Abdullah Assegaff
Segera setelah pelarangan dikeluarkan, Madina Online sudah mewawancarai Bima (baca: Walikota Bogor: “Pelarangan Asyura itu Dilakukan karena Kondisi Darurat!”). Kini Madina menyajikan wawancara dengan Abdullah Assegaf, tokoh komunitas Muslim Syiah yang memimpin Ikatan Pemuda Ahlul Bait Indonesia (IPABI).
Menurut Abdullah, ia tidak pernah dihubungi Walikota Bogor pasca pelarangan itu. Anggota Dewan Kehormatan Ahlul Bait Indonesia (ABI) ini juga menyatakan, ia tidak pernah diajak berdialog dengan MUI Kota Bogor maupun diundang oleh pihak yang mengatasnamakan Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) dan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida). Padahal Bima selalu berdalih bahwa pelarangan Asyura dilakukan karena permintaan MUI, Muspika dan Muspida Bogor.
Berikut wawancara lengkap Irwan Amrizal dengan figur yang aktif sebagai Dewan Kehormatan Gerakan Masyarakat Peduli Pilkada/Pemilu (GMPP) Bogor ini. Wawancara dilakukan di rumahnya, di salah kompleks perumahan di Ciomas, Kota Bogor.
Usai pelarangan peringatan Asyura oleh Walikota Bogor, apakah ada komunikasi dari Walikota Bogor kepada Anda?
Sampai saat ini, sama sekali tidak ada komunikasi apapun. Sebelum pelarangan itu, kami minta agar difasilitasi bertemu dengan pihak yang tidak sependapat dengan kami. Tapi sampai sekarang, kami belum pernah dikabari perkembangannya.
Anda sendiri tidak mencoba untuk berkomunikasi dengan walikota?
Hampir dua minggu ini kami melihat pembicaraan di media sosial begitu ramainya dengan kejadian itu. Karena itu, saya pikir tidak efektif bila kami menjalin komunikasi dengan walikota saat ini.
Bima Arya, Walikota Bogor (Tengah)
Kenapa menurut Anda tidak efektif?
Sebab, saat ini walikota sedang disibukkan dengan kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan Surat Edaran yang beliau keluarkan. Karena itu, menurut kami, lebih baik walikota diberi kesempatan untuk menanggapi penolakan itu.
Tapi, akankah ada kesempatan bagi Anda dan walikota duduk bersama untuk mencairkan ketegangan ini?
Kami sangat mengharapkan itu dan kami akan mengupayakannya. Toh, Pak Bima sudah duduk bersama dengan kelompok intoleran yang notabene mendorong pembatalan peringatan Asyura dan keluarnya Surat Edaran itu. Karena itu, kami berharap pada waktunya akan ada kesempatan bagi kami untuk bertemu Pak Bima.
Dalam beberapa waktu ini, kelompok intoleran seolah berada di sekeliling walikota. Apakah Anda melihat itu terjadi karena walikota tidak bisa melepaskan diri dari kelompok intoleran?
Saya tidak bisa menilai hal itu. Yang pasti, kelompok intoleran itu mengupayakan dan berusaha untuk mendekati Pak Bima. Itu yang secara lahir kami baca. Dan Pak Bima seperti ditarik oleh kelompok tersebut untuk masuk dalam isu yang memojokkan Pak Bima lebih kuat lagi.
Apalagi sempat beredar foto di media sosial, entah itu benar atau tidak, yang memperlihatkan Pak Bima dengan beberapa orang dari kelompok intoleran. Bahkan ada orang yang disebut menjadi sasaran pencarian PBB karena terkait tindak terorisme. Kalau itu benar, hal ini akan membuat Pak Bima lebih terperosok lagi. Bagi kelompok takfiri, hal itu menguntungkan karena seolah apa yang mereka lakukan itu didukung pemerintah. Tapi bagi Pak Bima ini merugikan. Ini menurut saya.
Jadi, komunikasi antara Anda dan IPABI dengan walikota akan tetap diupayakan?
