakiki dan lainnya bersifat majasi. Langkah berikutnya, dia menegaskan bahwa yang hakiki itu adalah wujud dan kuiditas bersifat majasi. Langkah ketiga adalah menetapkan bahwa hakikat wujud hanya satu dan tak lebih, kejamakan dan pluralitas hanya terpancar pada dataran manifestasi wujud. Langkah keempat, hakikat wujud yang bersifat hakiki dan tunggal adalah Wujud Wajib dan bukan milik "wujud" kontingen; karena kalau milik "wujud" kontingen maka dia harus bergantung kepada selainnya, sementara tiada yang lain selain hakikat wujud dimana hakikat wujud itu bergantung kepadanya.

Dengan demikian, hakikat wujud identik dan setara dengan Wujud Wajib yang mustahil meniada. Di sisi lain, kita melihat bahwa realitas alam senantiasa mengalami perubahan dan akan punah, maka dari itu kita menghukumi bahwa realitas alam ini bukan hakikat wujud, tapi bayangan dan citra wujud.

Mulla Sadra dalam kitab Masyâ'ir juga meletakkan hakikat wujud tersebut sebagai inti argumentasinya dan bukan persepsi wujud. Dalam uraiannya dia berkata, "Tuhan memiliki intensitas wujud tak terbatas dan keterbatasan itu adalah kemestian dari manifestasi-Nya"[8]. Dari alur pemikiran ini, terlontar pertanyaan bahwa kenapa Wujud Wajib senantiasa menjadi Wujud Wajib dan mengapa Sebab Pertama terus menjadi Sebab Pertama, jawabannya adalah karena hakikat wujud itu merupakan satu-satunya hakikat untuk realitas alam, hakikat wujud secara esensial adalah ketakbergantungan kepada yang lain, keniscayaan itu sendiri, awal dan akhir itu sendiri, dan sebab dan sumber segala keberadaan. Jadi, pertanyaan tentang-Nya yang zat-Nya merupakan Sebab Pertama itu sendiri, sama sekali tak berdasar. Oleh karena itu, menurut aliran pemikiran Mulla Sadra, pertanyaan yang muncul dalam benak kita tak semestinya berbentuk, "kenapa Sebab Pertama terus sebagai Sebab Pertama"? tetapi berbunyi, "kenapa sesuatu yang bukan sebagai sebab pertama adalah akibat dan tak sempurna, dan akibat itu senantiasa terbatas, hadir terbelakang dan bergantung"? Jawabannya,karena kesempurnaan, keaktualan, ketakbergantungan dan ketakterbatasan merupakan konsekuensi dari hakikat wujud tersebut, sedangkan manifestasi dan tajalli konsekuensinya adalah kekurangan, keterbatasan dan kebutuhan, semuanya sifat ini identik dengan ke-akibat-an.


B. Gagasan Tentang Tuhan

Berdasarkan alur pemikiran di atas, gagasan Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan gagasan ke-Tuhan-an yang dimiliki oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina. Gagasan mereka atas Tuhan berpijak pada persepsi tentang "keniscayaan wujud" dan menurut mereka juga memperkenalkan Tuhan tak cukup dengan mematok pengertian tentang ke-qadim-an dan tolok ukur ketakbutuhan dan kesempurnaan esensial Tuhan. Dalam pandangan mereka perbedaan antara Wujud Wajib dan wujud kontingen adalah bahwa wujud kontingen terangkap dan tersusun dari kuiditas dan wujud, sementara Wujud Wajib merupakan wujud murni dan tak tersusun dari kuiditas. Karena wujud itu sendiri berada pada tingkatan esensi Tuhan dan bukan bersifat tambahan pada esensi-Nya, maka zat-Nya pada tingkatan tersebut tak terpisah dari wujud sehingga mesti butuh pada wujud tersebut. Mulla Sadra berpendapat bahwa ketakbutuhan dan kesempurnaan esensi Tuhan tak cukup dengan menegaskan ke-qadim-an dan kemanunggalan esensi Tuhan dan wujud. Dalam pandangannya, teori bahwa Tuhan yang merupakan wujud murni dan basith bukan dalil atas keniscayaan dan ketakbutuhan mutlak Tuhan, teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi[9] merupakan maujud hakiki dan bukan maujud majasi. Syarat keniscayaan suatu wujud adalah kehakikian dan ketakbutuhan kepada sebab. Jadi, pengenalan sempurna tentang esensi Tuhan harus mengikut sertakan kedua syarat keniscayaan tersebut.

Dalam sistem metafisika hikmah muta'aliyah, dengan berpijak pada teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujud), wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas dan makhluk merupakan sesuatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia harus bergantug kepada Wujud Mutlak.

Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan. Wujud-Nya tak terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian Tuhan dalam dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung kepada realitas lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun selain-Nya yang dapat membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya, Sempurna dan tak terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya realitas lain.

Dengan demikian, simplisitas (al-besâthat) memiliki pengertian yang mendalam terhadap wujud Tuhan dimana mustahil menegasikan salah satu kesempurnaan yang mesti dimiliki-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan dan juga dzat-Nya menyatu secara hakiki dengan sifat-Nya.

Perbedaan Tuhan dan makhluk tak dipahami sebagai dua realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah tapi perbedaan keduanya terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk, kekuatan-Nya dan kelemahannya. Maka dari itu, perbedan antara keduanya bukan perbedaan yang saling berhadap-hadapan tapi perbedaan yang bersifat "mencakupi" dan "meliputi". Dengan ungkapan lain, segala wujud-wujud selain-Nya merupakan suatu rangkaian gradasi dari menifestasi cahaya dzat dan sifat-Nya dan bukan sebagai realitas-realitas yang mandiri dan berpisah secara hakiki dari wujud-Nya. Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla Sadra, pemahaman tauhid seperti itu adalah tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimiliki oleh para monoteis sejati dari 'urafa dan hukama muta'aliyah.


C. Kesatuan Wujud

Kesatuan Tuhan bukan kesatuan yang bersifat bilangan matematis. Gagasan ini merupakan pemikiran cemerlang dari filsafat Islam yang tidak dimiliki oleh mazhab filsafat manapun. Teori cemerlang itu tak lepas dari pengaruh timbal balik antara doktrin-doktrin ajaran suci Islam dan kajian kontemplatif filsafat Islam. Mulla Sadra berpendapat bahwa Tuhan merupakan kesatuan hakiki. Persepsi ini sebagai azas yang paling mendasar dalam hikmah muta'aliyah dan juga dasar pijakan pemikiran filsafat pasca Mulla Sadra.

Gagasan tersebut kita tidak temukan dalam pemikiran filosof Islam sebelum Mulla Sadra seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Para filosof yang memasukkan gagasan tersebut dalam filsafatnya lantas menamakan kesatuan itu sebagai al-hakkah al-hakikiyyah, dan dalam tasawuf (irfan) kesatuan itu disebut al-wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Kesatuan ini berarti bahwa Tuhan merupakan wujud mutlak dan mutlak wujud-Nya.

Kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan. Dia adalah Yang Pertama, ini bukan berarti bahwa ada Yang Kedua setelah-Nya. Bilangan merupakan kerakteristik alam materi. Bilangan merupakan kuantitas terpisah (kam al-munfashil) dari aksiden, dan aksiden termasuk dalam kategori kuiditas (al-mahiyah). Wujud Tuhan, karena tak memiliki kuditas, tak termasuk dalam aksiden atau substansi dimana keduanya merupakan kategori kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan dalam wujud-wujud abstrak (non materi) tak termasuk dalam kategori bilangan, karena wujud mereka bersifat substansial. Wujud Tuhan tak terbatas, karena itu tak terbayangkan adanya sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujud Tuhan yang sedemikian tak berhingga itu tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya wujud selain-Nya, karena kalau ada yang kedua setelah-Nya berarti bahwa wujud Tuhan terbatas.

Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan indera lahiriah, tak bisa diserupakan dengan apapun, mata tak dapat melihat-Nya, pikiran tak dapat meliputi-Nya dan tak bisa dikhayalkan dan digambarkan dalam bentuk apapun, karena kalau bisa diserupakan dan diliputi oleh akal dan pikiran maka berarti wujud-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu yang terbatas mustahil meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari sesuatu yang terbatas adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah sesuatu yang tak terbatas. Maka dari itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan hal yang mustahil. Dalam hal ini, Mulla Sadra dalam kitab Asfar berkata, "Para filosof muta'allihin mengenal Tuhan dan bersaksi atas keberadaannya tapi tak mengenal hakikat-Nya karena kekuatan intensitas pancaran dan cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud kita yang menghalangi penyaksian hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan intensitas pancaran dan cahaya matahari yang menyebabkan mata kita tak mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari. Kita tak sanggup menyaksikan hakikat Tuhan karena terhijabi oleh intensitas pancaran dan cahaya-Nya, kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi bukan bermakna "meliputi" dan "mencakupi" realitas wujud-Nya."[10]


D. Keazalian dan Keabadian Tuhan

Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud tunggal yang hakiki (wahid hakiki) mesti memiliki dua sifat dasar, yang pertama adalah harus azali. Yang dimaksud dengan azali adalah sesuatu yang tak pernah tiada dan tak ada sesuatu yang lain mendahuluinya. Ruang dan dan waktu tak berpengaruh atas sesuatu yang azali. Sifat yang kedua adalah zatnya berpijak pada esensinya sendiri yakni wujud dan sifatnya tidak bersandar pada realitas lain, dia tak dicipta oleh wujud yang lain dan juga tak ada satu realitaspun yang dapat membinasakannya.

Zat Tuhan hadir lebih dahulu atas waktu, atas segala keberadaan dan atas segala permulaan, konsep ini merupakan salah satu pemikiran yang cermat dan jitu dalam filsafat Ilahi, dan pengertian keazalian Tuhan bukan hanya bermakna bahwa Dia senantiasa berada bahkan keazalian Tuhan diatas ke-senantiasa-an keberadaan tersebut, karena ke-senantiasa-an itu mengharuskan adanya waktu sementara Tuhan, disamping bersama dengan segala realitas waktu, juga mendahului segala sesuatu termasuk waktu itu sendiri. Inilah pengertian yang benar tentang keazalian Tuhan. Tuhan adalah wujud murni dan semata-mata aktual serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Wujud-Nya tersembunyi dihadapan panca indera kita, tapi secara riil Dia adalah wujud yang paling jelas, paling terang dan paling bercahaya, bahkan Dia adalah cahaya itu sendiri. Kesempurnaan Tuhan justru terletak diantara lahir dan batin atau jelas dan tersembunyi.

Berdasar pada kenyataan di atas, Mulla Sadra menarik kesimpulan bahwa al-Wahid al-Hakiki adalah suatu wujud yang tak butuh kepada sebab dan berpijak pada zat-Nya sendiri, disamping itu dia juga menetapkan simplisitas wujud-Nya (al-besâthat), ke-esa-an, ke-tunggal-an dan kesucian wujud-Nya dari segala bentuk kebercampuran, kejamakan, perubahan dan gerak serta keserupaan-Nya dengan makhluk-makhluk. Tuhan disebut Wâjib al-Wujud dari sisi bahwa wujud-Nya berdiri sendiri dan mutlak yakni memiliki kemandirian esensi dan zat serta tak butuh kepada wujud yang lain, Dia adalah Maha Kaya dalam semua dimensi dan aspek, oleh karena itu Dia mesti azali dan abadi.

Di sini Al-Al Farabi juga beranggapan tentang Tuhan bahwa disamping Dia Yang Pertama juga Yang Terakhir; Pelaku dan juga Puncak Tujuan, Pelaku dan Puncak Tujuan ini memiliki kesatuan yang sempurna yakni Dia Pelaku mutlak dan juga Tujuan mutlak. Secara hakiki, tak ada perbedaan antara azali dan abadi jika dihubungkan dengan wujud Tuhan, karena keabadian Dia adalah keazalian-Nya itu sendiri begitu pula sebaliknya, Tuhan sejak dahulu berada dan juga sekarang berada serta tak sesuatupun bersama-Nya; berdasarkan ini, Mulla Sadra menyebut Tuhan sebagai Wujud Mutlak.

Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa keazalian dan keabadian Tuhan bisa juga dipahami dengan makna bahwa Tuhan adalah suatu wujud di atas ruang dan waktu. Makna ini bukan berarti bahwa Tuhan itu, dari dimensi waktu, kita pahami sebagai sesuatu yang tak berawal dan juga tak berakhir. Dia secara mutlak keluar dari ruang dan waktu, Dia tidak diliputi oleh ruang dan waktu, karena kemarin dan hari ini masuk dalam kategori waktu. Dia tidak di dalam waktu dan tidak dalam suatu ruang, Dia juga tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Tak satupun realitas yang meliputi dan mencakup-Nya, bahkan Dia yang meliputi segala realitas dan semua realitas itu di bawah pengaruh dan cakupan-Nya serta tak ada yang lepas dari kekuasaan-Nya. Tak bisa kita katakan bahwa Tuhan itu pernah tiada kemudian terwujud (hâdits) atau setelah Dia berada pada waktu tertentu akan menjadi binasa dan punah (fana).

Secara berurut, akan tertegaskan sifat lain untuk Wâjib al-Wujud yaitu tak satupun wujud atau realitas materi yang dapat menjadi Tuhan; karena wujud-wujud materi adalah sesuatu yang pernah tiada dan lantas terwujud kemudian (hâdits), begitu pula realitas wujud-wujud materi tak bisa kita katakan bahwa mereka itu senantiasa ada atau mustahil menjadi tiada.

Dalam doktrin-doktrin suci agama, keabadian dan keazalian Tuhan memiliki tiga pengertian, pertama adalah bahwa Tuhan itu abadi dalam waktu dan tak berakhir, yang kedua adalah Dia tak berwaktu, dan yang ketiga adalah Dia memiliki segala kesempurnaan wujud. Tapi dalam doktrin suci Islam, Tuhan diperkenalkan sebagai wujud yang suci dari segala bentuk kefakiran dan kebutuhan, sifat ini meniscayakan bahwa Tuhan tidak dalam ruang dan waktu; karena suatu realitas wujud yang berada dalam ruang pasti membutuhkan dan memerlukan ruang dan tempat, begitupula suatu wujud yang berada dalam waktu mesti memerlukan syarat-syarat tertentu agar dapat tetap berada dalam waktu.


E. Nama dan Sifat Tuhan

Tak satupun dari makhluk dalam semua aspek yang serupa dengan Tuhan. Pada sisi lain, setiap sifat dari sifat-sifat yang kita kenal adalah sifat makhluk dan bukan sifat Khâlik. Kalau Dia itu kita sifatkan dengan sifat-sifat yang kita ketahui tersebut, maka kita meletakkan makhluk serupa dan setara dengan Tuhan dalam sifat-sifat itu. Maka dari itu, kita harus memilih jalan agar kita tak terjebak dalam penafian makrifat tentang sifat Tuhan dan juga menghindar dari penyerupaan makhluk dengan Tuhan.

Kelihatannya jalan yang logis dalam pengenalan manusia tentang sifat-sifat Tuhan adalah beranggapan bahwa akal manusia memiliki keterbatasan dalam kemampuannya menjelajahi secara rasional ketakterbatasan sifat-sifat Tuhan. Jadi bukan berarti bahwa akan manusia secara mutlak tak mampu mengenal beberapa sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Sebagaian aliran teologis beranggapan bahwa akal manusia tak bisa menetapkan sifat-sifat Tuhan secara mendetail dan menegaskan batasan-batasan sifat-Nya. Walaupun aliran ini, kenyataannya tak menolak beberapa pengetahuan dan pengenalan kepada sifat Tuhan yang perlu dan urgen bagi manusia, ini berarti bahwa mereka tak memberikan batasan antara kemampuan pengenalan akal manusia dan "urgensi kebutuhan pengetahuan manusia terhadap Tuhan". Maka jelaslah bahwa, dalam keadaan ketidakmampuan akal manusia mencapai secara sempurna pengetahuan hakiki tentang Tuhan, manusia sangat urgen memiliki pengetahuan tentang Tuhan walaupun sedikit dimana pengetahuan "yang sedikit" itu bukan hanya tak "dilarang" atau akal tak mampu menjangkaunya bahkan sangat perlu dan mesti bagi manusia dalam meraih keyakinan tentang-Nya. Pengetahuan "yang sedikit" tentang Tuhan sangat berpengaruh dalam semua bentuk peribadatan manusia kepada-Nya, tanpa pengetahuan itu mustahil manusia merasakan kelezatan dalam mengingat dan berzikir kepada-Nya.

Manusia dapat mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat yang menggambarkan kebaikan dan kesempurnaan-Nya dan hal itu tidak menunjukkan kekurangan dan keterbatasan-Nya. Memang benar bahwa Tuhan tak serupa dengan makhluk-makhluk dan begitu juga sebaliknya semua makhluk tak sama dengan Tuhan dalam semua dimensi. Tapi penafian keserupaan dan kesamaan (al-tasybih) tersebut bukan berarti menegaskan perlawanan dan pertentangan makhluk dengan Tuhan. Bentuk pensucian (al-tanzih) seperti tersebut di atas dapat dikatakan dalam suatu ungkapan, "Apa saja yang ada pada makhluk berbeda dengan apa yang ada pada Khalik". Perbedan tersebut bukanlah bentuk perlawanan dan pertentangan, makhluk bukanlah lawan dari Tuhan, makhluk adalah pancaran, ayat, bayangan, citra, tajalli dan manifestasi Tuhan. Kalau konsekuensi dari pensucian Tuhan tersebut adalah bahwa setiap makna yang sesuai dengan makhluk pasti tidak bersesuaian dengan Tuhan, lantas bagaimana dengan pengertian dan makna "keberadaan, eksistensi" dan "kesatuan" yang terterapkan dan teraplikasikan pada Tuhan dan makhluk? Jelaslah bahwa pemikiran tersebut bukan hanya meniadakan Tuhan dari sifat-sifat bahkan memustahilkan akal manusia mencapai pengeahuan dan makrifat tentang ketuhanan dimana hal ini berujung kepada pengingkaran dan penolakan eksistensi Tuhan.

Mulla Sadra, dalam masalah pengenalan sifat-sifat Tuhan, juga menggunakan metode yang berpijak pada gagasan burhan shiddiqin dimana burhan ini digunakan untuk menetapkan eksistensi dan kesatuan Tuhan. Ketika dalam hikmah muta'aliyah ditegaskan bahwa kehakikian (al-ashâlah) itu milik wujud dan zat Tuhan adalah murni wujud yang tak memiliki keterbatasan, maka semua karakteristik wujud dan kesempurnaan wujud secara mutlak dan sempurna terdapat pada wujud dan zat Tuhan. Semua sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang disaksikan secara riil dan mendetail di alam ini, dari sisi bahwa hal itu menunjukkan keterbatasan mereka dan keterbatasan itu bersumber dari penafian dan ketiadaan kesempurnaan, dalam masalah Tuhan dimana zat-Nya adalah murni wujud niscaya secara mutlak menolak ketiadaan, segala bentuk ketiadaan tak sesuai dengan kesucian wujud-Nya, dan karena secara umum sifat-sifat yang tersaksikan tersebut berhubungan dengan ketiadaan dan keterbatasan maka secara pasti harus dinafikan dari zat suci Tuhan dan penegasan secara mutlak ketiadaan keterbatasan wujud dan sifat-Nya. Eksistensi Tuhan secara mutlak lepas dari segala syarat-syarat dan jauh dari semua bentuk keterbatasan, dari sisi ini, wujud Tuhan mustahil dibatasi dan diliputi oleh sebuah persepsi yang secara sempurna menceritakan tentang realitas wujud Tuhan.

Segala sifat-sifat yang mengesankan atau menceritakan suatu bentuk keterbatasan dan ketidaksempurnaan mesti dinafikan dari sifat-sifat Ilahi dan pada saat yang sama kesempurnaan eksistensial dari sifat-sifat tersebut ada pada zat Tuhan. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan kuiditas tak ada pada zat Tuhan dan yang ada hanyalah kesempurnaan wujud. Tuhan Maha Mengetahui tapi bukan dengan perantaraan alat-alat keilmuan, Tuhan Maha Melihat tapi tidak dengan perantaraan mata, Tuhan Maha Mendengar tapi idak dengan telinga, Tuhan Maha Berkehendak tapi bukan dengan berpikir sebelumnya, Dia meliputi segala sesuatu tapi tidak dengan peliputan jasmani, Dia bersama dengan semua realitas tapi tidak dengan persatuan, Dia terpisah dan jauh dari segala sesuatu tapi tak berjarak.

Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud Tuhan adalah wujud yang paling sempurna, dari sisi ini, Dia berada di atas dari semua penginderaan kita. Penginderaan kita yang terbatas ini mustahil menjangkau suatu realitas wujud yang tak terbatas. Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan kesempurnaan-Nya yang tak terbatas itu membuat heran dan kagum akal manusia. Manusia yang merupakan wujud yang terbatas dan berkekurangan bagaimana mungkin bisa meraih dan meliputi sesuatu yang wujudnya tak terbatas dan kesempurnaannya tak berujung. Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra Tuhan yang memiliki wujud yang maha sempurna dan di atas ruang dan waktu mustahil berada dalam jangkauan indera dan akal manusia.

Lebih lanjut, Mulla Sadra menekankan bahwa pengenalan Tuhan adalah merupakan tujuan filsafat dan manusia berkewajiban mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan kemampuan dan "keluasan wujudnya" masing-masing serta berusaha mengikuti segala perbuatan Tuhan dan meneladani sunnah-Nya dalam semua dimensi. Mulla Sadra memustahilkan pengetahuan sempurna atas wujud Tuhan sebagaimana ada-Nya, pengetahuan manusia tentang Tuhan diperoleh dari jenis pengenalan rasionalitas yang berangkat dari analisa-analisa tajam dan teliti atas persepsi-persepsi yang ada.

