Menurut
Kantor Berita ABNA, selama ini dalam benak kita ketika menyinggung
seorang ulama besar, maka kita selalu mengkaitkannya dengan orangtuanya
atau leluhurnya yang juga sebelumnya memang seorang ulama besar. Bahwa
kebanyakan ulama besar lahir dari lingkungan pesantren, dari orangtuanya
yang ulama, khatib dan pembimbing ummat sehingga kemudian sang anak
melanjutkan garis perjuangan dakwah para leluhurnya dan melanjutkan
penyebaran ilmu-ilmu dan tradisi keilmuan yang diwariskan. Ayatullah
Nashir Makarim Shirazi adalah ulama besar yang juga merupakan marja
taklid sekian dari sedikit ulama yang lahir bukan dari lingkungan
agamawan dan pesantren. Terlahir dan tumbuh dari ayah dan kakek seorang
saudagar, Makarim Shirazi justru dikemudian hari malah menjadi ulama
besar yang disegani, dengan gelar Ayatullah al Uzhma dengan jutaan
pengikut yang tersebar di seluruh dunia.
Berikut penuturan Ayatullah Makarim Shirazi
sendiri mengenai dirinya, mulai dari kelahiran sampai beliau menjadi
ulama besar. Penulis kitab tafsir Al Amtsal ini juga berbagi tips
mencapai kesuksesan sejati dibagian akhir penuturannya. Selamat
menyimak.
Masa Kelahiran.
Saya lahir di bulan Esfand tahun 1305 HS
[sekitar tahun 1926 M] di kota Shiraz di tengah-tengah keluarga yang
mencintai agama. Meski ayah dan kakekku dikenal sebagai saudagar, namun
keluarga kami sangat cinta dan memiliki kedekatan yang erat dengan
ilmu-ilmu agama. Sekalipun bukan ulama dan pelajar agama, ayah saya
sangat mencintai dan menggandrungi ayat-ayat Al-Qur’an. Sewaktu saya
masih belajar di madrasah Ibtidaiyah, hampir setiap malam, ayah
memintaku ke kamarnya dan berkata, “Nashir, bacakan untuk saya Kitab
Ayat Muntajebeh dan terjemahannya”. Kitab tersebut adalah kitab kumpulan
ayat-ayat pilihan yang dihimpun dan dikaji oleh sejumlah ulama dan di
zaman Reza Khan di jadikan buku wajib untuk diajarkan di
sekolah-sekolah. Sayapun membacakan untuknya ayat-ayat pilihan itu dan
terjemahannya, dan setiap membacakannya, meskipun telah berulang-ulang
didengarnya, ayah selalu saja menunjukkan kekagumannya.
Saya memiliki nenek, yang tidak bisa
membaca dan menulis. Namun beliau memiliki kecerdasan berpikir yang
mengagumkan dan hafalan yang kuat. Beliau secara rutin mengikuti
pengajian pekanan di masjid. Dan setiap kembali ke rumah ia dengan
lancar mengulang kembali yang disampaikan ustad di mimbar kepada seluruh
anggota keluarga, termasuk hadits-hadits dan riwayat yang sangat
banyak.
Karena nenek begitu menyayangi saya, masa
kecil saya banyak saya habiskan bersama beliau. Beliau sering
menceritakan mengenai kisah para Nabi dan wali-wali Allah. Dan inilah
yang kemudian membuat saya semakin hari semakin mencintai dan tertarik
untuk mempelajari masalah agama dengan lebih detail. Nenek juga banyak
mengetahui dan menguasai tekhnik pengobatan klasik dan sering
mengajarkan kepada kami.
Nenek sering membawa saya ke masjid. Karena
itu sejak kecil saya sudah terbiasa ke masjid. Seingat saya, saya sudah
sedemikian aktif mendengarkan ceramah di usia 8 tahun. Apa yang
disampaikan ustad di atas mimbar sangat mengagumkan bagi saya,
ketertarikan sayapun pada ilmu agama semakin menjadi-jadi.
