Pesan Rahbar

Home » » Tinjauan Hermeneutika: Cara Pandang Ilmuan Barat dan Muslim Terhadap Sains Kasus Astronomi

Tinjauan Hermeneutika: Cara Pandang Ilmuan Barat dan Muslim Terhadap Sains Kasus Astronomi

Written By Unknown on Friday, 28 October 2016 | 20:46:00


Oleh: Husain Heriyanto

DAFTAR ISI:
1. Pengantar
2. Mengapa Copernicus?
3. Faktor Kultur-Historis: Zeitgeist
4. Mengapa Bukan Al-Thusi?
5. Prinsip Keharmonisan
6. Astronomi sebagai Filsafat Alam
7. Penutup
8. Catatan Kaki:
9. Daftar Pustaka


MASA DEPAN FILSAFAT ISLAM: antara cita dan fakta*)


Pengantar

Hassan Hanafi menyebutkan bahwa salah satu syarat agar umat Islam dapat memasuki kembali gerak sejarah (sebagai subyek) adalah dengan mengkaji ulang secara kreatif terhadap tradisi dan khasanah Islam klasik. Gagasan ini ia sebut sebagai revitalisasi khazanah Islam klasik (ihya al-turas al-qadim). Menurutnya, tajdid mesti kita pahami sebagai proses reinterpretasi terhadap tradisi sesuai dengan kebutuhan zaman.

Tradisi merupakan kekayaan sejarah yang sarat dengan kandungan nilai dan karenanya juga menjadi sebuah wahana pembaharuan. Nilai tradisi tidak terletak pada dirinya an sich melainkan pada elaborasi terus menerus untuk menafsirkan realita dan mentransformasi fakta-fakta menjadi nilai-nilai (Ridwan, 1998).

Untuk itu, kita membutuhkan proses reinterpretasi yang melibatkan kajian-kajian hermeneutik dan fenomenologi. Hermeneutik diterapkan untuk melangsungkan proses dialektika pemahaman dan penafsiran terus menerus untuk selalu menyingkap makna-makna teks tradisi, sedangkan fenomenologi berguna untuk menganalisis realitas-realitas: masyarakat, politik dan ekonomi, khasanah Islam, dan tantangan Barat (Shimogaki, 1993; Ridwan, 1998).

Tulisan ini merupakan salah satu bentuk upaya yang dikemukakan oleh Hanafi di muka sebagai revitalisasi khazanah Islam klasik. Penulis mengambil sebuah fenomena yang amat penting dalam perkembangan pemikiran manusia modern, yaitu revolusi astronomi yang tercetus pada abad ke-16 M oleh Copernicus.

Yang menarik adalah bahwa ternyata . setelah melalui studi historis . kemajuan ilmiah yang dicapai astronomastronom Muslim hingga abad ke-13 M sebenarnya sudah sampai pada model non-Ptolemeus. Secara teknis-ilmiah mereka telah mampu membangun sistem astronomi baru. Namun, mengapa mereka tidak melakukannya? Faktor-faktor apa yang menyebabkan mereka enggan melakukan sesuatu yang akhirnya dilakukan juga oleh astronom Eropa, yang notabene adalah murid-murid mereka?

Tulisan ini akan mencoba mengelaborasi jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut guna mengungkapkan hikmah yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, sebagaimana yang disarankan oleh Hanafi, metode hermeneutika cukup relevan digunakan di sini. Melalui studi hermeneutis terhadap kultur-historis kita akan menangkap pesan-pesan, tanda-tanda atau semangat zaman (zeitgeist)1 yang melatarbelakangi kemunculan teori-teori dan konsep-konsep sains.

Gagasan sentral tulisan ini adalah setiap pertumbuhan sains dilatarbelakangi oleh etos, budaya dan epos zaman. Tidak akan pernah berkembang pemikiran-pemikiran dan temuan-temuan ilmiah yang baru dan revolusioner tanpa iklim sistem nilai dan sosial budaya yang sesuai. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lahir dari kevakuman kebudayaan.2

Dimensi kultur inilah yang sering dilupakan ketika berbicara tentang upaya peningkatan sains dan teknologi di dunia Islam.3


Mengapa Copernicus?

Jika kita mempelajari sejarah ilmu pengetahuan astronomi secara cermat dan obyektif, maka timbul pertanyaan pada diri kita: mengapa teori heliosentris dikemukakan pertama kalinya oleh Nicolas Copernicus pada pertengahan abad ke-16 di Eropa? Bukankah berabad-abad sebelumnya para astronom Muslim telah banyak mengkoreksi dan mengkritik sistem geosentris Ptolemeus dan, bahkan, telah mengajukan model planet baru yang non-Ptolemeus? Bukankah karya-karya astronom Muslim, sebagaimana yang disebutkan oleh Ronan (Ronan, 1982), berpengaruh besar terhadap para astronom Eropa seperti Johannes Keppler, Tycho Brahe, Copernicus, dan Galileo Galilei?4

Setelah karya besar Ptolemeus yang berjudul Almagest diterjemahkan ke dalam bahasa Arab pada abad ke-8 M, sejak abad ke-9 M buku tersebut banyak mendapat kritikan tajam dari para astronom Muslim.

Al-Farghani pada abad ke-9 M telah mengkoreksi data-data dan cara-cara perhitungan astronomis yang lebih akurat dan ilmiah daripada Ptolemeus.

Pada abad yang sama Tsabit ibn Qurrah juga mengkoreksi sistem bola langit Ptolemeus (S.H. Nasr, 1968).