Mulla Sadra menegaskan masalah sifat-sifat Tuhan dalam usaha dan jalur rasionalitas. Dia tidak sama dengan golongan orang-orang yang menyandarkan dan menisbahkan sifat dan perbuatan makhluk kepada Tuhan, dan diapun tidak sejalan dengan golongan orang-orang yang menafikan segala bentuk pengenalan manusia atas zat dan sifat-sifat Tuhan. Mulla Sadra, pada saat yang sama mengakui kemustahilan pengetahuan hakikat zat Tuhan juga menegaskan bahwa pengenalan Tuhan diperoleh lewat pengetahuan tentang nama dan sifat-sifat Tuhan.

Berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat agung Tuhan, Mulla Sadra berkeyakinan bahwa setiap nama – yang menceritakan hubungan Tuhan dan makhluk – bisa disandarkan dan dilekatkan kepada Tuhan, dan nama-nama tersebut bukanlah sesuatu yang berada di luar dari zat Tuhan. Dalam perspektif Mulla Sadra, satu-satunya jalan mencapai hakikat wujud Tuhan adalah dengan ma'rifat syuhudi dimana sesuai dengan potensi wujud masing-masing manusia, ma'rifat ini bukan pengetahuan tentang nama dan sifat Tuhan.

Mulla Sadra, tidak sama dengan kaum Asy'ariah yang memandang sifat-sifat Tuhan tersebut berada di luar dari zat Tuhan dan pada saat yang sama sifat-sifat itu merupakan sesuatu yang tak tercipta, dan dia juga tak sepaham dengan kelompok Mu'tazilah yang menafikan sifat-sifat Tuhan dan penisbahan sifat-sifat itu kepada Tuhan bersifat majasi. Mulla Sadra mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat tetapi bukan sifat yang berada di luar dari zat-Nya, sifat dan zat Tuhan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, perbedaan sifat dan zat-Nya hanya pada dataran persepsi (al-mafhum) bukan pada dimensi contoh luar (extensi, al-mishdaq), berbeda dalam persepsi dan satu dalam extensi. Menurutnya, akal ketika memahami satu kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan wujud Tuhan seperti ilmu dan kekuatan maka secara langsung diapun menegaskan kesempurnaan-kesempurnaan lain yang mesti dimiliki oleh Tuhan, karena wujud Tuhan merupakan suatu realitas yang basith dan satu kesatuan mutlak, segala kesempurnaan tak terbatas dimiliki-Nya dan tak satupun bentuk kesempurnaan yang dapat dinafikan dari wujud-Nya.

Mulla Sadra dalam kitab Asfar secara mendetail membahas tentang asma dan sifat Tuhan serta sekaligus menetapkan suatu sifat untuk Tuhan. Dia berkata, "Karena Tuhan merupakan wujud mutlak dan secara esensi Wâjib al-Wujud maka tersucikan dari segala bentuk kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu Dia adalah kebaikan dan kehidupan mutlak dan wujud seperti ini merupakan kesatuan antara subyek, obyek dan ilmu. Dalam gagasannya, Tuhan mengetahui semua makhluk. Ilmu-Nya tentang zat-Nya menyatu dengan zat-Nya dan ilmu kepada makhluk-Nya adalah ilmu huduri yang juga menyatu dengan zat-Nya. Mulla Sadra berbeda dengan Aristoteles yang memungkiri ilmu Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan mengetahui segala realitas makhluk secara partikularitas, Dia mengatur segala maujud serta ilmu dan kehendak-Nya meliputi segala sesuatu. Tak satupun keluar dari pengetahuan-Nya dan segala sesuatu yang ada di alam diatur dan diarahkan dalam sebaik dan sesempurnanya sistem.

Ilmu Tuhan dalam masalah-masalah yang bersifat partikular tidak sama dengan ilmu kita terhadap masalah tersebut. Ilmu-Nya tentangnya tidak berasal dari masalah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh waktu dan zaman, jika demikian maka Dia harus berjarak dengannya dan berpengaruh pada-Nya, sementara hal in merupakan sesuatu yang mustahil. Ilmu Tuhan tidak berubah seiring perubahan yang terjadi pada wujud-wujud partikular, ilmunya tidak hadir secara aksiden dalam zat-Nya hingga Dia mesti "menunggu".


F. Sifat-Sifat Perbuatan Tuhan dan Masalah Penciptaan

Tak diragukan lagi bahwa seluruh alam dan segala kejadian yang terjadi di dalamnya, dari sisi wujud dan eksistensinya, memiliki hubungan dengan Tuhan, semuanya itu adalah perbuatan dan pancaran dari-Nya, pancaran dari sifat-sifat seperti, sifat Rahmat, Rahim, Rezki, Keagungan, Kekayaan, Kemuliaan, dan lain sebagainya. Tuhan disifatkan dengan suatu sifat yang terambil dari tingkatan perbuatan itu sendiri, sifat ini disebut dengan sifat perbuatan dan lebih rendah dari sifat zat. Kehendak (iradah), Kemurahan dan Kebaikan (ihsan) Tuhan adalah wujud eksternal itu sendiri (baca: alam dengan segala realitasnya) dimana terwujud dengan penciptaan Tuhan dengan perantaraan nama Murid, Karim dan Muhsin. Penciptaan Tuhan tiada lain adalah realitas alam itu sendiri secara menyeluruh dan wujud-wujud partikular merupakan manifestasi langsung dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Makhluk-makhluk dengan wujudnya yang beraneka ragam dan sifatnya yang bermacam-macam mengisyaratkan kepada kita bahwa realitas itu merupakan tanda kesempurnaan zat dan sifat Tuhan, yakni realitas ini bersumber dari suatu perbuatan pada tingkatan zat Tuhan. Secara lahiriah, perbuatan Ilahi itu memiliki banyak perbedaan tapi pada hakikatnya semua kembali kepada satu perbuatan umum yang disebut dengan penciptaan. Yang dimaksud dengan penciptaan bukan berarti bahwa ada "bahan baku" atau "materi awal" sebelumnya dimana Tuhan menggunakan "bahan baku" tersebut sebagai bahan dasar dalam penciptaan, karena jika demikian maka wujud Tuhan tidaklah azali bila dibandingkan dengan "materi awal" tersebut dan juga wujud-Nya menjadi terbatas dan keterbatasan wujud-Nya ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak yang dimiliki-Nya. Disamping itu, dari sisi perbuatan, Tuhan akan butuh kepada "materi awal" tersebut, dan kebutuhan Tuhan ini bertentangan Maha Kaya dan kesempurnaan mutlak-Nya. Iradah dan kehendak Tuhan adalah perbuatan dan penciptaan itu sendiri, karena segala bentuk pikiran, gambaran,khayalan, gerak dan kondisi serta faktor internal dan eksternal tidaklah sesuai dengan zat Tuhan. Tuhan mencipta tidak dari sesuatu.

Dalam filsafat Ilahi, kehendak Tuhan berhubungan dengan satu sistem keteraturan sempurna dimana memiliki kemaslahatan dan tujuan tertentu, kemaslahatan ini tidaklah membatasi kehendak Tuhan tersebut. Mulla sadra dalam hal ini menekankan bahwa sifat kebaikan harus dihubungkan kepada kekuatan dan ilmu Tuhan secara mutlak, ketika Tuhan dikatakan sebagai sumber segala kebaikan yakni perbuatan Tuhan dan eksistensi-Nya merupakan syarat dasar kebaikan dan paling tingginya kesempurnaan wujud dalam tatanan sempurna kewujudan.

Oleh karena itu, Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hikmah dan tujuan universal, gagasan ini tidaklah bertentangan dengan kekuatan mutlak Tuhan. Segala perbuatan Ilahi memiliki kesesuaian dan keharmonisan satu sama lainnya. Menurut Mulla Sadra, Tuhan, disamping memiliki ilmu dan kekuatan mutlak juga sebagai Yang Maha Bijaksana (Hakim).

Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan bukan hanya sebagai Pencipta (Khalik), bahkan juga sebagai Hakim yang memiliki kemurahan, keadilan dan sumber segala kebaikan dan rahmat. Biasanya kebaikan dan kecintaan digunakan sebagai dua sifat dari sifat-sifat Tuhan. Sumber kebaikan Tuhan adalah kecintaan dan rahmat-Nya, semua sifat-sifat ini digunakan dalam satu makna; tetapi yang terpenting diantara mereka adalah cinta dan mahabbah Tuhan. Menurutnya, Tuhan itu kesempurnaan, cinta dan kebaikan mutlak dimana pada satu sisi semua kebaikan berasal dari-Nya dan pada sisi lain kecintaan-Nya meliputi segala realitas wujud dan makhluk. Tak ada keburukan mutlak yang merupakan lawan dari kebaikan mutlak di dalam tatanan alam ini, yang ada hanyalah keburukan aksidental yang bersifat nisbi, "keburukan" ini sebenarnya merupakan kebaikan pada tingkatan yang rendah, karena jika keburukan mutlak itu secara hakiki berwujud, maka bertentangan dengan wujud, ilmu dan hikmah Ilahi yang tak terbatas. Sebagaimana wujud itu hakiki dan bergradasi, kebaikan dan kesempurnaan mutlak adalah wujud itu sendiri, maka kebaikan dan kesempurnaan juga bergradasi dan berjenjang. Karena tatanan segala realitas alam bersumber dari ilmu, kekuatan dan kecintaan kepada kesempurnaan dan kebaikan, maka segala realitas alam tersebut senantiasa berwujud dalam kondisi yang paling sempurna. Tak ada lagi tatanan dan sistem yang lebih sempurna dari tatanan yang universal ini, apa yang ada ini adalah yang terbaik dan paling sempurna, karena kalau ada yang terbaik yang tak tercipta oleh Tuhan, maka ilmu, kekuatan dan kesempurnaan-Nya pasti terbatas.

Mulla Sadra menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Pelaku atau Sebab hakiki di alam. Alam dalam pandangannya memiliki kesatuan dan keharmonisan serta mempunyai hubungan kausalitas antara tingkatan-tingkatan wujud. Gagasannya tentang ketunggalan Pelaku alam tak bertentangan dengan konsep keniscayaan sebab-akibat yang digagas oleh para filosof lain.


G. Awal Dan Akhir Penciptaan Alam

Masalah yang senantiasa menjadi pokok perhatian para pemikir dan filosof adalah hubungan antara Tuhan dan alam. Tuhan, dalam pandangan Mulla Sadra, adalah suatu wujud yang non materi (al-mujarrad), lantas bagaimana hubungan Dia dengan alam yang bersifat materi ini? Bagaimana bisa alam materi tercipta atau terpancar dari suatu realitas yang non materi? Apakah penciptaan alam "sezaman" dengan ke-qadim-an Tuhan?

Mulla Sadra berpegang pada konsep "manifestasi" dalam menetapkan bentuk hubungan antara satu dan jamak, antara kesatuan dan kejamakan. Dalam pandangannya, Tuhan adalah kesatuan yang hakiki dan wujud mutlak yang merupakan sumber segala kesempurnaan, berdasarkan rahmat-Nya yang luas maka terpancar dari-Nya suatu wujud yang oleh filofof disebut dengan akal pertama, akal pertama ini memiliki semua karakteristik yang ada pada wujud Tuhan, perbedaannya dengan Tuhan hanyalah bersifat tingkatan saja. Akal pertama berada satu tingkatan di bawah Tuhan.

Alam yang bersentuhan langsung dengan kita adalah alam materi, alam ini bersifat hâdits zamani[11] yakni wujudnya didahului oleh "ketiadaan" dan ketiadaannya didahului oleh wujud. Alam materi ini dipengaruhi oleh ruang, waktu dan gerak. Perubahan adalah substansi alam materi. Dengan semua karakteristik ini, alam materi tak lepas dari peliputan dan pencakupan Tuhan, awal dan akhir alam materi berhubungan dengan Tuhan.

Alam lain yang telah dibuktikan dan ditegaskan keberadaannya adalah alam non materi. Alam ini memiliki sifat konstan (tetap), tak bergerak, tak reaktif, tak berubah, tak berwaktu, dan tak berpotensi. Alam ini tetap memiliki sifat butuh dan bergantung kepada Tuhan sebagaimana alam materi, karena walaupun alam non materi tersebut memiliki memiliki banyak "persamaan dan keserupaan" dengan Tuhan tapi dari sisi wujudnya tetap memiliki keterbatasan. Kekhususan lain yang dimiliki oleh alam ini adalah setiap kesempurnaan yang secara mungkin dimilikinya niscaya ada padanya dan dia tak lagi menyempurna karena tak satupun sifatnya yang bersifat potensi. Semua manifestasi Tuhan secara sempurna diserapnya, hal ini seperti sebuah cermin yang menyerap dan memantulkan secara sempurna obyek yang berada dihadapannya.

Tuhan "bertajalli dan bermanifestasi" pertama kali di alam non materi tersebut, alam ini akan menyerap tajalli Tuhan itu dan secara sempurna memantulkannya secara bergradasi ke alam mitsal[12] lantas ke alam materi yang merupakan alam yang terendah. Tuhan tak lansung menciptkan alam materi ini, tapi Dia mencipta alam non materi dimana konsekuensi alam ini melahirkan alam-alam lain secara bergradasi hingga ke alam materi.

Demikianlah sepintas pembahasan tentang wujud, nama dan sifat-sifat Tuhan yang diramu dari gagasan-gagasan seorang filosof Ilahi yang agung, Mulla Sadra, pendiri Hikmah Muta'aliyah. Pembahasan ini sangatlah ringkas dan tidak semua gagasannya dituangkan secara sempurna dalam makalah ini karena keterbatasan penulis sendiri, makalah ini hanyalah secara global memperkenalkan konsep dan gagasan dari seorang filosf muslim yang terkenal dengan teori-teori transendentalnya tentang ke-Tuhan-an dan kami berharap suatu waktu, secara terperinci dan sistimatis, akan menjabarkan pemikiran-pemikirannya.


Catatan Kaki: 

[1] . Alam ide Plato adalah suatu bentuk yang non materi dan juga hakikat persepsi akal. Alam ini bersifat, azali, konstan dan mandiri. Jadi, setiap realitas memiliki "bentuk non materi"nya di alam Ilahi, "bentuk non materi" itu dinamakan mutsul. Karena mutsui ini dikonsepsi pertama kali oleh Plato, maka kemudian para filosof menamakan mutsul Aflatun atau mutsul Plato, yang kita terjemahkan dengan alam ide Plato..
[2] . Istilah ini telah kami jelaskan secara terperinci dalam makalah kami yang berjudul "Tuhan dalam filsafat".
[3] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal. 18-27. Dan dalam kitab an-Najâh, hal. 66.
[4] . Ibnu Sina, asy-Syifa, makalah kedua, pasal keempat.
[5] . Para filosof peripatetik beranggapan bahwa di alam eksistensi ini terdapat sepuluh akal yang berjenjang dan bertingkat. Akal yang paling rendah tingkatannya disebut dengan akal fa'âl, akal ini disamping berfungsi untuk mengaktualkan segala potensi yang dimiliki oleh jiwa-jiwa juga berfungsi "mencipta" jiwa-jiwa dan akal-akal partikular (akal yang terdapat dalam diri manusia) di alam semesta ini.
[6] . Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, hal. 15 dan 16.
[7] . Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, bab penegasan tauhid.
[8] . Mulla Sadra, al-Masyâ'ir, hal. 69.
[9] . Maujud yang akan ditegaskan dan dibuktikan hakikat keberadaannya, misalnya dalam pengasumsian bahwa Tuhan itu berada kemudian dengan pendekatan dalil-dalil filosofis terbukti bahwa Tuhan benar-benar berwujud secara hakiki.
[10] . Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 115.
[11] . Adalah baru tercipta dalam waktu, alam ini pernah tiada - dalam waktu - dan sekarang baru tercipta dan hadir - juga dalam waktu -, jadi alam materi ini diliputi oleh waktu, bahkan waktu merupakan salah satu faktor hakiki terwujudnya alam, waktu adalah salah satu faktor pembangun alam.
[12] . Alam yang berada di antara alam akal dan alam materi.


3. Konsep Ketuhanan dalam Filsafat Peripatetik

A. Pembuktian Wâjibul Wujûd(Tuhan)

1. Penetapan Wujud Non-Materi

Ibnu Sina pada kesempatan ini berupaya membuktikan bahwa eksistensi tidak hanya terbatas pada materi dan realitas yang terindera. Dasar argumentasinya berpijak pada perkara-perkara yang bersifat universal (al-Kulli). Dia menjelaskan, "Kita bisa memahami suatu hakikat universal yang memiliki eksistensi eksternal dengan menelaah hal-hal yang partikular, namun realitas eksternal ini bukanlah realitas materi yang dapat diindera. Dan terkadang kita mendengar sebagian orang yang memiliki pikiran keliru dan menyangka bahwa eksistensi adalah indentik dengan wujud-wujud materi yang terindera. Dengan demikian, maujud-maujud non-materi tidak memiliki eksistensi hakiki."[1]

Ibnu Sina dalam menjawab kritikan tersebut berkata, "Apabila kita menelaah secara serius dan sistimatik benda-benda materi ini, maka kita akan memahami kesalahan pikiran mereka. Mereka memahami bahwa kita menggunakan kata yang sama untuk sebagian benda, seperti penggunaan kata manusia yang mencakup individu-individu yang berbeda (Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, Husain). Penggunaan kata ini bukan semata-mata bersifat semantik, melainkan menceritakan suatu kenyataan hakiki. Apakah hakikat manusia yang terdapat dalam pikiran yang memiliki wujud eksternal ialah maujud materi ataukah maujud non-materi? Apabila makna universal ini (manusia) kita katakan sebagai maujud non-materi, maka perkataan ini mendukung pemikiran kami, yakni dengan mengkaji maujud-maujud materi, kita bisa membuktikan suatu hakikat dan maujud yang non-materi. Namun kalau kita mengasumsikan makna universal (manusia) ini sebagai maujud materi, maka maujud materi ini harus memiliki sifat-sifat tertentu seperti ukuran, tempat, dan kondisi yang dengan sifat-sifat ini ia dapat terindera. Dan setiap maujud yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu tidak dapat diterapkan pada individu-individu yang berbeda, karena sifat-sifat khusus itu hanya berlaku baginya, bukan untuk maujud yang lain. Oleh karena itu, makna manusia, dari sisi bahwa ia merupakan makna dan hakikat universal, merupakan suatu hakikat yang non-materi. Suatu hakikat yang berada di alam rasional kita. Bahkan semua hakikat universal merupakan maujud-maujud yang bersifat non-materi."[2]

Bisa jadi seseorang akan menyanggah bahwa jika kita mengkaji realitas alam ini, maka secara hakiki kita bisa melihat bahwa yang sebenarnya disebut sebagai manusia ialah hal-hal partikular yang bersifat materi, yakni yang disebut manusia hanyalah individu-individu yang memilki tangan, mata, dan telinga lahiriah ini. Namun manusia yang menurut penjelasan Anda, misalnya yang bukan Husain, bukan Ali, dan bukan individu lainnya (yakni manusia universal yang non-materi) dan pada saat yang sama ia dikatakan memiliki eksistensi hakiki, adalah tidak dapat dibuktikan eksistensi hakikinya.

Ibnu Sina dalam menjawab sanggahan ini berkata, "Anda berpikir bahwa manusia hakiki adalah manusia yang memiliki tangan dan kaki lahiriah. Namun, yang kami tetapkan di sini adalah manusia yang juga memiliki seluruh indera sebagaimana manusia eksternal, misalnya manusia universal itu juga memiliki tangan dan anggota badan lain, namun tangan dan anggota badan ini bersifat universal. Manusia universal seperti ini ialah maujud non-materi yang memiliki kenyataan eksternal dan hakiki."[3]

Lebih lanjut Ibnu Sina menegaskan bahwa jika semua maujud bisa terindera, maka pada kondisi ini, indera[4], khayal[5], dan akal yang terdapat pada manusia dimana berperan dalam penentuan kebenaran sesuatu pasti akan menyerap maujud-maujud tersebut. Kita ketahui bahwa indera, khayal, dan akal itu sendiri adalah maujud-maujud hakiki yang non-materi dan tidak nampak.

Di samping itu, sebagian sifat-sifat maujud materi seperti rasa malu, cinta, takut, marah, dan lain-lain, merupakan sifat-sifat yang tidak dapat terindera dan bukan kategori imajinasi. Seluruh sifat itu terdapat pada diri manusia. Oleh karena itu, ketika Anda mampu mengetahui sifat-sifat hakiki non-materi yang ada pada makhluk hidup, lantas bagaimanakah dengan maujud yang sama sekali tidak terkait dengan maujud-maujud materi? Dengan ungkapan lain, kita memahami keberadaan suatu hakikat yang berhubungan dengan alam materi, namun tidak bisa dicerap dengan indera dan khayal. Lantas bagaimana kita bisa mengetahui eksistensi hakikat-hakikat yang sama sekali tidak terkait dengan alam materi dan tidak berada dalam ruang lingkup materi.