Masa Pendidikan
Saya dimasukkan ke sekolah diusia 5 tahun.
Karena umur saya belum memenuhi syarat saya hanya dimasukkan di kelas
persiapan. Sekolah saya bernama Zainat, dan sangat terkenal di kota
Shiraz. Karena saya dinilai berprestasi di kelas dengan hasil-hasil
ujian yang memuaskan, sayapun dikecualikan untuk tidak mengikuti
tingkatan kelas sebagaimana pada umumnya. Dari kelas persiapan saya
langsung digabungkan di kelas 2 dan sedemikian seterusnya sampai
akhirnya saya menyelesaikan sekolah dasar dan menengah saya.
Selanjutnya saya melanjutkan pendidikan
formal di Madrasah Khan, madrasah yang sudah sangat kuno, dalam artian
memang berdirinya telah sangat lama, besar dan sangat terkenal. Tempat
belajar dan mengajar Filosof terkenal Mullah Sadra Shirazi.
Salah seorang ustad saya, almarhum
Ayatullah Rabbani Shirazi. Saya pernah berkata kepada beliau, “Saya
mohon dipinjamkan kitab Jami’ al Muqadimat, kitab pelajaran tingkatan
pertama Hauzah karena saya tidak memilikinya. Saya mohon diizinkan
menggunakannya selama 24 jam, setelah itu akan saya kembalikan.” Beliau
menanyakan alasannya, saya jelaskan bahwa esoknya saya minta ujian saja.
Dia dengan penuh rasa takjub meminjamkannya kepadaku. Dalam sehari
semalam, saya mempelajari kitab tersebut, dan kemudian berhasil mendapat
nilai yang baik dalam ujian, dan selanjutnya melanjutkan ketingkatan
yang lebih tinggi.
Saya di hari-hari pelajaran, siang-malam,
musim panas dan dingin, di bulan Ramadhan, Muharram dan Shafar, kecuali
hari Jum’at dan sebagian dari hari-hari libur resmi, semua hari saya isi
dengan belajar dan setiap ke madrasah tidak ada waktu saya habiskan
kecuali dengan belajar dan mubahasah [diskusi sambil mengulang pelajaran
secara berkelompok, paling minimal dengan dua orang-pent], dan hari
demi hari semakin menenggelamkan diri dalam kesibukan belajar, saya
semakin hanyut dan merasakan keasyikan yang luar biasa. Saya tidak
pernah tenang dan merasa puas dengan pelajaran di kelas, sehingga saya
selalu bertanya kepada setiap ustad diluar jam pelajaran, saya selalu
meminta kepada mereka untuk memberikan pelajaran yang lebih. Awalnya
mereka menolak dan mengacuhkan permintaan saya yang terkesan memaksa
mereka. Karena menurut mereka, anak 13 tahun tidak boleh terlalu
memaksakan diri belajar, sebab di kemudian hari akan merasa bosan dan
bisa berdampak negatif kelak.
Meskipun saya telah berusaha dan memaksa
untuk diberi kekhususan untuk belajar lebih, namun tetap tidak
diizinkan. Dan akhirnya sayapun ikut dengan aturan resmi madrasah.
Mungkin kalian akan sulit mempercayainya, bahkan sayapun terkadang sulit
menerimanya betapa saya kala itu benar-benar dirasuki kegilaan belajar.
Setiap hari di madrasah saya habiskan 8 jam di kelas, sisanya saya isi
dengan mubahasah dan belajar sendiri. Meskipun jarak rumah saya dengan
madrasah tidak begitu jauh, namun saya sangat jarang pulang, dan
menghabiskan waktu siang dan malam di madrasah dengan menenggelamkan
diri dalam pengkajian dan belajar.
Malam-malam saya isi dengan mengulangi
pelajaran, sampai saya benar-benar terkantuk dan tertidur sendiri.