Al-Battani pada abad ke-10 M telah sampai pada upaya mengkoreksi dan mengkritik konsep-konsep dasar sistem astronomi Ptolemeus; ia pun telah merenovasi astronomi Ptolemus yang statis menjadi astronomi dinamis sedemikian rupa sehingga karya-karyanya masih dikutip oleh para astronom terkemuka Eropa sampai abad ke-18 M (Ajram, 1992).

Ia dikenal sebagai guru astronom-astronom Eropa yang banyak memperkenalkan terminologi-terminologi astronomi yang digali dari bahasa Arab, diantaranya azimut, zenith, nadir. Tokoh yang dijuluki .Ptolemeus dari Baghdad. ini pun adalah astronom yang pertama kali mengintrodusir penetapan satu hari yang terbagi dalam 24 jam (Arsyad, 1989).

Sedang Ibn al-Haitsam pada abad ke-11 M telah melukiskan gerak planet-planet dalam suatu model non-Ptolemeus memberikan pengaruh besar kepada dunia astronomi Eropa hingga masa Kepler (Nasr, 1968).

Tokoh fisikawan Muslim yang dijuluki oleh Sarton sebagai .the greatest students of optics of all times. (Sarton, 1952) ini menggugat tafsiran Ptolemeus terhadap langit-langit sebagai bentuk-bentuk geometris abstrak belaka. Tokoh lainnya seperti al-Biruni pada abad ke-11 telah mengajukan untuk pertama kalinya dalam dunia astronomi mengenai gerak bumi mengelilingi matahari, dan telah membahas pula kemungkinan rotasi bumi di sekeliling sumbunya. Prestasi al-Biruni ini berarti telah mendahului Copernicus lima abad sebelumnya (Nasr, 1968; Ajram, 1992).

Puncak perkembangan astronomi Muslim tercapai pada era Nashiruddin al-Thusi pada abad ke-13 M. Ilmuwan universal ini (ahli matematika, teologi, filsafat, etika, fisika, astronomi) mendirikan observatorium di Maragha, yang menurut Nasr, menjadi jembatan penghubung perkembangan astronomi Islam dengan astronomi Eropa.

Observatorium ini memiliki instrumen-instrumen astronomis yang sangat maju dan lengkap pada masanya, dan menjadi pusat ilmiah yang masyhur di kalangan sarjana di Timur dan Barat. Prestasi gemilang al-Thusi dalam astronomi adalah ia telah sampai pada tingkat pengajuan model planet yang baru, yang non-Ptolemeus. Salah satu temuan ilmiahnya diabadikan hingga sekarang dengan istilah Tusi couple (pasangan Tusi) (Nasr, 1968).

Model planet baru itu, menurut temuan para sejarawan, sangat mirip dengan model planet yang dikembangkan Copernicus. Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa Copernicus dapat dianggap sebagai murid dari tradisi Maragha, bahkan, ada yang mencurigai Copernicus telah menjiplak model planet baru itu setelah diselesaikan oleh Ibn Syathir, murid al-Thusi. Model planet baru al-Thusi itu memang diteruskan dan diselesaikan oleh murid-muridnya seperti Ibn Syathir dan Quthbuddin al- Syirazi. Tapi, konsep-konsep dasarnya telah dirancang oleh al-Thusi (Nasr, 1968).

Karena sedemikian persisnya model planet rancangan al-Thusi (abad ke-13 M) dengan model planet Copernicus (abad ke-16 M), maka Nasr menulis bahwa semua data astronomis yang dianggap baru pada Copernicus pada dasarnya telah dapat ditemukan dalam aliran al-Thusi dan murid-muridnya di Maragha (Nasr, 1968). Hal ini berarti, secara teknisilmiah astronomis, tidak ada perkembangan yang signifikan yang dilakukan oleh Copernicus terhadap model planet al-Thusi.5

Lalu, mengapa Copernicus tiba-tiba dikenal dalam sejarah melakukan lompatan revolusioner dalam sistem astronomi yang mengubah sistem geosentris Ptolemeus menjadi sistem heliosentris? Sistem astronomi ini dianggap berpengaruh besar terhadap perkembangan peradaban modern selanjutnya, dan perubahan revolusioner itu pun dikenal dengan Revolusi Kopernikan, yang oleh banyak sejarawan, menganggapnya sebagai salah satu titik balik penting dalam sejarah peradaban manusia.

Kembali kepada pertanyaan awal: mengapa sistem heliosentris itu tidak dicetuskan oleh al-Thusi dan murid-muridnya? Bukankah mereka telah mengajukan model planet baru yang non-Ptolemeus? Mengapa Copernicus, dan bukan al-Thusi? Mengapa para astronom Muslim terlihat tidak progresif mengajukan model planet baru yang betul-betul berbeda secara revolusioner dengan sistem Ptolemeus? Bukankah mereka telah mengkritik dan mengkoreksi konsep-konsep dasar Ptolemeus, bahkan, telah menciptakan model planet baru yang non-Ptolemeus?

Sebaliknya, kita juga bertanya: mengapa Copernicus yang mengemukakan teori heliosentris sehingga namanya tercatat dalam sejarah sebagai tokoh utama astronomi modern? Bukankah model planet yang dicetuskan Copernicus itu, secara teknis-ilmiah astronomis, tidak memiliki perbedaan esensial sama sekali dengan model planet yang diajukan al-Thusi dan murid-muridnya? Lalu, faktor apa yang membuat Copernicus dikenal progresif dan revolusioner dalam mengajukan sistem astronomi modern?


Faktor Kultur-Historis: Zeitgeist 

Prinsip pertama yang penting dan perlu kita catat adalah bahwasanya sebuah teori, paradigma atau pandangan-dunia tidak mungkin lahir dan hidup dalam kevakuman sosio-kultur-historis. Sedemikian besarnya korelasi yang terjadi antara konteks sosio-historis dan pandangandunia yang dianut, sehingga Jurgen Habermas menyebut theory of knowledge (epistemologi) sebagai sebuah teori sosial (Habermas, 1972).