Ya, kami juga mengupayakan agar suatu saat kami bisa berkomunikasi dengan Pak Bima. Kalau sekiranya beliau tidak khawatir duduk bersama dengan kelompok yang jelas-jelas menolak Pancasila, NKRI, dan sebagainya; maka Pak Bima seharusnya tidak berkeberatan duduk bersama kami yang mendukung Pancasila dan NKRI.
Apa Anda melihat ada sinyal yang menunjukkan keberatan walikota untuk berkomunikasi dengan Anda dan IPABI?
Kami tidak melihat itu. Kami masih berbaik sangka (husnu dzan) Pak Bima akan berkomunikasi dengan kami. Tapi memang sampai saat ini kami berpikir belum tepat untuk menghubungi beliau.
Apakah peristiwa pelarangan Asyura oleh Pemerintah Kota Bogor yang mendatangkan aparat kepolisian dan Satpol PP meninggalkan dampak tertentu pada masyarakat sekitar?
Sehari setelah kejadian, kami minta teman-teman IPABI untuk mendatangi masyarakat sekitar. Intinya, kami meminta maaf kepada masyarakat. Tentu kedatangan polisi ditambah Satpol PP sebanyak tiga truk membuat masyarakat sekitar resah.
Kedatangan polisi dan Satpol PP yang begitu banyak itu seolah-olah akan terjadi perang. Padahal, menurut informasi teman-teman IPABI yang keliling sebelum kejadian, tidak tampak massa dalam jumlah besar dari kelompok takfiri yang ingin melarang dan menghentikan kami untuk memperingati Asyura.
Saat mendatangi dan meminta maaf kepada masyarakat itu, kami mendapat tanggapan yang baik dan seperti tidak ada masalah. Meskipun memang ada satu orang yang memasang Surat Edaran pelarangan itu di tembok sebuah rumah. Mudah-mudahan kejadian kemarin itu adalah yang pertama dan yang terakhir.
Menurut Anda, apa maksud orang yang menempelkan Surat Edaran itu?
Saya tidak tahu. Mungkin dia memang tidak suka pada kami di sini. Tapi itu tidak mempengaruhi masyarakat yang lain. Dan sikap orang itu tidak mewakili masyarakat secara umum. Karena hubungan kami dengan masyarakat selama ini baik.
Dalam peristiwa kemarin itu komunitas Syiah diberitakan secara negatif di media-media kelompok Islam intoleran. Dan pemberitaan yang negatif itu disebarkan secara massif. Apakah Anda melihat ada cara pandang yang berubah dari masyarakat sekitar terhadap komunitas Syiah di sini?
Sampai saat ini kami belum merasakan dan belum melihat adanya masyarakat yang terpengaruh dari pemberitaan negatif itu. Bahkan kami sempat duduk bersama dengan salah satu tokoh masyarakat di sini. Namanya Pak Santoso. Beliau mantan RW. Semula kami mengontak beliau untuk mendatangi rumahnya, tapi kemudian beliau yang mau mendatangi kami.
Dalam pembicaraan itu, beliau meyakinkan kami bahwa masyarakat sekitar tidak terpengaruh dengan pandangan negatif terhadap kami. Apalagi, kata beliau, selama ini tidak pernah ada masalah antara komunitas Syiah dengan masyarakat sekitar. Kalau ada yang terpengaruh paling hanya satu-dua orang saja. Insya Allah dengan berjalannya waktu pandangan negatif itu akan hilang.
Saya memperoleh informasi bahwa Anda bukan orang baru di Kota Bogor. Anda dikatakan sudah menetap sejak 1996 dan akhirnya membangun Husainiyah pada 2000. Bila tadi Anda katakan bahwa selama ini hubungan komunitas Syiah IPABI dengan masyarakat selama ini baik-baik saja, lalu kenapa kini ada suara-suara yang menolak? Apa yang sebenarnya terjadi?
Menurut saya, ini sebenarnya adalah salah satu agenda politik global. Sebab kalau kita lihat isu perseteruan antara Muslim Sunni dan Muslim Syiah kan tidak hanya terjadi Bogor dan Indonesia saja, tapi juga sengaja dimunculkan di beberapa negara lain.