Pernah suatu malam saya belajar sebagaimana biasanya. Lewat tengah malam
saya mulai terkantuk dan akhirnya tertidur. Waktu itu dalam belajar,
semua santri menggunakan lampu minyak. Karena tertidur, saya tidak
sempat memadamkan api. Menjelang subuh saya temukan, lampu minyak
tersebut dalam keadaan terjatuh, dengan minyak yang berceceran dan
disekelilingnya terdapat tumpukan buku yang semalam saya baca. Saya
bersyukur dan menyebut itu pertolongan Ilahi yang menujukkan Maha
PenyayangNya. Lampu minyak dalam keadaan masih menyala, tertumpah dan
disekelilingnya buku namun tidak menyebabkan kebakaran yang bisa
mencelakakan saya, karena mungkin seketika itu juga tiba-tiba padam
sendiri.
Saya tidak pernah sekalipun berpikir
mengenai makanan yang enak dan lezat. Saya makan apa saja yang ada dan
yang disediakan. Bahkan karena tenggelam dalam asyiknya belajar, saya
kadang sampai lupa makan sama sekali. Inilah yang menyebabkan tubuh saya
kurus. Tapi justru dengan itulah saya lebih mengkonsentrasikan diri
pada pelajaran dan tidak disibukkan dengan hal-hal yang tidak penting.
Secara jasmani saya kurus namun secara batiniah, saya puas dan tidak
merasa kekurangan.
Kesulitan Ekonomi
Sewaktu pertama kali hijrah dan menetap di Qom, secara materi saya didera kesulitan dan keprihatinan yang sangat.
Di bulan Ramadhan yang bertepatan dengan
musim panas, saya dan teman sekamar saya menjalankan ibadah puasa.
Pernah suatu hari menjelang buka puasa, hatta sekerat rotipun kami
tidak punya untuk kami makan. Saya berkata kepada teman saya, “Saya akan
pergi sebentar, mencari orang yang akan memberi pekerjaan dan upahnya
roti untuk kita makan.” Namun setelah berkeliling saya tidak menemukan
satu orangpun yang mau memberi pekerjaan. Terpaksa sayapun menjual
beberapa kitab pelajaran yang saya punyai dan sayangi untuk mendapatkan
beberapa potong roti. Namun dengan kesulitan tersebut, saya tidak
menyerah. Saya yakin bahwa kesulitan itu adalah ujian Ilahi yang pasti
akan berlalu.
Sewaktu di Najaf, kesulitan hidup
sebagaimana yang saya alami di Qom kembali berulang. Saya pernah
mengalami kejadian yang tidak pernah akan saya lupakan. Sebenarnya
peristiwa yang begitu memalukan. Suatu hari, saya terpaksa harus mandi,
dan saat itu satu-satunya tempat mandi adalah permandian umum yang kita
harus bayar dengan sejumlah uang. Dan saat itu, saya tidak memiliki uang
sama sekali. Akhirnya terpaksa, saya menghadap ke pemilik permandian,
dan hendak menyerahkan jam tangan murahan satu-satunya harta yang
kupunya sebagai ganti untuk ongkos sewa kamar mandi. Si pemilik, memberi
keringanan. Dia berkata, saya bisa menggunakan kamar mandinya, dan
membayarnya ketika saya sudah punya uang. Semakin keras dan sulit
kehidupan yang saya jalani di jalan ilmu, itu semakin meyakinkan saya
akan semakin dekatnya pertolongan Allah SWT.
Saya pernah begitu menginginkan untuk
selalu bisa terbangun di sepertiga malam untuk mengerjakan shalat malam,
yang dengan itu saya bisa lebih mendekatkan diri pada Kekasih Hati.