Demikian pula halnya dengan konsep-konsep dan teori-teori ilmiah sangat dipengaruhi oleh etos, epos, nilai budaya dan semangat zaman (zeitgest) ketika teori itu diformulasikan.6

Dalam konteks inilah, sistem heliosentris Copernicus sangat populer bukan terutama karena data-data teknis ilmiahnya, melainkan karena interpretasi filosofisnya yang menempatkan manusia sebagai subyek yang aktif dalam kosmos. Sistem heliosentris menempatkan bumi setara dengan planet-planet lain untuk ikut mengitari matahari sebagai pusat tata surya.

Hal ini ditafsirkan sebagai pemberontakan terhadap kosmologi tradisional yang teologis-metafisis, dan sekaligus menempatkan manusia penghuni bumi setara dengan makhluk-makhluk lainnya. Namun, pada saat yang sama, keadaan seperti itu ditafsirkan sebagai upaya aktif pencarian jati diri sendiri secara otonom dan rasional, tidak menerima .nasib. atau peran secara taken for granted.

John Marks (Marks, 1990) menyebutkan bahwa istilah revolusi dalam frase .Revolusi Ilmiah. dan atau yang belakangan .Revolusi Industri. terinspirasi oleh judul karya Copernicus On the Revolution of the Heavenly Spheres yang terbit tahun 1543. Istilah Revolusi Kopernikan ini pun digunakan oleh filsuf besar Abad Pencerahan Immanuel Kant (w. 1804).

Mengacu kepada perubahan revolusioner pandangan kosmologis itu, Kant menyebutkan bahwa sistem filsafatnya berbeda secara revolusioner dengan filsafat tradisional. Filsafat tradisional mengarahkan subyek kepada obyek, sedang filsafat modern (Abad Pencerahan) yang dibangun Kant sebaliknya, yaitu obyek yang harus mengarahkan diri kepada subyek. Oleh karena itu, Kant mengubah pendekatan yang tidak lagi mulai dari obyek-obyek, melainkan dari subyek. Ia memulainya dengan penyelidikan kritis terhadap subyek sendiri (Kant, 1984).7

Dengan demikian, revolusi astronomis yang dilakukan oleh Copernicus merupakan representasi semangat zaman (zeitgeist) yang mengisi sosiokultur Eropa ketika itu. Peradaban modern bermula dari petualangan manusia Eropa untuk mencanangkan kedaulatan dirinya atas segenap kehidupannya di dunia. Mereka berpetualang mencari jati dirinya, hakekat eksistensi kemanusiaannya melalui gerakan-gerakan seperti Renaisans (Renaissance), antroposentrisme filsafat/pemikiran modern, Reformasi dan Pencerahan (Enlightenment, Aufklarung).

Renaisans8 (kelahiran kembali) menyuguhkan pandangan baru tentang hakekat manusia dengan mencanangkan humanisme yang menitikberatkan kesadaran individual sebagai subyek yang otonom.9

Manusia tidak lagi menganggap dirinya hanya sebagai peziarah di dunia (viator mundi), melainkan sebagai pencipta dunia (faber mundi). Manusia Eropa ketika itu seakan terlahir kembali setelah ribuan tahun tertidur dalam masa Darks Ages. Mereka mengklaim terinspirasi oleh peradaban Yunani- Romawi (Greco-Roman), yang sebetulnya mereka warisi langsung dari peradaban Islam yang telah mencapai kejayaan ketika mereka masih dalam Dark Ages.10

Dalam suasana semangat humanisme itu juga lahir seorang Descartes (w. 1650) yang merasa terpanggil untuk ikut serta dalam kafilah peradaban baru. Ia pun mencari pendasaran dan landasan filosofis yang sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist) ketika itu. Dan ia menemukan fundasi primer filosofisnya, yaitu: Cogito ergo sum (Aku berpikir, maka aku ada). Doktrin dasar Cartesian yang berwatak subyek-antroposentristik ini merupakan representasi zeitgeist sekaligus pembangun kesadaran modern yang hingga kini masih tertanam kuat pada dunia modern.

Dalam suasana zeitgeist seperti itu, manusia modern memberontak terhadap cara berpikir metafisis atau pun teologis. Mereka menganggap segenap nilai-nilai tradisi, terutama yang berasal agama, sebagai belenggu kebebasan dan kreativitas mereka dalam petualangan itu. Maka, langitlangit suci dikoyakkan melalui gerakan kebudayaan dan pemikiran; salah satu diantaranya yang revolusioner adalah melalui .interpretasi-kontekstual.

kosmologi Kopernikan. Revolusi Kopernikan lebih merupakan representasi zeitgeist ketika itu, dan yang pada gilirannya berpengaruh besar terhadap perjalanan perkembangan pemikiran modern selanjutnya.

Disebut sebagai .interpretasi kontekstual. karena peta langit heliosentris yang dibuat Copernicus diinterpretasikan sedemikian rupa guna dijadikan alat perlawanan terhadap ajaran Gereja, padahal sebagaimana yang telah disebutkan Nasr (1968) bahwa semua hal yang astronomis baru pada Copernicus dapat ditemukan pada teori dan peta langit yang dibuat astronom Muslim Ibn Syathir, murid Nashiruddin al-Thusi, pendiri observatorium Maragha pada abad ke-13 M.