Dengan perspektif lain, Ibnu Sina menjelaskan bahwa semua maujud yang memiliki eksistensi eksternal dan hakiki, dari sisi hakikat zatnya sendiri adalah maujud non-materi, bahkan suatu hakikat tunggal yang non-materi. Dengan demikian, suatu maujud yang memberikan hakikat (yang non-materi itu) kepada seluruh maujud pastilah merupakan realitas yang lebih bersifat non-materi.[6]


2. Pembagian Sebab

Ibnu Sina pada bagian ini mencoba menjelaskan pembagian sebab-sebab dan mengisyaratkan hubungan di antara sebab-sebab itu. Masalah ini juga merupakan salah satu pendahuluan penetapan Wajibul Wujud. Ibnu Sina memaparkan bahwa setiap realitas hakiki dari dua aspek memerlukan sebab: pertama dari sisi kuiditasnya dan kedua dari dimensi eksistensinya. Sebagai contoh kita dapat mengamati suatu segitiga. Wujud segitiga dibentuk dari satu permukaan dan tiga garis. Permukaan merupakan 'sebab forma' (al-illah ash-shûry) dan ketiga garis itu sebagai 'sebab materi' (al-illah al-mâddy). Kedua sebab ini biasa disebut dengan 'sebab kuiditas'. Ketika segitiga dengan sifat-sifat seperti itu akan dihadirkan di alam nyata, pasti akan membutuhkan suatu faktor untuk mewujudkannya. Faktor ini disebut sebagai 'sebab pengada' atau 'sebab wujud'. Sebab wujud bukanlah sebab kuiditas. Sebab kuiditas adalah pembentuk hakikat segitiga, sementara sebab wujud merupakan sebab yang berada di luar segitiga. Sebab wujud ini juga disebut dengan 'sebab pelaku' (al-illah al-fâ'ily) atau 'sebab tujuan' (al-illah al-ghâi). Sebab tujuan pada hakikatnya merupakan dasar perbuatan pelaku, yakni faktor ini sebagai pendorong bagi pelaku untuk melakukan perbuatan.[7]


3. Wujud dan Kuiditas

Pada pembahasan di atas, Ibnu Sina membagi sebab menjadi sebab wujud dan sebab kuiditas. Dari sini, jelaslah bahwa Ibnu Sina membedakan antara wujud dan zat (kuiditas). Dia menekankan bahwa segala sesuatu memiliki dimensi hakikat (kuiditas) dan sisi keberadaan (wujud). Hakikat sesuatu adalah bukan keberadaannya, karena terkadang kita mengetahui hakikat sesuatu, namun kita tak mengetahui apakah sesuatu itu berwujud di alam nyata ataukah tidak. Misalnya kita mengetahui hakikat burung Simurgh, namun kita tidak mengetahui akan keberadaannya.

Lebih lanjut Ibnu Sina memaparkan bahwa kita mengetahui hakikat segitiga, akan tetapi kita ragu apakah segitiga itu memiliki keberadaan di alam nyata? Keraguan ini tidak berhubungan dengan hakikat segitiga, kita mengetahui bahwa segitiga dibentuk dari satu permukaan dan tiga garis. Keraguan ini terkait dengan wujudnya.[8]


4. Kebutuhan Semua Sebab kepada Sebab Pelaku (Fâ'il)

Dalam hal ini, Ibnu Sina menekankan bahwa sebab materi, sebab forma, dan sebab tujuan memerlukan sebab pelaku. Dia menjelaskan bahwa realitas-realitas yang memiliki sebab kuiditas (materi dan forma), sebab pelaku, atau sebab bagi sebagian dari sebab kuidtas, seperti dia hanya sebab bagi forma, atau sebab bagi semua bagian kuiditas sesuatu itu. Dan dalam semua keadaan, terdapat sebab yang menyatukan bagian-bagian sesuatu tersebut. Dengan demikian, semua bagian-bagian (materi dan forma) setiap realitas atau salah satu dari bagian itu, membutuhkan sebab pelaku yang dengannya bagian-bagian itu akan menyatu dan kemudian akan terwujud suatu realitas.

Namun sebab tujuan, dari satu sisi mendahului sebab pelaku dan dari sisi lain berada setelah sebab pelaku. Dia mendahului sebab pelaku, karena tujuan senantiasa hadir sebelum pelaku berbuat sesuatu, tujuanlah yang memotivasi pelaku. Oleh karena itu, dari sisi urutan perbuatan, sebab tujuan mendahului sebab pelaku. Sementara dari sisi eksistensi dan wujud sebab tujuan, ia merupakan akibat dari sebab pelaku, ia sebagai sasaran yang mesti dicapai oleh sebab pelaku. Dari dimensi ini, sebab tujuan terwujud pasca sebab pelaku. Sebab pelaku mesti melakukan suatu aksi dan perbuatan, supaya dengan perbuatan ini bisa tercapai dan terwujud tujuan itu. Dengan demikian, sebab pelaku bukan merupakan sebab bagi hakikat tujuan, namun hanya sebagai sebab bagi wujudnya.[9]


5. Wâjibul Wujûd hanya sebagai Sebab Pelaku

Apabila pada pembahasan berikut bisa ditetapkan sebab dari segala sebab atau sebab pertama maka sebab ini mesti adalah sebab pelaku, dan sebab-sebab lain tidak memiliki kelayakan sebagai sebab pertama. Ibnu Sina menegaskan bahwa jika terdapat sebab pertama di alam eksistensi maka mesti adalah sebab pelaku yang memberikan keberadaan kepada semua realitas, sebab hakiki ini merupakan faktor yang mewujudkan segala unsur dan pencipta segala maujud. Sebab ini merupakan sebab dari segala sebab dan sebab pemberi eksistensi bagi segala maujud alam.[10]


6. Pembagian Maujud

Salah satu mukadimah dalam penetapan wujud Tuhan adalah membagi dua maujud menjadi Wâjibul Wujûd(Tuhan, mesti-ada dengan sendirinya) dan mumkinul wujud (makhluk, mesti-ada dengan selainnya). Salah satu alasan Ibnu Sina hanya membagi dua maujud adalah bahwa sesuatu yang telah terwujud berarti tidak mustahil mengada secara esensial. Jadi, mumtani'ul wujud (mustahil-ada dengan sendirinya dan dengan selainnya) tak lagi digolongkan ke dalam bagian wujud.

Ibnu Sina menjelaskan bahwa setiap maujud, dari sisi zatnya dan tidak memperhatikan faktor luar, yang keberadaanya adalah wajib atau tidak. Apabila eksistensi suatu maujud adalah wajib maka maujud ini adalah Wâjibul Wujûd(Tuhan) itu sendiri yang zatnya ialah abadi dan kekal, dan maujud-maujud lain bergantung mutlak kepada-Nya. Namun, jika eksistensi suatu maujud adalah tidak wajib, yakni wujudnya mengada tidak secara esensial dan juga setelah kita memandang keberadaannya saat ini dimana eksistensinya tidaklah mustahil, bahkan maujud ini apabila kita perhatikan zatnya dan faktor-faktor eksternal, dan berdasarkan faktor-faktor luar ini maka akan lahir hukum-hukum berbeda, seperti kalau zat tersebut tidak memiliki sebab maka ia akan mustahil terwujud, atau apabila sebabnya hadir (faktor luar) maka ia mesti akan terwujud. Kalau tak satupun dari kedua syarat itu diperhatikan, yakni kehadiran sebabnya dan ketidakhadiran sebabnya, maka akan hadir hukum ketiga yaitu imkan, yakni kesamaan hubungan antara wujud dan tiada. Oleh karena itu, maujud mumkin (yang memiliki sifat imkan), dari dimensi haikat dan esensinya, adalah suatu maujud yang tidak mesti terwujud (bukan Wâjibul Wujûd) dan juga tidak mustahil terwujud (bukan mumtani'ul wujud). Dari penjelasan ini, segala sesuatu yang ada di alam ini adalah Wâjibul Wujûd dan tau mumkinul wujud.[11]


7. Kebutuhan Mumkinul Wujud kepada Wâjibul Wujûd

Ibnu Sina berkata, "Tentang mumkinul wujud (yang hubungannya dengan wujud dan tiada ialah sama) apabila disandarkan pada salah satu sisi dari wujud dan tiada, maka mesti terdapat sebab yang eksternal yang berpengaruh padanya. Sesuatu yang hubungannya dengan ada dan tiada adalah sama, mustahil terwujud dengan sendirinya tanpa pengaruh faktor eksternal, karena hubungannya dengan ada tidak lebih kuat dibanding hubungannya dengan tiada. Oleh karena itu, jika pada satu kesempatan kita mendapatkan bahwa hubungannya dengan salah satu sisi menjadi lebih kuat maka pastilah karena pengaruh suatu sebab atau syarat. Yaitu dengan syarat keberadaan sebab lantas menjadi terwujud atau dengan syarat ketiadaan sebab kemudian menjadi tiada. Dengan demikian, keberadaan setiap mumkinul wujud berasal dari selain zat-nya dan bersandar pada faktor dan sebab luar dari zatnya."[12]


8. Pembuktian Wâjibul Wujûd 

Pada poin ini, Ibnu Sina berupaya membuktikan keberadaan Wâjibul Wujûd. Argumentasinya berpijak pada mukadimah yang telah dijelaskannya, yakni tak satupun mumkinul wujud bisa terwujud tanpa sebab. Apabila sebabnya juga adalah mumkinul wujud, maka tetap membutuhkan sebab dan sebab-sebab ini walaupun terus berlanjut hingga membentuk suatu kumpulan, tetap saja secara esensial sebagai mumkinul wujud. Dan kumpulan ini, seperti mumkinul wujud yang lain, niscaya memerlukan suatu sebab. Ibnu Sina berkata, "Dikarenakan setiap mumkinul wujud ialah akibat dari suatu sebab eksternal. Jika sebab itu adalah juga mumkinul wujud, maka mesti membutuhkan sebab lain. Apabila sebab-sebab ini terus berlanjut hingga tak terbatas, maka pada hakikatnya setiap individu sebab dari kumpulan ini dan kumpulan itu sendiri memerlukan sebab hakiki, karena kumpulan ini bersandar pada individu-individunya sendiri dan karena semua individu-individunya adalah mumkinul wujud, dengan alasan ini, kumpulan ini juga merupakan kumpulan yang membutuhkan sebab. Yang pasti, kebutuhan kumpulan ini niscaya akan dipenuhi oleh sebab hakiki dan faktor eksternal."[13]

Lebih lanjut Ibnu Sina berkata, "Setiap kumpulan yang keseluruhan individunya adalah akibat, pasti membutuhkan suatu sebab yang bukan merupakan individu dari kumpulan tersebut. Kumpulan akibat-akibat itu bisa kita pandang dari dua asumsi, antara lain:

1. Kumpulan itu sama sekali tidak membutuhkan sebab. Asumsi ini tidak benar, karena kumpulan ini pasti tidak bergantung pada sesuatupun dan bukanlah suatu akibat. Sementara setiap kumpulan mesti bergantung pada individu-individunya sendiri (tanpa individu mustahil kumpulan bisa terbentuk). Oleh karena itu, kumpulan tidak bisa dianggap sebagai suatu realitas yang tidak bergantung sama sekali;

2. Kumpulan tersebut diasumsikan bergantung pada sebab. Pada kondisi ini, sebab itu berada pada internal kumpulan dan
11

tau berada pada eksternal. Jika sebab itu diasumsiakan berada pada internal kumpulan, maka akan hadir tiga keadaan:

1. Semua individu dari kumpulan itu merupakan sebab kumpulan itu sendiri. Pada kondisi ini, kumpulan ini merupakan akibat dari dirinya sendiri, karena semua individu kumpulan tidak lain adalah kumpulan itu sendiri. Adalah tidak logis dan tidak rasional bahwa sesuatu itu merupakan akibat dari dirinya sendiri, yakni dirinya sendiri ialah sebab bagi zatnya sendiri;

2. Masing-masing individu dari kumpulan itu diasumsikan sebagai sebab-sebab bagi kehadiran kumpulan. Asumsi inipun adalah keliru, karena tak satupun kumpulan bisa terwujud dengan masing-masing individunya sendiri, karena masing-masing individu ialah bagian-bagian sebab bagi keberadaan kumpulan tersebut dan merupakan sebab sebab-sebab yang tak sempurna serta bukan sebab-sebab yang sempurna;

3. Kumpulan ini memiliki suatu sebab di dalam dirinya sendiri yang sebab itu adalah sebagian dari individu-individu kumpulan. Asumsi ini juga tidak benar, karena sebagian individu dari kumpulan ini, tidak memiliki keunggulan dibandingkan dengan sebagian individu yang lain sehingga sebagian individu itu kita asumsikan sebagai sebab kumpulan dan sebagian lain kita tidak asumsikan sebagai sebab kumpulan. Disamping itu, ketika seluruh individu dari kumpulan merupakan akibat, setiap kita mengasumsikan sebagian individu sebagai sebab kumpulan, dikarenakan mereka ini merupakan akibat, pasti memerlukan sebab hakiki. Dan sebab hakiki ini lebih layak menjadi suatu sebab bagi keseluruhan kumpulan itu.

Dengan demikian hanya tinggal satu asumsi, yakni kumpulan itu hanya bergantung pada suatu sebab eksternal dari kumpulan tersebut."[14]

Argumentasi lain yang dipaparkan Ibnu Sina adalah bahwa sebab eksternal itu berada pada tingkatan pertama eksistensi. Sebab ini juga merupakan sebab bagi individu-individu kumpulan dan pada derajat berikutnya merupakan sebab bagi kumpulan itu sendiri. Ibnu Sina berkata, "Setiap sebab eksternal yang merupakan sebab kumpulan. Sebab ini, pertama-tama sebagai sebab bagi individu-individu kumpulan itu dan kemudian sebagai sebab bagi kumpulan itu sendiri. Kalau tidak demikian, mesti kita mengasumsikan bahwa individu-individu kumpulan itu tak bergantung pada sebab eksternal dan dikarenakan sebuah kumpulan hanya terwujud dari individu-individunya sendiri, dengan demikian kumpulan itu sendiri juga tidak membutuhkan sebab eksternal. Sementara pada awalnya, kita telah mengasumsikan bahwa kumpulan itu bergantung dan butuh pada sebab eksternal. Maka dari itu, kita tidak bisa memandang bahwa sebab eksternal itu pertama-tama sebagai sebab bagi individu-individu dan kemudian sebagai sebab bagi kumpulan itu sendiri. Begitu pula, terkadang sesuatu hanya sebab bagi sebagian inidividu dari kumpulan tersebut. Sebab yang demikian ini, juga tak bisa kita golongkan sebagai sebab bagi kumpulan itu, karena dengan keberadaan sebagian dari individu tersebut, maka tak ada kemestian bagi kehadiran kumpulan itu. Oleh karena itu, sebab eksternal mesti sebagai sebab bagi semua individu dari kumpulan itu sehingga bisa menjadi sebab bagi kumpulan itu sendiri."[15]


9. Kedudukan Wâjibul Wujûddalam Sistem Eksistensi

Ibnu Sina berkata, "Apabila satu kumpulan dari rangkaian sebab-sebab dan akibat-akibat yang saling berkaitan satu sama lain dan memiliki suatu sebab yang bukan sebagai akibat dari sebab yang lain, maka posisi sebab seperti ini pasti di awal kumpulan rangkaian sebab-akibat tersebut. Karena jika kita asumsikan bahwa sebab itu berada di tengah-tengah rangkaian sebab-akibat tersebut, maka pada sistem rangkaian sebab-akibat dimana segala sesuatu yang berada di pertengahan pasti memiliki sebab bagi dirinya sendiri dan memiliki akibat bagi yang lain. Oleh karena itu, sebab seperti ini adalah sebab bagi sesuatu yang berada di bawahnya namun akibat dari sesuatu yang berada di atasnya, sementara kita mengasumsikan bahwa sebab tersebut bukan merupakan akibat dari sebab yang lain. Dengan alasan ini, karena sebab tersebut kita pandang bukan sebagai akibat dari sebab yang lain, maka semestinya sebab tersebut kita anggap berada di awal kumpulan rangkaian sebab-akibat."[16]

Pada akhir pembahasan dan pembuktian eksistensi Wâjibul Wujûd(Tuhan), Ibnu Sina berupaya menarik kesimpulan universal dari argumentasi-argumentasi tersebut dan berkata, "Setiap kumpulan (yang diasumsikan terbatas atau tak terbatas) yang terbentuk dari rangkaian sebab-sebab dan akibat-akibat, dari sisi bahwa semua individunya merupakan akibat-akibat, kumpulan seperti ini mesti butuh dan bergantung pada suatu sebab yang berada di luar dari kumpulan tersebut. Sebab eksternal ini, mesti terletak di awal dan di puncak kumpulan rangkaian sebab-akibat tersebut. Maka dari itu, jelaslah bahwa apabila suatu maujud yang tak bergantung pada sebab (suatu maujud yang bukan akibat dari sebab lain), maka maujud itu pasti terposisikan berada di puncak rangkaian sebab-akibat. Dengan demikian, semua rangkaian sebab-sebab dan akibat-akibat niscaya berujung pada Wâjibul Wujûd."[17]


B. Sifat-Sifat Wâjibul Wujûd

1. Kemustahilan Satu Hakikat memiliki Akibat Beragam

Pembahasan ini merupakan mukadimah pembuktian keesaan dan ketunggalan Wâjibul Wujûd. Dalam hal ini Ibnu Sina berkata, "Perkara-perkara yang berbeda satu sama lain dalam perwujudan realitas eksternalnya dan pada saat yang sama memiliki hakikat dan esensi yang sama, pasti memiliki dua aspek, pertama berkaitan dengan karakteristik dan kekhususan (keragaman) zatnya masing-masing dan kedua yang berhubungan dengan aspek kesatuan dan kesamaan dari masing-masingnya. Kita bisa mengkaji kedua aspek ini dari sisi hubungan dan kaitannya satu sama lain. Hubungan antara kesatuan dan keragaman tersebut kita bisa asumsikan kedalam empat bentuk, antara lain:

1. Kesatuan itu merupakan akibat dari keragaman. Pada asumsi ini, hakikat-hakikat yang berbeda pasti memiliki kemestian dan akibat yang sama dan tunggal, karena kita beranggapan bahwa kesatuan tersebut berasal dari kemestian hakikat-hakikat zat yang berbeda. Asumsi ini adalah tidak logis. Sebagai contoh, apabila genus dipandang dari kemestian diferensia, maka diferensia-diferensia yang berbeda hanya memiliki satu genus, yakni memiliki satu kemestian dan akibat;
2. Keragaman itu berasal dari kesatuan, yakni kejamakan dan keragaman bersumber dari kesatuan dan ketunggalan. Dengan berpijak pada asumsi ini, kita harus menerima bahwa hakikat yang satu memiliki beragam kemestian. Namun asumsi ini tetap saja tidak rasional, karena kita tidak dapat menggambarkan bahwa satu hakikat, dalam dimensi kesatuan dan ketunggalannya, memiliki kemestian-kemestian dan akibat-akibat yang jamak dan beragam;
3. Kesatuan mengaksiden dan menempel pada keragaman. Asumsi ini adalah tidak benar;
4. Keragaman mengaksiden pada kesatuan. Asumsi ini bisa diterima. Kita memiliki banyak contoh-contoh dan fenomena-fenomena dimana satu hakikat memiliki aksiden-aksiden yang beragam, seperti hakikat manusia yang memiliki banyak individu-individu yang berbeda dan beragam dengan perantaraan aksiden-aksiden yang berbeda."[18]


2. Kemustahilan Eksistensi Sesuatu berasal dari Kuiditas 

Dasar dari pendahuluan kedua ini dalam menetapkan ketunggalan dan kesatuan Wâjibul Wujûd adalah kita tidak bisa beranggapan bahwa eksistensi sesuatu bersumber dari kuiditas. Ibnu Sina dalam hal ini berkata, "Adalah memungkinkan bahwa kuiditas sesuatu bisa merupakan sebab bagi salah satu sifat sesuatu, atau salah satu dari sifat sesuatu adalah sebab bagi sifat-sifat lainnya. Seperti diferensia merupakan sebab bagi kehadiran aksiden eksternal[19]. Oleh karena itu, kuiditas sesuatu dapat menjadi sebab bagi salah satu sifat sesuatu itu dan sifat sesuatu pun bisa menjadi sebab bagi sifat-sifat lain. Namun, bukan kuiditas dan bukan sifat-sifat kuiditas sesuatu yang bisa menjadi sebab eksistensi dan keberadaan sesuatu itu, karena berdasarkan hukum kausalitas (sebab-akibat) bahwa sebab, dari sisi eksistensi, mesti mendahului akibat. Eksistensi mendahului kuiditas, oleh karena itu kuiditas mustahil sebagai sebab bagi eksistensi sesuatu. Dengan demikian, adalah logis dan rasional bahwa kuiditas terwujud sebelum sifat-sifat lainnya atau salah satu dari sifatnya, tetapi asumsi keberadaan kuiditas sesuatu sebelum eksistensi sesuatu itu sendiri ialah mustahil dan tak benar, begitu pula kemustahilan keberadaan salah satu sifat kuiditas sebelum keberadaan kuiditas itu sendiri."[20]


3. Penetapan Ketunggalan dan Kesatuan (Tauhid) Wâjibul Wujûd

Pada poin ini, Ibnu Sina menjabarkan argumentasi dan burhan tentang pembuktian ketunggalan dan keesaan Wâjibul Wujûd, dia berkata, "Kita sependapat - dengan orang-orang yang tidak meyakini keesaan Wâjibul Wujûd dan mempercayai kejamakan-Nya - bahwa Tuhan itu (atau beberapa Wâjibul Wujûd) adalah berwujud[21]. Lantas kita membandingkan hubungan antara keberwujudan dengan Wâjibul Wujûd. Jika kita mengasumsikan kejamakan Wâjibul Wujûdyang masing-masing memiliki keberwujudannya sendiri, maka apakah keberwujudan ini adalah manunggal dan menyatu dengan zat Tuhan ataukah tak menyatu dengan zat-Nya? Jika mereka yang meyakini kejamakan Wâjibul Wujûd beranggapan bahwa keberwujudan itu adalah manunggal dengan zat-Nya, maka pastilah kita tidak memiliki Tuhan yang lain, karena Wâjibul Wujûd ialah keberwujudan itu sendiri. Maka dari itu, Tuhan mustahil lebih dari satu. Namun mereka yang mempercayai kejamakan Tuhan dan memandang bahwa keberwujudan itu tidak menyatu dengan-Nya. Untuk hal ini, kalau kita beranggapan keberwujudan tersebut ialah Wâjibul Wujûd itu sendiri, maka asumsi kejamakan Wâjibul Wujûd menjadi mustahil. Namun dalam kondisi ini, kita memandang bahwa keberwujudan masing-masing Tuhan itu dianggap sebagai sisi yang berbeda dan ke-Wâjibul Wujûd-an mereka dipandang sebagai sisi yang sama. Kemudian kita mengkaji empat hubungan yang telah dijabarkan di awal pendahuluan antara kemestian wujud dan keberwujudan-keberwujudan Wâjibul Wujûd tersebut, antara lain:

1. Asumsi pertama ialah kemestian wujud itu bersumber dari keberwujudan Wâjibul Wujûd. Dalam hal ini, berdasarkan prinsip yang disebutkan di mukadimah kedua (wujud mustahil bersumber dari kuiditas sesuatu atau dari sifat-sifat sesuatu) asumsi ini ialah tak benar. Karena kita tak bisa beranggapan bahwa kemestian wujud itu berasal dari keberwujudan (kuiditas) Wâjibul Wujûd.