Namun selalu terbangun di penghujung malam diusia saya saat itu adalah
sesuatu yang sangat berat dan sulit. Saya kemudian terpikir untuk bisa
membeli sebuah jam meja yang memiliki alarm, yang bisa membangunkanku
diwaktu yang saya inginkan. Namun ternyata harga satu jam meja mencapai
13 tuman, sementara uang bulananku saat itu hanya 3 tuman, yang pasti
diakhir bulan selalu habis tak bersisa. Sehingga saya tidak bisa
memilikinya.
Berjalan tahun, masalah ekonomi tidak lagi
menjadi persoalan bagiku. Saya mendapat sedikit imbalan dari dakwah dan
tabligh yang saya jalankan di bulan Muharram, Safar dan Ramadhan. Dan
juga sudah mulai mendapat sedikit bagian dari syahriah Hauzah, namun
setelah saya mendapat honor dari tulisan-tulisanku yang dibukukan dan
diterbitkan, itu menjadi jawaban dari kesulitan ekonomiku, dan secara
total saya tidak lagi mengambil syahriah dari Marja.
Sampai saat ini [setelah menjadi ulama
marja taklid, pent], saya menjalankan roda perekonomian keluarga dengan
modal yang saya dapat dari penjualan buku-buku yang saya tulis. Bukan
dari Baitul Mal, meskipun itu setiap bulannya lebih dari 2 milyar tuman
yang masuk ke Baitul Mal yang diamanahkan kepada saya. Semua uang itu
saya gunakan untuk membiayai aktivitas pendidikan, kerja-kerja amal dan
sosial serta untuk syahriah para santri dan asatid Hauzah ilmiah.
Mencapai Derajat Mujtahid di Usia 24 Tahun.
Di kota suci Najaf, saya mendapat
pendidikan hauzah di bawah asuhan dan bimbingan Ayatullah al Uzhma
Sayyid Abdul Hadi Shirazi, Ayatullah al Uzhma Hakim dan Ayatullah al
Uzhma Amuli. Saya sering melakukan tanya jawab dengan para ulama besar
tersebut, yang membuat lebih mudah dalam memahami pelajaran. Yang pada
akhirnya diusia 24 tahun, melalui persaksian dua ulama besar marja
taklid yang masyhur di masa itu, salah seorang diantaranya Syaikhul
Fuqaha Ayatullah al Uzhma Ishthahbanati dan Ayatullah al Uzhma Haj
Syaikh Muhammad Kashif al Ghita saya mendapat ijazah ijtihad.
Pujian atas Karya yang Dihasilkan.
Sewaktu menulis dan menyelesaikan kitab
pertama saya, “Julu_e Haq” [Di Depan Kebenaran] dan kemudian
diterbitkan, saya mengirimkan satu buah untuk Ayatullah al Uzhma
Burujerdi.
Tidak lama, beliau memanggilku, dan sayapun
menemuinya. Beliau berkata, “Kaki saya sakit, dan beberapa hari saya
tidak bisa masuk mengajar, dengan itu saya memiliki banyak waktu luang
untuk belajar. Mata saya tertuju pada buku yang engkau kirimkan buatku.
Sayapun kemudian membacanya dari awal sampai akhir dan serius menelaah
buah-buah pikiranmu.” Kalimat-kalimat beliau yang ditujukan padaku itu
sangat menggetarkan jiwaku. Sangat menakjubkan, seorang ulama besar mau
dengan penuh keseriusan membaca buku seorang santri pemula seperti saya
dari awal sampai akhir. Dan itu menjadi pelajaran dan ibrah besar bagi
saya untuk menghargai ilmu darimanapun datangnya sebagaimana ulama marja
tersebut mempertontonkan langsung di depan mataku. Selanjutnya beliau
memberi pujian atas karyaku itu dan memberikanku dukungan dan
kepercayaan untuk kembali menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi
ummat. Pujian dan dorongan yang sangat berbekas dibenakku, yang
membuatku semakin keranjingan menulis dan menghasilkan karya-karya.
Masa Pengasingan.