Dalam konteks Bogor, kami melihat ada peran dari sejumlah kelompok yang mendorong keluarnya Surat Edaran itu. Pertama, peran dari beberapa yayasan seperti al-Fajri, Forkami (Forum Komunikasi Muslim Indonesia, red.), lalu Hasmi (Harakah Sunniyah untuk Masyarakat Islami, red.). Kedua, peran MUI Kota Bogor. Kami menduga sikap Muspika dan Muspida lahir karena tekanan MUI dan kelompok intoleran itu.
Satu hal yang ingin saya soroti, apakah yang dilarang itu acaranya atau apakah Syiahnya? Ini dua hal yang harus dibedakan terlebih dahulu. Yang dituntut kelompok intoleran itu bukan hanya peringatan Asyura yang dibatalkan, tapi keberadaan komunitas Syiah tidak diperbolehkan di Bogor. Menurut mereka, Bogor harus bersih dari komunitas Syiah.
Tuntutan kelompok intoleran itu bukan hanya disuarakan di Bogor, tapi juga di seluruh Indonesia. Kita bisa melihat dari ceramah-ceramah mereka ketika Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) dideklarasikan dan pada kesempatan yang lain. Abu Jibril, misalnya, sering menyatakan siap membunuh Syiah. Artinya, ada upaya untuk memobilisasi massa untuk menciptakan permusuhan atau upaya untuk membenturkan antara Islam Sunni dengan Islam Syiah.
Tapi dalam Surat Edaran yang dikeluarkan walikota kan belum sampai tahap melarang keberadaan komunitas Muslim Syiah…
Memang. Tapi pelarangan Asyura itu juga layak dipertanyakan: apakah peringatan Asyura itu hanya milik Muslim Syiah semata atau juga milik umat Islam secara umum? Inti dari peringatan Asyura adalah untuk mengenang hari syahidnya cucu baginda Rasulullah Muhammad saat perang di Karbala. Dalam tradisi Sunni, memperingati hari kematian seseorang yang ditokohkan sering dilakukan. Peringatan itu disebut haul. Dan setiap tahun, haul kiai A, kiai B, dan kiai lainnya selalu diperingati. Dengan demikian, pelarangan Asyura tidak bisa dibatalkan dengan dasar syariat.
Kedua, apa benar peringatan Asyura hanya milik Muslim Syiah? Setiap tahun Buya Yahya, misalnya, selalu menyelenggarakan peringatan Asyura. Beliau itu salah satu ulama tarekat di Cirebon. Jika kita buka YouTube, ketik saja ‘Buya Yahya, Asyura’, maka akan muncul sejumlah video rekaman peringatan Asyura oleh Buya Yahya.
Tokoh lain yang memperingati Asyura adalah Habib Rizieq, pemimpin FPI. Setiap peringatan Asyura, beliau selalu ikut dan memberikan ceramahnya. Begitu juga Said Aqil Siradj. Itu contoh bahwa peringatan Asyura bukan hanya milik Muslim Syiah. Karena peringatan Asyura itu diyakini perbuatan baik, maka umat Islam secara umum melakukan peringatan Asyura.
Kalau ada pihak yang tak suka dengan Imam Husain dan peringatan Asyura, itu hak mereka untuk tidak suka. Kita tidak bisa melarang mereka untuk tidak berkeyakinan seperti itu. Tapi bila ada pihak yang menyatakan bahwa peringatan Asyura itu sesat dan tidak bisa dibenarkan, itu artinya mereka juga telah membatalkan atau menganggap bahwa acara haul juga sesat.
Ada pandangan bahwa peringatan Asyura selalu diikuti dengan tindakan menyakiti diri sendiri sampai berdarah-darah yang dikenal dengan istilah tathbir. Tentang hal ini, apa komentar Anda?
Tidak hanya ulama Sunni yang tak membenarkan peringatan Asyura yang diikuti dengan tindakan menyakiti diri sendiri sampai berdarah-darah itu, ulama-ulama Syiah juga berpendapat sama. Untuk melihat siapa ulama Syiah yang tidak membenarkan tathbir beserta dalil-dalil syariatnya, bisa dilihat di Maula TV.
Jadi, jelas bahwa ulama Syiah juga berpendapat bahwa tathbir tidak dibenarkan. Namun kalau masih ada kelompok-kelompok dalam Muslim Syiah yang melakukan hal itu, tidak serta-merta mereka dikeluarkan dari Islam atau dikafirkan.
Nah, di Indonesia itu tidak ada peringatan Asyura sambil tathbir itu.
Peringatan Asyura sambil tathbir itu dilakukan di negara mana saja? Sebab hal itu yang dijadikan salah satu alasan oleh kalangan takfiri untuk melarang peringatan Asyura dan menolak keberadaan Syiah…
Itu dilakukan Muslim Syiah di Pakistan, Irak, Inggris maupun di Thailand. Sementara di Iran sendiri tradisi tathbir sudah lama diharamkan. Imam Khamenei, misalnya, mengharamkan. Imam Ali al-Sistani juga mengharamkan dan imam-imam lainnya. Karena itu, dalam undang-undang di Iran dinyatakan bahwa hal itu tidak dibenarkan dan tak boleh dilakukan.
Saya tidak menutup mata ada kelompok-kelompok radikal di dalam Syiah sendiri. Kelompok ini mirip dengan kelompok-kelompok takfiri seperti yang saya sebut di awal. Kelompok Syiah ini gemar mencaci-maki para sahabat yang dimuliakan Muslim Sunni. Menurut para imam, termasuk Imam Ali al-Sistani, menghina figur-figur atau tempat-tempat yang dimulaikan Muslim Sunni itu haram hukumnya.
Di Indonesia sendiri apakah ada kelompok Syiah radikal seperti yang Anda sebutkan tadi?
Saya dengar baru mau muncul. Baru-baru ini ada kelompok dalam Syiah yang mengundang Muhammad Tawhidi dari Australia. Nah, karena dinilai radikal, maka ABI dan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia, red.) menolak kedatangan Tawhidi. Bahkan, kedua ormas induk Syiah itu mengirim surat kepada Kementerian Agama bahwa orang ini berbahaya bagi kehidupan beragama di Indonesia.
Waktu itu, Tawhidi datang ke Indonesia atas inisiatif sendiri atau diundang kelompok Syiah radikal?
Saya tidak tahu pasti. Tapi tersiar kabar bahwa Tawhidi diundang oleh mantan istri Pak Jalaluddin Rakhmat (Emilia Renita AZ, red).
Ada sebuah foto yang beredar di media sosial yang diduga mantan istri Kang Jalal itu melakukan tathbir. Anda sudah tahu soal foto itu?
Saya tidak tahu. Kalau itu benar, umat Islam harus hati-hati. Sebab jika dibiarkan kelompok radikal dari Sunni maupun Syiah bisa bertemu dan bentrok. Hal ini akan mengacaukan situasi di Indonesia.
Tapi saya juga harus segera mengingatkan, walaupun ada kelompok radikal dalam Syiah itu tidak berarti bahwa Syiah itu sesat. Itu sama dengan walaupun ada kelompok radikal dalam Sunni itu tidak berarti Sunni itu sesat. Sementara kita melihat dalam kampanyenya kelompok takfiri Sunni selalu menyatakan bahwa Syiah itu bukan bagian dari Islam.
Bagi kelompok Sunni yang masih menganggap Syiah itu sesat, maka dia akan berhadapan dengan pendapat sejumlah tokoh besar yang berpendapat sebaliknya, seperti Said Aqil Siradj, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Azyumardi Azra, dan tokoh-tokoh lainnya. Gus Dur, bahkan pernah membuat pernyataan menarik tentang kedekatan antara Sunni dengan Syiah. Gus Dur bilang, Sunni itu Syiah minus imamah. Sementara Syiah itu Sunni plus imamah.
Tokoh-tokoh yang tadi Anda sebutkan memang tak menyatakan Syiah itu sesat atau bukan bagian dari Islam, termasuk MUI Pusat. Tapi di level daerah, tokoh-tokoh Muslim yang ada di MUI provinsi atau kabupaten/kota punya pandangan sebaliknya, seperti MUI Kota Bogor atau MUI Jawa Timur. Apa tanggapan Anda?
Seorang ulama itu seharusnya mengambil perannya Rasulullah karena mereka pewaris nabi. Rasulullah itu dikenal sebagai thabib al-dawar, dokter yang berkeliling. Ulama harusnya menyediakan waktunya untuk mengunjungi umat. Kalau dia melihat hal-hal yang ia anggap sebagai penyelewengan harusnya dia datang, mencoba untuk menggalinya, lalu tabayun, menasihati, mengarahkan, dan mendiskusikannya.
Harusnya peran ulama itu seperti peran Rasulullah yang saya sebut tadi. Bukan menciptakan singasananya (‘arys) sendiri, merasa menjadi wakil Tuhan di bumi, lalu dari kejauhan menunjuk kelompok ini sesat, kelompok itu kafir, dan seterusnya. Saya tidak mengatakan bahwa semua anggota MUI sekarang seperti ini, tapi saya menyayangkan ada orang-orang di dalam MUI yang tidak mempraktikkan dan tidak mencitrakan sebagai seorang ulama tapi justru duduk di dalam majelis ulama.
Peran MUI Kota Bogor selama ini seperti apa?
Pada 2004, kami mengundang Ketua MUI Kota Bogor (KH. Adam Ibrahim, red.) untuk mengisi acara maulidan di tempat kami. Mungkin saat itu, beliau belum tahu bahwa kami Syiah sehingga beliau mau mengisi di tempat kami. Atau beliau sudah tahu kami Syiah, tapi pada saat itu mungkin beliau masih belum berpandangan bahwa Syiah itu sesat. Waktu itu, kami sengaja tidak mendeklarasikan kami Syiah karena, bagi kami, Sunni dan Syiah itu tidak ada perbedaan tajam.
Satu hal yang pasti adalah bahwa kami tidak pernah didatangi ulama yang mengatasnamakan MUI untuk berdialog atau berdiskusi. Mungkin mereka dapat informasi dari buku-buku yang entah bersumber dari mana sehingga mereka dengan mudahnya menuduh kami sesat. Kalau pandangan negatif itu muncul dari yayasan-yayasan milik kelompok intoleran, saya bisa mengerti. Tapi saya tidak bisa mengerti jika pandangan negatif itu muncul dari institusi yang disebut MUI yang seharusnya menjadi panutan umat.
Jadi, tokoh MUI Kota Bogor itu hanya sekali saja mendatangi komunitas Syiah IPABI?
Sebelum dan sesudahnya beliau tidak pernah lagi mendatangi kami. Dan perlu saya sampaikan, setiap kami menyelenggarakan acara keagamaan, seperti maulid dan lainnya, kami selalu mengundang ulama-ulama yang ada di Bogor untuk mengisinya. Itu kami lakukan karena kami merasa, kami tidak berbeda dengan Muslim pada umumnya di Bogor. Kalaupun ada perbedaan pemikiran itu, menurut saya, wajar saja.
Di IPABI itu ada yang namanya Peduli Masjid Ahlul Bait Indonesia (PERMABI). Kerja PERMABI ini setiap hari Sabtu membersihkan masjid-masjid yang ada di Bogor. Sampai kemarin ada 100 masjid yang sudah dibersihkan. Dan masjid yang dibersihkan ini bukan masjid milik ahlul bait, tapi masjid yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Selain membersihkan masjid, tugas PERMABI lainnya adalah menjalin komunikasi di antara sesama takmir masjid yang dibersihkan itu. Nah, karena komunikasi dengan sesama takmir masjid sudah kuat, maka dua tahun lalu kami bersama-sama mengadakan maulidan di Masjid Raya Bogor. Waktu itu yang hadir cukup banyak.
Tadi Anda mengatakan bahwa pelarangan peringatan Asyura di Kota Bogor itu adalah bagian dari upaya membenturkan Muslim Sunni dengan Syiah oleh kelompok intoleran. Kira-kira sejak kapan kelompok intoleran itu masuk ke Kota Bogor?
Kelompok intoleran itu mungkin sudah ada sejak lama. Mereka biasanya melakukan penyerangan terhadap kegiatan maulid dan ziarah kubur. Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan tokoh-tokoh yang berupaya untuk menjaga situs dan makam di Bogor. Salah satu makam yang saat ini sedang mereka jaga dan pertahankan adalah makam Mba Japra yang ada di dalam Kebun Raya Bogor.
Mba Japra adalah seorang wali dan penyebar Islam di Bogor. Nama beliau sangat masyhur di Bogor. Nah, salah satu penggerak yang melarang peringatan Asyura di tempat kami itu juga bermasalah dengan tokoh-tokoh yang menjaga situs dan makam itu.
Menurut Anda, sejak kapan mereka sudah ada di Bogor?
Sejak saya di Bogor tahun 1996. Bisa jadi kelompok ini sudah ada sebelum-sebelumnya. Tapi kelompok ini sangat sedikit jumlahnya. Kaum Muslim banyak bersabar menghadapi kelompok ini. Mereka sejauh ini bisa menahan diri. Pelarangan peringatan Asyura kemarin itu mendorong kemarahan masyarakat toleran di Bogor. Lalu mereka berkumpul dan berhimpun serta membentuk gerakan sosial yang disebut Gerakan Toleransi atau Getol.
Dari elemen mana saja Getol itu?
Ketua Presidiumnya adalah KH. Abdul Fatah. Beliau adalah penasihat GP Ansor. Lalu ketua satgasnya adalah Bapak Kemal Salim, mantan aktivis yang sangat pluralis. Karena ada nama KH Abdul Fatah dan Bapak Kemal Salim, banyak elemen masyarakat di Bogor yang ikut bergabung.
IPABI sendiri ikut bergabung?
Saat dikontak, saya menyatakan bahwa IPABI siap bergabung dengan Getol. Menurut saya, Getol ini penting karena jika kelompok intoleran dibiarkan, maka yang menjadi korban bukan saja kaum Syiah tapi umat Islam semuanya.
Apa saja aktivitas dan tugas Getol selama ini?
Selain menjaga toleransi, tugas Getol itu seperti PERMABI. Yaitu, membersihkan tempat-tempat ibadah. Yang dibersihkan bukan hanya masjid saja, tapi juga gereja, klenteng, wihara, dan tempat ibadah agama lainnya. Sebab di Getol itu tidak hanya diisi kelompok Muslim saja, tapi lintas agama.
Menurut ahli, Surat Edaran pelarangan Asyura itu hanya berisi himbauan yang tak punya kekuatan hukum. Tapi ada kekhawatiran Surat Edaran itu bakal digunakan kepolisian dan Satpol PP bahkan kelompok takfiri untuk menghentikan semua kegiatan yang dilaksanakan Syiah IPABI di Kota Bogor. Padahal setelah peringatan Asyura biasanya diikuti dengan peringatan 40 hari kematian Imam Husein (Arbain)…
Pak Bima sendiri bilang bahwa pelarangan itu hanya berlaku malam itu karena situasinya darurat. Walaupun kami tidak mengerti apa yang beliau maksud dengan darurat itu. Kedua, Arbain akan tetap kami lakukan karena kegiatan itu adalah kegiatan yang baik dan dianjurkan oleh para ulama.
Anda tidak khawatir bila kelompok intoleran menggunakan Surat Edaran itu sebagai dasar untuk membubarkan Arbain?
Ketika pemerintah mengajak kami untuk menciptakan situasi yang kondusif, maka kami dengan senang hati akan menghentikan kegiatan Arbain, misalnya. Karena bagi kami, ikut anjuran penguasa atau pemerintah adalah doktrin yang harus kami ikuti. Tapi bila yang menghentikan itu adalah kelompok intoleran dan pemerintah melegalkannya dan merangkul kelompok intoleran itu, saya kira itu sudah tidak kondusif lagi. Dan kami akan melawannya secara hukum.
Jadi, setelah pelarangan peringatan Asyura malam itu, Anda dan kelompok Syiah IPABI tetap melakukan kegiatan keagamaan seperti biasa?
Ya, kami akan tetap mengadakan kegiatan keagamaan seperti biasa. Sebab malam itu Pak Bima menegaskan bahwa Surat Edaran itu hanya untuk pelarangan peringatan Asyura saja dan untuk menjaga Bogor agar tetap kondusif. Selain itu, Surat Edaran pelarangan itu tidak ada kaitannya dengan ajaran yang kami yakini. Saya percaya Pak Bima tidak akan menelan ludahnya sendiri.[]
(Madina-Online/Mahdi-News/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email