2. Apabila kemestian wujud itu diasumsikan aksiden pada keberwujudan, dengan alasan bahwa setiap sesuatu yang aksiden membutuhkan sebab eksternal, maka Wâjibul Wujûd dalam kemestian wujud-Nya sendiri merupakan akibat dari sebab eksternal. Asumsi ini mustahil.

3. Jika keberwujudan itu diasumsikan aksiden pada kemestian wujud, maka Ia tetap bergantung pada suatu sebab. Di sini perlu diperhatikan bahwa kemestian wujud (yang diasumsikan sebagai sesuatu yang teraksiden) harus memiliki bentuk keberwujudan sebelumnya. Sementara, apabila keberwujudan dia sebelum itu adalah sama dengan keberwujudan aksiden yang diasumsikan, maka konsekuensinya ialah Wâjibul Wujûd dalam keberwujudan-Nya sendiri merupakan akibat dari sesuatu yang lain. Dan jika keberwujudan dari kemestian wujud itu diasumsikan merupakan keberwujudan (A) yang mendahului keberwujudan yang akisden (B), maka kita akan bertanya bahwa apakah keberwujudan (A) itu adalah menyatu dengan zat-Nya ataukah berpisah dari zat-Nya?

4. Asumsi keempat ialah keberwujudan itu bersumber dari kemestian wujud. Asumsi inipun tidak benar, karena konsekuensi keyakinan terhadap kejamakan Wâjibul Wujûd adalah bahwa hakikat yang tunggal memiliki keberwujudan-keberwujudan yang beragam, dan keragaman-keragaman bersumber dari ketunggalan dan kesatuan (yakni kemestian wujud). Asumsi terakhir ini adalah batal, karena - sebagaimana yang telah dijelaskan pada mukadimah pertama - hakikat yang satu dan tunggal tidak mungkin mewujudkan keragaman dan kejamakan secara langsung.

Oleh karena itu, dengan gugurnya empat asumsi di atas, kita harus menerima asumsi ini bahwa keberwujudan adalah menyatu dan manunggal dengan zat Wâjibul Wujûd. Dalam keadaan ini, tidak akan ada lagi sangkaan atas kejamakan dan keragaman eksistensi Wâjibul Wujûd."[22]

Argumentasi lain yang dipaparkan Ibnu Sina secara prinsipil berbeda dengan argumentasi di atas yang berpijak pada kesatuan keberwujudan dengan Wâjibul Wujûd, namun argumentasi berikut ini berdasarkan pada kemustahilan kemungkinan kejamakan (dimana berlaku pada maujud non-materi). Dengan penjelasan ini, Wâjibul Wujûd dipandang sebagai maujud non-materi dan setiap maujud non-materi (baik Wâjibul Wujûd atau maujud lain) hanya memiliki satu inidividu saja dan mustahil memiliki individu-individu yang beragam dan jamak. Dengan demikian, Wâjibul Wujûd adalah tunggal dan esa.

Ibnu Sina menjelaskan, "Kita mengetahui bahwa kejamakan dan keragaman individu dari spesies tertentu dipengaruhi oleh sebab dan faktor eksternal. Efektifitas pengaruh faktor eksternal ini bergantung pada keberadaan materi. Dengan demikian, jika salah satu dari spesies tertentu tersebut tidak memiliki materi yang bisa menerima pengaruh sebab eksternal, maka tidak ada jalan bagi kehadiran kejamakan individu. Maka dari itu, spesies di alam non-materi hanya memiliki satu individu saja[23]. Dimana saja ditemukan kejamakan individu, maka pasti dipengaruh oleh faktor eksternal dan keberadaan materi sebagai penerima pengaruh dan efek sebab eksternal tersebut. Kita tidak mungkin memiliki dua hakikat seperti keputihan dan kehitaman manakala tidak ada materi yang bisa menerima aksiden putih dan hitam, materi ini memungkinkan hadirnya hakikat-hakikat lain. Dikarenakan Wâjibul Wujûd ialah maujud non-materi, dengan demikian mustahil terwujud kejamakan Wâjibul Wujûd."[24]

Di akhir pembahasan, Ibnu Sina menarik satu kesimpulan bahwa Wajibul Wujud, dari sisi bahwa keberwujudan merupakan esensi zat-Nya, adalah tunggal dan esa serta mustahil beragam. Dan juga dari sisi bahwa Wâjibul Wujûdtidak memiliki banyak individu (karena kejamakan merupakan konsekuensi materi dan Wâjibul Wujûdbukanlah maujud materi), Dia ialah tunggal dan tak beragam.


4. Penolakan Komposisi pada Wajibul Wujud

Wâjibul Wujûdadalah basith (tak terkomposisi). Dia tidak memiliki bagian-bagian kuantitas dan rasional (genus dan diferensia), zat-Nya tak tersusun dari materi dan forma serta bagian-bagian yang dapat dipilah-pilah secara kuantitatif. Ibnu Sina berkata, "Apabila zat Wâjibul Wujûdterbentuk dari dua bagian atau beberapa bagian, maka wujud-Nya pasti bergantung pada bagian-bagian tersebut dan keberadaannya harus mendahului eksistensi Wâjibul Wujûd, karena bagian-bagian itu ialah pembentuk zat-Nya. Dari sisi bahwa kebergantungan eksistensi-Nya kepada faktor-faktor lain dan faktor-faktor ini mendahului zat-Nya serta pembentuk wujud-Nya, dengan demikian Wâjibul Wujûd mustahil tersusun dari segala bentuk bagian-bagian."[25]


5. Wâjibul Wujûd tak tersusun dari Wujud dan Kuiditas 

Berbeda dengan mumkinul wujud (makhluk) yang terbentuk dari dua bagian analitik (wujud dan kuiditas). Wâjibul Wujûd tidak terangkap dari dua hal ini. Dari sisi pembagian wujud dan kuiditas, Dia pun adalah basith dan tidak menerima segala bentuk pembagian. Ibnu Sina berkata, "Segala sesuatu yang wujudnya adalah bukan zatnya itu sendiri, wujudnya ialah bukan pembentuk kuiditasnya, dan wujudnya bukan bersumber dari kuiditas. Dengan demikian, wujud segala sesuatu itu merupakan hal aksiden yang terpancar dari sebab eksternalnya. Dan karena mustahil Wâjibul Wujûd bergantung pada sebab lain, maka dari itu, bisa disimpulkan bahwa Wâjibul Wujûd, dari sisi wujud dan kuiditas, ialah tunggal, yakni wujud-Nya tak berbeda dengan kuiditas-Nya, kuiditas-Nya ialah wujud-Nya sendiri."[26]


6. Wâjibul Wujûd, bukan Benda dan Materi

Ibnu Sina menjelaskan, "Segala sesuatu yang wujudnya bergantung kepada benda dan materi, keberadaannya juga pasti dengan perantaraan benda dan materi itu. Maujud seperti ini secara esensial tidak terwujud langsung dan mandiri, tetapi eksistensinya membutuhkan benda tersebut. Oleh karena itu, Wâjibul Wujûd bukan suatu hakikat yang bergantung kepada benda dan materi serta tak memiliki sifat aksiden yang bendawi. Wâjibul Wujûd juga bukan benda, karena setiap benda memiliki beberapa bentuk kejamakan dan keragaman, antara lain:
1. Kejamakan kuantitas. Benda dapat terbagi secara kuantitatif;
2. Kejamakan kuiditas. Setiap benda terangkap dari materi dan forma (yang berada di alam eksternal) serta tersusun dari genus dan diferensia (yang berada di alam pikiran);
3. Kejamakan bilangan.

Akibat adalah segala sesuatu yang bergantung kepada yang lain atau memiliki bentuk-bentuk kejamakan, oleh karena itu, setiap benda dan segala sesuatu yang memiliki sifat kebendaan mesti adalah akibat. Kesimpulan, setiap benda dan hakikat kebendaan ialah bukan Wâjibul Wujûd."[27]


7. Wâjibul Wujûd tidak Memiliki Kuiditas

Pembahasan ini merupakan kelanjutan tauhid dan pembuktian ketidakberangkapan zat Tuhan. Ibnu Sina menolak bentuk lain dari kejamakan zat Wâjibul Wujûd dan menekankan ketunggalan zat-Nya. Kejamakan yang ditolak oleh Ibnu Sina pada poin ini adalah kejamakan kuiditas (yakni suatu keragaman yang berhubungan dengan kuiditas sesuatu). Pada umumnya, segala makhluk, dari aspek kuiditasnya, tersusun dari diferensia dan genus, namun zat Tuhan dari aspek ini adalah juga tunggal dan tak memiliki genus dan diferensia[28].

Untuk menetapkan konsep ini, zat Tuhan tidak ditempatkan dalam kategori kuiditas supaya tak memiliki kesamaan genus dengan maujud lain. Ketika Wâjibul Wujûd tidak memiliki genus maka zat-Nya tidak butuh kepada diferensia, dengan demikian zat-Nya tak terangkap dari kedua hal itu.

Ibnu Sina menjelaskan, "Wâjibul Wujûd sama sekali tidak memiliki kesamaan kuditas dengan makhluk, karena kuiditas-kuiditas selain Tuhan memiliki sifat imkan (yakni hubungannya dengan wujud dan tiada adalah sama, atau bisa ada dan juga bisa tiada), sementara Tuhan adalah maujud yang mustahil memiliki sifat imkan tersebut dan Dia ialah niscaya dan mesti berada. Dengan demikian, Wâjibul Wujûd tidak memiliki kuiditas."

Dan walaupun Tuhan tidak memiliki kesamaan kuiditas dengan makhluk, namun bisa muncul suatu prasangka bahwa apakah wujud itu sendiri dapat dipandang sebagai genus yang merupakan unsur kesamaan antara Wâjibul Wujûd dan mumkinul wujud? Yakni wujud merupakan suatu pengertian yang mencakup Tuhan dan selain-Nya serta ditempatkan sebagai genus dari keduanya? Ibnu Sina berkeyakinan bahwa prasangka dan asumsi seperti ini adalah keliru, karena wujud itu sendiri tidak tergolong kedalam kuiditas dari mumkinul wujud sehingga seperti kategori (maqulah) dan genus bagi kedua realitas eksistensi tersebut. Ibnu Sina memaparkan, "Wujud bagi mumkinul wujud adalah bukan menyatu dengan kuiditasnya dan bukan bagian dari kuiditasnya. Dengan makna bahwa wujud tidak manunggal dengan kuiditas mumkinul wujud, tetapi merupakan sesuatu yang aksiden dan berada di luar kuiditas mereka. Sementara wujud pada Wâjibul Wujûd ialah menyatu dan manunggal dengan kuiditas-Nya. Oleh karena itu, Wâjibul Wujûd sama sekali tidak memiliki kesamaan genus atau spesies dengan mumkinul wujud. Dengan demikian, Tuhan tidak memiliki unsur kesamaan genus dan speies dengan makhluk sehingga membutuhkan diferensia yang memisahkan genus-genus dari spesies yang sama. Wâjibul Wujûd secara esensial berbeda dengan segala makhluk. Zat-Nya tidak memiliki genus dan diferensia, karena itu Tuhan tidak dapat didefenisikan."[29]

Lebih lanjut Ibnu Sina menguraikan, "Sebagaimana substansi (jauhar) didefenisikan sebagai sesuatu yang tidak bergantung pada subyek, oleh karena itu Wâjibul Wujûd seperti substansi-substansi yang juga memiliki genus . Dengan demikian, Tuhan tergolong ke dalam kategori substansi. Namun, jika kita mencermati secara mendalam, maka kita akan memahami bahwa pandangan tersebut adalah keliru, karena makna dari "sesuatu yang tidak bergantung pada subyek" adalah bukan sesuatu yang aktual; yakni defenisi substansi adalah sesuatu yang non-aktual dimana tidak terletak dan bergantung pada subyek. Dikarenakan jika keberwujudan aktual, secara hakiki, ialah substansi yang dimaksud, maka dalam kondisi ini, seharusnya proposisi "Hasan adalah substansi" secara langsung kita akan memahami bahwa Hasan saat ini ialah berwujud secara aktual, sementara tidaklah demikian. Kita mengetahui bahwa begitu banyak sesuatu merupakan substansi, namun kita ragu akan keberadaan dan hakikatnya. Maka dari itu, kita tidak bisa mengetahui tentang eksistensi dan keberadaan sesuatu dengan berangkat dari ke-substansi-an sesuatu itu. Kesimpulannya, dalam defenisi substansi tidak bisa digunakan kalimat "maujud aktual", namun defenisi resmi substansi disebutkan, "suatu kuiditas yang apabila berwujud, maka wujudnya tidak terletak dan tidak bergantung pada subyek". Defenisi ini mencakup semua substansi-substansi spesies dan seperti genus bagi mereka. Makna ini secara esensial bisa dipredikasikan pada individu-individu substansi seperti Ali, Hasan, pohon, dan lain-lain. Individu-individu ini, walaupun merupakan predikat dari makna substansi tersebut, tidak bergantung pada sebab. Sementara kalau kalimat "maujud aktual" digunakan dalam makna resmi substansi dan lantas dipredikasikan kepada individu-individu substansi, maka pastilah membutuhkan sebab eksternal. Oleh karena itu, ketika kita tidak bisa mempredikasikan "maujud aktual" itu dengan tanpa adanya sebab ('illah) eksternal kepada semua individu substansi, maka kita pun tidak bisa memandang bahwa "tidak bergantung pada subyek" itu sebagai suatu sifat esensi untuk semua maujud. Maka dari itu, makna substansi dimana dipandang seperti genus yang dipredikasikan atas hakikat-hakikat berbeda seperti Hasan, Ali, dan lain-lain tidak bisa dipredikasikan atas Wâjibul Wujûd, karena substansi itu adalah suatu kuiditas yang jika terwujud maka tidak membutuhkan subyek. Sementara Wâjibul Wujûd tidak memiliki kuiditas sehingga kaidah tersebut mencakup atas-Nya. Dengan memperhatikan bahwa ketika "maujud aktual" tidak bisa dianggap sebagai genus yang dipredikasikan atas hakikat-hakikat berbeda, dengan menambahkan makna negasi "tidak membutuhkan subyek" juga kita tidak bisa gunakan itu sebagai genus untuk semua hakikat yang berbeda, karena menambahkan makna negasi itu tidak akan mengubah dasar proposisi (defenisi substansi) itu. Dengan ungkapan lain, tema "maujud aktual", kalau dengan menambahkan syarat negasi "tidak butuh pada subyek" adalah tergolong kuiditas substansi, maka dengan menambahkan syarat positif " membutuhkan subyek" pastilah juga benar sebagai genus atas semua akisden. Dalam kondisi ini, semestinya aksiden-aksiden yang sembilan itu akan tergolong kedalam satu kategori saja (yakni semuanya tergolong ke dalam kategori "maujud aktual yang membutuhkan subyek"), sementara semua filosof tidak menerima hanya satu kategori itu yang diletakkan sebagai satu genus tertinggi untuk semua aksiden-aksiden."[30]


8. Wâjibul Wujûd tak memiliki Lawan 

Ibnu Sina menjelaskan, "Dengan memperhatikan bahwa "lawan" memiliki dua makna, antara lain:

1. Makna "lawan sesuatu" secara umum adalah bahwa dari sisi kodrat dan kekuatan memiliki kesetaraan dengan sesuatu itu dan bisa bertahan dihadapannya serta dia dapat menghalangi semua perbuatannya. Berpijak pada makna ini, Wâjibul Wujûd tidak memiliki lawan, karena segala sesuatu selain-Nya adalah akibat-akibat-Nya dan akibat tidak mungkin bisa setara, identik, dan berhadapan dengan sebabnya sendiri, apalagi menghalangi segala perbuatan-Nya.

2. Makna "lawan" dalam istilah khusus. Defenisi "lawan" berdasarkan ahli logika dan filsafat adalah dua sesuatu yang mustahil berkumpul jika ditempatkan secara bersamaan di dalam satu subyek, seperti hitam dan putih yang mustahil berkumpul secara bersamaan dalam satu benda, yakni satu benda yang putih dan pada saat yang sama mustahil adalah benda yang hitam. Begitu pula di antara dua sesuatu itu harus berbeda secara ekstrim dari sisi hakikat, zat, dan esensinya serta satu sama lain saling berlawanan dan kontradiksi. Dengan demikian, sangat jelas bahwa defenisi tersebut juga tak mencakup Wâjibul Wujûd, karena defenisi tersebut hanya meliputi aksiden-aksiden dan Wâjibul Wujûd tidak butuh pada sesuatu selain-Nya yang memungkinkan sesuatu mengaksiden pada wujud-Nya."[31]


9. Wâjibul Wujûd Mengetahui Zat-Nya Sendiri

Pada poin ini, Ibnu Sina memaparkan sifat lain dari Wâjibul Wujûd, yakni ilmu Tuhan kepada zat-Nya sendiri. Tema ini sangat penting karena merupakan mukadimah atas ilmu Tuhan kepada segala maujud. Ibnu Sina berkata, "Dari sisi bahwa Wâjibul Wujûd merupakan zat yang swa-mandiri (yakni suatu zat yang sama sekali tidak bergantung kepada sesuatu) dan merupakan wujud non-materi. Dengan demikian, dari aspek bahwa zat-Nya yang swa-mandiri dan non-materi[32] tersebut, maka secara esensial Dia memahami dan mengetahui zat-Nya sendiri."[33]


10. Metode Pembuktian Eksistensi dan Sifat Wâjibul Wujûd

Ibnu Sina menyatakan, "Perhatikanlah bahwa bagaimana dengan hanya berkontemplasi dan tafakkur secara teliti dan mendalam berkaitan dengan masalah wujud dan eksistensi serta tidak membutuhkan hal-hal lain, kita bisa menegaskan dan membuktikan eksistensi Wâjibul Wujûd, kesatuan dan ketunggalan-Nya, dan kesucian-Nya dari segala kekurangan! Dengan hanya memperhatikan "wujud dan eksistensi" itu sendiri, kita bisa menarik kesimpulan mendasar dan prinsipil berhubungan dengan konsep ketuhanan. Dalam metode ini, kita tidak menggunakan keberadaan makhluk untuk menegaskan eksistensi Wâjibul Wujûd, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya (sebagaimana yang dilakukan oleh para teolog). Para teolog menetapkan dan membuktikan keberadaan Pencipta (Tuhan) dengan perantaraan keberadaan alam semesta dan menggunakan keteraturan sistem alam untuk menegaskan sifat-sifat Wâjibul Wujûd. Walaupun metode ini adalah juga benar dimana berpuncak pada penegasan eksistensi dan sifat Wâjibul Wujûd, namun metode dan cara kami lebih baik dan lebih meyakinkan, karena kita meyakini keberadaan Tuhan dari "eksistensi dan wujud" itu sendiri dan setelah pembuktian eksistensi-Nya, secara bertahap, menegaskan sifat, nama, dan perbuatan-Nya. Metode kami ini lebih unggul jika dibandingkan dengan metode yang berangkat dari perbuatan Tuhan dalam menegaskan eksisensi dan sifat Tuhan. Dua metode tersebut secara resmi diungkapkan dalam al-Quran, metode yang digunakan oleh para teolog terdapat pada permulaan ayat, Tuhan berfirman,

"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Sementara dalam akhir ayat tersebut Tuhan berfirman,

"Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?"[34] Bagian akhir ayat ini dimana Tuhan merupakan saksi atas segala sesuatu adalah metode dan jalan yang digunakan oleh para shiddiqin (metode argumentasinya disebut burhan shiddiqin). Tuhan adalah saksi atas seluruh realitas, bukan segala realitas (alam) sebagai saksi atas eksistensi Tuhan. Alam semesta dipahami dan diketahui dengan perantaraan Tuhan, dan bukan sebaliknya (dengan perantaraan alam semesta diketahui keberadaan Wajibul Wujud)."[35]


Catatan Kaki: 

[1]. Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 540.
[2] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 541.
[3] . Ibid.
[4] . Seperti penglihatan, pendengaran , rasa, dan lain-lain.
[5] . Khayal di sini digolongkan sebagai indera batin.
[6] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal 542.
[7] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 549.
[8] . Ibid, hal. 552.
[9] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 553.
[10] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 555.
[11] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 556.
[12] . Ibid.
[13] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 558.
[14] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 559.
[15] . Ibid, hal. 560.
[16] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 561.
[17] . Ibid, hal. 562.
[18] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 564.
[19] . Seperti sifat tertawa dan kemampuan menulis bagi manusia.
[20] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 566.
[21] . Yang dimaksud keberwujudan di sini adalah zat Wajibul Wujud yang disamping memiliki eksistensi juga memiliki sifat-sifat sempurna dan tak terbatas. Karakteristik zat-Nya mencakup segala kesempurnaan dan ketakberhinggaan yang membedakannya dengan selain zat-Nya.
[22] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 568.
[23] . Spesies yang berada di alam materi, misalnya spesies manusia. Spesies ini memiliki banyak individu, seperti Muhammad, Ali, Hasan, Husain, Fatimah, dan lain lain. Berbeda jika spesies itu berada di alam non-materi, misalnya spesies malaikat pemberi ilmu. Spesies pemberi ilmu ini hanya memiliki satu individu saja, yaitu malaikat Jibrail.
[24] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 569.
[25] . Ibid, hal. 570.
[26] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 590.
[27] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 592.
[28] . Untuk memahami apa itu genus dan diferensia, perhatikanlah contoh: manusia didefenisikan sebagai hewan yang berpikir. Hewan di sini adalah genus dan berpikir adalah diferensia.
[29] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 595.
[30] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, bab keempat, hal. 600.
[31] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal 602.
[32] . Sebagaimana telah dijelaskan pada poin ketiga (3).
[33] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 604.
[34] . Qs. Fushshilat (41): 53
[35] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid pertama, bab keempat, hal. 606.


C. Tentang Penciptaan dan Perwujudan Makhluk

1. Tolok Ukur Kebutuhan Akibat (Ma'lul) kepada Sebab ('Illah)

Para teolog beranggapan bahwa kebutuhan suatu akibat (makhluk) kepada sebab (Khalik dan Pencipta) hanya pada tingkat perwujudan dan penciptaan makhluk, bukan pada keberlangsungan keberadaan makhluk. Hal ini berbeda dengan pandangan Ibnu Sina yang menjelaskan, "Sebagian manusia beranggapan bahwa kebergantungan dan kebutuhan makhluk kepada sesuatu yang dinamakan "Pencipta", dipandang hanya pada sisi makna makhluk dan makna Pencipta itu sendiri. Makna makhluk, misalnya, adalah sesuatu yang telah tercipta dan terwujud, sementara makna Pencipta adalah sesuatu yang menciptakan dan mewujudkan makhluk tersebut."

Hakikat dari makna tersebut adalah bahwa makhluk ini pada awalnya adalah tiada dan tidak berwujud, kemudian dengan perantaraan Pencipta, makhluk tersebut menjadi ada dan berwujud. Makna ini (berdasarkan pandangan teolog) tidak lain adalah penciptaan, perwujudan, dan perbuatan itu sendiri. Berpijak pada perspektif ini, bahwa huduts (keberadaan setelah tiada) itu dipandang satu-satunya tolok ukur kepenciptaan. Bisa jadi para teolog berpikir bahwa ketika sesuatu itu telah tercipta, maka kebutuhannya kepada Pencipta menjadi sirna sedemikian sehingga kalaupun Penciptanya kemudian menjadi tiada (tidak berwujud lagi), maka makhluk tetap akan ada dan terus berwujud. Hal ini sebagaimana yang senantiasa kita saksikan bahwa ketika tukang bangunan meninggal maka bangunan yang dibangunnya akan tetap ada, utuh, dan tidak menjadi sirna.

Para teolog tersebut, walaupun tidak secara eksplisit mengungkapkan bahwa apabila mungkin Tuhan itu menjadi tiada, maka ketiadaan Tuhan tidak berhubungan dengan keberlangsungan dan kelestarian keberadan alam dan makhluk, karena kebutuhan dan kebergantungan makhluk kepada Tuhan hanya pada tataran awal perwujudan dan penciptaan makhluk. Ketika Tuhan telah mencipta dan "mengeluarkan" alam dan makhluk tersebut dari ketiadaan, maka makhluk ,dari sisi keberadaannya, tidak lagi membutuhkan Pencipta, karena "sesuatu yang telah berwujud" mustahil akan diwujudkan dan diciptakan lagi.

Argumentasi lain yang dipaparkan oleh para teolog berkaitan dengan ketidakbutuhan makhluk kepada Pencipta dalam kelestariannya adalah apabila makhluk dan alam ketika telah terwujud dan tercipta tetap butuh dan bergantung kepada Pencipta, maka dalam kondisi ini, semestinya setiap maujud memerlukan sebab (Pencipta) dan karena Wajibul Wujud juga ialah maujud, dengan demikian pasti membutuhkan sebab dan sebab ini (karena juga maujud) niscaya memerlukan juga sebab, akhirnya silsilah sebab ini terus berlangsung hingga tak terbatas (yakni akan terjadi tasalsul dalam rangkaian sebab, dan tasalsul adalah batal). Mengenai masalah ini, kami akan jelaskan secara terperinci bagaimana kisah perwujudan dan penciptaan makhluk tersebut, dan akan kami rasionalisasikan secara sistimatis."[1]


2. Pengertian Penciptaan 

Ibnu Sina menjelaskan, "Pertama-tama kita semestinya menganalisa bagian-bagian yang membentuk proposisi sebagai berikut: "Seseorang telah menciptakan sesuatu" atau "dia telah mewujudkan sesuatu " atau "ia telah melakukan sesuatu." Dari sini kita akan melihat bahwa mana di antara unsur-unsur pembentuk proposisi itu yang secara hakiki bermakna sebagai akibat (sesuatu yang tercipta dan terwujud dengan perantaraan sesuatu yang lain) dan yang secara majasi bermakna sebagai akibat sesuatu. Dalam menjelaskan persoalan ini, perlu memperhatikan poin berikut bahwa setiap sesuatu yang pernah tiada kemudian mengada dengan perantaraan suatu faktor, sesuatu itu kita sebut sebagai akibat (ma'lul). Ketiadaan ini yang mendahului keberadaannya disebut juga dengan huduts.

Huduts tersebut, apakah dari segi makna adalah sama dengan efek sebab atau akibat suatu perbuatan, atau maknanya lebih umum sedemikian sehingga jika kita menginginkan makna umum ini sejajar dengan makna khusus, maka kita terpaksa menambahkan suatu batasan, seperti kita menyatakan: "Sesuatu itu terwujud dengan perantaraan suatu perbuatan atau gerakan yang dilakukan oleh sesuatu yang lain," atau "Sesuatu terwujud (hâdits) dengan tanpa perantara sesuatu yang lain," atau "Sesuatu tercipta dengan perantaraan alat," atau "Sesuatu tercipta dengan perantaraan suatu sebab atau pencipta yang menciptakannya dengan kehendak bebas," atau "Sesuatu itu terwujud dengan perantaraan sifat-sifat atau batasan-batasan lain - yang berlawanan dengan apa yang kami katakan - seperti dikatakan sesuatu itu telah terwujud setelah ketiadaannya," dengan batasan ini yang tanpa gerak, atau secara langsung (tanpa perantara), atau tanpa alat dan kehendak bebas, atau tanpa keterlibatan faktor-faktor alami atau kelahiran dan selainnya, sesuatu itu telah terwujud.

Untuk sementara, kami tidak menganggap penting masalah tersebut, yakni tak urgen bagi kami bahwa keber-huduts-an dengan keber-akibat-an adalah semakna atau keduanya memiliki hubungan secara khsusus atau umum. Namun hakikat permasalahan tersebut bisa kami katakan bahwa semua batasan dan sifat yang digambarkan di atas adalah di luar dari esensi keber-akibat-an dan keber-huduts-an sesuatu, yakni efek dan pengaruh sifat-sifat dan batasan-batasan itu adalah tidak hakiki dan tidak prinsipil. Dengan demikian, setiap sesuatu yang telah terwujud dengan perantaraan sesuatu yang lain adalah akibat (ma'lul) dan sesuatu yang berhadapan dengan ma'lul ini dan yang menyebabkan kehadiran ma'lul ini adalah sebab ('illat) atau pelaku pengada. Mewujudkan dari ketiadaan adalah semakna dengan ke-sebab-an dan ke-akibat-an ialah searti dengan keberwujudan setelah ketiadaan, semua hal ini, hubungannya berdimensi khusus dan umum serta tidak membutuhkan penambahan batasan-batasan sebagaimana yang disebutkan di atas. Alasan dan dalil atas kesamaan makna tersebut adalah bahwa jika seseorang menjelaskan salah satu dari batasan-batasan itu, maka kami tidak melihat adanya problem dalam keberbatasan itu, seperti jika seorang berkata: "dia melakukan dengan alat, dengan gerak, dengan kehendak, atau dengan watak alami," semua proposisi ini, menurut logika, tidak ada masalah, karena semua batasan dan sifat itu ialah faktor-faktor yang tidak memiliki pengaruh dalam zat dan esensi perbuatan.

Apabila semua batasan tersebut atau salah satu dari batasan itu berpengaruh dalam esensi perbuatan dan huduts, maka mengharuskan pengulangan makna perbuatan itu. Jika salah satu dari batasan itu merupakan hal yang prinsipil dalam makna huduts, maka dalam penyebutan sebagian batasan-batasan lain akan menyebabkan terjadinya kontradiksi pada makna hakikat perbuatan, seperti jika makna perbuatan berlawanan dengan "kealamian", yakni makna perbuatan adalah perbuatan ikhtiari itu sendiri,maka dalam kondisi ini, kalau seseorang berkata: "Pelaku dan sebab itu ialah sebab alami," secara hakiki, batasan alami berlawanan dengan hakikat makna perbuatan itu sendiri, dan hal ini sama dengan apabila seseorang itu berkata: "sesuatu itu adalah sebab dan juga bukan sebab." Dan apabila dia berkata: "Sebab itu adalah sebab ikhtiari," maka akan menghadirkan bentuk pengulangan makna dan hal ini sama dengan ketika dikatakan: "Manusia adalah hewan," karena makna hewan terdapat pada manusia. Namun ketika secara praktis kita melihat tidak demikian halnya, yakni kita bisa menambahkan semua batasan pada perbuatan tersebut dengan tak menghadirkan bentuk-bentuk pengulangan dan kontradiksi pada makna hakiki perbuatan.

Makna perbuatan adalah sama dengan huduts atau salah satu khusus dan yang lain adalah umum, tidak akan memberikan pengaruh pada hakikat arah dan tujuan kami (yakni menjelaskan tolok ukur hakiki kebutuhan semua makhluk kepada khalik). Bagaimanapun, kami sepakat bahwa ada (keberwujudan) dan tiada (ketiadaan) hadir dalam makna hakiki perbuatan. Maka dari itu, di sini kita memiliki tiga hal: 1. Tiada, 2. Ada (wujud), 3. Ada setelah tiada (baca: huduts).

Sekarang kita melihat mana di antara salah satu dari ketiga hal tersebut di atas yang memiliki peran penting dan hakiki dalam hubungan sebab dan akibat atau pelaku dan perbuatan. 'Tiada' itu sendiri mustahil berhubungan dengan sebab, karena 'ketiadaan' perbuatan dan akibat sama sekali tidak berhubungan dengan pelakunya (yakni bagaimana mungkin yang 'tiada' bisa berhubungan dengan sesuatu yang ada atau pelaku, 'tiada' ialah 'tiada', 'tiada' tidak memiliki realitas).

Begitu pula ada setelah tiada (baca: huduts) ialah suatu hal yang tidak membutuhkan perbuatan pelaku dan penciptaan pencipta, karena bagi sesuatu yang pernah tiada dan kemudian menjadi ada, yang merupakan sifat huduts, ialah perkara yang niscaya, yakni untuk maujud seperti ini, tidak ada asumsi lain selain bahwa setelah tiada ia kemudian menjadi ada. Oleh karena itu, huduts adalah sifat (yakni sifat sesuatu adalah bukan zat sesuatu, kedudukan sifat setelah zat) keniscayaan bagi keberadaan suatu makhluk dan sama sekali tidak berhubungan dengan perbuatan, penciptaan, dan perwujudan pelaku (yang terkait dengan penciptaan pelaku dan sebab adalah zat sesuatu dan bukan sifat sesuatu). Ketika pelaku dan sebab tidak berurusan dengan ketiadaan dan ke-huduts-an (berwujud setelah tiada), maka satu-satunya yang menjadi faktor asli dan hakiki keterkaitan antara ma'lul dan 'illat atau perbuatan dan pelakunya tidak lain adalah wujud itu sendiri.

Faktor yang mengaitkan antara sebab dan akibat atau perbuatan dan pelaku ini, bisa dijelaskan dalam dua sifat. Sifat "huduts" dan "imkan (hakikat kebergantungan makhluk)". Dari sisi bahwa maujud ini adalah sesuatu yang pernah tiada, bisa disifatkan dengan sifat "huduts". Dan dari dimensi bahwa maujud ini adalah suatu realitas yang secara hakiki dan esensial ialah bukan Wâjibul Wujûd dan keberadaan maujud itu bersumber dari realitas yang lain (Wâjibul Wujûd), bisa disifatkan dengan sifat "imkan"."[2]


3. Tolok Ukur Kebutuhan Ma'lul ialah Imkan, bukan Huduts 

Ibnu Sina memaparkan, "Pada kesempatan ini, kami akan membahas dan mengkaji tolok ukur kebutuhan ma'lul terhadap sebabnya. Di sini akan disebutkan dua bentuk kemungkinan keberadaan mumkinul wujud (makhluk), antara lain:
1. Mumkinul wujud dalam perwujudannya dan kekekalan eksistensinya (tidak terkait pada zaman) bergantung kepada Wâjibul Wujûd;
2. Mumkinul wujud dalam keberadaannya pada waktu dan zaman tertentu bergantung kepada Wâjibul Wujûd.

Dengan demikian, mumkinul wujud bisa mengada dalam dua bentuk tersebut. Pada dua bentuk itu, keniscayaan wujud tidak bisa dinegasikan pada mumkin wujud kecuali terdapat hambatan eksternal yang menyebabkan kita tidak bisa menyandarkan mumkin wujud pada salah satu dari dua bentuk tersebut. Sementara pengertian "ada setelah tiada (baca: hâdits)" adalah suatu fenomena yang sebelumnya tiada dan mengada dalam waktu dan zaman tertentu. Suatu fenomena yang secara esensial adalah mumkinul wujud yang karena sebab ('illat) keberadaannya senantiasa ada maka ia pun akan terus menerus berwujud, oleh karena itu fenomena seperti ini tidak bisa dikatakan hâdits. Maujud hâdits, dari segi defenisi, lebih khusus dari maujud mumkin. Di sini kita memiliki dua istilah dan makna, mumkin dan hâdits. Kedua makna ini bisa menjadi tolok ukur kebergantungan dan kebutuhan ma'lul (akibat) kepada 'illat (sebab) atau perbuatan kepada pelaku, namun salah satu dari kedua makna ini, jika dibandingkan dengan yang lain, lebih bersifat umum.

Dari segi ilmu logika, setiap kali kita memiliki dua makna dimana salah satu darinya lebih bersifat umum dan kedua makna ini dari segi pengertiannya merupakan sumber suatu hukum, maka makna yang lebih umum mesti ditempatkan sebagai tolok ukur pertama dan hakiki bagi hukum tertentu, dan makna yang lain merupakan tolok ukur kedua dan majasi.

Dengan demikian, apabila makna yang lebih khusus masuk sebagai kategori kebenaran, maka niscaya makna yang lebih umum juga masuk dalam kategori kebenaran. Akan tetapi kebalikan dari ini adalah keliru, yakni jika suatu hukum berhubungan dengan makna umum, maka realitas ini tidak berarti bahwa hukum itu niscaya juga terkait dengan makna khusus, misalnya gerak dihubungkan dan dipredikasikan dengan manusia (karena makna hewan lebih umum dari makna manusia), maka niscaya juga berhubungan dengan sisi kehewanan manusia dan terpredikasikan juga kepada hewan secara menyeluruh. Namun kebalikan dari hal ini merupakan suatu kesalahan, misalnya sifat "meringkik" yang disandarkan kepada hewan tertentu (seperti kuda), namun predikasi dan penyandaran sifat ini pada makna umum hewan[3] tak berarti bahwa juga terkait dengan makna khusus manusia (sehingga dikatakan bahwa manusia juga ialah meringkik).

Oleh karena itu, kebergantungan dan kebutuhan ma'lul kepada 'illat, secara esensial dan hakiki, terkait dengan sifat imkan (sifat setiap mumkinul wujud yang akan dan telah terwujud yang keberadaannya tidak terkait dengan zaman) dan bukan sifat huduts (sifat maujud yang telah tercipta pada zaman dan waktu tertentu). Kita pun bisa menarik kesimpulan bahwa sifat imkan senantiasa bisa dipredikasikan kepada semua ma'lul dan kebenaran penyandaran ini tidak hanya pada keadaan maujud yang hâdits (baru-tercipta dalam zaman).

Maka dari itu, kemanunggalan sifat imkan ini dengan mumkinul wujud adalah bersifat selamanya, begitu pula pada semua individu mumkinul wujud. Hal ini dikarenakan bahwa tolok ukur kebergantungan dan kebutuhan mumkinul wujud kepada Wâjibul Wujûd adalah pada sifat imkan. Mumkinul wujud, sebelum penciptaan dan setelah penciptaannya adalah tetap sebagai mumkinul wujud. Dengan demikian, di awal penciptaan dan pada kelangsungan dan kelanggengan eksistensinya senantiasa membutuhkan dan bergantung kepada Wâjibul Wujûd.

Apabila sifat huduts diletakkan sebagai tolok ukur kebergantungan dan kebutuhan suatu maujud, maka dalam kelangsungan dan keabadiannya tetap membutuhkan 'illat, karena sifat "ada setelah tiada" untuk maujud hâdits tidak hanya di awal penciptaannya, namun sifat ini akan terus melekat pada maujud hâdits dalam koridor zaman. Dengan demikian, kalau huduts itu juga dikategorikan sebagai tolok ukur kebergantungan suatu maujud, maka maujud hâdits tetap membutuhkan 'illat dalam kekekalan dan keberlangsungan eksistensinya dan tidak ada alasan bahwa maujud hâdits dalam keabadiannya tidak bergantung kepada 'illat dan Wâjibul Wujûd."[4]


4. Keterkaitan Hakiki Maujud Hâdits terhadap Zaman 

Pada poin ini Ibnu Sina mencoba menunjukkan bahwa setiap yang hâdits niscaya berawal dengan waktu. Hal ini sebagaimana yang dijelaskannya, "Sesuatu yang ada setelah tiada mesti memiliki keberawalan (taqaddum) dimana pada keberawalan itu tidak berwujud. Dan keberawalan dan keberakhiran yang berhubungan dengan maujud hâdits ini bukanlah tergolong keberawalan angka satu terhadap keberakhiran (ta'akhkhur) angka dua, karena angka satu dan dua sangat mungkin secara bersamaan terwujud, sementara keberawalan maujud hâdits ini (maujud ini tiada) tidak menyatu dengan keberakhirannya (maujud ini ada), yakni mustahil ketiadaan maujud ini (pada tingkatan itu) menyatu dengan keberadaanya (pada tingkatan berikutnya).

Kalau suatu maujud yang "masa lampaunya (maujud ini awalnya tiada)" tak menyatu dengan "masa kininya (maujud ini kemudian ada)", maka maujud seperti niscaya mengalami "kebaruan" wujud, yakni baru terwujud dan setiap detiknya akan meninggalkan "masa lalunya". Oleh karena itu, hakikat setiap maujud hâdits adalah senantiasa mengalami perubahan dan terus menerus mengalami perpindahan dari satu tingkatan eksistensi (masa lampau) kepada tingkatan wujud lainnya (masa akan datang). Sekarang mari kita perhatikan mana dari hakikat yang tetap mengalami perubahan itu?.

Hakikat yang senantiasa berubah ini ialah bukan 'ketiadaan', karena maujud ini pada masa lalu adalah tiada dan juga akan tiada pada masa yang akan datang. Begitu pula, zat pelaku atau sebab tidak bisa jadi tolok ukur keberawalan dan keberakhiran karena zat sebab ('illat) ada sebelum dan setelah keberadaan maujud hâdits ini serta zat sebab juga senantiasa bersama dengan maujud ini. Oleh karena itu, semestinya ada pada maujud hâdits ini suatu hakikat lain yang senantiasa mengalami perubahan dan pembaharuan, yakni secara berangsur-angsur dan bertahap wujudnya yang lalu akan meniada dan akan mendapatkan wujud yang lain. Hakikat yang terus berubah ini tidak lain ialah seperti gerak dalam suatu jarak, yakni sebagaimana gerak itu bisa dibandingkan dengan jarak, hakikat yang senantiasa berubah ini juga bisa diukur dan dibandingkan. Begitu pula, sebagaimana bagian-bagian gerak tidak bisa disatukan dan senantiasa bagian yang lalu akan tiada dan bagian yang lain akan hadir untuk menggantikan bagian yang lalu itu. Hakikat yang terdapat pada maujud hâdits adalah sebagaimana yang terjadi pada gerak itu sendiri. Maka dari itu, hakikat yang terus berubah ini semestinya seperti fenomena gerak yang tidak terkomposisi dari bagian-bagian yang tidak bisa dibagi-bagi."[5]


5. Kebergantungan Maujud Hâdits kepada Materi 

Ibnu Sina berupa menetapkan suatu kaidah yang menyatakan bahwa setiap fenomena yang hâdits berawal dengan materi. Menurut kaum peripatetik, tak satupun maujud hâdits bisa terwujud tanpa kondisi-kondisi sebelumnya, misalnya sebatang pensil bukanlah kondisi awal bagi penciptaan seekor ayam dan mustahil dari pensil ini terwujud seekor ayam. Namun telur ayam merupakan kondisi awal bagi perwujudan dan penciptaan seekor ayam.