Perbedaannya adalah peta langit astronom Muslim tidak diinterpretasikan sebagai alat perlawanan terhadap agama. Secara teknis pun peta langit yang dibuat Tycho Brahe sudah cukup memadai menjelaskan fenomena gerak benda-benda langit, namun komunitas ilmiah ketika itu lebih memilih sistem Copernicus. Galileo, misalnya, lebih memilih Copernicus daripada Tycho Brahe atau Kepler yang mengajukan sistem kosmologis non-Copernicus dan sekaligus non-Ptolemeus (Marks, 1990). Demikian pula tokoh utama revolusi ilmiah, Isaac Newton, juga mendukung kosmologi Copernicus karena lebih sesuai dengan filsafat alamnya (kosmologi) yang mekanistik-deterministik.

Bahwa heliosentrisme Kopernikan lebih merupakan interpretasi ilmuwan modern abad ke-17 M makin disadari pada awal abad ke-20 M ketika Teori Relativitas Umum dicetuskan oleh Albert Einstein. Menurut Teori Relativitas, penggambaran peta langit apakah geosentris ataukah heliosentris tergantung kepada titik acuan yang kita pilih. Jadi, sebetulnya secara teknis-ilmiah tidak terlalu persoalan apakah memilih geosentris ataukah heliosentris


Mengapa Bukan Al-Thusi?

Di bagian muka telah kita uraikan latar belakang dan faktor-faktor yang berperan dalam melahirkan fenomena bahwa sistem heliosentris dicetuskan oleh Copernicus. Disebutkan bahwa kemunculan revolusi Kopernikan itu dipengaruhi oleh semangat zaman (zeitgeist) dan nilai sosiokultur Eropa ketika itu, yaitu lahirnya gerakan-gerakan seperti humanisme, renaisans, dan antroposentrisme. Meskipun secara teknis-ilmiah, peta langit yang dibuat Copernicus bukan sesuatu yang baru, bahkan, diduga menjiplak model planet al-Thusi dari observatorium Maragha karena kemiripannya, namun Copernicus tercatat sebagai pencetus teori heliosentris. Yang baru bagi dunia astronomi dan dunia ilmiah umumnya adalah interpretasi filosofis terhadap model planet yang non-Ptolemeus, yaitu filsafat subyek-antroposentristik dan kosmologi yang mekanistik.

Para astronom Muslim sebelumnya telah cukup berpuas diri dengan koreksi-koreksi yang signifikan terhadap sistem Ptolemeus serta mengajukan model planet yang non-Ptolemeus. Namun, meskipun demikian, mereka tidak pernah terpikir untuk merombak total sistem model planet Ptolemeus sebagaimana yang dilakukan oleh pewarisnya, yaitu astronom Eropa pada abad ke-15 hingga ke-17 M. Muncul pertanyaan: mengapa demikian? Mengapa para astronom Muslim tidak melakukan revolusi dalam sistem astronomi dengan mengganti secara radikal sistem geosentris Ptolemeus, padahal temuan-temuan ilmiah merekalah yang dijadikan oleh Copernicus, Kepler dan Galileo sebagai bahan untuk membangun sistem heliosentris? Adakah faktor-faktor sosiokultur-historis dan latar belakang pemikiran filosofis sedemikian sehingga mereka tidak melakukannya?


Prinsip Keharmonisan 

Salah satu bentuk pengaruh wahyu pada tradisi keilmuan Islam adalah keterpaduan yang kokoh di antara tradisi-tradisi keilmuan. Kesalingterkaitan ilmu-ilmu itu ibarat sebuah pohon. Wahyu Al-Quran dan Hadis adalah seperti akar dan batang dari pohon tradisi keilmuan Islam. Sedangkan ilmu-ilmu budaya dan sains, insitusi-institusi sosial adalah seperti cabang-cabang pohon, di antaranya ada yang lebih dekat kepada batang dan yang lainnya lebih jauh. Namun, kesemuanya merupakan bagian-bagian dari sebuah organisme yang tumbuh dari akar.

Terintegrasinya ilmu-ilmu dalam Islam merupakan manifestasi dari pandangan Tauhid yang melihat seluruh obyek kajian berbagai ilmu itu sebagai ayat-ayat Tuhan. Pandangan integral-holistik inilah yang mendorong para sarjana Muslim untuk menelaah berbagai tradisi keilmuan.

Seorang sarjana Muslim klasik dapat mereguk dan menguasai berbagai cabang ilmu. Ibn Sina (w. 1037) misalnya, merupakan ahli kedokteran dan fisika, namun juga sekaligus seorang filsuf, hafidz Quran, dan sufi. Jabir ibn Hayyan (w. 815) yang dikenal sebagai Bapak Kimia yang mendirikan laboratorium kimia pertama di dunia adalah juga seorang astronom, matematikawan, kosmolog dan sufi. Al-Biruni yang dikenal fisikawan dan Bapak Eksperimentalis yang pertama kali menghitung keliling bumi dan mengukur massa jenis bebeberap logam adalah juga seorang matematikawan, astronom, epistemolog, sosiolog, dan penulis perbandingan agama yang banyak dipuji karena obyektivitasnya.11

Oleh karena itu, telah menjadi tradisi di kalangan sarjana Muslim untuk mengadakan klasifikasi ilmu-ilmu. Klasifikasi Islam atas ilmu-ilmu didasarkan pada hierarki dan kesalinghubungan antar-berbagai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi ketunggalan dalam kemajemukan. Menurut Nasr, ditemukannya tingkatan dan hubungan yang tepat antarberbagai disiplin ilmu merupakan obsesi para tokoh intelektual Islam terkemuka, dari teolog hingga filsuf, dari sufi hingga sejarawan, sehingga banyak di antara mereka mencurahkan energi intelektualnya pada masalah klasifikasi ilmu (Bakar, 1992).12

Adanya klasifikasi ilmu itu selain merupakan manifestasi dari keutuhan pandangan yang integral-holistik para sarjana Muslim, juga menjaga keharmonisan, proporsionalitas dan keseimbangan ilmu-ilmu. Klasifikasi ilmu ini merupakan kunci pemahaman terhadap dimensi utama tradisi intelektual Islam. Seperti juga sebuah cabang tak terus tumbuh tanpa hingga, begitu pula suatu disiplin ilmu tidak selayaknya dipelajari sedemikian rupa sehingga mengabaikan disiplin ilmu yang lain.

Menurut Nasr (Nasr, 1968), cendekiawan Muslim abad pertengahan menganggap menuntut suatu cabang ilmu melampaui batasnya . dengan demikian merusak harmoni dan proporsi segala sesuatunya . sebagai suatu hal yang tak berguna, malah dapat dikatakan satu tindakan melanggar aturan, seperti halnya jika sebuah cabang kayu tumbuh terus tidak terbatas, akhirnya akan merusak keharmonisan pohon itu sebagai suatu keseluruhan.

Menurut Nasr, subyek klasifikasi dan integrasi ilmu ini pun merupakan kunci bagi sistem pendidikan Islam untuk mencegah para pendidik Muslim kontemporer melepaskan diri dari kekacauan dan kerancuan yang berkecamuk dalam kurikulum pendidikan saat ini, dengan peniruan buta terhadap model-model Barat yang sering kali terbaur secara ad hoc dengan model-model yang tetap hidup dalam sistem madrasah (Ashraf, 1989).

Tradisi klasifikasi ilmu inilah yang sekarang hilang pada sarjana modern, di Barat atau pun di Timur dan Islam. Ketiadaan klasifikasi ilmu inilah yang menciptakan terjadinya fragmented knowledge dan ketidakseimbangan ilmu-ilmu. Adanya fragmented knowledge pun pada gilirannya melahirkan pandangan-dunia (world-view) yang terpecah, fragmented personality dan fragmented society. Ketidakseimbangan ilmuilmu melahirkan praktek penganak-emasan beberapa disiplin ilmu, dan sebaliknya, penganak-tirian disiplin-disiplin ilmu lainnya.

Beberapa studi seperti sains empiris dan teknologi diprioritaskan, namun studi ilmu-ilmu kemanusiaan seperti etika, filsafat, agama dikebelakangkan. Akibatnya, sains dan teknologi bukan untuk mencerahkan dan mensejahterakan umat manusia secara keseluruhan, tetapi seringkali digunakan untuk menggertak, mengancam, membunuh, membuat bom atom dan membumihanguskan suatu wilayah yang dianggap musuh.13 Lebih jauh dari itu, bahkan, alam kosmos beserta isinya pun siap diluluhlantakkan oleh hasrat megalomania kekuasaan dengan senjata-senjata pemusnah massal.

Dengan demikian, sikap yang nampak .konservatif. atau .tidak progresif. pada astronom Muslim yang enggan melakukan revolusi sistem astronomi dapat kita pahami sebagai konsekuensi logis dari pandangandunia integrasi-holistik mereka. Mereka tidak bersedia mengorbankan sistem umum integrasi pohon ilmu-ilmu secara keseluruhan dengan membesarkan sebuah cabang ilmu secara tidak seimbang dan harmonis.

Hal ini mungkin dapat kita analogikan dengan ketidaksediaan sarjana Muslim mengembangkan teknologi mesiu untuk persenjataan meskipun secara teknis-ilmiah telah dapat mereka lakukan. Mereka mempunyai pertimbangan bahwa jika teknologi itu jatuh kepada manusia yang tidak tepat (jahat, tidak bertanggung jawab), maka teknologi itu justru akan membawa malapetaka bagi umat manusia. Mungkin inilah salah satu perbedaan sarjana Muslim klasik dengan sarjana Barat atau sarjana modern pada umumnya.

Lalu, di mana letak keburukan atau ketidakseimbangan yang terjadi pada interpretasi astronom modern, khususnya Copernicus dan kawankawan, yang mencetuskan sistem heliosentris? Sejauh manakah dampak sistem heliosentris itu pada peradaban modern? Mengapa astronom Muslim lebih mengedepankan keutuhan pohon ilmu sehingga tidak bersedia memproklamirkan sistem heliosentris?

Dijelaskan bahwa sikap mereka yang tampak .konservatif. itu terkait dengan cara pandang keilmuan mereka yang sangat menekankan pada prinsip keharmonisan. Mereka memandang berbagai disiplin ilmu saling terkait dan tersalinghubungkan secara organis bagaikan sebuah pohon.

Sebagaimana pohon yang indah dan baik adalah pohon yang tumbuh secara seimbang dan harmonis (tidak ada salah satu cabangnya yang menjulang tinggi sedang cabang lainnya tidak tumbuh atau batangnya malah sekarat), demikian pula pohon ilmu yang baik dan indah adalah terjaganya keutuhan, keseimbangan, dan keharmonisan berbagai cabang ilmu.

Lalu, pertimbangan apa yang dilakukan oleh sarjana Muslim itu? Faktor apa yang membuat mereka berpandangan bahwa perubahan dalam sistem astronomi adalah merusak keharmonisan sistem/klasifikasi ilmu-ilmu secara keseluruhan? Sejauh manakah peran sistem astronomi dalam bangunan ilmu pengetahuan suatu peradaban?


Astronomi sebagai Filsafat Alam 

Telah menjadi khas suatu peradaban, kata Seyyed Hossein Nasr (Nasr, 1964), untuk memiliki sistem astronomi dan kosmologi sendiri. Ciri suatu peradaban kerapkali ditentukan oleh sistem astronominya. Astronomi sangat dekat dengan kosmologi, yaitu suatu filsafat alam. Astronomi merupakan komponen utama suatu kosmologi. Sedangkan kosmologi terkait erat juga dengan epistemologi. Menurut Nasr, pandangan sekularisasi terhadap kosmos berhubungan dengan sekularisasi terhadap pengetahuan (Nasr, 1989). Oleh karena itu, suatu sistem astronomi berhubungan erat dengan gagasan-gagasan metafisika, filsafat, dan agama di mana sistem astronomi itu dibangun. Dengan kata lain, filsafat dan agama adalah konteks kebudayaan dan peradaban yang tak terpisahkan dari sistem astronomi yang lahir dan tumbuh dari peradaban tersebut.

Kenyataan bahwa sistem astronomi terkait erat dengan suatu peradaban diakui oleh para sarjana dan cendekiwan umumnya. Kita telah menguraikan di muka bahwa kelahiran sistem heliosentris yang dicetuskan oleh Copernicus dan didukung oleh sarjana-sarjana seperti Descartes, Kepler, Galileo dan Newton merupakan representasi semangat zaman (zeitgeist) ketika itu yang hendak memberontak terhadap sistem astronomi yang teologis-metafisis. Mereka melakukan gerakan pemisahan total dari nilai-nilai agama dan memandang alam hanya sebagai kumpulan materi materi yang mekanis, mati dan kuantitatif. Oleh karena itu, muncullah sekulerisme yang telah menjadi tuntutan alamiah manusia modern sebagai akibat dari pandangan dunia mereka yang mekanis dan atomistik terhadap alam, termasuk alam langit.

Jadi, sistem heliosentris selain representasi zeitgest zaman, juga sekaligus pembentuk semangat dan cara pandang manusia modern umumnya terhadap alam dan realitas. Itulah sebabnya mengapa Y.B. Mangunwijaya, misalnya, menyebutkan bahwa Revolusi Kopernikan (heliosentris) sebagai salah satu titik balik dalam sejarah peradaban manusia (Mangunwijaya, 1987). Lebih tepatnya lagi, dapat kita katakan bahwa revolusi heliosentris itu sebagai perubahan pandangan dunia dari pandangan dunia yang metafisis-simbolik-kualitatif-holistik menjadi pandangan dunia yang mekanis-empiris-kuantitatif-atomistik.

Nah, demikian pula tentunya, sarjana Muslim juga menganut pandangan dunia tertentu yang mengarahkan kegiatan-kegiatan ilmiah mereka. Menurut Nasr, konsepsi alam kosmos, termasuk dunia langit, bagi sarjana Muslim terkait erat dengan pewahyuan dan hirarki pengetahuan dalam skema filsafat Islam (Nasr, 1964). Langit menjadi sebuah simbol pengetahuan dan kehadiran Tuhan. Bagi sarjana Muslim, kosmos adalah sistem hidup, kualitatif, simbolik sehingga harus dipahami secara holistik dan terintegrasi, tidak dapat dipecah-pecah menjadi bagian-bagian sebagaimana sarjana Barat modern melakukannya.

Meski pun demikian, perlu dicatat bahwa sebagaimana yang kerapkali kita utarakan, cara pandang yang holistik, simbolik dan kualitatif ini tidak mengurangi ketajaman analisis dan metode ilmiah para sarjana Muslim. Hanya saja, mereka menjadi tampak .konservatif. atau terlalu berhati-hati untuk melakukan terobosan-terobosan pemikiran ilmiah.

Namun, hal ini, sekali lagi ditekankan, semata-mata terjadi karena mereka tidak hendak merusak tatanan pohon ilmu secara keseluruhan sebagai konsekuensi logis dari pandangan dunia yang holistik dan non-sekuleristik.

Nasr menyebutkan bahwa sikap para sarjana Muslim yang tidak memutuskan hubungan dengan sistem Ptolemeus sangat terkait erat dengan pandangan dunia abad pertengahan. Tak seorang pun dari mereka yang berkehendak melakukan untuk mengambil tindakan merombak pandangan dunia tradisional, seperti yang terjadi pada masa Renaisans di Barat.

Karena, perubahan itu tidak hanya revolusi dalam astronomi, tapi juga pergolakan di bidang agama, filsafat dan sosial. Dengan latar belakang itulah Nasr mengingatkan bahwa tidak seorang pun dapat menduga pengaruh revolusi astronomi terhadap pikiran manusia (Nasr, 1968).

Oleh karena itu, para sarjana Muslim nampaknya sengaja .mengerem. kemajuan sains astronomi demi keutuhan dan keharmonisan pohon ilmu yang terkait erat dengan kosmologi dan filsafat Tauhid. Nasr (1968) menulis: .Selama tatanan pengetahuan tetap utuh dalam Islam, dan scientia (sains) tetap dalam naungan sapientia (kebijaksanaan), maka .pembatasan. (pengereman) tertentu dalam salah satu cabang sains dapat diterima guna menjaga kebebasan perkembangan dan realisasi dalam bidang spiritual. Dinding kosmos tetap dipertahankan guna menjaga makna simbolis, yang ditimbulkan oleh pandangan kosmos semacam itu pada kebanyakan umat manusia. Seakan-akan saintis dan para sarjana Muslim meramalkan bahwa merombak dinding itu juga akan merusak muatan simbolis dari kosmos dan malah menghapus makna .kosmos. (yang berarti tertib, teratur) untuk sebagian besar manusia, yang sukar memahami langit sebagai semacam bahan yang berpijar, memusar di angkasa dan sekaligus sebagai tahta Tuhan..

Dengan dasar pemikiran di muka, yaitu mempertimbangkan efekefeknya secara sosial, filosofis dan spiritual yang menurut sarjana Muslim lebih banyak membawa keburukan, maka mereka mengurungkan niat atau kehendaknya untuk merombak total sistem Ptolemeus, meski secara teknisilmiah telah mampu mereka lakukan. Nasr (1968) melanjutkan ulasannya:

Meskipun semua kemungkinan teknis (ilmiah) telah disadari (untuk membangun sistem astronomi baru non-Ptolemeus), namun langkah untuk mendobrak pandangan dunia tradisional tidaklah diambil, dan sarjana Muslim cukup puas dengan mengembangkan dan menyempurnakan sistem astronomi yang diwarisi dari Yunani, India dan Persia, yang kesemua tradisi ini telah diintegrasikan secara utuh dan penuh dalam pandangan dunia Islam (kosmologi dan epistemologi Tauhid)..

Sikap .konservatif. dan keberhati-hatian para sarjana Muslim ini tidak terjadi dalam sains astronomi saja. Dalam banyak cabang sains, sering terjadi bagaimana mereka mengurungkan hasrat progresivitas mengembangkan suatu cabang sains dengan pertimbangan untuk mempertahankan keharmonisan pohon dan sistem keilmuan yang mereka anut. Dalam sains fisika, misalnya, tokoh besar seperti al-Biruni dan Ibn al- Haitsam tidak akan mengorbankan prinsip-prinsip keharmonisan dan kebijaksanaan Islam demi kemajuan eksperimen-eksperimen fisika.

Menurut Nasr, meski pun para sarjana Muslim klasik begitu menekuni studi fisika dengan pendekatan kuantitatif-empiris, namun mereka tetap di dalam satu pandangan hidup .non-progresivisme., karena bagi mereka semua scientia (sains) ditundukbawahkan kepada Sapientia (Kebijaksanaan). Matriks pandangan hidup mereka tetap tidak berubah, meskipun sementara itu mereka terlibat penuh menuntut studi dunia fenomena yang selalu berubah.

Oleh karena itu, cara-pandang seorang al-Haitsam yang merintis ilmu optik yang hidup dalam spiritualitas atau epistemologi Islam akan berbeda dengan cara-pandang seorang ahli optik yang hidup di dunia modern-sekuleristik (Nasr, 1968).


Penutup 

Uraian di muka memberikan gambaran bagaimana sebuah matriks pandangan-dunia, nilai budaya, etos, filsafat dan semangat zaman sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Kemandegan gerak perkembangan sains di dunia Islam lebih disebabkan oleh faktor-faktor yang menyangkut etos, budaya, visi, sistem nilai dan kesadaran kolektif yang dianut. Kita bisa lihat bagaimana kemajuan sains astronomi Islam yang telah mencapai puncaknya pada abad ke-13 M dan jauh meninggalkan dunia Barat pada akhirnya diungguli oleh Barat dengan etos dan paradigma yang baru dan sesuai dengan nilai budayanya. Karena, ketika itu telah terjadi stagnasi dalam lapangan pemikiran filsafat dan kebudayaan Islam yang memadamkan ruh dan etos peradaban Islam itu sendiri, yang pada gilirannya mematikan perkembangan sains Islam.

Tulisan ini, yang tentu saja jauh dari maksud-maksud apologetik, membawa suatu pesan sentral bahwa kita hanya dapat mencapai kemajuan dan perkembangan yang berarti dalam ilmu pengetahuan jika kita menganut cara-pandang yang genuine, otentik dan sesuai dengan etos keilmuan itu sendiri baik dalam ranah teologi maupun ranah epistemologi (filsafat pengetahuan). Sains tanpa etos dan sistem nilai budaya yang genuine dan otentik hanyalah ibarat raga tanpa jiwa.


Catatan Kaki:

1. Zeitgeist adalah istilah yang digunakan oleh Hegel (w. 1831) ketika menguraikan filsafat sejarahnya. Ia berpendapat bahwa sejarah adalah sebuah perjalanan roh (geist).

2. Elemen-elemen pengkonstitusi (pembentuk) kebudayaan dan kesadaran kolektif suatu komunitas atau umat meliputi banyak hal, yaitu: sistem nilai, ideologi, teologi, epistemologi, moral, hukum, tradisi, etos ilmiah, etos kerja, sistem sosiopolitik, dan adat istiadat. Elemen-elemen inilah yang bekerja membangun pola pikir dan kesadaran kolektif yang menjadi bingkai makna atau sistem tanda atau kerangka penafsiran setiap komunikasi dan interaksi yang terjadi di antara anggota komunitas.

3. Sejak dasawarsa 1970-an berkembang suatu diskusi yang disebut sebagai wacana teknokultur. Lahirnya wacana ini berkaitan dengan tumbuhnya kesadaran kritis terhadap klaim-klaim sains dan teknologi modern seperti: bebas-nilai, obyektif, dan universal. Ketika itu mulai disadari bahwa di balik klaim-klaim tersebut tersembunyi asumsi-asumsi yang dipengaruhi oleh pandangan-dunia dan ideologi tertentu. Istilah teknokultur menunjukkan adanya hubungan yang mendalam antara teknologi dan budaya, dan mendorong kita untuk menyadari bahwa teknologi tidak dapat terpisahkan dari manusia.

4. Qadir juga mengutip pernyataan seorang sejarawan Barat, Paul Lende, yang menulis, .Pengaruh karya-karya astronomis Muslim sangatlah besar. Sekarang ini, sebagai contoh, istilah-istilah perbintangan masih bertahan dengan nama-nama yang diberikan oleh para astronom Muslim, seperti: acrob (dari .aqrab., kalajengking), altair (dari .al-tair., penerbang), deneb (dari dhanb, ekor), pherkard (dari .farqad., calf) dan kata-kata semacam zenith, nadir, azimuth; semuanya mengingatkan kita kepada karya-karya para sarjana Muslim.. (C.A. Qadir, Philosophy and Science in the Islamic World, Routledge, London, 1988, hal. 116.117)

5. Dalam hal ini, Ajram menyebutkan bahwa adanya hubungan kontinuitas tersebut menjawab tekateki selama ini perihal proses munculnya tokoh seperti Copernicus dan Galileo yang tiba-tiba saja terbangun dari tidur dan kegelapan pandang (Dark Ages) dunia Barat. Mereka tidak mungkin begitu saja melakukan lompatan raksasa dari cara-pandang kuno geosentris ke cara-pandang heliosentris tanpa proses pembelajaran dari generasi sebelumnya. Karena, kemajuan suatu peradaban tidak berawal dari kevakuman. Ia berpendapat bahwa astronom Muslim lah yang memberi mereka dasardasar teori untuk membangun dan mengembangkan lebih lanjut astronomi modern. Namun, kontribusi sarjana Muslim ini ditutupi-tutupi dalam penulisan sejarah perkembangan astronomi modern, karena Barat berkepentingan untuk mempertahankan hegemoni mereka terhadap dunia Islam (Ajram, 1992).

6. Dalam karyanya Knowledge and Human Interests (Boston, 1972), Habermas menulis khusus dalam satu bab mengenai gagasan tentang teori pengetahuan sebagai teori sosial (Chapter 4: The Idea of the Theory as Social Theory).

7. Hal itu dikemukakan oleh Kant pada Pengantar edisi kedua karya utamanya The Critique of Pure Reason; dikutip dari Kant, I., The Critique of Pure Reason (trans. J.M.D. Meiklejohn), Encyclopedia Britanica-The University of Chicago, Chicago, 1984, hal. 7.

8. Renaisans berasal dari dari bahasa Italia rinascimento yang berarti kelahiran kembali.

9. Mengenai gerakan humanisme Renaisans dapat dibaca buku Jill Kraye (ed.), The Cambridge Companion to Renaissance Humanism, Cambridge University Press, Cambridge, 1996.

10. Mengenai kontribusi karya-karya filsuf dan saintis Muslim yang berperan membangun kesadaran baru Eropa dapat dibaca pada buku-buku seperti: George Sarton, Introduction to the History of Science (Baltimore, 1927); Thomas Welty, Human Expression: A History of the World (New York, 1985 ); Ronan, Science: Its Histrory and Development Among the World.s Culture (New York, 1972); Will Durant, The Age of Faith (New York, 1952); S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam (Cambridge, 1968).

11. Terintegrasinya pandangan keilmuan sarjana Muslim tidak mengharuskan dirinya menguasai pelbagai disiplin ilmu, terlebih lagi pada perkembangan sains modern yang makin terspesialisai dan terdiferensiasi. Faktor yang terpenting dari keutuhan-holistik cara pandang keilmuan itu adalah adanya fundasi epistemologis yang mengkaitkan satu disiplin ilmu dengan ilmu-ilmu lainnya; jadi, tidak terpilah-pilah secara tajam sebagaimana yang terjadi pada pendidikan modern, khususnya seperti antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial kemanusiaan atau antara sains-teknologi dan ilmuilmu nilai.

12. Nasr menyebutkannya dalam pengantar terhadap buku Osman Bakar Classification of Knowledge in Islam (1992)

13. Seperti yang dipraktekkan oleh negara adidaya Amerika Serikat terhadap negara-negara yang dianggapnya membangkang terhadap skenario yang ia ciptakan.


Daftar Pustaka 

1. Ajram, K. 1992. The Miracle of Islamic Science. Cedar Graphics, Iowa.
2. Ashraf, Ali. 1989. Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
3. Arsyad, Natsir. 1989. Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung: Mizan
4. Bakar, Osman. 1992. Classification of Knowledge in Islam. Kuala Lumpur: Institute for Policy Research
5. Habermas, Jurgen. 1972. Knowledge and Human Interests. Boston: Beacon Press
6. Hamlyn, D.W. 1987. The Penguin History of Western Philosophy. London: Penguin Books Ltd
7. Kant, Immanuel. 1984. The Critique of Pure Reason (trans. J.M.D. Meiklejohn), Encyclopedia Britanica. Chicago: The University of Chicago
8. Mangunwijaya, Y.B. 1987. Putri Duyung yang Mendamba. Jakarta: Yayasan Obor
9. Marks, John. 1990. Science and the Making of the Modern World. Oxford: Heinemann Educational Books Ltd.
10. Nasr, Seyyed Hossein. 1964. An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines.
11. Cambridge-Massachussets: Harvard University Press
12. Nasr, Seyyed Hossein. 1968. Science and Civilization in Islam. Cambridge-Massachussets : Harvard University Press
13. Nasr, Seyyed Hossein. 1989. Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press
14. Qadir, C.A. 1988. Philosophy and Science in the Islamic World. London: Routledge
15. Ridwan, A. H. 1998. Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan. Yogyakarta: Ittaqa Press
16. Ronan, C.A. 1982. Science: Its Histrory and Development Among the World.s Culture. New York: Hamly Publ. Group
17. Sarton, George. 1952. A History of Science (vol 1 .3). New York: John Wiley & Sons, Inc.
18. Shimogaki, Kazuo. 1993. Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta : LkiS

(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: