Oleh: Azyumardi Azra*
Dalam sepekan terakhir, masyarakat Indonesia menyaksikan tontonan dan drama yang tidak terlalu menyenangkan. Hal itu tak lain adalah kegaduhan di antara elite Indonesia, yang segera berdampak pada banyak kalangan lapisan menengah dan juga warga di akar rumput.
Drama itu terkait dengan pernyataan kontroversial dari kalangan elite Indonesia, elite politik dan elite keagamaan-sosial, tepatnya religio–social elite. Kegaduhan di antara elite boleh jadi menurun dalam hari-hari ke depan, tetapi tampaknya masih belum selesai dan boleh jadi berlanjut setelah Pilkada 2017 dan bisa meningkat kembali menjelang dan seputar Pemilu 2019.
Fenomena ini perlu dicermati dan sekaligus menjadi ”peringatan” bagi semua pihak, khususnya elite politik dan elite keagamaan-sosial untuk terus memelihara kerukunan. Kerukunan ini urgen guna menciptakan situasi dan suasana kondusif bagi stabilitas politik dan pembangunan-pemerataan ekonomi berkelanjutan.
Kegaduhan politik mutakhir yang menimbulkan eskalasi politik dan sosial-keagamaan bermula dari persidangan Gubernur DKI Jakarta (non-aktif) Basuki Tjahaja Purnama, Selasa pekan lalu, dalam perkara penodaan agama. Meski Basuki ”hanya” elite politik salah satu provinsi negara ini, kasusnya yang high profile menjadi isu yang disimak warga Indonesia di berbagai pelosok Nusantara.
Kegaduhan itu bermula ketika tim kuasa hukum Basuki mencecar saksi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma’ruf Amin (73). Dalam kesaksiannya sekitar tujuh jam, tim kuasa hukum Basuki menganggap KH Ma’ruf Amin yang juga Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) memberi kesaksian dusta terkait dugaan pembicaraannya lewat telepon dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kegaduhan meningkat saat Yudhoyono, dalam konferensi pers, Rabu pekan lalu, meminta pemerintahan Presiden Joko Widodo mengusut (dugaan) penyadapan pembicaraannya dengan KH Ma’ruf Amin. Dia juga meminta bertemu dengan Presiden Jokowi untuk bicara secara blak-blakan.
Yudhoyono menyatakan dirinya berusaha menemui Presiden Jokowi, tetapi ada pihak tertentu yang menghalangi. Namun, Presiden Jokowi menyatakan permintaan Yudhoyono untuk mengusut penyadapan itu salah alamat.
”Kok, barangnya (isu penyadapan dan rekamannya) dikirim ke saya. Itu isu pengadilan,” kata Presiden Jokowi seusai membuka acara Forum Rektor Indonesia, Kamis pekan lalu.
Sementara itu, banyak warga NU yang tak bisa menerima perlakuan tim kuasa hukum Basuki yang dianggap memperlakukan KH. Ma’ruf Amin di luar kepantasan. Gerakan Pemuda (GP) Ansor di sejumlah daerah menyatakan keadaan Siaga I untuk menghadapi pelecehan terhadap KH. Ma’ruf Amin.
Menghadapi keadaan yang kian ”gawat”, Basuki segera menyatakan permintaan maaf terbuka secara tertulis dan melalui rekaman video. Keinginannya bertemu langsung dengan KH. Ma’ruf Amin tidak terpenuhi karena waktunya belum tepat.
KH. Ma’ruf Amin menerima Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan. Walhasil, KH. Ma’ruf Amin berlapang dada memaafkan Basuki. Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj juga memaafkan Basuki dan mengimbau anggota dan simpatisan NU, Barisan Serbaguna (Banser), dan GP Ansor menahan diri.
Selang waktu tidak lama, pihak Istana menyatakan Presiden Jokowi akan menerima Yudhoyono sekitar setelah Pilkada 2017.
Pada titik inilah publik bisa menyaksikan kembalinya tradisi sangat baik di Indonesia, yaitu memberikan maaf walaupun tidak melupakan. Tradisi pemaafan memberi ruang untuk kompromi, akomodasi, dan inklusivitas bagi mereka yang melakukan kesalahan.
Tradisi ini hampir selalu mengarahkan elite politik dan keagamaan-sosial serta kelompok warga di Indonesia mencapai win-win solution dan terhindar dari zero-sum-game, sikap pokoknya menang atau kalah.
Namun, tradisi baik ini bukan tidak mungkin memudar. Tradisi win-win solution dapat memudar jika kondisi sosial politik dan ekonomi kian tidak kondusif.
Perpolitikan yang terus gaduh dapat muncul dari terganggunya keseimbangan politik mapan sehingga memunculkan sikap pokoke. Ketidakarifan politisi yang lebih berorientasi kekuasaan atau menampilkan arogansi kekuasaan juga menjadi faktor penting bagi memudarnya paradigma, tradisi, dan praksis win-win solution.
Keadaan ekonomi yang memburuk juga dapat mendorong orang memilih solusi zero-sum-game. Ketika kepincangan ekonomi antara pihak sangat kaya dan mereka yang terpuruk dalam kemiskinan tidak teratasi, win-win solution dapat kian ditinggalkan.
Karena itu, perlu ditekankan urgensi menjaga kerukunan negara-bangsa, baik di lingkungan elite politik maupun keagamaan-sosial. Kompetisi dan kontestasi politik absah dalam sistem dan praksis demokrasi, tetapi tetap perlu mempertimbangkan kerukunan.
Untuk menjaga kerukunan, elite politik sepatutnya berpegang pada kepentingan negara-bangsa dan warga Indonesia secara keseluruhan. Mereka hendaknya menghindari diri dari politik divisif yang membuat warga terpecah belah dan terjerumus dalam konflik vertikal dan horizontal.
Dalam konteks itu, elite politik semestinya menahan diri dari mengeluarkan pernyataan sensitif dan kontroversial yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan tanpa bukti konkret, lebih berdasarkan dugaan dan kecurigaan, hanya berujung pada kontroversi dan konflik, baik di lingkungan elite maupun warga akar rumput.[]
*Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(Kompas/Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email