Dalam hal ini, Ibnu Sina menjelaskan, "setiap fenomena hâdits, sebelum perwujudannya sendiri, ialah mumkinul wujud. Oleh karena itu, sifat imkan yang terdapat pada fenomena itu adalah perkara hakiki yang terdapat di alam eksternal dan bukan hanya merupakan suatu gambaran yang ada dalam pikiran. Apakah imkan itu? Apakah imkan ini adalah kodrat pelaku itu sendiri? Sebagian beranggapan bahwa keber-imkan-an sesuatu adalah bermakna bahwa pelaku bisa melakukan hal itu.

Akan tetapi, imkan adalah bukan kodrat pelaku dan juga bukan kemampuan untuk berbuat bagi pelaku, karena apabila imkan bermakna kodrat pelaku, maka ketika kita berbicara tentang perkara yang mustahil, misalnya kita berkata, "Perkara yang mustahil adalah tidak bisa dilakukan oleh pelaku", perkataan seperti ini adalah bentuk perkataan berulang, hal ini sama dengan apabila kita katakana, "Perkara yang mustahil adalah mustahil". Sementara tidaklah demikian halnya. Oleh karena itu, menjadi jelaslah bahwa imkan (dimana untuk setiap fenomena, sebelum keberadaannya adalah perkara yang hakiki dan nyata) adalah bukan kodrat pelaku dalam melakukan penciptaan terhadap fenomena dan maujud hâdits tersebut.

Namun dikarenakan bahwa imkan itu adalah bukan substansi yang mandiri dimana keberadaannya tidak membutuhkan subyek. Berdasarkan hal ini, keberadaan imkan tersebut membutuhkan subyek atau wadah. Di sini, subyek atau wadah imkan tidak lain ialah materi dari fenomena mumkinul wujud atau maujud hâdits. Oleh karena itu, kita sampai pada satu kesimpulan bahwa setiap maujud dan fenomena yang hâdits sebelum mewujud memiliki potensi atau imkan wujud. Dengan demikian, semua fenomena-fenomena, sebelum perwujudannya sendiri, membutuhkan suatu subyek dimana subyek (baca: materi) itulah yang menerima dan mendukung potensi dan imkan keberadaan bagi fenomena-fenomena dan maujud-maujud yang hâdits."[6]


6. Kemustahilan Keterpisahan Ma'lul dari 'Illat-nya

Pada poin ini Ibnu Sina menjelaskan tentang hubungan kemestian antara 'illat dan ma'lul. Ia beranggapan bahwa ketika 'illat telah ada maka niscaya ma'lul pun akan berwujud. Tidak bisa digambarkan bahwa 'illat sempurna telah ada namun ma'lul-nya masih tiada. Ibnu Sina berupaya menetapkan persoalan ini dengan mengajak menganalisa secara mendalam dan teliti pengertian sebab ('illat) sempurna itu. Makna yang berhubungan dengan pemisahan akibat (ma'lul) dari sebab hanyalah benar jika disandarkan dengan sebab-sebab tak sempurna (dimana pikiran yang sederhana dan polos menyangka bahwa sebab-sebab tak sempurna itu adalah sebab hakiki). Pada sebab yang sempurna adalah mustahil suatu ma'lul berpisah dari sebabnya dan tidak terwujud seketika pada saat sebabnya telah mengada.

Dalam hal ini, Ibnu Sina memaparkan, "Wujud ma'lul, dari sisi bahwa terdapat hubungan kausalitas dengan sebabnya, adalah terkait secara hakiki dengan 'illat-nya ketika 'illat itu adalah suatu 'illat yang hakiki dan sempurna dari segala dimensi. Apabila sebab tersebut adalah sebab hakiki, maka niscaya eksistensi akibat akan bergantung pada sebab hakiki tersebut. Untuk sebab sempurna mesti terdapat faktor-faktor dan kondisi-kondisi dimana faktor dan kondisi ini terdapat di dalam zat sebab (seperti irâdah) atau berada di luar zat sebab. Semua faktor dan kondisi mesti ada supaya suatu sebab menjadi sebab yang sempurna, seperti seorang tukang kayu tidak akan mampu membuat suatu lemari kayu tanpa adanya kehendak (sebagai faktor internal), alat-alat pertukangan, dan bahan-bahan kayu (sebagai faktor eksternal).

Apabila semua faktor internal dan eksternal telah hadir, maka niscaya akibatpun akan terwujud dan mustahil terpisah dari sebab. Begitu pula, ketiadaan akibat dikarenakan ketiadaan sebabnya. Ketika sebab tiada, maka seketika itu akibatnya pun akan meniada.

Dengan demikian, eksistensi akibat membutuhkan kesempurnaan sebab dan ketiadaan wujud akibat terkait dengan ketaksempurnaan wujud sebab. Berdasarkan hal ini, apabila terdapat halangan yang bersumber dari luar dan sebab tidaklah sempurna, maka akibat tak akan terwujud.

Apabila diasumsikan bahwa kesempurnaan dan kekurangan sebab tersebut adalah bersifat abadi, maka akibat dan hasilnya pun bersifat abadi. Jika kesempurnaan sebab ialah bersifat abadi dan azali, maka akibatnya pun bersifat abadi dan azali. Dan begitu pula, kalau kesempurnaan sebab tersebut bergantung pada waktu tertentu dan terbatas, maka akibat juga akan terwujud pada waktu tertentu dan terbatas. Hal ini sebagaimana jika sebab itu memiliki kekurangan yang abadi, maka dengan demikian akibat pun mustahil terwujud. Jika kekurangan sebab berkaitan dengan waktu tertentu dan terbatas, maka pada waktu tertentu dan terbatas itu pula wujud akibat tidak akan hadir.

Dengan memperhatikan analisa di atas, apabila sebab adalah sempurna dan tidak akan pernah mengalami perubahan dalam zat (seperti zat Wâjibul Wujûd), maka sebab ini niscaya memiliki akibat (seperti akal pertama). Dalam kondisi ini, akal pertama ini akan abadi dan sarmadi dikarenakan Wâjibul Wujûd senantiasa sempurna dan terus menerus berwujud."[7]


7. Dua Bentuk Penciptaan 

Ibnu Sina menguraikan perbedaan dua bentuk penciptaan dan menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara ibdâ', takwin, dan ihdâts. Dia berkata, "Pada penciptaan dalam bentuk ibdâ' ini tidak membutuhkan materi dan waktu, sementara bentuk penciptaan pada takwin dan ihdâts tersebut sangat berhubungan erat dengan materi dan waktu. Ibda' bermakna bahwa suatu sebab menciptakan suatu akibat dimana akibat ini hanya berkaitan langsung dengan sebab dan tidak berhubungan dengan faktor apapun seperti materi, alat, dan waktu. Sementara takwin dan ihdâts berarti bahwa suatu akibat, disamping bergantung pada sebab, juga berkaitan dengan materi, waktu, dan alat. Dengan memperhatikan pengertian dari dua bentuk penciptaan ini, ibda', dari sisi tingkatan, lebih tinggi dari pada takwin dan ihdâts."[8]


8. Hubungan Keniscayaan antara Sebab dan Akibat

Ibnu Sina pada poin ini sangat menekankan bahwa hubungan antara sebab dan akibat adalah bersifat mesti dan niscaya. Apabila suatu akibat belum mencapai titik dan derajat keniscayaan, maka mustahil akan terwujud. Oleh karena itu, seluruh realitas dan akibat yang telah berwujud dikarenakan eksistensinya telah meniscaya dan hubungannya pun bersifat niscaya. Namun sebagian teolog menolak konsep keniscayaan dan kemestian eksistensi tersebut. Mereka beranggapan bahwa jika hubungan antara sebab dan akibat atau Khalik dan makhluk itu bersifat niscaya, maka akan bertolak belakang dengan konsep kebebasan dan ikhtiar Wâjibul Wujûd.

Para teolog berkeyakinan bahwa pada Pelaku yang berikhtiar, hubungannya dengan akibat harus bersifat mungkin dan tak niscaya, yakni Pelaku bebas menentukan mana hal yang akan dilakukan atau memilih untuk tidak berbuat. Jika tersedia segala syarat, kondisi, dan faktor untuk melakukan suatu perbuatan, maka perbuatan itu akan diprioritaskan untuk dikerjakan (baca: bukan keniscayaan untuk dilakukan). Hal ini tidak berarti bahwa perbuatan tersebut mesti, harus, dan niscaya untuk dilakukan oleh Pelaku.

Ibnu Sina memaparkan, "Segala sesuatu yang pernah tiada dan lantas berwujud, bagi setiap orang, adalah sangat jelas dan gamblang bahwa salah satu dari dua sisi (kemungkinan mengada dan meniada) telah terealisasi. Terealisasinya salah satu dari sisi tersebut bisa dipastikan karena faktor dan pengaruh eksternal. Realitas ini adalah gamblang, yakni setiap orang dengan akal sehatnya akan memahami bahwa "sesuatu" yang berada pada titik yang seimbang di antara dua kutub keberadaan dan ketiadaan, dan kemudian dia berpindah dan berada pada salah satu kutubnya (misalnya pada kutub keberadaan), maka keberadaannya pada kutub ini niscaya di bawah pengaruh suatu faktor eksternal. Dalam hal ini, terkadang akal manusia lupa dengan kejernihan seperti ini dan memerlukan bentuk penjelasan yang lain.

Dengan demikian, untuk berpindahnya "sesuatu" itu ke salah satu kutub, niscaya membutuhkan pengaruh eksternal. Persoalan yang mendasar adalah apakah pengaruh eksternal itu telah sampai pada titik kemestian dan keniscayaan ataukah masih pada derajat mungkin dan tak niscaya. Dengan ungkapan lain, "sesuatu" itu bisa terwujud dan juga bisa tidak terwujud, yakni senantiasa berada di antara ada dan tiada (di sini tidak bisa dikatakan bahwa "sesuatu" itu mustahil mengada, karena tak ada dalil kuat atas kemustahilan untuk mengada). Oleh karena itu, apabila salah satu dari kutub itu belum sampai pada derajat keniscayaan, dan kemudian salah satu dari kedua kutub keberadaan dan ketiadaan telah mencapai titik kemestian, maka sangatlah logis jika kita bertanya mengenai penyebab dan faktor tercapainya keniscayaan mewujud tersebut.

Apabila faktor eksternal tersebut mengantarkan "sesuatu" itu pada derajat keniscayaan mewujud dan telah meninggalkan batas 'mungkin' mewujud, maka tak akan muncul pertanyaan lagi atasnya tentang kewujudannya. Akan tetapi, jika belum mencapai batas keniscayaan mewujud dan masih menyisakan kemungkinan untuk mewujud, maka tetap akan menjadi obyek pertanyaan, mengapa "sesuatu" itu terwujud sedangkan masih tersisa satu derajat bagi kemungkinan meniada yang walaupun telah mencapai sembilan puluh sembilan derajat untuk kemungkinan mengada?. Maka dari itu, pada akhirnya, harus sampai pada tingkatan kemestian wujud dan jalan bagi kemungkinan ketiadaannya telah tertutup rapat."[9]


9. Satu Akibat hanya terwujud dari Sebab Pertama

Pada bagian ini Ibnu Sina menguraikan suatu kaidah terkenal yang berbunyi, "Sebab Pertama hanya mewujudkan akibat yang tunggal," yakni dari satu sebab yang tak memiliki keragaman ialah mustahil terwujud beberapa akibat. Dia memaparkan, "Pengertian bahwa satu sebab (A) yang bisa mewujudkan satu akibat (B) ialah berbeda pengertiannya apabila dikatakan sebab (A) itu merupakan sumber keberadaan bagi beberapa akibat lain (C, D, …). Dengan demikian, setiap suatu akibat (dikaitkan dengan karakteristiknya) membutuhkan suatu sebab yang juga bersesuaian dengan sifat dan karakteristik akibatnya. Misalnya karakteristik akibat (B) mesti bersesuaian dengan karakteristik sebab (A), begitu pula sifat akibat (D) harus sesuai dengan sifat sebabnya sendiri (C). Maka dari itu, ketika kita menyaksikan dari satu sebab telah terwujud dua akibat atau lebih, pasti kita akan menghukumi bahwa sumber dari dua akibat itu adalah dari dua bagian, dua dimensi, dua sifat, dan dua karakteristik yang terdapat pada sebab tersebut.

Dua karakteristik itu, dari sisi makna dan hakikat eksternal, adalah dua sesuatu yang terpisah dan tak berhubungan satu sama lain. Persoalannya ialah apakah dua karakteristik yang terpisah itu merupakan unsur-unsur pembangun zat sebab (dalam kondisi ini, zat sebab memiliki komposisi dan tidak tunggal) ataukah sebagai konsekuensi[10] dari zat sebab ataukah salah satu dari karakteristik itu sebagai pembangun zat sebab dan lainnya sebagai konsekuensi dari zat sebab? Jika karakteristik-karakteristik tersebut merupakan pembangun zat sebab, dengan asumsi bahwa zat sebab adalah tunggal dan tak berangkap, maka hal adalah batil. Jika dua sifat dan karakteristik itu diasumsikan sebagai konsekuensi zat sebab, maka akan tetap berujung pada keberadaan dua karakteristik pada zat sebab yang merupakan unsur-unsur pembangun zatnya.

Begitu pula asumsi terakhir juga menjadi batal yakni salah satunya merupakan pembangun zat sebab dan lainnya sebagai konsekuensi zat sebab. Dengan memperhatikan analisa di atas, kita bisa menarik konklusi bahwa dua sesuatu atau lebih yang secara langsung bersumber dari satu sebab hakiki (misalnya sebab A mewujudkan secara bersamaan dua akibat B dan C), maka sebab hakiki itu niscaya bukanlah sebab yang tunggal, namun suatu realitas hakiki yang secara esensial mengandung komposisi."[11]


10. Perspektif tentang Huduts dan Qidam Alam

Ibnu Sina pada bagian ini berupaya menjelaskan persoalan huduts dan qidam alam dengan mengajukan pertanyaan: Apakah alam adalah qâdim atau hâdits?



Pada pembahasan ini, Ibnu Sina mengisyaratkan tiga hal: pertama, tentang keyakinan-keyakinan berbeda terhadap Pencipta alam; kedua, pandangan dan argumentasi para teolog tentang ke-huduts-an alam; ketiga, kepercayaan dan dalil para filosof tentang ke-qidam-an alam. Di bawah ini akan diuraikan ketiga hal tersebut:

1. Keyakinan-Keyakinan terhadap Pencipta Alam

Sebagian kelompok meyakini bahwa maujud materi secara esensial terwujud dengan sendirinya dan tidak membutuhkan suatu Pencipta eksternal, maujud materi mesti-ada dengan sendirinya. Akan tetapi, berdasarkan penjelasan kami di awal bab keempat[12] telah ditetapkan bahwa maujud materi adalah bukan maujud yang ada dengan sendirinya dan perkataan Nabi Ibrahim As dalam al-Quran, "Saya tidak suka kepada yang tenggelam,"[13] karena sesuatu yang berada dalam "wadah" imkan, merupakan suatu bentuk dari ketenggelaman. Setiap fenomena dan maujud yang memiliki sifat imkan pada hakikatnya berada di tingkatan rendah eksistensi.

Kelompok lain berkeyakinan bahwa maujud materi sebagai akibat dan bukan sebagai Wâjibul Wujûd. Akidah ini terbagi dalam beberapa aliran:

a. Sebagian mereka beranggapan bahwa inti dan hakikat maujud materi ini adalah bukan akibat, tetapi Wâjibul Wujûd. Sementara fenomena-fenomena yang tercipta dari hakikat maujud materi ialah akibat. Mereka ini meyakini dua Wâjibul Wujûd di alam ini. Dan kita ketahui bersama bahwa dualitas Wâjibul Wujûd adalah suatu kemustahilan.

b. Aliran lainnya mempercayai dua Wâjibul Wujûd atau meyakini beberapa sesuatu itu yang merupakan unsur-unsur alam dan pembentuk materi sebagai Wâjibul Wujûd, dan menyangka bahwa maujud-maujud yang lain merupakan ciptaannya. Aliran ini dari aspek kaidah dan nilai kebenaran adalah sama dengan kelompok yang lain tersebut dimana berkeyakinan tentang ke-Wâjibul Wujûd-an sesuatu yang pada hakikatnya tidak memiliki sifat-sifat yang layak sebagai Wâjibul Wujûd.


2. Argumentasi Para Teolog tentang Ke-Huduts-an Alam 

Para teolog dan filosof sepakat tentang ketunggalan dan keesaan Wâjibul Wujûd. Akan tetapi, pada aspek lain, para teolog mengambil jalan berbeda dan meyakini bahwa Tuhan berwujud sejak azali dan makhluk pada tingkatan tertentu tidak bersama dengan Tuhan (makhluk tak azali). Pada tingkatan tertentu itu, yang ada hanya wujud Tuhan dan Dia belum menciptakan sesuatu. Kemudian pada "kondisi tertentu" Dia memulai mencipta dan berkehendak untuk mewujudkan makhluk. Ini berarti bahwa alam yang dicipta Tuhan itu adalah suatu alam yang hâdits. Alam pada awalnya tiada dan pada tingkatan tertentu menjadi ada. Untuk membuktikan kebenaran akidah ini mereka membangun tiga dalil:

a. Apabila kita tidak menerima asumsi bahwa alam pada awalnya tiada dan pada tingkatan tertentu menjadi ada, maka lawan dari ini harus kita asumsikan bahwa alam tidak berawal dan pada "masa lalu" terdapat maujud-maujud beraneka ragam yang tak berhingga. Oleh karena itu, semestinya pada "masa lalu" terdapat waktu tak terbatas, manusia tak berhingga, atom tak terbatas, air hujan yang tak terbatas, daun-daun pohon yang tak terbatas, dan lain-lain. Dan semua maujud tak terbatas ini berwujud secara aktual, karena setiap maujud-maujud tersebut terwujud pada "saat" itu juga.

Akan tetapi, asumsi tersebut di atas sangatlah bermasalah karena konsekuensinya akan terdapat maujud aktual yang tak terbatas dimana terwujud secara berurut-urutan. Dan juga karena semua maujud tak terbatas harus berada dalam koridor kewujudan (yakni semua aktual, tak ada yang potensial), perkara ini mustahil terjadi. Walaupun kewujudan semua maujud ini tidak sezaman, karena setiap bagian dari maujud sementara terwujud pada tempatnya sendiri, namun pada hakikatnya, bisa dihukumi bahwa semua maujud secara bersamaan terwujud. Dalil awal para teolog ini menjelaskan kemustahilan keazalian dan ke-qadim-an alam.

b. Dalil kedua adalah bahwa kita tidak bisa menjelaskan setiap dari maujud dan fenomena hari ini dengan menyatakan bahwa maujud dan fenomena tersebut tidak terwujud, kecuali setelah terwujudnya maujud-maujud tak terbatas; yakni mengungkapkan bahwa maujud hari ini bergantung pada perwujudan maujud-maujud tak terbatas, sementara tidaklah benar jika kita menyatakan bahwa maujud-maujud tak terbatas harus terwujud sebelum perwujudan fenomena dan maujud hari ini. Bagaimana kita bisa mengasumsikan bahwa penciptaan fenomena hari ini (seperti hujan yang sedang terjadi) bergantung pada keberadaan maujud tak berhingga. Oleh karena itu, apabila alam ini tidak berawal (dalam zaman), maka setiap maujud dan fenomena hari ini akan terwujud pasca keberadaan maujud tak terbatas, dan hal ini adalah mustahil.

c. Setiap zaman yang baru terwujud pula maujud yang baru dimana secara kuantitatif menambah jumlah maujud sebelumnya. Apabila alam tak berawal (dalam zaman) dan maujud yang lalu dipandang tak terbatas, maka akan terjadi kontradiksi, karena dari satu aspek kita mengasumsikan bahwa maujud yang lalu adalah tak berhingga dan pada sisi lain kita mengasumsikan bahwa maujud yang terbatas hari ini manambah jumlah maujud-maujud tak terbatas. Sementara penambahan itu tidak sesuai dengan ketakterbatasan. Oleh karena itu, kita mesti memandang bahwa alam itu adalah hâdits.

Dalam hal ini kita bisa bertanya dengan cara menentukan titik tertentu dimana dipandang oleh para teolog sebagai titik permulaan alam, dengan menyatakan: Mengapa alam bermula pada titik tersebut dan bukan pada titik sebelumnya atau setelahnya? Terdapat beberapa solusi atas pertanyaan ini:

- Sebagian beranggapan bahwa alam pada titik itu memiliki prioritas, kelayakan, dan mashlahat untuk terwujud, yakni mashlahat ini berkaitan dengan kemestian penciptaan alam (bukan sebelumnya atau setelahnya);

- Sebagian lain berkeyakinan bahwa penciptaan alam selain pada titik itu adalah hal yang tidak mungkin;

- Dan sebagian lain menyatakan bahwa kemestian keberadaan alam sama sekali tidak berhubungan dengan titik tertentu. Satu-satunya pengaruh dalam penciptaan alam ialah kehendak dan iradah Tuhan. Dan pertanyaan tentang prioritas penciptaan Tuhan adalah tidak bermakna; yakni tidaklah benar jika kita bertanya: Mengapa Tuhan menciptakan alam ini pada zaman dan titik tertentu dan bukan pada zaman dan titik sebelum atau sesudahnya?