Sewaktu sebuah artikel yang ditulis Rashidi
Mutlaq berisi penghinaan dan pelecehan terhadap Imam Khomeini ra dimuat
disebuah surat kabar, sayapun bergabung dalam barisan massa yang
berunjuk rasa mengecam penghinaan tersebut. Saya dan para asatid Hauzah
Ilmiyah serentak berkumpul di Madrasah Amirul Mukminin as dan melakukan
aksi unjuk rasa. Diantara penggalan orasi saya, saya berkata, “Jika
kepada ulama besar sekaliber Imam Khomeini saja mereka berani menghina,
melecehkan dan tidak menaruh hormat, apalagi kepada selain beliau? Jika
kita harus mati karena memprotes penghinaan terhadap ulama dan
syiar-syiar Islam mari kita mati bersama, dan jika masih tetap hidup,
kitapun harus hidup bersama-sama.” Penggalan orasi itu kemudian menjadi
syiar dan slogan dalam aksi unjuk rasa kami. Sampai rezim kemudian
menilai saya terlibat dalam aksi perlawanan terhadap pemerintah.
Orasi-orasi saya dinilai memprovokasi masyarakat dan disebut makar
terhadap Negara. Karena itu saya diasingkan kebeberapa tempat,
diantaranya di bagian timur Cabhar, dibagian barat Mahabad dan di
Anarak.
Menerbitkan Majalah Islami.
Di masa Pahlavi yang penuh kegelapan dan
suram, membaca Koran setiap hari menjadi semacam kewajiban. Sudah
menjadi kewajiban ulama dan para pelajar agama untuk menjawab
syubhat-syubhat yang begitu gencar dicekokkan kepada masyarakat. Sampai
akhirnya saya memutuskan untuk membuat majalah agama yang dengan
dukungan dan bantuan beberapa marja taklid, bisa diterbitkan dan
disebarkan kepada masyarakat.
Majalah tersebut mendapat sambutan luas
masyarakat. Yang sebelumnya tirasnya hanya seribu dua ribu eksemplar,
melonjak mencapai ratusan ribu eksemplar karena permintaan masyarakat.
Majalah tersebut disebar diseluruh penjuru negeri, dibaca dimadrasah,
didiskusikan di kampus-kampus, di kantor-kantor pemerintahan, di pasar
dan ditempat-tempat umum, bahkan sampai pula di tangan rezim thagut.
Dianggap berbahaya, rezim sempat melarang
penerbitan majalah tersebut. Hal tersebut kami adukan kepada Ayatullah
al Uzhma Burujerdi, yang kemudian bersurat kepada pejabat kota Qom untuk
mengizinkan kembali penerbitan majalah tersebut. Ketegangan sempat
terjadi, karena kedua belah pihak bersikeras pada sikapnya. Sampai
akhirnya karena tekanan dari Ayatullah Burujerdi yang merupakan ulama
marja besar kala itu akhirnya pemerintah gentar juga dan mencabut surat
pelarangan penerbitan majalah tersebut. Menariknya, diterbitan majalah
berikutnya, bagian kementrian meminta dibagian sampul majalah tersebut
ditulis, “Diterbitkan dengan Seizin Ayatullah al Uzhma Burujerdi”.
Makna Kesuksesan
Salah satu yang menjadi ilham dalam
kehidupan pribadi dan sosial saya, adalah penggalan dari pesan ayat suci
Al-Qur’an, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan)
Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik.” [Qs. Al Ankabut: 69]. Itulah yang menginspirasi saya untuk
berbuat lebih gigih dalam mencari keridhaan Allah SWT.
Banyak yang menyebut orang yang sukses
adalah orang yang mencapai tujuannya dengan sependek-pendeknya jalan
dengan pengeluaran yang paling sedikit. Namun kesuksesan dalam pandangan
saya, adalah yang mencapai tujuannya yang paling tinggi dengan
cara-cara yang paling mulia. Tujuan yang paling tinggi itu dalam
pandangan masyarakat, multi tafsir, mengandung beragam pandangan. [ada
yang menyebut tujuan paling tinggi itu menjadi paling kaya, paling
popular, paling berpengaruh dan seterusnya-pent]
Seseorang yang merasa dan mengakui dirinya
telah sukses, adalah tanda yang menunjukkan dia sesungguhnya bukan orang
yang sukes. Orang yang sukses adalah yang begitu mencapai titik
tertentu, ia akan merasa belum sukses, dan akan berupaya lebih keras
lagi untuk mencapai titik selanjutnya yang lebih tinggi.
Apakah Islam melarang orang untuk menjadi yang paling kaya?
Jika ada yang berpandangan Islam melarang
orang untuk kaya, maka itu adalah kesalahan besar. Harta dan kekayaan
bukan saja bukan penghalang untuk mencapai maqam kedekatan dengan Tuhan,
melainkan wasilah dan faktor pendukung. Imam Shadiq as berkata, “Dunia
adalah wasilah yang baik bagi akhirat.” Riwayat yang lain juga sangat
banyak, “Bukan bagian dari kami, yang karena alasan akhirat ia
meninggalkan dunianya, dan juga bukan bagian dari kami yang karena
alasan dunia dia meninggalkan agamanya.”
Kaum muslimin harus memiliki kemuliaan yang
sangat tinggi. Jika hari ini yang memimpin dan yang berpengaruh adalah
yang memiliki ekonomi yang maju, industri yang maju, budaya yang maju,
maka umat Islam tidak boleh menjadi umat yang hina dan memandang remeh
pada hal yang demikian. Bahkan sampai mengatakan kemajuan dan
kecanggihan tekhnologi bertentangan dengan Islam dan yang mengejarnya
bertentangan dengan Al-Qur’an dan ma’arif Islam.
Apakah anda memiliki impian, yang anda merasa telah gagal untuk mencapainya?
Jika seseorang tidak memiliki impian dan
harapan, maka saat itu juga sebenarnya ia sudah mati. Harapanlah yang
membuat kita semua bertahan hidup. Harapan dan impian saya adalah,
dengan perkhidmatan yang saya lakukan, dan bekal ilmu sedikit yang saya
punya, saya berharap mampu mencapai derajat maqam yang lebih tinggi.
Kerena perkhidmatan harus terus berlangsung dan memiliki jangkauan yang
sangat luas.
Yang dimaksud dengan khidmat adalah
senantiasa melakukan hal yang dapat memberi manfaat pada orang banyak
dan tidak hanya memikirkan kepentingannya sendiri. Dia pergunakan apapun
yang dia punya dan bisa, baik itu harta, ilmu, buah pikiran, hasil
seni, pemikiran politik, sosial dan sebagainya untuk bermanfaat positif
kepada sebanyak-banyaknya orang.
Tips untuk meraih kesuksesan sejati.
Ada tiga jalan untuk mencapai kesuksesan.
Pertama, keteraturan dan kedisiplinan dalam pekerjaan. Waktu bersama
dengan keluarga dan waktu untuk bekerja harus terbagi dengan baik dan
disiplin menjalankannya. Kedua, kesungguhan dan kerja keras. Seseorang
yang ingin mencapai kesuksesan namun tidak disertai usaha keras dan
kesungguhan, maka ia tidak akan mencapainya, baik itu pekerjaan duniawi
maupun untuk kepentingan ukhrawi. Sebagaimana misalnya, seorang
astronot, pasti akan berlatih keras untuk bisa bisa berjalan diruang
hampa udara, sehingga siap menghadapi hari berangkatnya ke luar angkasa.
Ketiga, niat yang ikhlas. Barang siapa yang memiliki aqidah dan
keimanan yang kuat kepada Allah SWT, maka ia persembahkan semua yang
dikerjakannya untuk Allah SWT. Insya Allah ia akan mencapai kesuksesan
yang sejati.
Post a Comment
mohon gunakan email