3. Argumentasi Filosof tentang Ke-qadim-an Alam

Para filosof berkeyakinan bahwa wujud Tuhan adalah tunggal dan berdasarkan prinsip ini mereka menerima bahwa Wâjibul Wujûd memiliki segala kesempurnaan aktual yang tak terbatas. Para filosof juga beranggapan bahwa pra-perwujudan makhluk (pada ketiadaan murni) tak ada satupun kondisi dan syarat tertentu sehingga bisa dibandingkan dengan kondisi dan syarat lain, dan lantas dihukumi bahwa Tuhan tidak mencipta sesuatu karena tidak memenuhi syarat dan kondisi (A) itu atau Tuhan mencipta sesuatu karena memenuhi syarat dan kondisi (B) tertentu, dan alam ini dicipta karena telah memenuhi kondisi dan syarat yang layak. Pandangan seperti ini adalah mustahil dan tidak benar, karena pada 'ketiadaan murni' tak ada satupun realitas sehingga bisa dibandingkan bahwa realitas itu memiliki keunggulan dan kelayakan dari realitas yang lain.

Dengan demikian, Tuhan yang azali adalah tunggal, esa, tetap dan tak berubah, memiliki semua nama, sifat, dan kesempurnaan. Tak bisa dikatakan bahwa Tuhan, pada awalnya, tak memiliki sifat sempurna dan kemudian Dia memilikinya. Tuhan memberikan secara konstan kemestian mewujud kepada segala perkara yang mungkin terwujud dan Dia memiliki semua sifat yang mesti, niscaya, maha sempurna. Oleh karena itu, tidak satupun perubahan yang bisa digambarkan terjadi pada zat Tuhan. Sementara yang berkaitan dengan perbuatan mencipta alam, dikarenakan tak satu pun realitas berwujud pada ketiadaan murni, tidak bisa dipandang bahwa suatu syarat lebih baik dari syarat lain atau suatu kondisi lebih unggul dari kondisi yang lain. Pada keadaan seperti ini, jika ditetapkan bahwa Tuhan mewujudkan alam, maka niscaya alam akan terwujud seketika (tidak dalam koridor zaman)[14] dan apabila alam mustahil tercipta, maka niscaya alam sama sekali tidak akan terwujud. Dengan demikian, tak ada perubahan apapun yang bisa digambarkan terjadi pada zat dan perbuatan Tuhan.

Para teolog meyakini sesuatu yang berubah, yaitu irâdah dan kehendak Tuhan. Mereka menyatakan bahwa Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya, tapi Dia tak berkehendak untuk menciptakan alam dan dari satu sisi alam bergantung atas kehendak Tuhan. Pada awalnya, Tuhan tak beriradah dan kemudian Dia berkehendak.

Asumsi kehadiran sirâdah baru pada titik tertentu penciptaan alam adalah tidak logis, kecuali jika kita bisa membuktikan alasan kemunculan irâdah dan kehendak baru Tuhan. Adalah hal yang mustahil digambarkan tentang kehadiran kehendak baru tanpa ada motivasi, sebab, dan alasan. Begitu pula mustahil diasumsikan keberadaan karakter baru atau syarat lain tanpa hadirnya suatu perubahan. Dengan demikian, semua asumsi tersebut berujung pada perubahan, sementara kita mengasumsikan bahwa Wâjibul Wujûd tidak akan pernah berubah. Bagaimana para teolog mampu menyelesaikan masalah ke-huduts-an alam dengan mengasumsikan kemunculan kehendak baru pada zat Tuhan, sementara irâdah baru tersebut sama seperti alam itu sendiri yang hâdits dan bergantung pada suatu sebab? Tak ada perubahan apapun pada zat Tuhan, oleh karena itu, zat Tuhan adalah suatu hakikat yang tetap dan konstan.

Tak ada bedanya bahwa faktor dan penyebab perubahan itu adalah kemunculan syarat-syarat baru atau hilangnya hambatan, seperti Anda mengasumsikan bahwa melakukan suatu perbuatan tidak mengandung manfaat dan pada waktu tertentu dengan syarat khusus melakukan perbuatan ini memiliki mashlahat. Mengenai asumsi hilangnya halangan, Anda bisa mengasumsikan bahwa jika satu perbuatan dilakukan sebelumnya maka akan hadir keburukan, akan tetapi, jika sementara perbuatan itu tidak dilakukan hingga keburukan menjadi sirna, atau tidak diperbuat karena ada halangan dan halangan ini pada titik tertentu akan sirna. Semua asumsi ini adalah tidak logis dan tidak rasional.

Dengan demikian, tidak ada alasan kuat bagi ke-huduts-an alam (yakni penundaan penciptaan alam) dari sisi hakikat zat Tuhan selain kita menyatakan: para teolog itu beranggapan bahwa Tuhan tidak mesti menciptakan alam dan menghindar untuk memancarkan kebaikan dan kesempurnaan-Nya hanya dikarenakan bahwa ma'lul-Nya pernah 'tiada' dan memiliki sifat huduts itu. Apabila kehendak Tuhan itu kita letakkan sebagai alasan bahwa Dia tidak mencipta alam hingga alam itu memiliki sifat huduts, maka cara pandang seperti ini adalah sangat lemah dan setiap manusia memahami bahwa pandangan seperti itu adalah tidak logis. Disamping itu, sifat huduts yang dimiliki oleh alam akan senantiasa dimilikinya di titik manapun Tuhan memulai menciptanya; yakni kalaupun alam dicipta lebih awal atau lebih lambat, maka alam tetap hâdits.

Jika kita memperhatikan poin ini bahwa alam secara esensial adalah mumkinul wujud dan keniscayaan wujudnya bersumber dari Wâjibul Wujûd, maka "keabadian" wujudnya tidaklah menjadi masalah. Dengan ini, kita bisa menarik konkulusi bahwa alam itu bisa "senantiasa" berwujud dan pada saat yang sama juga terus menerus membutuhkan emanasi Tuhan. Kewujudannya ialah abadi, karena kebergantungannya juga abadi. Kita tidak punya alasan kuat untuk menetapkan kebutuhan alam dengan mengasumsikan bahwa alam itu pada "zaman" tertentu tiada dan kemudian mengada.

1. Kritikan yang diajukan oleh para teolog bahwa konsekuensi ke-qadim-an alam adalah keberadaan maujud-maujud tak terbatas pada "masa" lalu. Sesungguhnya prasangka seperti ini secara prinsipil adalah keliru. Tidaklah demikian bahwa jika satu hukum mencakup masing-masing individu, maka mesti juga meliputi kumpulan individu-individunya. Di sini satu per satu maujud hadir pada waktu tertentu, namun hal ini tidaklah bermakna bahwa pada waktu tertentu keseluruhan maujud juga hadir dan tak terbatas. Kita tak menerima bahwa maujud-maujud tak terbatas hadir secara seketika dan bersamaan. Masing-masing maujud tak terbatas itu pada kondisi tertentu terwujud dan kemudian menjadi tiada. Jadi kesalahan berpikir para teolog itu ialah menggeneralisasikan hukum masing-masing maujud kepada kumpulan maujud itu. Apapila kita menerima generalisasi hukum ini, maka kita pun bisa menyatakan: kumpulan tak terbatas itu adalah sangat mungkin terwujud, sebagaimana juga masing-masing individu kumpulan itu adalah mungkin terwujud.

2. Kritikan ketiga dari para teolog ialah kejadian-kejadian harian menambah kuantitas kejadian-kejadian masa lalu, sementara kejadian tak terbatas pada masa lalu mustahil mengalami penambahan dan pengurangan. Dalam menjawab pertanyaan ini bisa dikatakan bahwa pada kejadian tak terbatas dimana masing-masingnya hadir secara bertahap pada waktu tertentu dan juga akan mengalami ketiadaan, dengan demikan asumsi penambahan dan pengurangan sama sekali tidak kontradiksi dengan sesuatu yang tak terbatas. Oleh karena itu, kritikan para teolog tersebut adalah tidak beralasan.

3. Sementara sanggahan kedua para teolog – yang bersandar pada bahwa konsekuensi asumsi ke-qadim-an alam adalah setiap kejadian dan maujud bergantung pada kejadian tak terbatas – adalah juga tak berdasar, karena apabila dikatakan bahwa wujud (A) bergantung pada wujud (B), maknanya ialah walaupun kedua wujud itu secara aktual belumlah terwujud, namun hubungan mereka sedemikian sehingga kalau kita menginginkan eksistensi (A) maka terlebih dahulu kita mesti memiliki wujud (B), yakni wujud (A) ini akan terwujud pasca keberadaan (B). Inilah makna kebergantungan hakiki. Akan tetapi adalah tidak benar bahwa setiap kejadian yang hadir hari ini bergantung pada kejadian-kejadian tak terbatas pada masa lalu, karena secar praktis kita melihat bahwa setiap kejadian-kejadian ini bergantung pada kejadian-kejadian yang terbatas dan berhingga, yakni apabila diinginkan besok turun hujan, maka mesti dibutuhkan awan (bukan berarti untuk turunnya hujan keseluruhan kejadian alam harus terulang). Disamping hal ini, berdasarkan perspektif para teolog sendiri yang beranggpan bahwa "hukum kumpulan kejadian-kejadian itu adalah sama dengan hukum yang meliputi masing-masing kejadian", ketika setiap kejadian membutuhkan faktor-faktor terbatas maka kumpulan kejadian-kejadian juga bergantung pada faktor-faktor terbatas, bukan faktor-fakor tak terbatas. Jika maksud dari para teolog adalah "kalau diasumsikan alam ini ialah qadim, maka mustahil setiap kejadian harus bergantung pada kejadian-kejadian tak terbatas pada masa lalu (dimana masing-masing kejadian itu hadir pada waktu tertentu)", maka secara prinsipil perdebatan berkaitan dengan kemustahilan dan ketakmustahilan masalah tersebut. Kami menyatakan bahwa alam adalah qadim, dengan demikian setiap kejadian bergantung pada kejadian tak berawal dan tak terbatas, dan para teolog berkeyakinan bahwa alam adalah hâdits dan bergantung pada kejadian yang terbatas. Di sinilah inti perdebatan tersebut dan dasar masing-masing pandangan ini tidak bisa dijadikan mukadimah untuk membuktikan aspek kemustahilan pandangan yang lain, misalnya jika dikatakan: "Ke-qadim-an alam ialah mustahil, karena ke-qadim-an (yakni keberadaan kejadian tak terbatas pada masa lalu) adalah mustahil." Menolak pandangan kami adalah tanpa dalil dan semata-mata konsekuensi perspektif kami dipandang salah oleh para teolog, sementara kami katakan: "Sebagaimana ketakmustahilan ke-qadim-an alam, keberadaan kejadian-kejadian tak terbatas pada masa lalu ialah juga tak mustahil." Secara mendasar, ke-qadim-an dan keberadaan kejadian-kejadian tak terbatas pada masa lau ialah memiliki makna sama, oleh karena itu, perbedaan ungkapan-ungkapan yang ada tidak bisa dijadikan dalil pembatalan suatu gagasan.

Dengan memperhatikan analisa di atas, kita mesti meyakini (berdasarkan perspektif para filosof) bahwa Pencipta alam ialah Wâjibul Wujûd dan sama sekali Dia tidak memiliki perbedaan hubungan dengan waktu dan keberadaan alam (yakni waktu maujud pertama kali diciptakan oleh-Nya). Namun hubungan maujud alam materi (dimana merupakan maujud yang terus berubah) dengan Wâjibul Wujûd adalah memiliki perbedaan. Maujud seperti akal pertama dimana secara langsung dicipta oleh Wâjibul Wujûd, hubungannya dengan-Nya adalah sama. Akan tetapi, buah dari pohon tertentu pada masa akan datang, walaupun buah ini pada hakikatnya adalah juga dicipta oleh Tuhan, dikarenakan membutuhkan zaman dan kondisi tertentu, maka hubungannya dengan Wâjibul Wujûd adalah berbeda.[15]


Catatan Kaki:

[1] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid kedua, bab kelima, hal. 10.
[2] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid kedua, bab kelima, hal. 13.
[3] . Seperti pada defenisi manusia dikatakan sebagai hewan yang berpikir. Hewan di sini bermakna umum. Nah, suatu kesalahan kalau sifat "meringkik" itu dipredikasikan kepada makna umum hewan pada defenisi manusia.
[4] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid kedua, bab kelima, hal. 15.
[5] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid kedua, bab kelima, hal. 16.
[6] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid kedua, bab kelima, hal. 17.
[7] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, bab kelima, jilid kedua, hal. 19.
[8] . Ibid, hal. 20.
[9] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, bab kelima, jilid kedua, hal. 22.
[10] . Makna 'konsekuensi zat' di sini misalnya kalau kita katakan bahwa 'konsekuensi' dari angka empat adalah kegenapan, bukan keganjilan.
[11] . Ibnu Sina, al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid kedua, bab kelima, hal. 23.
[12] . Silahkan merujuk pada awal tulisan kami yang bagian pertama.
[13] . Q.S. Al-An'am (6): 76
[14] . Yakni karena zat dan sifat Tuhan adalah qadim, dengan demikian eksistensi alampun (yang merupakan ciptaan Tuhan) adalah qadim. Di sini ke-qadim-an alam karena ke-qadim-an Tuhan.
[15] . Ibnu Sina, Isyarat wa at-Tanbihat, jilid kedua, bagian kelima, hal. 26.


D. Dasar dan Tujuan Penciptaan Alam

Ibnu Sina setelah menegaskan wujud dan sifat Wâjibul Wujûd kemudian melangkah menjelaskan hubungan antara Sumber Wujud dan alam keberadaan serta masalah-masalah yang berhubungan dengan penciptaan, seperti tujuan hakiki, urutan, dan sistem alam.


1. Defenisi Maujud Sempurna dan Tak Sempurna

Ibnu Sina pertama-tama mendefenisikan maujud sempurna yang sama sekali tak bergantung pada sesuatu yang lain dan lantas menentukan wujud tak sempurna yang bergantung pada yang lain. Poin ini merupakan mukadimah untuk menegaskan bahwa Wâjibul Wujûd tidak berupaya mencapai suatu tujuan tertentu dalam menciptaan alam. Menurut Ibnu Sina, "Anda ketahui bahwa mana di antara maujud yang Maha Kuat dan Maha Kaya (tak membutuhkan sesuatu)? Suatu maujud bisa dikatakan yang Maha Kuat dan Kaya itu jika tidak bergantung pada selain dirinya dari tiga aspek: 1. Dari sisi zat, 2. Dari sisi sifat hakiki, 3. Dari sisi kesempurnaan hakiki yang terkait dengan zat. Oleh karena itu, setiap maujud yang butuh dan bergantung kepada maujud lain dari dimensi zat, sifat hakiki, dan kesempurnaan (seperti bentuk, ilmu, kodrat, keindahan) ialah maujud yang tak sempurna, fakir, dan lemah.[1]


2. Pelaku Tak sempurna, Pelaku yang butuh pada Tujuan

Menurut Ibnu Sina, "Perlu diperhatikan bahwa setiap pelaku yang apabila melakukan suatu perbuatan maka dia akan menjadi lebih baik atau mengerjakan sesuatu baginya lebih baik daripada tidak melakukannya, jika perbuatan itu tidak dilakukan dan dia tak menciptakan sesuatu itu maka secara riil dia akan kehilangan kebaikan dan kesempurnaan, yakni dia tak memiliki kesempurnaan tertentu dan untuk memperolehnya ia mesti berusaha. Maujud yang membutuhkan upaya untuk mencapai suatu kesempurnaan tak bisa dikategorikan sebagai Wâjibul Wujûd, karena maujud seperti itu adalah maujud yang tak sempurna dan maujud yang tak sempurna bukanlah Wâjibul Wujûd. Dengan demikian, hal-hal yang berkaitan dengan Wâjibul Wujûd dan perbuatan-perbuatan-Nya sama sekali tidak bisa berhubungan dengan pencapian dan perolehan segala bentuk kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan."[2]

Adalah suatu keburukan apabila manusia beranggapan bahwa maujud yang tinggi dan sempurna berusaha melakukan sesuatu di alam yang lebih rendah bagi maujud-maujud yang tak sempurna demi mencapai suatu tujuan kebaikan dan kesempurnaan bagi zat dan dirinya sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa prilaku seperti itu bagi maujud yang tinggi dan sempurna merupakan suatu kebaikan, dan maujud sempurna itu akan tergolong sebagai pelaku yang baik, karena perbuatan seperti itu adalah kebaikan dan keindahan. Dari sisi ini, maujud sempurna itu mesti melakukan sesuatu dikarenakan kelayakan kesempurnaan, keindahan, dan keagungan zat-Nya.

Sangatlah tidak rasional pemikiran mereka yang menganggap bahwa Tuhan melakukan atau menciptakan sesuatu dikarenakan untuk mencapai dan memperolah sesuatu dibaliknya. Mereka juga menyangka bahwa perbuatan-perbuatan yang mesti Tuhan lakukan memiliki alasan, dalil, dan mengandung tujuan bagi zat-Nya. Hal ini tidaklah benar, karena kalau demikian halnya maka Wâjibul Wujûd adalah maujud tak sempurna yang terus mengejar kesempurnaan dan kebaikan, sementara Wâjibul Wujûd dari sisi zat dan sifat-Nya sama sekali tidak mengandung kekurangan dan kelemahan. Maka dari itu, kita tidak bisa memandang keberadaan arah dan tujuan bagi kesempurnaan zat-Nya dalam segala perbuatan-Nya, bahkan Wâjibul Wujûd `adalah tujuan dan arah bagi segala maujud alam.

Ketahuilah bahwa raja yang hakiki ialah raja yang sama sekali tak membutuhkan sesuatu yang lain dan sebaliknya, segala sesuatu bersumber dari eksistensinya dan bergantung secara mutlak kepada zatnya, karena segala sesuatu diciptakan dan diwujudkan olehnya. Dengan demikian, segala maujud alam secara hakiki bergantung pada-Nya dan meliputi kekuasan-Nya, namun Dia sendiri tidak bergantung dan membutuhkan sesuatu apapun selain diri-Nya.

Perbuatan Tuhan, menurut Ibnu sina, adalah suatu bentuk "pemberian (al-jaud)" dan dalam pemberitaan Tuhan sama sekali tidak mengandung satu maksud dan tujuan, karena apabila tidak demikian halnya, Dia tak dikatakan sebagai Maha Pemberi (Jawâd), bahkan disebut sebagai "Pencari Untung". Dalam hal ini Ibnu Sina menjelaskan, "Pemberi hakiki ialah memberikan sesuatu yang layak menerima manfaat dan keuntungan tertentu serta sama sekali tidak berharap suatu balasan dan imbalan. Oleh karena itu, siapa yang memberikan manfaat kepada yang tidak layak menerimanya, tidak dikatakan sebagai Maha Pemberi, begitu pula, apabila dia memberi sesuatu dengan mengharap balasan darinya, maka bukanlah Maha Pemberi, namun "pencari untung". Perlu diperhatikan bahwa suatu balasan dan imbalan tidak hanya berhubungan dengan hal-hal yang material, namun juga termasuk sanjungan, pujian, harapan untuk menjadi lebih baik dan lebih sempurna. Dengan demikian, maujud seperti itu adalah maujud tak sempurna dan bergantung pada yang lain dan Tuhan mustahil digolongkan sama dengan maujud itu."[3]

Sebagian teolog beranggapan bahwa Wâjibul Wujûd sebagai Pelaku Sempurna yang walaupun tak membutuhkan segala sesuatu, namun perbuatan-perbuatan yang dilakukan-Nya disebabkan untuk kepentingan dan manfaat makhluk-makhluk-Nya, yakni tujuan-Nya adalah memberikan manfaat kepada yang lain, bukan Tuhan yang mengambil manfaat dan keuntungan dari perbuatan-Nya sendiri. Ibnu Sina menjawab, "Memberikan manfaat kepada yang lain, jika dipandang sebagai tujuan bagi Wâjibul Wujûd maka tetap sebagai pertanda akan kelemahan dan kekurangan-Nya. Oleh karena itu, mustahil Tuhan sebagai wujud maha sempurna memiliki tujuan. Maujud yang tinggi dan sempurna tak mungkin melakukan sesuatu disebabkan oleh maujud-maujud yang rendah, sedemikian sehingga perbuatan-Nya itu bagi diri-Nya diletakkan sebagai tujuan, karena seseorang yang memilih suatu tertentu sebagai tujuan, sesuatu itu atau perbuatan itu akan menjadi mesti dan niscaya bagi dirinya. Dengan dalil bahwa apabila suatu perbuatan secara hakiki adalah baik, namun dalam melakukannya, para pelakunya tidak memiliki tujuan apapun atau para pelaku ketika mengerjakannya tidak sedikitpun meperoleh kebaikan dan kesempurnaan, maka dalam hal ini, perbuatan itu tidak bisa dikategorikan sebagai tujuan zatnya.

Dengan demikian, jika suatu perbuatan mengandung tujuan maka pastilah mengandung kebaikan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, kalau Tuhan melakukan suatu perbuatan untuk manfaat makhluk dan Dia memiliki itu sebagai suatu kebaikan bagi diri-Nya, maka dipandang Dia mendapatkan keuntungan dari perbuatan-Nya. Dan bukan sebagai Pemberi Hakiki. Kesimpulannya, Pemberi Hakiki tidak memiliki tujuan dalam segala perbuatan-Nya dan secara mendasar maujud sempurna tidak menetapkan maujud rendah itu sebagai tujuan dan arah bagi perbuatan-perbuatannya."[4]

Maujud yang sempurna pada hakikatnya tidak membutuhkan lagi kesempurnaan dan tidak lagi mengejar suatu tujuan. Apabila dikatakan bahwa apakah suatu perbuatan yang baik tidak layak dijadikan tujuan oleh Tuhan? Ibnu Sina menyatakan bahwa kita mesti membedakan antara kebaikan suatu perbuatan dan menetapkannya sebagai tujuan. Semua perbuatan Tuhan ialah baik, namun tak satupun bisa dikategorikan sebagai tujuan bagi Tuhan.


3. Penciptaan merupakan 'Inâyah Tuhan

Apabila Tuhan menciptakan alam tidak berdasarkan suatu tujuan dan juga tidak berpijak pada suatu keberuntungan, maka bagaimana alam bisa tercipta dan apa landasan perwujudannya? Menjawab pertanyaan ini, Ibnu Sina beranggapan bahwa alasan perwujudan alam ialah 'inâyah dan pemberian Tuhan. Dia berkata, "Tidak ada jawaban lain kecuali kita katakan bahwa kehadiran alam dengan sistemnya yang universal dan sempurna disebabkan dan bersumber dari ilmu azali Tuhan yang menyatu dengan zat-Nya. Realitas ini kami namakan sebagai 'inâyah Ilahi."[5]


4. Akal Pertama, Ciptaan Pertama Tuhan

Pada poin ini Ibnu Sina mencoba menjelaskan bahwa maujud pertama yang terpancar dan tercipta dari Wâjibul Wujûd bukanlah maujud materi, akan tetapi satu maujud akal yang non-benda yang tak bergantung sama sekali dengan materi. Ibnu Sina memaparkan, " Wâjibul Wujûd adalah tunggal, esa, dan satu serta sama sekali tidak memiliki keragaman dan dualitas. Maujud seperti ini merupakan sebab hanya bagi suatu maujud yang juga tunggal dan basith, yakni ma'lul dan akibat maujud ini ialah suatu hakikat yang tunggal, satu, dan tak jamak. Maujud yang jamak, pada saat yang sama dan secara langsung, mustahil terpancar dari wujud suci-Nya. Kejamakan hanya bisa dihadirkan oleh-Nya secara tidak langsung.

Dengan memperhatikan prinsip di atas dan pandangan bahwa setiap benda terangkap dari materi dan forma, bisa disimpulkan bahwa sumber terdekat dari benda ini adalah suatu maujud yang memiliki dua aspek atau dua maujud yang mandiri, karena telah diketahui bahwa tak satupun dari materi pertama dan forma yang bisa menjadi sebab bagi maujud yang lain atau hanya bisa sebagai perantara bagi kehadiran maujud yang lain, bahkan keduanya (yakni materi dan forma) membutuhkan yang lain dimana sebagai sebab bagi materi dan forma, atau sebab bagi keduanya secara sekaligus. Oleh karena itu, materi dan forma secara bersama-sama mustahil bisa mewujudkan suatu maujud yang basit seperti Wâjibul Wujûd. Dengan mukadimah ini, disimpulkan bahwa pancaran dan akibat pertama dari Wâjibul Wujûd adalah suatu maujud akal. Poin lain yang mesti diketahui di sini ialah akal tersebut beragam. Akal pertama yang dicipta oleh Tuhan berada pada puncak rangkaian akal-akal beragam dan secara hakiki berbeda satu sama lain."[6]


5. Suatu Benda mustahil menjadi Sebab bagi Benda lain 

Menurut Ibnu Sina, "Tak satupun benda (benda bumi, unsur, dan benda langit) bisa menjadi penyebab hakiki bagi benda-benda yang lain. Maksud dari penjelasan ini ialah suatu benda tidak bisa menjadi sebab bagi eksistensi dan keberadaan benda-benda lain, bahkan benda-benda senantiasa menjadi lahan bagi perwujudan forma-forma, hakikat-hakikat, dan aksiden-aksiden baru."[7]

Lebih lanjut dia berkata, "Bagi Anda telah jelas bahwa benda-benda langit tak memiliki hubungan kausalitas satu sama lain dan apabila Anda teliti dan benar berpikir, maka Anda akan mengetahui bahwa tidak satupun benda (benda langit atau benda bumi) bisa menjadi sebab eksistensial dan pengada bagi benda-benda yang lain, karena benda-benda hanya bisa menjadi penyebab ketika dia memiliki forma, yakni pengaruh dan efek benda-benda ialah hasil dari forma-forma benda. Jika api memanaskan, air menghilangkan dahaga, maka efek-efek ini sesungguhnya bersumber dari forma api dan air. Forma-forma ini yang merupakan pembentuk benda-benda (yakni sisi kesempurnaan bena-benda) hanya dapat mempengaruhi sesuatu yang lain, ketika sesuatu yang lain itu haruslah materi. Jika forma benda ini dengan forma benda yang lain masing-masing tidak memiliki materi, maka sesungguhnya di antara keduanya mustahil terjadi aksi reaksi dan saling pengaruh mempengarui. Oleh karena itu, pengaruh dan efek benda-benda hanya akan terwujud dengan perantaraan materi, dan karena di antara benda dan sesuatu yang non-benda tidak terdapat materi, dengan demikian tak akan pernah terjadi suatu aksi reaksi dan saling pengaruh mempengarui.

Dengan demikian, jika suatu benda ingin mewujudkan benda lain, maka benda itu terlebih dahulu mesti menciptakan materi dan forma benda tersebut, kemudian benda itu akan terwujud dengan perantaraan materi dan forma tersebut. Namun pekerjaan seperti ini mustahil dilakukan oleh sebab-sebab bendawi, karena forma dan materi tak satupun terwujud secara terpisah dari benda sehingga mempengarui benda-benda lain. Benda terwujud dari gabungan antara forma dan materi. Oleh karena itu, tak satupun benda bisa mewujudkan materi atau forma sehingga dengan perantaraannya bisa menghadirkan benda-benda yang lain.

Dengan analisa tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa forma-forma benda tidak bisa menjadi 'illat dan sebab bagi materi-materi atau forma-forma benda lain. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh benda ialah "pengkondisian" dan "penyiapan lahan" bagi perwujudan benda-benda lain, seperti telur ayam merupakan lahan dan kondisi awal bagi kehadiran anak ayam dan api yang memanaskan air, karena air dan api keduanya merupakan benda, oleh karena itu, api hanyalah mengkondisikan hadirnya panas. Akan tetapi, materi benda atau forma secara mandiri tak memiliki syarat-syarat dimana suatu benda bisa memberikan efek hakiki pada yang lain dan mewujudkannya. Tingkatan pengaruh benda hanyalah sebatas pengkondisian dan penyiapan lahan bagi keberadaan benda yang lain. Maka dari itu, benda hanya bisa mengadakan aksiden." [8]


6. Urutan Perwujudan dan Penciptaan 

Di sini akan dijelaskan suatu masalah yang berkenaan dengan perwujudan akal-akal dan maujud-maujud non-materi serta perkara urutan penciptaan alam. Akibat dan ma'lul pertama haruslah suatu maujud akal yang non-materi dan substansi-substansi akal lainnya terwujud dari ma'lul pertama tersebut, lantas benda-benda langit dan benda-benda bumi juga akan terwujud dengan perantaraan substansi-substansi akal tersebut.

Menurut Ibnu Sina, "Telah jelas bagi Anda bahwa substansi-substansi non-materi (seperti akal-akal) memiliki eksistensi, begitu pula Wâjibul Wujûd adalah tunggal dan tak satupun maujud yang memiliki kesamaan dengan-Nya dari sisi spesies dan genus. Oleh karena itu, maujud-maujud akal bukanlah Wâjibul Wujûd dan tidak bisa dinamakan Wâjibul Wujûd Maujud-maujud akal adalah ma'lul dan akibat, dan Wajibul Wujud tidak lebih dari satu. Anda ketahui bahwa benda-benda langit merupakan akibat dari suatu sebab yang non-materi dan benda tidak bisa menjadi sebab bagi benda lain. Dengan demikian, semua benda diwujudkan oleh maujud-maujud akal. Juga telah ditetapkan bahwa mustahil dua maujud atau lebih terpancar secara bersamaan dan langsung dari Wajibul Wujud, jika maujud-maujud beragam terpancar dari-Nya, maka maujud-maujud tersebut semestinya terwujud dengan perantaraan satu dengan yang lainnya (yakni pertama-tama terwujud satu maujud dan dia menjadi perantara bagi perwujudan maujud lain). Benda niscaya terwujud dari Wâjibul Wujûd dengan perantaraan. Dengan konsep dan kaidah ini, akibat pertama Wajibul Wujud adalah maujud akal, yakni akibat pertama ini adalah maujud akal dan tunggal serta maujud-maujud akal lainnya akan terwujud dengan perantaraan akal pertama tersebut, dan benda-benda langit dan bumi juga akan terwujud dengan perantaraan maujud-maujud akal tersebut.[9]

Lebih lanjut dia berkata, "Kita tak bisa mengasumsikan bahwa Tuhan pertama-tama mencipta seluruh tingkatan maujud akal yang non-materi itu dan setelah rangkaian maujud-maujud akal itu telah tercipta, lantas benda-benda langit tercipta dari maujud akal yang terendah (yakni wujud akal yang paling akhir mewujudkan benda-benda langit). Asumsi seperti ini tidak bisa dipertahankan. Setiap benda langit terhubung secara langsung dengan sumbernya, yaitu maujud akal, dengan ibarat lain, setiap benda langit memiliki satu sumber eksistensi, karena benda-benda langit mustahil tercipta dari benda-benda langit yang lain. Oleh karena itu, benda-benda langit tersebut terwujud dengan perantaraan maujud-maujud akal itu sendiri dan pada tingkatan menurun, masing-masing benda langit berhubungan dengan masing-masing maujud akal, seperti falak[10] pertama tercipta dari akal pertama dan falak kedua terpancar dari akal kedua serta begitu seterusnya hingga falak kesepuluh yang tercipta dari akal kesepuluh. Dari akal kesepuluh tak terwujud akal dan suatu falak, tetapi terpancar materi, unsur-unsur alam materi, jiwa-jiwa, dan forma-forma alam materi."[11]


7. Proses Perwujudan Kejamakan dan Keragaman Alam 

Pada bagian ini, Ibnu Sina mencoba memaparkan tentang proses lahirnya rangkaian maujud-maujud akal, falak-falak (berdasarkan ilmu perbintangan kuno) dan perwujudan alam materi serta bagaimana proses terpancarnya kejamakan dari ketunggalan. Ketunggalan (al-wahid) ini bukanlah ketunggalan mutlak, namun suatu ketunggalan yang memiliki aspek-aspek dimana merupakan sumber lahirnya suatu bentuk keragaman. Konsekuensinya adalah akal pertama akan mewujudkan dua realitas, yakni akal kedua dan langit pertama, dan dengan urutan sepert ini, dari akal kedua dan ketiga, hingga akal kesembilan dan kesepuluh akan lahir maujud-maujud alam lain.

Menurut Ibnu Sina, "Permasalahan ini adalah jelas dan mesti bahwa dari substansi-substansi akal terpancar dua realitas, yakni satu maujud akal dan satu falak. Ketika dari satu maujud dua hal yang tercipta, pastilah pada sebab dan sumbernya terdapat dua hal dan dua dimensi yang berbeda. Kita bisa menyandarkan eksistensi dua dimensi yang berbeda tersebut pada zat akal pertama, namun tidak benar apabila kita menisbatkan keberadaan dimensi-dimensi yang berbeda dan beragam tersebut kepada Wajibul wujud, karena kejamakan dimensi dan sisi pada zat-Nya adalah mustahil, yakni Wajibul Wujud dari semua dimensi dan aspek adalah tunggal dan esa. Wajibul Wujud suci dari segala bentuk kejamakan. Akan tetapi asumsi kehadiran dimensi-dimensi yang berbeda dan beragam pada selain zat-Nya adalah tidak mustahil. Oleh karena itu, ialah mungkin terwujud kejamakan dari akal pertama dan akal-akal lain (yakni realitas-realitas selain-Nya). Hal ini dikarenakan pada makhluk dan ma'lul-Nya, bisa dipandang keberadaan aspek-aspek yang berbeda.

Kita bisa beranggapan bahwa pada akal pertama terdapat dua dimensi, pertama adalah akal pertama secara esensial merupakan mumkinul wujud dan dikarenakan Wajibul Wujud ia menjadi maujud yang niscaya-ada. Dimensi kedua, ia memandang dan berpikir atas zat-nya sendiri, maka kemudian dia "memandang" Wajibul Wujud. Dengan demikian, bisa diasumsikan bahwa akal pertama dari sisi bahwa dia "memandang" Wajibul Wujud, yakini memandang sebab dan sumber wujudnya sendiri serta berpikir tentang hubungannya dengan mata air wujudnya, menjadi sebab lahirnya satu fenomena, dan dari sisi bahwa dia berpikir dan memandang keadaan wujudnya sendiri sebagai mumkinul wujud, kemudian menjadi sebab hadirnya fenomena yang lain. Akal pertama, dengan "memandang" Wajibul Wujud akan terwujud akal kedua, dan dengan memandang zat-nya sendiri sebagai mumkinul wujud akan terpancar falak-falak.

Dari aspek bahwa maujud akal ialah suatu akibat dan ma'lul, tidaklah menjadi mustahil bahwa pada zatnya diasumsikan dua sisi yang berbeda, seperti keberadaan materi dan forma pada benda. Misalnya dari dimensi formanya akan terwujud suatu forma lain dan dari aspek materinya akan tercipta realitas yang sesuai dengannya. Oleh karena itu, akal pertama ini, dari sisi dia "memandang" Tuhan akan terwujud suatu substansi akal lain, dan dari dimensi bahwa dia memandang hakikat dirinya sendiri akan terpancar substansi benda. Dengan analisa pemisahan dan dualitas seperti ini, kita memandang maujud akal yang paling akhir dimana pada satu dimensi menjadi penyebab hadirnya forma alam, dan pada dimensinya yang lain akan menjadi faktor perwujudan dan penciptaan materi alam."[12]

Ibnu Sina menekankan suatu poin berikut bahwa kehadiran setiap kejamakan membutuhkan suatu sumber yang juga jamak, yakni akibat-akibat yang banyak niscaya memerlukan sebab-sebab yang banyak atau membutuhkan dimensi-dimensi yang beragam pada satu sebab. Akan tetapi tidaklah demikian bahwa setiap kejamakan dan keragaman menyebabkan keberadaan akibat-akibat yang beragam, sedemikian sehingga dari setiap maujud akal akan terwujud maujud akal dan falak lain yang tidak terbatas.

Ibnu Sina menegaskan, "Tidak benar kebalikan dari ungkapan saya yang berbunyi: setiap kejamakan bersumber dari keragaman, yakni setiap kejamakan merupakan sumber bagi kejamakan lain dan perwujudan kejamakan dari kejamakan lain terus berlangsung secara tak berhingga. Ini suatu kekeliruan, karena dalam ilmu logika ada kaidah yang menyatakan bahwa suatu proposisi positif tidak bisa dinegasikan secara universal. Suatu pernyataan: "Setiap kejamakan membutuhkan sumber kejamakan" merupakan proposisi positif, kebalikan proposisi tersebut adalah: "Sebagian kejamakan bersumber dari kejamakan" dan karena kelemahan dari sebagai kejamakan akan terwujud fenomena yang tidak jamak atau sama sekali tidak tercipta fenomena. Sebagai contoh, ketika suatu benda telah terwujud, maka benda tersebut mustahil menjadi sebab bagi perwujudan maujud-maujud dan benda-benda yang lain."[13]

Dia kemudian menyimpulkan, "Wajibul Wujud menciptakan satu maujud akal tanpa membutuhkan materi dan waktu. Maujud akal ini secara hakiki merupakan suatu maujud yang tercipta. Dan lantas, dengan maujud akal (akal pertama) itu terpancar maujud akal lain dan falak pertama. Dari akal kedua itu akan terwujud akal lain dan langit kedua. Demikianlah seterusnya hingga tercipta falak kesembilan dan akal kesepuluh. Maujud-maujud akal akan melemah pada tingkatan tertentu sedemikian sehingga tidak mampu lagi mewujudkan maujud akal dan falak lain, yakni perwujudan akal hanya sampai pada kesepuluh. Akal kesepuluh tersebut tidak bisa lagi mewujudkan maujud akal dan falak, akan tetapi memancarkan jiwa-jiwa, forma-forma alam, dan materi-materi alam."[14]


8. Penciptaan Alam Materi 

Mengenai proses penciptaan materi, forma-forma alam, dasar perbedaan unsur-unsur satu dengan lainnya, penyatuan unsur-unsur, dan hadirnya maujud-maujud berbeda dari penyatuan unsur-unsur tersebut, Ibnu Sina menjelaskan, "Sebagaimana dikatakan bahwa dari akal kesepuluh tak terwujud lagi akal dan falak dimana dikarenakan maujud-maujud pada tingkatan yang semakin rendah akan memancarkan akibat yang semakin melemah pula. Akal yang kesepuluh, dari sisi kelemahan wujudnya, berada pada tingkatan dimana tidak mampu menciptakan maujud akal dan falak yang lain. Oleh karena itu, yang terwujud dari akal kesepuluh adalah materi pertama alam. Tidak mustahil unsur-unsur falak juga berpengaruh pada perwujudan materi pertama alam. Namun sebelum materi pertama memiliki forma, akal kesepuluh dan unsur-unsur falak mustahil ikut berpengaruh pada proses penciptaan materi pertama, yakni materi pertama hanya akan berwujud ketika memiliki forma.

Dengan demikian, dalam proses perwujudan materi pertama terdapat tiga hal penting yang saling terkait: 1. Akal kesepuluh, 2. unsur-unsur falak, 3. Forma-forma bendawi. Perlu diperhatikan bahwa forma-forma bendawi tersebut berasal dari mana. Secara alami, akal kesepuluh yang memiliki dimensi-dimensi yang berbeda dimana pada satu dimensi dia menciptakan materi itu dan pada dimensi lain dia mewujudkan forma-forma untuk materi tersebut.

Pertanyaan akan diajukan berkenaan dengan asal-muasal keragaman forma-forma? Dan apakah faktor utama yang mendasari lahirnya forma-forma yang berbeda dan beragam? Perbedaan pada forma-forma berdasarkan perbedaan pada materi-materinya. Dan perbedaan pada materi-materi juga bersumber dari perbedaan bakat, kemampuan, kesiapan, dan potensi-potensi materi. Untuk perbedaan bakat dan kemampuan-kemampuan yang terdapat pada materi tidak lain adalah berasal dari unsur-unsur falak. Derajat dan tingkatan pengaruh unsur-unsur falak terhadap materi-materi akan sangat berbanding lurus dengan jarak, materi-materi yang dekat dengan unsur-unsur falak akan mendapatkan pengaruh dan efek yang sangat besar ketimbang materi-materi yang letaknya berjauhan dengan unsur-unsur falak; yakni posisi dan keadaan materi itu - dari dimensi kualitas bakat dan kemampuan - sangat berpengaruh dalam penerimaan forma-forma. Dengan dasar ini, materi yang terletak pada pusat falak akan menerima forma tanah, materi yang berada pada garis batas falak akan menerima forma api, dibawah api terletak udara, sedangkan diatas tanah terwujud air. Dengan urutan ini, keempat unsur asli (tanah, air, udara, dan api) tersebut menempati posisinya masing-masing berdasarkan kesiapan, bakat, dan kemampuan materi serta akan terwujud forma-forma yang berbeda dan beragam.

Begitu pula terdapat faktor-faktor yang berpengaruh dalam perwujudan forma-forma yang berbeda tersebut dimana dalam hal ini akal dan pikiran kita tidak mampu menjangkau faktor-faktor itu secara terperinci (akan tetapi kita bisa mengetahui secara universal akan keberadaan faktor-faktor yang berpengaruh tersebut). Bagaimanapun, dengan bantuan faktor-faktor yang dikenal dan yang tidak dikenal, akan terwujud berbagai macam forma-forma unsur. Dengan keberadaan forma-forma tersebut, berdasarkan perbedaan hubungan forma-forma tersebut dengan unsur-unsur falak dan karena pengaruh yang bersumber dari unsur-unsur falak itu sendiri, akan terwujud pencampuran-pencampuran berbeda pada forma-forma tersebut dimana dari setiap pencampuran-pencampuran yang berbeda tersebut akan menghadirkan berbagai potensi-potensi dan kesempurnaan-kesempurnaan. Setelah proses pencampuran-pencampuran tersebut berakhir, akan hadir semacam kesiapan pada materi alam untuk menerima suatu forma tertentu yang akan dipancarkan oleh akal kesepuluh.

Dengan urutan tersebut di atas, disamping kehadiran forma-forma benda padat, akan terwujud juga kesiapan untuk perwujudan forma-forma jiwa nabati, jiwa hewani, dan jiwa manusia dari akal kesepuluh. Akal kesepuluh merupakan akhir silsilah maujud-maujud akal dan awal dari alam materi. Ketika telah sampai pada jiwa manusia, maka berakhirlah silsilah keberadaan substansi-substansi akal. Jiwa manusia adalah suatu maujud yang membutuhkan badan sebagai alat dan perantara untuk mencapai puncak kesempurnaan dirinya. Dalam aktivitas-aktivitas jiwa dengan menggunakan badan sebagai alatnya, akan terpancar juga rahmat, petunjuk, dan hidayah dari maujud-maujud yang tinggi dimana bertujuan untuk mengantarkan manusia pada puncak dan hakikat kesempurnaan.[15]


Catatan Kaki: 

[1] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal. 30.
[2] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal 32.
[3] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal. 33.
[4] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal. 34.
[5] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagiam ketujuh, hal. 50.
[6] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal. 40.
[7] . Ibnu Sina, an-Najah, hal. 379.
[8] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal. 45.
[9] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal. 50.
[10] . Dalam filsafat kuno dan sistem perbintangan Batlamyus, alam materi didefenisikan sebagai kumpulan dari falak-falak yang berlapis-lapis dan unsur-unsur. Sementara falak didefenisikan sebagai suatu benda yang berbentuk bola dimana tidak bisa dibentangkan dan ditembus.
[11] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal. 51.
[12] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal. 52.
[13] . Ibid. Hal. 53.
[14] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal. 54.
[15] . Ibnu Sina, Isyârat wa at-Tanbihât, jilid kedua, bagian keenam, hal. 56.

(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: